COMPETITION
Sebagian besar dari kita mungkin sudah tidak asing lagi dengan tayangan 2 reality shows “American Idol” dan “Survivor”, di mana setiap peserta dalam show tersebut berkompetisi dengan para peserta lainnya untuk menyanding gelar juara atau uang. Mari kita sedikit menganalisa kedua show ini.
SURVIVOR – Outwit, Outlast, Outplay
Acara permainan “Survivor”, yang mulai ditayangkan pada tahun 2001, pada dasarnya menekankan konsep ‘survival of the fittest’. Dalam permainan ini, sekurang-kurangnya 16 peserta akan dibagi dalam beberapa kelompok atau komunitas yang kemudian diasingkan di sebuah pulau, di wilayah-wilayah yang berbeda, dan diharuskan untuk hidup dalam kondisi yang serba primitif di tempat tersebut. Setiap jelang waktu 3 hari, kedua komunitas ini akan diadu dalam sebuah “reward challenge” untuk memenangkan hadiah dan juga sebuah “community challenge” untuk memenangkan imunitas untuk komunitas mereka. Komunitas yang kalah harus menghadiri “tribal council” di mana salah satu anggota komunitas tersebut akan dikeluarkan dari permainan berdasarkan voting anggota lainnya. Pada akhirnya, hanya akan tersisa 3 peserta di mana pemenang permainan ini akan ditentukan berdasarkan voting eks peserta yang sudah tereliminasi di babak-babak sebelumnya.
Hampir segala cara dihalalkan agar para peserta dapat ‘outwit, outplay, dan outlast’ dan memenangkan hadiah US$ 1 juta. Penipuan, konspirasi, pengkhianatan, dan back-stabbing adalah beberapa cara yang nampaknya ‘harus’ ada agar peserta bisa maju ke babak berikutnya. Aliansi yang terbentuk, di mana para anggotanya memang saling membantu, hanyalah bersifat sementara, karena toh jika sudah tidak ada peserta lain yang dapat disingkirkan, para anggota aliansi ini akhirnya perlu saling ‘membunuh’. Tidak jarang aliansi pun bubar karena ada ‘offer’ yang lebih menarik yang ditawarkan oleh aliansi lainnya. Dan justru penipuan, pengkhianatan, back-stabbing seperti ini yang membuat acara ini sangat menarik dan ditonton puluhan juta manusia (viewership tertinggi mencapai 45,37 juta penduduk Amerika Serikat (AS) untuk episode “Survivor: The Australian Outback”, tahun 2001).
AMERICAN IDOL
American Idol adalah kompetisi tarik suara yang bertujuan untuk mencari penyanyi muda berbakat terbaik di negara AS di mana hasil kompetisi ditentukan oleh voting publik yang difasilitasi oleh 3 juri yang berpengalaman. Berpuluh-puluh ribu calon peserta mengikuti proses audisi yang panjang dan sangat melelahkan di berbagai kota di AS. Para calon kontestan pertama-tama disaring menurut kemampuan menyanyi, potensi, dan human interests oleh show producers. Proses penyaringan dilanjutkan dengan babak audisi pertama oleh 3 juri, di mana setiap calon kontestan harus membawakan sebuah akapela pendek berdurasi 1 menit. Mereka yang dapat mengesankan para juri akan diloloskan ke babak audisi kedua yang diadakan di Hollywood. 24 kontestan akan melanjutkan ke babak semi final di mana para juri kemudian mengambil posisi advisory dan eliminasi ditentukan murni oleh hasil voting publik.
Walaupun ada kelemahan dalam acara ini (seperti racial preference regardless of singing talents dalam sistem voting), tujuan dari kompetisi ini pada dasarnya baik. Para kontestan tidak saling ‘membunuh’ untuk menjadi pemenang, bahkan sering dapat kita lihat rasa kekeluargaan dan persahabatan yang erat terjalin di antara mereka, sehingga kepergian salah satu dapat menghasilkan tetesan air mata yang lainnya. Mereka juga diberikan kesempatan yang baik untuk mengembangkan talenta mereka dan mengecimpungkan diri ke dalam industri musik dalam skala besar. Dalam beberapa episode terakhir, musikus-musikus besar dalam genre musik tertentu diundang untuk memberikan satu sesi latihan privat kepada setiap kontestan. Para juri pun turut memberikan masukan atau kritikan berharga yang sekaligus menjadi tantangan bagi para kontestan untuk diatasi di penampilan berikutnya. Kemampuan untuk menjiwai sebuah lagu, berinteraksi dengan pemirsa, dan tetap memberikan performance yang terbaik dalam tekanan yang besar dan padatnya jadwal latihan, serta adanya versatility dan kemajuan yang perlu ditampakkan bukanlah ekspektasi yang mudah dicapai. Kontestan yang mencapai atau melampaui ekspektasi tersebut adalah pemenangnya (regardless they win the title or not). Viewership tertinggi untuk American Idol mencapai 37,7 juta penduduk AS untuk episode season 6 di tahun 2007.
