Sebagai orang Kristen, tentunya kita tidak asing lagi dengan doa. Kita selalu diajarkan untuk berdoa. Entah untuk mengucap syukur, memohon pertolongan, atau kekuatan dalam masa-masa yang sulit dalam hidup kita. Karena itulah kita berdoa setiap harinya. Begitulah pemikiran kita bahwa orang Kristen pasti harus berdoa. Kalau tidak berdoa, kita akan merasa bersalah atau merasa ada sesuatu yang kurang. Tetapi, apakah doa itu? Benarkah kita sudah berdoa dengan benar? Atau sebenarnya kita hanya melakukan sesuatu kegiatan rutin dalam hidup kita yaitu berbicara beberapa kalimat ‘rohani’, seperti “saya mengucap syukur, Tuhan”, dilanjutkan dengan beberapa ‘ucapan syukur’, ‘permohonan’, dan diakhiri dengan “dalam nama Tuhan Yesus, Amin”. Itukah yang kita sebut sebagai doa?
Apa itu doa?
Di dalam Alkitab sendiri terdapat banyak sekali contoh orang berdoa kepada Tuhan, baik para nabi di Perjanjian Lama maupun para rasul di Perjanjian Baru, demikian juga Injil yang banyak mencatat Kristus berdoa, serta mengajarkan kita bagaimana seharusnya berdoa. Begitu banyaknya pencatatan ini menunjukkan bahwa doa itu bukan sesuatu hal yang sepele atau hanya sekadar suatu kegiatan rutin atau ritual yang harus ada untuk meringankan rasa bersalah atau sebagai pembuka dan penutup dalam hari-hari kita. Doa harus merupakan sesuatu yang esensial dalam hidup kita. Sebab doa juga menunjukkan kedekatan relasi kita dengan Tuhan sehingga kita menjadi lebih peka lagi terhadap apa yang Tuhan ingin kita doakan. Doa merupakan percakapan hati kita yang paling dalam kepada Tuhan.
Doa juga dapat merupakan suatu permohonan kepada Tuhan. Permohonan untuk setiap anugerah yang kita perlukan dalam keseluruhan hidup kita sebagai ungkapan pengakuan kebergantungan kita kepada-Nya. Doa juga merupakan ucapan syukur kepada Tuhan karena kita sadar betapa besar anugerah yang diberikan-Nya kepada kita. Tentu saja doa bukan hanya karena kita mencari berkat ataupun perlindungan atau segala yang kita butuhkan saja. Tetapi kita berdoa karena doa merupakan ekspresi relasi cinta kasih kita kepada-Nya yang merupakan respons kita kepada cinta kasih Tuhan kepada kita. Kita ingin menyenangkan Tuhan yang mengasihi kita dan yang kita kasihi. Melalui doa yang ditujukan kepada Allah Tritunggal kita menghidupi relasi yang intim tersebut. Maka kesalahan dalam pengenalan akan Allah akan berakibat kepada kehidupan doa kita.
Bagaimana berdoa yang benar?
Tuhan Yesus mengajarkan bagaimana seharusnya kita berdoa, yang kita kenal sebagai “Doa Bapa Kami”. Sebuah doa yang menjadi dasar bagi kehidupan kita sebagai orang Kristen. Bagian awal dari Doa Bapa Kami menunjukkan dengan jelas status istimewa kita sebagai orang Kristen, kita diperbolehkan menggunakan istilah yang begitu intim, menunjukkan kedekatan relasi kita dengan Tuhan, dan melalui istilah Bapa Kami, kita juga diingatkan untuk berbagi hak istimewa ini dengan sesama umat pilihan Tuhan. Tetapi kedekatan relasi kita dengan Tuhan tidak membuat kita tidak punya batasan dengan Tuhan karena dikatakan bahwa Dia ada “di Sorga”. Dia adalah Sang Pencipta yang Maha Besar yang berada di sorga. Hal ini sekaligus mengingatkan kepada kita yang adalah ciptaan yang berada di bumi. Dialah Allah yang “Nama-Nya harus dikuduskan” di dalam dan melalui seluruh hidup kita. Inilah pengakuan relasi yang benar sebagai ciptaan yang berdosa di hadapan Sang Pencipta yang Kudus, yang “kehendak-Nya yang absolut harus terjadi di seluruh keberadaan, baik di bumi maupun di sorga”. Dengan demikian, kita mengharapkan, kita mengakui, kita berfokus kepada “kedatangan kerajaan-Nya”. Inilah doa, di mana pengakuan relasi perjanjian di dalam Kristus dinyatakan, diikrarkan, dan digenapi. Kehidupan orang Kristen harus merupakan kehidupan yang berdoa, artinya kehidupan yang memperjuangkan relasi perjanjian ini tergenapi, kehendak Tuhan yang jadi, kerajaan-Nya yang hadir nyata, bukan kerajaanku dan kehendakku.
