Pada suatu ketika, saya menonton sebuah adegan adu penalti dari pertandingan sepak bola di YouTube. Di video tersebut ditayangkan seorang kiper yang sedang bersiap menahan laju bola yang akan ditendang oleh pemain lawan dari titik penalti. Kiper tersebut bersiap di depan gawang sambil menunjukkan gayanya melompat kecil ke kiri dan ke kanan. Ketika peluit dibunyikan oleh wasit, maka dengan cepat bola ditendang dengan keras dan melaju datar ke arah sisi kanan gawang. Namun dengan sigap, sang kiper berhasil menahan laju bola tersebut. Kemudian dengan dada membusung, sang kiper tampak merayakan tindakan penyelamatan yang dilakukannya dan langsung berjalan ke arah penonton seakan mengatakan “hahahaha..can you believe this..!!” Akan tetapi, sayang sekali… si kiper tidak menyadari bahwa bola yang berhasil dia tahan itu, ternyata masih belum berhenti berputar. Dengan perlahan, bola itu berputar, menggelinding, dan masuk ke dalam gawang. Singkat cerita, wasit pun menyatakan itu adalah gol yang sah dan video ini di-upload ke YouTube dengan judul “The most stupid goal keeper you will ever see in your life”.
Sebagai orang Kristen, kita tentu sudah akrab dan sering sekali mendengar tema tentang keselamatan. Secara umum kita mengerti bahwa kita adalah manusia berdosa yang sudah selayaknya dihukum dan binasa, namun karena begitu besar kasih Allah, barangsiapa yang percaya kepada-Nya tidak binasa dan diselamatkan. Ya, kita sebagai orang Kristen telah ditebus, diselamatkan dari hukuman dosa. Namun, pernahkah kita sungguh-sungguh bertanya, apa sebenarnya arti dari semua ini (keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus)?
Sebagian orang Kristen mungkin terjebak dalam pandangan bahwa hal paling puncak dan terpenting dalam hidup kekristenan adalah “yang penting asal saya sudah diselamatkan”. Pandangan ini tidak 100% salah, namun pandangan yang hanya berhenti pada keselamatan diri dari hukuman, sedang mereduksi makna keselamatan yang sesungguhnya. Dengan demikian, tidak sedikit orang Kristen pada zaman ini yang kehilangan identitas dirinya sebagai umat Allah, sebagai manusia yang dilahirbarukan, dan tidak tahu apa yang harus dia kerjakan dalam dunia ini. Sama seperti cerita kiper di atas, karena sang kiper fokus hanya pada usaha menahan laju bola yang ditendang, sang kiper lupa identitasnya sebagai penjaga gawang yang seharusnya. Demikian juga kita yang hanya berhenti hanya sampai anugerah keselamatan dan gagal melihat maksud dan tujuan kita diciptakan.
Kesalahan pandang terjadi ketika kita memandang keselamatan dengan melepaskannya dari kisah penciptaan. Padahal Alkitab mengatakan bahwa kedua hal ini tidak dapat dilihat secara terpisah, melainkan merupakan suatu tema Alkitab yang terkait dan utuh adanya. Penebusan kita mendapat makna karena ada penciptaan. Di dalam bukunya yang berjudul Creation Regained, Albert M. Wolters mengatakan, “the redemption in Jesus Christ means the restoration of an original good creation… In other words, redemption is re-creation”.
Pada tulisan singkat ini, penulis ingin membagikan sedikit introduksi mengenai wawasan Kristen (Christian worldview) dengan melihat kembali kepada kisah penciptaan yang telah Alkitab nyatakan. Untuk apa sebenarnya kita diselamatkan? Apa maksud sesungguhnya kita diciptakan? Apa signifikansi manusia di tengah-tengah dunia ciptaan ini? Bagaimana seharusnya kita hidup sebagai orang… ya… hidup sebagai m-a-n-u-s-i-a.
TO MAKE AND TO RULE
Kisah penciptaan Kristen berbeda dengan berbagai kisah penciptaan kepercayaan lain seperti Deisme. Kisah penciptaan Deisme bermula pada Allah yang mencipta dunia ini, namun Ia bukanlah Allah yang kemudian menopang dunia ini. Dunia ini seakan menjadi seperti sebuah jam tangan, yang setelah diputar oleh sang pembuat jam, maka jam itu akan berjalan dengan sendirinya sampai mati. Alkitab menyatakan kisah penciptaan yang berbeda. Pada mulanya Allah yang berpribadi menciptakan langit dan bumi dan kemudian Ia melaksanakan pengaturan-Nya atas seluruh ciptaan. Allah yang telah menciptakan alam semesta adalah Allah yang juga mengatur dan menopang seluruh keteraturan (order) alam semesta hari demi hari dengan kuasa-Nya (sovereign power).