Apakah yang Kita Inginkan?
Selain reality show yang berbasiskan kompetisi, kompetisi terjadi di berbagai aspek kehidupan: di sekolah, kehidupan bisnis, politik, olahraga, dan lain-lain. Kita tidak bisa memungkiri bahwa sifat kompetisi adalah sifat bawaan kita sebagai manusia. Lalu pernahkah kita bertanya sejenak, kenapa kita mempunyai sifat kompetisi untuk mencapai hal yang lebih baik dan lebih baik lagi? Tidak lain karena setiap manusia adalah imago Dei yang mempunyai kerinduan secara sadar maupun tidak sadar untuk berelasi dengan Sang Sempurna sehingga mau tidak mau harus mencocokkan dirinya sendiri dengan Sang Sempurna yang menciptakannya dengan tujuan dan makna yang pasti. Tujuan dan makna yang ada sekarang pada kita sudah bergeser dari yang awalnya diciptakan, sehingga kita terus merasa tidak puas.
Kita berkompetisi karena merasa tidak puas akan apa yang kita miliki sekarang dan menginginkan sesuatu yang lebih baik. Apakah hal ini adalah hal yang buruk? Belum tentu. Kalau begitu, apakah hal ini adalah hal yang baik? Juga belum tentu! Pada dasarnya, keinginan untuk berkembang dan memiliki sesuatu yang lebih baik adalah baik adanya. Namun demikian, kita harus berhati-hati akan beberapa hal yang mendasari tindakan tersebut. Seringkali kita tidak mengerti apa yang kita inginkan. Kita berharap dan bahkan kita berdoa untuk mendapatkannya. Firman Tuhan mengajar kita untuk tahu apa yang kita inginkan, yang harus sesuai dengan kehendak Allah. Matius 6:9-13 pastilah merupakan ayat-ayat yang sangat kita kenal. Ketika Yesus mengajarkan Doa Bapa Kami kepada murid-murid-Nya, Ia menekankan sesuatu yang menjadi kunci dalam kehidupan kita, yaitu bahwa di dalam hidup kita, kita harus memandang hanya kepada kepenuhan kehendak Allah dan memancarkan kemuliaan-Nya. Oleh karena itu, pola permohonan berkat pun harus diletakkan pada kerangka pikiran pemenuhan kehendak Allah dan kemuliaan nama-Nya. Ketika Yesus bersujud dan berdoa di dalam Taman Getsemani (Lukas 22:42), Ia memberikan teladan kepada kita untuk menundukkan kehendak kita di bawah kehendak Allah.
Amsal 30:7-9 juga memberitahukan kepada kita bagaimana kita seharusnya meminta berkat—meminta apa yang menjadi takaran kita (yang diberikan oleh Allah) agar kita tidak menyimpang ketika kita kelebihan maupun kekurangan. Dalam kehidupan kita sehari-hari, baik dalam lingkup berbisnis, bekerja, maupun belajar, seringkali kita lupa dan secara tidak sadar meminta sesuatu yang salah di mata Tuhan. “Tuhan, tolong saya bekerja dengan baik di kantor dan mampu jadi yang lebih baik dari rekan-rekan sekerja saya supaya saya dipromosikan,” beginilah doa kebanyakan kita pada umumnya. Dalam hal ini, keinginan untuk bisa bekerja lebih baik lagi adalah hal yang baik, namun keinginan untuk dipromosikan belum tentu berakarkan pada sesuatu yang baik. Kenapa ingin dipromosikan? Apakah supaya dapat memberikan pengaruh lebih besar terhadap perusahaan dan pekerja-pekerja yang lain agar lebih sesuai dengan kehendak Allah? Memang benar posisi yang lebih tinggi memberikan kesempatan untuk bisa mempengaruhi perusahaan tempat kita bekerja. Tapi, sering kita memakai alasan ini untuk berdoa minta dipromosikan, padahal kita hanya ingin benefit yang kita peroleh ketika menjadi seorang atasan. Alasan utamanya adalah karena kita tidak puas akan anugerah Allah yang kita miliki saat ini. Padahal, kita seharusnya merasa puas (content) akan berkat Tuhan yang selalu mencukupkan.