Relasi perjanjian – di mana Allahlah Tuhan kita dan kitalah umat-Nya – bukan hanya berbicara di dalam relasi vertikal dan mengabaikan horizontal. Berdoa untuk kebutuhan yang memang diperlukan dalam hidup ini bukan sesuatu hal yang salah. Permohonan ini menunjukkan kebergantungan kita kepada-Nya sampai kepada hal keseharian kita yang sepele adanya. Kebergantungan ini harus menyatakan relasi perjanjian yang dinyatakan di bagian sebelumnya. Fokus kita adalah kemuliaan Tuhan, Kerajaan Tuhan yang di mana kebutuhan kita hanya untuk menjalankan kehendak-Nya sampai tergenapi (bandingkan Mat. 6:33 yang juga diajarkan Tuhan Yesus kepada kita). Pemeliharaan Tuhan untuk kehidupan umat-Nya adalah untuk memuliakan nama-Nya dan mencari kehendak-Nya. Dengan fokus kepada penggenapan kehendak-Nya, maka kita akan meminta “…pada hari ini makanan kami yang secukupnya”. Setiap harinya kita bersandar pada pemeliharaan Tuhan yang cukup untuk mengerjakan pekerjaan Tuhan dan tidak lebih. Hidup tidak berfokus kepada keserakahan hidup dan selalu menginginkan suatu jaminan akan kenyamanan hidup, seakan jaminan pemeliharaan Tuhan tidak cukup untuk membuat kita merasa aman. Kita diajar untuk percaya bahwa pemeliharaan Tuhan cukup dan kebergantungan kepada-Nya adalah sauh yang aman, serta semuanya itu hanyalah berkat Tuhan bagi kita menggenapkan kehendak-Nya saja. Inilah hal yang sangat indah, melalui kebergantungan kita kepada Tuhan setiap harinya, kita mempunyai relasi yang dekat dengan Tuhan Sang Pemelihara kita.
Sebagai anak-anak Allah yang sudah menerima anugerah relasi perjanjian di dalam Kristus kita juga diajar untuk menghidupinya melalui “pengampunan kepada orang yang bersalah kepada kita”. Kita bukan saja diberikan anugerah menerima pengampunan, tetapi juga diberikan ruang untuk mengenal kekurangan dan kelemahan orang di sekitar kita. Pengenalan ini akan membuat kita sadar akan setiap kesalahan kita yang telah diampuni Tuhan. Pengampunan ini memberikan kita tempat untuk bertumbuh dan semakin mengenal diri dengan lebih baik serta semakin mau tunduk di bawah firman Tuhan. Maka sebagai konsekuensi logisnya adalah pengampunan bagi sesama kita harus nyata di dalam hidup kita. Sebab, saat kita memahami betapa beratnya dosa kita yang telah mendapat pengampunan karena kasih Tuhan, saat itulah seharusnya kita dapat mengampuni kesalahan kecil (dibandingkan dengan dosa kita kepada Tuhan) sesama kita. Di sinilah sekali lagi pengakuan akan relasi perjanjian terjadi, mengaku kita adalah orang yang tidak layak mendapat anugerah tetapi sudah dilayakkan dan mendapatkan anugerah dari Allah yang Maha Kasih. Dialah yang terlebih dahulu mengasihi kita, Dialah yang terlebih dahulu mengampuni kita, sehingga pengampunan dapat kita berikan kepada sesama kita.
Orang Kristen sebagai penerima relasi perjanjian tidaklah kebal untuk “masuk dalam pencobaan” sehingga kita tetap perlu memohon pertolongan Tuhan untuk “melepaskan kita dari pada yang jahat”. Dengan demikian, kita belajar hidup dengan kerendahan hati, memohon perlindungan dari Tuhan, sehingga memberikan kita kekuatan dan kemenangan dalam menghadapi setiap pencobaan yang datang dalam hidup kita. Melalui kemenangan ini, nama Tuhan dikuduskan, Kerajaan Tuhan dinyatakan, relasi perjanjian disaksikan penuh pengharapan di dalam dunia yang berdosa ini.
Melalui Doa Bapa Kami ini, kita dapat melihat bagaimana seharusnya doa yang benar. Hanya berfokus kepada Tuhan dan tidak berbelit-belit. Doa bukanlah rangkaian kata-kata yang panjang dan indah. Kadang kita berpikir dengan semakin panjang dan indah kita berdoa, semakin benar doa kita sehingga pasti diterima oleh Tuhan. Padahal, itu tidaklah diajarkan oleh Tuhan Yesus. Yesus mengajarkan kepada kita doa yang begitu sederhana tetapi mempunyai kedalaman yang membuat kita harus terus belajar hidup hanya untuk Tuhan saja. Suatu doa yang sangat indah dan mengandung makna yang begitu berlimpah untuk hidup kita. Mari sekali lagi kita merefleksikan bagaimana kehidupan doa kita. Apakah kita sudah terjebak dengan doa yang hanya berisi kata-kata indah dan kehilangan makna doa yang sesungguhnya? Sudahkah kita berdoa dengan benar sesuai dengan kehendak-Nya seperti yang diajarkan oleh Tuhan Yesus Kristus? Kiranya Tuhan menolong kita semua. Amin.
Padmaroshantika D. R.
Pemudi FIRES
Referensi
1. Commentary on Heidelberg Catechism – Dr. Zacharias Ursinus
2. Khotbah di Bukit – Sinclair B. Ferguson