Kesalahan kita adalah sering kali kita melihat penciptaan hanya sekadar pada aktivitas mencipta saja, padahal kisah penciptaan juga menyatakan pengaturan Allah atas dunia ini. Memang aktivitas mencipta dan pemeliharaan/pengaturan Allah merupakan dua hal yang berbeda dengan jelas, namun kedua hal ini saling terkait satu dengan lainnya. Hal ini memiliki implikasi bahwa seluruh ciptaan ini, bukan saja dicipta oleh Allah, tetapi juga harus dijalankan sesuai dengan tatanan (order) yang ditentukan oleh-Nya sebagai penguasa yang terus berdaulat hari lepas hari. Dengan demikian, dalam mencipta dan mengatur ciptaan ini Allah telah memberikan hukum (law) atau tatanan (order) pada ciptaan sesuai dengan desain, maksud, dan tujuan ia diciptakan.“For he spoke, and it came to be; he commanded, and it stood firm” (Ps. 33:9).
Hukum dari Sang Raja atas penciptaan dan pengaturan ciptaan ini dikategorikan dalam buku Creation Regained menjadi dua jenis, yaitu law of nature dan norms. Allah menyatakan kehendak-Nya atas ciptaan entah secara langsung (tanpa mediasi), maupun tidak langsung (dengan peran manusia di dalamnya). Tuhan menata planet pada orbitnya, mengatur musim datang dan pergi, binatang berkembang biak, tumbuhan berbuah, benda jatuh ke tanah karena gravitasi, dan sebagainya. Ini semua adalah bentuk dari hukum Allah yang secara langsung pada alam ini (law of nature). Selain daripada itu, Allah juga memercayakan manusia suatu tugas untuk mengatur taman, melakukan keadilan, berkarya seni, dan sebagainya (norms). Dengan kata lain, Allah memerintah secara langsung pada wilayah alam dan memerintah menggunakan perantara pada wilayah budaya dan sosial. Pada wilayah yang terakhir ini, manusia menjadi rekan sekerja Allah dalam menjalankan kehendak-Nya.
Berkenaan dengan kedua tipe hukum ini, kita tentu sangat familiar dengan hukum alam, sebagai suatu aturan umum pada kondisi fisis dunia ini. Kita mungkin jarang memikirkan bahwa sesungguhnya hukum Allah juga ada pada wilayah-wilayah lain seperti sosial dan budaya. Sadarkah kita bahwa hukum Allah juga berlaku pada wilayah-wilayah seperti pendidikan, keluarga, seni, sosiologi, kebudayaan, estetika, ekonomi, dan sebagainya? Atau jangan-jangan tanpa disadari kita menganggap bahwa hukum Allah tidak berlaku pada wilayah tersebut? Benarkah wilayah-wilayah seperti itu dianggap sebagai sesuatu di luar cakupan penciptaan yang dikerjakan oleh Allah Sang Tuhan dan Raja?
Pemisahan kedua wilayah seperti itu tidak seharusnya terjadi apabila kita mengerti cakupan creation yang sebenarnya. Sebagaimana Allah berotoritas pada hukum gravitasi, demikian juga ia berotoritas pada relasi keluarga umat manusia. Sebagaimana musim berganti sesuai dengan waktunya, demikian juga kebudayaan harus tunduk dan sesuai dengan kehendak dan otoritas Allah. Otoritas Allah mencakup segala aspek dalam ciptaan, seperti yang Abraham Kuyper katakana, “There is not a square inch in the whole domain of our human existence over which Christ, who is Sovereign over all, does not cry, “Mine!”.” Firman Tuhan, kehendak-Nya, hukum-Nya harus menjadi otoritas tertinggi bagi setiap tatanan ciptaan yang ada, karena ada prinsip dan hukum (created order) yang ditetapkan Allah di dalamnya, di mana Kristus menjadi pusat.
The earth is the LORD’s, and everything in it, the world, and all who live in it. (Ps. 24:1)
karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia (Kol. 1:16, bandingkan dengan Ibr. 1:2; 2:10 dan Yoh. 1:1-3).
Ada perbedaan mendasar antara law of nature dengan norms yang perlu kita perhatikan. Berbicara mengenai law of nature, contoh pada Mazmur 148:8 (hai api dan hujan es, salju dan kabut, angin badai yang melakukan firman-Nya), sang pemazmur tidak menganggap bahwa angin, salju, kabut, dan lain-lain itu memiliki tanggung jawab di hadapan Allah. Angin hanya bisa taat dan patuh pada hukum Allah. Berbeda dengan manusia, mereka memiliki yang namanya tanggung jawab (responsibility). Sebagai sarana Allah menjalankan hukum-Nya, mereka bisa taat dan tidak taat atas perintah-Nya. Kita akan dihukum apabila tidak taat pada norma-Nya. Batu yang jatuh akan taat pada hukum gravitasi, burung elang akan mencari makan secara insting, tetapi manusia bertindak di tengah dunia ini dengan bertanggung jawab di hadapan Allah. Kita bertanggung jawab menjalankan norma Allah di dalam setiap segi kehidupan ini.