Kalau begitu, bagaimana kita harus meminta berkat? Ketika meminta berkat, kita harus menyadari anugerah-anugerah yang sudah Allah berikan dalam kehidupan kita, dan bersedia menyerahkannya kembali bagi kemuliaan Allah. Kita juga harus sadar bahwa berkat yang kita terima adalah sarana untuk bertumbuh semakin serupa dengan Kristus. Dan berkat yang kita terima harus kita kelola sesuai kehendak Allah agar Allah dipermuliakan.
Sense of Acknowledgement
Banyak orang berkompetisi karena ingin reward atau hasil yang ditawarkan. Jika diteliti lebih dalam, mungkin kita akan terkejut bahwa seringkali kita masuk ke dalam kompetisi bukan sekedar menginginkan reward atau hadiah yang ditawarkan tetapi lebih dari itu, kita menginginkan rasa pengakuan dan penghargaan dari orang lain. Dengan kata lain, kita ingin agar orang lain mengetahui dan mengakui kemampuan yang kita miliki. Melalui pengakuan ini, kita membangun rasa percaya diri dan lambat laun kita akan menjadi sombong. Hal ini dapat menjadi jerat yang amat mengerikan! Rasa percaya diri akan membuat kita menggeser posisi Tuhan sebagai pusat kehidupan kita, dan menggeser posisi diri sendiri dan orang lain.
Firman Tuhan mengajarkan bahwa kita bukan percaya diri, tetapi harus percaya Allah (Roma 11:36). Bahwa segala sesuatu adalah dari Allah maka kita dimampukan, bahwa segala sesuatu adalah melalui Allah maka kita dimampukan, dan bahwa segala sesuatu adalah untuk Allah maka kita juga dimampukan. Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya. Ketika kita membangun rasa percaya diri (percaya kepada diri sendiri), maka orang lain juga secara tidak langsung kita pandang rendah. Akan mulai terbentuk pola pikir bahwa orang lain kurang mampu atau lebih lemah daripada kita. Roma 12:16 mengajarkan kita untuk rendah hati dan belajar dari orang lain.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita juga seringkali ingin agar dipandang orang lain sebagai seorang ahli dan orang lain pun kita pandang sebagai pihak yang lebih lemah. Hal ini juga membuat kita menjadi paranoid—selalu curiga akan kemampuan diri dan orang lain. “Jangan-jangan orang itu lebih hebat dariku…” atau ”Wah, ternyata saya hebat juga ya bisa melakukan hal ini….” Pikiran semacam ini seringkali terlintas di benak kita. Kita jadi terpacu untuk berkompetisi agar dapat membuktikan diri. Ketika kita sadar kita mampu melakukannya, kita menjadi sombong dan membuang Allah. Ketika kita sadar kita tidak mampu melakukannya, kita menjadi minder dan menciptakan delusi untuk membohongi diri.
Apa yang Firman Tuhan Katakan?
Dalam Firman Tuhan, istilah-istilah kompetisi (seperti perlombaan) dipakai dan lebih ditujukan kepada hal-hal yang bersifat rohani atau berhubungan dengan kerohanian. Dalam 1 Kor. 9:24-27, Paulus menggambarkan kehidupan kerohaniannya sebagai suatu perlombaan untuk mendapatkan mahkota yang kekal. Ada beberapa hal yang penting untuk diperhatikan ketika kita mencoba merelasikan ayat ini dengan kehidupan kita:
· Tujuan yang ingin Paulus capai adalah mahkota yang kekal dari Allah sebagai tanda Allah berkenan atas kehidupan Paulus.
· Cara Paulus berlomba adalah dengan mendisiplinkan (melatih) tubuhnya dan menguasainya (menaklukkan kedagingannya) selamanya.
· Lawannya di dalam perlombaan ini adalah dirinya sendiri atau kedagingannya.
