Clothed in Weaknesses

Ada banyak contoh di dalam Alkitab yang menjelaskan bahwa Allah itu melampaui pengertian kita. Atau mungkin lebih tepatnya, melampaui pengertian kita yang sudah jatuh. Satu di antaranya adalah Kristus yang hina dan kelihatan lemah. Bagaimana mungkin Pribadi Kedua Allah Tritunggal digambarkan dalam keadaan yang begitu rendah? Tidak dapatkah Dia digambarkan dengan lebih baik? Tetapi sesungguhnya memang Dia adalah Allah itu sendiri yang menyatakan diri-Nya demikian, dan kitalah yang berusaha mencari pembenaran bagi ide kita tentang Allah yang tidak sesuai dengan Alkitab.

Pengertian kelemahan ini tidak pas dengan pengertian idealis kita tentang Tuhan. Ketika semua orang kelihatannya mendukung pandangan “supra”-isme dewasa ini, kita mungkin tergoda untuk mengadopsi “supra”-isme mereka ini di dalam mendefinisikan Allah daripada mengadopsi pengertian Alkitab. Atau mungkin kita membaca Alkitab dengan pikiran yang sudah di-set sebelumnya, dan membaca cerita Yesus dengan mensterilisasi semua kelemahan yang terlihat di dalam-Nya. Dengan melakukan hal tersebut, kita mencipta Allah asing yang kuat dengan mengorbankan imanensi-Nya (kedekatan-Nya). Tentu saja saya tidak mendukung pandangan yang sebaliknya. Tetapi saya percaya concern terhadap relevansi Allah itu sungguh nyata, dan penawaran dari gerakan Zaman Baru yang bersifat meditasi itu juga begitu nyata. Pengertian abstrak terhadap Allah asing tidak cukup untuk menghadapi tantangan ini. Lebih jauh, Allah Alkitab menunjukkan bahwa Dia memiliki kualitas transendensi dan imanensi. Dia itu berdaulat dan dapat didekati pada saat yang sama. Sekarang kita siap untuk fokus kepada aspek yang kedua, yaitu imanensi-Nya.

Untuk memulainya, mari kita membaginya ke dalam dua bagian, yaitu: kehidupan dan kematian Yesus Kristus. Kita akan mencoba untuk melakukan refleksi terhadap kelemahan-kelemahan yang ditunjukkan oleh Tuhan Yesus Kristus selama Dia berada di bumi ini.

A.      Kehidupan Yesus

a.      Lahir di palungan

Yesus tampak lemah dan hina di dalam palungan. Dalam hidup-Nya, sedikit sekali hal yang dirayakan bagi-Nya sebagai bayi yang baru lahir, dan juga sangat sedikit tempat yang begitu remeh seperti palungan. Tempat tersebut bukan bagi manusia tetapi Tuhan sendiri. Tetapi tangisan pertama-Nya terdengar di palungan yang rendah, dengan pakaian seadanya dan kemudian dibesuk oleh gembala-gembala yang miskin. Tidak ada tempat bagi-Nya (Luk. 2:7).

b.      Hidup yang sederhana

Yesus di dalam kehidupan-Nya di dunia ini tidak menunjukkan sesuatu kehebatan apapun. Dia tidak dikecualikan dari proses waktu ataupun memilih untuk melompati tahun-tahun hidupnya. Dia dikandung dalam rahim Maria, lahir, dan bertumbuh. Disunat pada hari yang ke-8. Dia menunggu 30 tahun sebelum pelayanan-Nya di publik. Selama hidup-Nya di dunia, Yesus melewati banyak sekali hal-hal biasa yang juga terjadi di dalam keseharian kita. Dia mengalirkan air mata, menderita kelaparan, menghadapi kemiskinan, menahan kesulitan, dan bertemu dengan lawan-lawan yang pahit. Dia merasakan apa yang kita rasakan — kesedihan, kesusahan, sukacita, kemarahan — dan sering kali mencapai titik ekstrimnya. Dalam perjalanan-Nya ke kubur Lazarus, Dia masygul dan menangis. Sesudah melihat orang banyak, hati-Nya tergerak oleh belas kasihan dan Dia memberi mereka makan, baik secara spiritual maupun fisik. Ketika tidak memiliki uang sepeser pun, Dia meminta Petrus memancing ikan untuk membayar pajak. Dia bahkan duduk di atas keledai pinjaman dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem dan mengadakan perjamuan terakhir pada ruang pinjaman. Dia melayani orang-orang sampai pada titik akhir kekuatan-Nya di siang hari dan tidak memiliki tempat untuk meletakkan kepala-Nya di malam hari. Sungguh, Dia adalah a man of sorrows, a son of grieves. Dia diam di antara kita (Yoh. 1:14).