Inilah arti dari identitas kita sebagai manusia yang diciptakan Allah. Manusia adalah rekan sekerja Allah, penatalayan ciptaan dalam tema creation/recreation yang dinyatakan di dalam Alkitab. Penciptaan bukanlah sesuatu yang terjadi satu kali dan bersifat statis. Penciptaan seharusnya terus bertumbuh dan berkembang. Dan Allah melanjutkan karya penciptaan-Nya itu dengan memakai sebuah alat yang sangat agung, yaitu engkau dan saya. Ya, manusia sebagai peta dan teladan Allah yang agung. Manusia sebagai alat yang Tuhan pakai dalam pengembangan ciptaan (development of creation). Sehingga, ketika kita menerima anugerah keselamatan, dilahirbarukan, maka pembaharuan akal budi, spiritual discernment, dan pengetahuan, seharusnya tidak hanya berlaku pada aspek keselamatan pribadi diri kita, melainkan juga dalam seluruh aspek publik yang ada dalam seluruh ciptaan. Inilah peran kita menghasilkan buah dalam perkembangan ciptaan yang tunduk pada ke-Tuhan-an Kristus (Lordship of Christ), di mana Dia adalah Allah yang mencipta dan memelihara – to make and to rule.
Kebudayaan manusia seharusnya bukanlah hasil yang terjadi secara kebetulan atau merupakan karya yang kreatif dari seorang atau sekelompok manusia yang otonom (terlepas dari Allah). Kebudayaan seharusnya merupakan pernyataan kebijaksanaan Allah serta penggenapan rencana-Nya di dalam ciptaan. Sehingga wilayah ini bukanlah menjadi sesuatu yang sekuler atau dosa, melainkan merupakan mandat bagi manusia untuk melayani Tuhan dalam berbagai bidang yang ada, seperti ekonomi, seni, musik, sosiologi, sains, teknologi, dan lain-lain.
Meskipun tidak dapat disangkal dan kita harus sadar bahwa saat ini dosa telah meracuni seluruhnya. Sekalipun pada mulanya ciptaan ini sungguh baik adanya, sejak dosa masuk dunia ini mengalami kerusakan. Namun, bukan berarti kehendak dan tujuan Allah menjadi gagal dalam ciptaan ini. Penebusan dalam diri Tuhan Yesus Kristus memungkinkan ciptaan ini kembali sehat dan menjalankan maksud dan tujuan sejak semula diciptakan. Dan khususnya setelah kejatuhan, peran Alkitab sebagai wahyu khusus memiliki signifikansi yang penting dalam kita melihat (kacamata) seluruh tatanan kehendak Allah atas seluruh ciptaan ini.
Alkitab menjadi kacamata dan pedoman bagaimana seharusnya kita kembali kepada hukum dan norma yang Allah tetapkan. Tanpa kembali kepada hukum yang benar, norma yang benar, justru membuat seluruh ciptaan ini beroperasi dengan tidak seperti seharusnya, dan hal itu akan membuat kehancuran yang pasti. Pelecehan terhadap hukum-hukum tersebut sebetulnya justru merupakan pelecehan terhadap the goodness of creation. Humanisme atheistik melihat adanya hukum sebagai kontradiksi dari kebebasan manusia, namun Alkitab justru mengatakan bahwa hukum dan kebenaran adalah kondisi dari kebebasan. “Then you will know the truth, and the truth will set you free” (John 8:32).
Menjadi Kristen, bukan sekadar menjadi seorang manusia yang sudah dilepaskan dari hukuman dosa. Menjadi Kristen, bukan sekadar beribadah kepada Tuhan hanya di salah satu aspek dalam hidup kita (misalnya kehidupan gerejawi) saja. Menjadi Kristen berarti menyatakan totalitas seluruh aspek hidup yang tunduk di bawah kehendak Sang Raja, yaitu Kristus. Entah itu adalah kehidupan di dalam keluarga kita, kehidupan pendidikan di sekolah atau kampus, kehidupan penginjilan (KKR Regional, KPIN, penginjilan pribadi, dan lain-lain), kehidupan spiritual pribadi, kehidupan di tempat kerja, masyarakat, dan sebagainya, semua itu tunduk di bawah kepemilikan Kristus. Itulah arti dari kematian yang telah dihidupkan. Itulah arti dari ciptaan yang telah diselamatkan. Itulah identitas kita sebagai manusia, umat Allah, dan Gereja-Nya.
Biarlah kita dalam perjalanan hidup kita mengikut Kristus, senantiasa melihat Allah yang bekerja melalui kita dalam memulihkan ciptaan-Nya, menebus ciptaan-Nya, mengembangkan ciptaan-Nya, sampai kemuliaan-Nya nyata karena kemenangan di dalam penebusan darah Kristus sudah terjamin dan akan ternyatakan. Itu semua adalah karya-Nya, bukan kita, namun Ia memanggil dan memilih kita untuk menjadi rekan sekerja-Nya dalam karya penebusan-Nya. Dari sebuah taman dan berakhir menjadi sebuah kota. Kota yang dipenuhi dengan kemuliaan dan hormat di mana Kristus adalah Raja selama-lamanya. Shalom.
Andre Winoto
Pemuda FIRES
Referensi:
1. Wolters, Albert M. Creation Regained: Biblical Basics for a Reformational Worldview. Second Edition. Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans, 2005.