Kembali terlihat jelas di sini Paulus menyadari sepenuhnya bahwa hidupnya adalah dari Allah, melalui Allah, dan untuk Allah. Karena itu, bagi kemuliaan Allah-lah Paulus menjalani kehidupannya. Dia tidak mencari ataupun mengejar kemuliaan dirinya dengan menunjukkan kemampuannya, dia tidak menjadikan orang lain sebagai lawannya dalam berkompetisi, tetapi dirinyalah (kedagingannya) yang dijadikannya sasaran dalam perlombaan ini. Sebagai anak-anak Allah, adakah kita menyadari hal ini ketika kita berjuang dalam studi atau pekerjaan atau usaha kita? Adakah tujuan akhir kita adalah mempermuliakan Allah dan menikmati-Nya? Dan siapakah lawan kita?
Tentang Talenta
Melalui perumpamaan tentang talenta (Matius 25:14-30), kita akan lebih mengerti tentang kompetisi yang dibahas oleh Alkitab. Sang tuan tersebut tidak membagikan talenta sama rata, tetapi sesuai dengan keinginan sang tuan yang berdaulat. Kita dapat melihat bahwa kompetisi yang terjadi di sini jelas bukanlah antara para hamba untuk saling berlomba di antara mereka, melainkan perlombaan untuk mencapai gol yang sudah ditetapkan oleh sang tuan untuk para hambanya.
Gol yang ditetapkan oleh Tuhan untuk setiap orang bergantung kepada potensi dan kapasitas yang ditentukan Allah kepada setiap orang secara berbeda-beda. Bagi hamba yang menerima 5 talenta, berarti ia sudah diberi modal (baca: potensi) 5 talenta dan ia harus menggunakan kapasitasnya untuk mengusahakan 5 talenta tersebut untuk berkembang. Apabila ia menghasilkan 4 talenta, 2 kali lipat dari hamba yang diberikan 2 talenta oleh tuannya, ia pun tidak boleh berbangga diri karena apa yang ia hasilkan sebenarnya kurang dari apa yang seharusnya ia dapat hasilkan berdasarkan potensi dan kapasitas yang sudah diberikan tuannya.
Firman Tuhan tidak mengajarkan kita untuk melihat dan membanding-bandingkan hasil pelayanan atau apapun dengan orang lain karena tujuan yang ditetapkan bagi kita bukanlah untuk diperbandingkan tetapi untuk dicapai, karena itu ditetapkan secara unik bagi setiap kita. Sama seperti Paulus tidak berkata ia harus mencapai garis finish lebih dahulu dibanding Barnabas, Silas, ataupun Petrus, melainkan mencapai garis finish pertandingan yang harus diselesaikannya. Demikian juga, sama seperti Petrus yang disuruh “mind your own business” oleh Yesus ketika ia ingin compare nasibnya dengan Yohanes, karena Yesus sudah mempunyai rencana yang berbeda untuk kedua Rasul tersebut.
Jadi kompetisi adalah perjuangan menjadikan diri kompeten (setia) di hadapan Tuan kita. Dalam hal ini, pengakuan atas kedaulatan Allah dan perjuangan manusia menjadi sinkron, yaitu ketika manusia setia melakukan potensi sesuai kapasitas di hadapan Sang Pemberi potensi dan kapasitas.
KONKLUSI
“The world demands me to compete, what should I do?”
· “Kalau aku tidak menang tender kali ini, maka bisnisku akan bangkrut; aku harus bisa mengalahkan perusahaan-perusahaan lain dalam tender ini.”
· “Kalau aku tidak menjual lebih banyak dari si Andy, maka aku tidak bisa dipromosikan tahun ini.”
· “Kalau aku tidak dapat nilai A untuk Biologi di semester ini, pasti nilai IP-ku (Indeks Prestasi) lebih rendah dari si Tommy.”
Setiap hari kita selalu dituntut untuk perform dengan baik dan berkompetisi. Kalau tidak, maka kita akan dianggap orang-orang yang tidak berguna dan akan disingkirkan oleh sistem dunia. Sebagai orang Kristen, bagaimana seharusnya kita melihat hal ini?