c.       Pelayanan di antara yang terbuang

Yesus tampak lemah di dalam pelayanan-Nya. Dia tidak dikerumuni oleh kekayaan atau materi, Dia tidak dibatasi oleh wilayah pelayanan eksklusif. Dia berjalan dengan bebas menuju semua sudut kehidupan. Kaki-Nya begitu terbiasa dengan debu-debu dari jalan-jalan di Palestina. Mereka yang membutuhkan, yang buta, para perempuan yang berzinah, orang kusta, dan banyak sekali orang yang hidup sosialnya itu marjinal, diperhitungkan sebagai sahabat-sahabat-Nya. Lengan-Nya terbuka dengan lebar terhadap mereka semua. Dia tidak menghina pemungut cukai — dan justru menjadi sahabat mereka. Janda yang miskin mendapatkan pujian-Nya atas persembahannya. Dua orang yang dirasuki setan di Gadara begitu bernilai untuk mendapatkan kunjungan Yesus dari jauh. Dia sengaja datang untuk berbicara dengan perempuan Samaria yang tidak layak. Dan pada hari terakhir hidup-Nya di dunia ini, Dia mengikat pinggang-Nya, menanggalkan jubah-Nya, dan membasuh kaki para murid-Nya yang tidak mengerti. Dia menyebut mereka sahabat. Dia datang untuk melayani, bukan untuk dilayani (Mat. 20:28).

B.      Kematian Yesus

a.      Di Getsemani

Yesus bergumul di Getsemani. Ketika berdoa kepada Bapa, Dia berkeringat dalam kesedihan, tidak hanya sekali tetapi tiga kali. Ketika tentara Roma berbaris dengan segala jenis senjatanya; Dia hanya memiliki tangan yang kosong. Mereka itu mayoritas, Dia hanya sendiri. Mereka berteriak dengan kasar, Dia berbicara dengan tenang. Ketika Petrus memegang pedangnya dengan penuh keberanian, Dia memilih agar pedang itu tetap disarungkan. Akhirnya, Dia maju ke depan dan menyerahkan diri-Nya dengan sukarela (Yoh. 18:4).

b.      Di Pengadilan

Yesus tampak lemah di pengadilan. Dia diadili dengan tidak adil tetapi tidak melawan. Hak-hak asasi-Nya dirampas, tetapi Dia tetap diam. Para penuduh serempak melawan-Nya, tetapi Dia membiarkan diri-Nya tanpa pembelaan. Di hadapan Hanas, Dia ditampar dan diludahi dengan semena-mena. Di hadapan Kayafas, Dia membiarkan pakaian-Nya dirobek-robek. Herodes dan sekutunya memahkotai-Nya dengan duri. Dia penuh dengan penghinaan. Di Praetorium, Dia ditolak oleh yang disebut keadilan. Untuk menyenangkan orang banyak, Pilatus menghajar dan menyesah-Nya. Tubuh-Nya tak berbentuk dan darah-Nya memancar keluar. Bagi orang banyak itu, Barabas sang pembunuh pun lebih baik daripada Dia. Tetapi Yesus, Dia pantas dienyahkan dan dimatikan (Yoh. 19:15).

c.       Di Golgota

Yesus tampak lemah di Golgota. Kekuatan-Nya tak mampu menopang-Nya untuk terus berdiri ketika Dia memikul salib. Seperti seekor domba yang dibawa ke pembantaian. Paku yang tak berbelas kasihan dihujamkan menembus tangan-Nya dan darah tanda cinta kasih-Nya mengalir keluar daripada-Nya. Dia ditinggikan untuk diolok-olok. Prajurit-prajurit membagi-bagi pakaian-Nya di antara mereka seolah-olah milik mereka sendiri, dan membiarkan-Nya telanjang. Orang-orang Farisi puas melihat-Nya dikutuk dan disalibkan. Orang-orang yang lewat menggelengkan kepalanya dengan penuh antipati. Sebagian malah bermain-main dengan menantang-Nya untuk mendemonstrasikan kuasa-Nya. Pada pukul tiga, Dia menyerahkan nyawa-Nya — dalam penderitaan yang teramat sangat.

Itulah kelemahan dan kehinaan yang dinyatakan Tuhan kita, Yesus Kristus. Dia hidup dengan begitu rendah dan mati dengan dipermalukan. Dia tidak berkuasa seperti apa yang kita harapkan; tidak sekuat apa yang kita ingin lihat daripada-Nya. Kemuliaan-Nya diselubungi oleh kelembutan-Nya. Menurut standar dunia ini, Dia sama sekali tidak kuat, Dia tidak dapat diperhitungkan.

Bagaimana pun, apa yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia (1 Kor. 1:25). Justru melalui kelemahanlah, Dia menunjukkan kekuatan dan kuasa-Nya. Yesus yang terlihat lemah tidak benar-benar lemah. Orang-orang lewat dan mengejek-Nya, tetapi mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat. Dalam kelemahan-Nya, Dia menyampaikan pesan kasih. Kasih-Nya memberikan pengharapan kepada yang putus asa dan kekuatan kepada yang lemah. Cinta kasih yang sama bekerja di dalam diri kita, sedangkan hukum Taurat hanya bekerja dari luar. Apa yang digenapkan oleh kasih-Nya tidak dapat dilakukan oleh hal apapun termasuk hukum Taurat. Hukum Taurat akan membatasi kelakuan luar, tetapi cinta kasih mengubah hati dari dalam. Hukum Taurat membuat seseorang tunduk, tetapi cinta kasih membuat seseorang rela. Hukum itu mengikat, tetapi cinta kasih itu membebaskan. Ketika tidak ada paksaan, hukum Taurat akan menjadi tak berkuasa; tetapi cinta kasih akan menarik ketaatan yang rela. Cinta kasih mengarahkan hati kita, menetapkan prioritas kita, dan terus-menerus memberikan nafas pengharapan kekal kepada kita. Di sinilah terletak hikmat Allah yang mulia. Berjubahkan kehinaan dan kelemahan, Yesus sesungguhnya menguasai kita dengan cinta kasih-Nya terus-menerus, menaklukkan, dan menarik hati kita untuk mengikut Dia dengan rela. Kita terus-menerus kagum dengan ‘kelemahan-kelemahan’-Nya setiap kali kita merenungkan cinta kasih-Nya dan kita menjadi siap untuk mempersembahkan kasih dan ibadah kita kepada-Nya.

Lebih jauh, melalui kelemahan-kelemahan-Nya Yesus menunjukkan simpati-Nya dan bahwa Dia dapat dihampiri. Menariknya, penulis kitab Ibrani menggabungkan kata “dengan penuh keberanian menghampiri” dengan “takhta” di dalam satu ayat (Ibr. 4:16). Perkawinan kata-kata ini itu “tidak seimbang’. Di mana ada takhta, di situ ada suasana keagungan dan kemuliaan yang tidak terhampiri. Yang duduk di atas sana adalah ‘somebody-up-there’ sedangkan para penonton di bawah ini adalah ‘nobody-down-here’. Ada ketegangan yang aneh dan tidak terkatakan dalam pertemuan seperti itu yang menyebabkan kita berpikir dua kali bahkan untuk tersenyum. Tetapi ajaibnya, kehidupan Tuhan kita Yesus Kristus tidak menampilkan ketegangan itu. Orang kusta dapat menghampiri-Nya. Perempuan yang berzinah tidak ditolak. Pendosa menangis di kaki-Nya. Perempuan yang sakit pendarahan menyentuh jubah-Nya. Sering kali pembicaraan-Nya menjadi terganggu oleh orang-orang yang datang tiba-tiba. Dalam kelemahan-Nya, Dia memberikan hidup-Nya untuk menarik kita mendekat kepada-Nya ketika kita dahulu pernah jauh. Maka kita dapat mempunyai keberanian untuk menghampiri-Nya sekarang.

Tidak hanya dapat dihampiri, Yesus yang telah berjubahkan dalam banyak kelemahan itu bersimpati kepada kita dengan mendalam. Dia “telah dicobai dalam segala hal” benar-benar mengerti dan merasakan permasalahan dan kebutuhan kita (Ibr. 4:15). Dia menderita bagi kita dan terus-menerus menderita bagi kita (Kis. 9:5). Kepada para murid-Nya yang khawatir, Dia menjanjikan Roh Kudus untuk menolong mereka berdoa dalam keluhan-keluhan yang tak terucapkan. Dia menjanjikan kehadiran-Nya ketika dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Nya. Dia menjanjikan tempat bagi kita di rumah Bapa. Dia berjanji akan kembali dan membawa kita ke sana. Dia menjanjikan damai sejahtera yang berbeda dari dunia ini. Dan janji-janji-Nya itu dapat dipercaya karena berakar pada kesetiaan-Nya. Janji-janji-Nya itu keluar dari cinta kasih dan simpati-Nya kepada kita. Dan janji-janji-Nya itu untuk “menggairahkan kita berdoa [excite us to prayer]”[1]. Oleh karena itu, marilah kita membawa permohonan doa kita dengan penuh keberanian di hadapan-Nya dengan mengetahui bahwa Imam Besar kita yang pernah berjubahkan berbagai kelemahan tidak akan mencela hati yang hancur tetapi siap untuk memancarkan cinta kasih dan simpati-Nya kepada kita dengan membawa kita kepada kehendak Allah seperti yang telah digenapi-Nya. Apakah Yesus Kristus, sesungguhnya, lemah?

The other gods were strong; but Thou wast weak;
They rode, but Thou didst stumble to a throne;
But to our wounds only God’s wounds can speak,
And not a god has wounds, but Thou alone.

[Dikutip dari “Jesus of the Scars” oleh Edward Shillito]

 

David Thia

Pemuda GRII Singapura


[1] Calvin’s commentary on John 17:4: “…the end and use of promises is to excite us to prayer.” [http://www.ccel.org/ccel/calvin/calcom35.vii.i.html]