KNOW YOUR CALLING, DO YOUR PART
Dalam Mazmur 139:13-16 sudah jelas terucapkan bahwa Allah telah menetapkan tujuan hidup bagi kita. Allah mengenal kita secara spesifik, bahkan dikatakan bahwa Allahlah yang menenun kita ketika kita masih di dalam kandungan. Ia juga telah menetapkan segala sesuatu terjadi, termasuk hari-hari kita. Kalau demikian, apa yang perlu kita fokuskan dalam kehidupan kita (dalam studi, bekerja, dan usaha kita)? Tiada lain ialah apa yang sudah Allah tetapkan bagi kita segenap orang percaya. Dengan mengetahui panggilan Allah atas diri kita maka kita dapat berkarya dengan benar sesuai kehendak-Nya. Allah juga adalah Allah yang memberikan talenta agar kita dapat mengelolanya dan mencapai apa yang Allah mau. Ketika kita mengetahui apa yang Allah inginkan untuk kita lakukan (karena pewahyuan-Nya), kita perlu fokus kepada talenta-talenta yang Ia berikan dan mengejar apa yang telah ditetapkan-Nya itu. Kita tidak dipanggil untuk mengadu diri dengan orang lain (berkompetisi secara salah). Kita dipanggil untuk menggenapi rencana-Nya (fokus).
Dengan kesadaran ini, mari kita berjuang mengembangkan talenta dan berbuah bagi Dia. Kita akan mampu mengatasi daya tarik dunia berdosa yang berusaha menggeser kita dari apa yang seharusnya kita kerjakan. Sama seperti Abraham yang tidak mencari pendapat orang lain ketika Allah menyuruhnya untuk mengorbankan Ishak, anak perjanjiannya, dan sama seperti Nuh yang tidak perduli apa yang orang lain katakan atau kerjakan ketika Allah menyuruhnya untuk membangun bahtera selama 120 tahun, demikian juga kita seharusnya menjalankan panggilan kita tersebut.
FOLLOW GOD’S RHYTHM IN FULFILLING YOUR CALLING
Selain mengetahui apa yang Allah kehendaki untuk kita kerjakan, kita juga perlu mengetahui dan mengenal waktu Tuhan. Dalam Pengkhotbah 3:1 jelas dikatakan bahwa segala sesuatu ada waktunya karena segala sesuatu sudah ditetapkan Allah yang MAHA KUASA. Memenuhi panggilan Allah di dalam kehidupan kita harus berada di dalam kerangka waktu yang Allah telah tetapkan. Dengan memenuhi hal ini barulah kita dikatakan sinkron dengan Allah—a man after God’s own heart (Kis 13:22).
Mengikuti langkah kaki Tuhan bukanlah suatu hal yang mudah. Kita seringkali berjalan terlalu cepat karena terbakar oleh ambisi atau juga terlalu lambat karena tidak peka. Karena itu, kita harus benar-benar peka akan pimpinan Tuhan. Dengan mendekatkan diri kepada Allah, maka Ia akan menunjukkan apa yang Ia mau kita kerjakan. Dosa adalah perusak dan penghalang hubungan kita dengan Tuhan. Karena itu, jangan berharap kita mendengar suara Allah bila kita masih terus berbuat dosa dan tidak mau meninggalkannya.
Setialah dalam perkara-perkara kecil, maka Allah akan mempercayakan perkara-perkara yang lebih besar. Intinya di sini adalah untuk setia di dalam segala perkara. Kita dituntut untuk hidup berintegritas setia mengerjakan panggilan-Nya setiap saat. Dapatkah kita setia seperti Musa yang memimpin bangsa Israel mengelilingi padang gurun selama 40 tahun sebelum masuk ke dalam tanah Kanaan? Dapatkah kita menunggu beberapa tahun sampai Tuhan mengizinkan kita membawa perubahan bagi perusahaan tempat kita bekerja? Dapatkah kita menunggu beberapa lama untuk dipromosikan? Dapatkah kita konsisten belajar dengan giat selama tidak ujian? Dapatkah kita kompeten (setia) terus mengerjakan talenta kita sesuai kapasitas yang diberikan walaupun Sang Tuan belum kembali?
REDEEMING THE WORLD
Kita dipanggil untuk menebus dunia beserta kebudayaan di dalamnya. Kita harus mempunyai keyakinan bahwa menebus dengan nilai-nilai Kekristenan itu bukan hanya tidak mustahil tetapi nilai-nilai Kekristenan memang lebih unggul (sekalipun di sistem dunia yang berdosa). Namun fenomena bahwa orang-orang yang memakai taktik-taktik kotor dan curang selalu lebih menguntungkan dan lebih mudah untuk sukses memang adalah kenyataan yang kita alami. Jadi bagaimana?
Setiap orang mempunyai level of competitiveness yang berbeda-beda. Ada orang yang semenjak kecil terlihat sangat kompetitif. Tidak mudah bagi seseorang yang berjiwa kompetisi untuk bekerja dalam grup karena ia akan cenderung mau menonjolkan diri. Secara tidak sadar, tuntutan untuk menjadi “pemenang” atau “jawara” sudah ditanamkan sejak kita kecil. “Anak Mama Papa harus ranking satu donk; kalau gak itu namanya bukan anak Mama Papa.” Kalimat ini sering kita dengar dari para orang tua kepada anaknya. Secara tidak langsung, hal ini memberikan tekanan bagi anak-anak untuk berkompetisi dengan teman-temannya. Maka anak kecil yang sukses dalam pelajaran karena les di tempat les yang baik, akan tidak mau memberitahukan kepada teman-teman yang lain karena ia takut semakin banyak yang les dan ia akan menjadi tersaingi.
Pengalaman-pengalaman tersebut secara tidak sadar terbawa sampai lingkungan pekerjaan kita. Kita mengejar posisi yang tertinggi (atau paling tidak lebih tinggi dibanding teman-teman sejawat) atau bahkan kita menjadi orang terpenting di kantor sampai-sampai kita berpikir bahwa tanpa kita, kantor tempat kita bekerja akan hancur.
Salah satu contoh yang terburuk adalah yaitu Saul yang begitu dendam kepada Daud karena ia mendengar para perempuan bernyanyi, “Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa.” Salah satu contoh yang terbaik adalah anaknya sendiri, Yonatan, yang begitu besar hati dan rela Daud menjadi raja padahal secara keturunan ia adalah pangeran yang seharusnya mewarisi takhta kerajaan Saul. Yonatan bukanlah seseorang yang tidak mampu, bodoh, ataupun tidak mempunyai daya kompetisi. Ia rela Daud yang menjadi raja karena ia menyadari dan mengetahui kehendak Allah—Daud yang akan menjadi raja Israel. Ia mengenal posisi yang telah Allah tetapkan baginya. Alangkah indah dan tenang hidup kita kalau kita tahu posisi kita di mata Tuhan, bukan di mata orang lain. Seseorang memerlukan kebesaran hati untuk berpindah dari spirit kompetisi kepada spirit cooperation karena itu berarti mematikan ego pribadi dan bersedia mendorong orang lain untuk maju.
Kita perlu belajar semangat inkarnasi untuk melawan kedagingan semangat kompetisi yang tidak sehat. Semangat inkarnasi berarti kita yang di atas, yang seharusnya tidak turun, rela turun menyamakan diri untuk menolong yang di bawah. Semangat inkarnasi teragung didemonstrasikan oleh Yesus Kristus yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib (Filipi 2:5-8). Bandingkan dengan lagu paling terkenal dari Freddie Mercury dari grup band Queen, “We Are the Champions”. Di sebagian lirik lagunya tertulis demikian: “We are the champions, no time for losers.” Untunglah Tuhan tidak berpikir demikian karena kita semualah losers tersebut.
Kita perlu memfokuskan pandangan kita kepada Tuhan. Seperti sebuah ilustrasi yang pernah diceritakan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong mengenai seorang pianis cilik yang setelah bermain dengan baiknya dalam suatu konser tidak menggubris tepuk tangan pujian penonton yang riuh bergemuruh sampai ia melihat anggukan kepala penerimaan dari sang pelatihnya di ujung, satu-satunya yang ia pedulikan adalah opini sang pelatih, bukan pujian penonton.
Kehidupan sekeliling kita memang penuh dengan kompetisi yang tidak sehat. Justru oleh karena itu, kita perlu menata ulang fokus kehidupan kita terus-menerus. Jangan sampai kita jatuh ke dalam jerat kompetisi yang tidak sehat. Kita perlu kembali memfokuskan kehidupan kita kepada rencana Allah, berjuang menggenapkannya, mematikan kedagingan kita, dan mempunyai semangat inkarnasi yang senantiasa mengasihi orang lain. Dengan demikian, kita sedang berkompetisi dengan benar di hadapan Allah, dengan setia melakukan panggilan diri kita, dengan semangat komunitas sebagai gereja serta bagi kemuliaan nama-Nya dalam kerajaan-Nya. Marilah kita kembalikan fokus kita kepada Allah sebagai orang yang kompeten (setia) di hadapan-Nya, DOING THE RIGHT THING, IN THE RIGHT WAY, AND AT THE RIGHT TIME, ACCORDING TO GOD’S WILL! SOLI DEO GLORIA.
Kelompok Minat Bisnis
Pemuda GRII Singapura