Seperti biasa akhir tahun adalah saat kita mengevaluasi kehidupan kita sepanjang satu tahun yang sudah kita lalui. Berbicara tentang evaluasi akhir tahun maka salah satu cara yang paling sering dilakukan orang-orang pada umumnya adalah mengukur “keberhasilan” atau “kesuksesan” baik secara pribadi maupun secara kelompok. Sepertinya sudah menjadi konsensus umum bahwa pengukuran “kesuksesan” tersebut dinilai dari seberapa jauh kita mencapai target yang telah ditentukan sebelumnya.
Beberapa contoh yang dapat kita temui di dalam kehidupan sehari-hari misalnya sebuah perusahaan yang berhasil mencapai keuntungan 100 juta rupiah sesuai dengan apa yang telah ditargetkan di awal tahun atau seorang mahasiswa yang berhasil mencapai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,7 sesuai dengan target yang dinginkannya.
Selain dinilai dari segi pencapaian hasil, “kesuksesan” juga seringkali dikaitkan dengan keberhasilan mencapai sesuatu yang lebih dari yang lain. Unsur kompetisi dan persaingan ikut terlibat di dalamnya. Misalnya ketika sang mahasiswa yang telah mencapai IPK 3,7, akan mulai merasa bahwa sebenarnya dia belum “sukses” karena teman-teman di kelompok belajarnya ternyata berhasil mencapai IPK 3,8. Sang mahasiswa akan merasa bahwa dia sebenarnya masih “gagal”.
Konsep pemikiran tentang “kesuksesan” yang seperti demikian pun juga sering kita temui di dalam kehidupan pelayanan. Orang-orang yang melayani sering mengukur “kesuksesan” mereka di dalam pelayanan dengan membandingkan apa yang telah berhasil dilakukannya dengan yang dilakukan oleh orang lain, organisasi lain, atau gereja lain. Bahkan benih konsep yang demikian juga sudah dapat kita lihat di lingkungan sekolah minggu. Ketika kita instropeksi diri, kita mungkin juga teringat bagaimana saat kita masih di sekolah minggu sering berusaha menghafal ayat hafalan sebanyak mungkin agar tidak kalah dari teman-teman sekolah minggu sehingga mendapatkan pujian atau hadiah dari guru sekolah minggu. Kita mungkin sering menyebut hal tersebut sebagai “kesuksesan” seorang anak sekolah minggu.
Sebelum kita dapat dengan tepat melakukan evaluasi, sebenarnya kita perlu belajar dengan teliti konsep “kesuksesan” yang sebenarnya seperti yang dinyatakan di dalam Alkitab.
Satu bagian yang sangat indah mengajarkan prinsip “kesuksesan” adalah Kitab Kejadian 39. LAI memberikan judul perikop itu “Yusuf di rumah Potifar”. Keindahan bagian ini dapat semakin kita temukan ketika kita coba memperhatikan bentuk narasinya, kita dapat membagi perikop Kejadian 39 itu menjadi tiga bagian.
Bagian pertama: ayat 1-6a
Bagian kedua: ayat 6b-20
Bagian ketiga: ayat 21-23
Dari bentuk penyusunan narasinya dapat kita lihat bahwa bagian pertama dan bagian ketiga mengapit bagian kedua. (seperti sandwich). Ketika membaca bagian pertama dan bagian ketiga secara paralel maka kita akan menemukan adanya kesamaan kedua bagian tersebut yaitu dengan membandingkan antara ayat 2 dan ayat 23.
“Tetapi Tuhan menyertai Yusuf, sehingga ia menjadi seorang yang selalu berhasil dalam pekerjaannya; …” (ayat 2)
“…, karena Tuhan menyertai dia dan apa yang dikerjakannya dibuat Tuhan berhasil” (ayat 23)
Kedua ayat paralel tersebut mengaitkan antara “berhasil” dengan “penyertaan Tuhan”. Mari kita belajar empat prinsip “kesuksesan” yang sejati melalui narasi Yusuf ini:
- Kesuksesan sejati berasal dari Tuhan.
- Kesuksesan sejati bukanlah hanya titik puncak pencapaian.
- Kesuksesan sejati adalah langkah ketaatan kepada Tuhan.
- Acuan kesuksesan sejati bukanlah pada perbandingan dengan orang lain.
Yang pertama, “kesuksesan” sejati berasal dari Tuhan. Kejadian 39 dengan jelas menguraikan bahwa Yusuf dikatakan berhasil karena Tuhan menyertai dia. Di sini kita dapat belajar bahwa Yusuf tidak dikatakan berhasil karena kemampuan, prestasi, dan pencapaian pribadi seorang Yusuf. Selain itu, ketika kita membaca pasal-pasal berikutnya maka di Kejadian pasal 40 dan 41 kita juga dapat melihat sikap hati Yusuf di dalam meresponi “kesuksesan”. Yusuf mengatakan kepada juru minum dan juru roti Firaun yang berada di tempat tahanan bersama-sama dengannya ” Bukankah Allah yang menerangkan arti mimpi?” (40:8) dan kepada Firaun “Bukan sekali-kali aku, melainkan Allah juga yang akan memberitakan kesejahteraan kepada tuanku Firaun” (41:16). Yusuf sadar bahwa “kesuksesan” termasuk kemampuannya di dalam menerangkan arti mimpi adalah berasal dari Tuhan dan hanya Tuhanlah yang layak menerima pujian. Ia dengan gamblang menjelaskan baik kepada kedua pegawai istana itu dan juga kepada Firaun bahwa Allahlah yang dapat menjelaskan arti mimpi. Dari ayat 5 dan 22, di perikop yang sama (Kej 39), kita juga bisa belajar lebih lanjut bahwa bagi Yusuf, setiap “kesuksesan” dan berkat dari Tuhan kepada dirinya adalah bukan untuk dinikmati seorang diri. Berkat Tuhan melalui Yusuf juga mengalir kepada orang lain di sekilingnya. Ia menjadi berkat bagi seisi rumah Potifar dan juga bagi kepala penjara.
Yang kedua, “kesuksesan” sejati bukanlah hanya titik puncak pencapaian. Konsep dunia memberikan status sukses kalau seseorang mencapai satu titik puncak keberhasilan. Tetapi Alkitab mencatat bahwa Yusuf dikatakan berhasil di dalam pasal 39 ini justru ketika ia di dalam posisi sebagai budak dan juga sebagai tahanan. Dan bahkan kalau kita pikirkan lebih lanjut, Yusuf tetap dikatakan berhasil ketika sebenarnya posisinya semakin direndahkan yaitu dari status budak turun menjadi status kriminal. Melalui hal itu kita dapat belajar bahwa “kesuksesan” yang sejati berkait dengan keseluruhan proses kehidupan kita. Yusuf mengalami berbagai pergumulan di dalam hidupnya seperti penolakan dari saudara-saudaranya, pembuangan dan perbudakan, pencobaan dan pemfitnahan oleh istri Potifar, serta dilupakan oleh juru minum yang telah dibebaskan dari penjara. Tetapi di dalam proses kehidupan seperti itu Tuhan tetap menyertai dan menjadikannya berhasil. Yusuf tidak hanya “sukses” ketika sudah menjabat sebagai Mangkubumi di Mesir, melainkan ia “sukses” di dalam berbagai pergumulan karena penyertaan-Nya.
Yang ketiga, “kesuksesan” sejati adalah langkah ketaatan kepada Tuhan. Bagian kedua dari Kejadian 39 adalah satu pemaparan kisah pencobaan dan ujian yang dialami oleh Yusuf (ayat 6b-20). Bukanlah suatu kebetulan adegan pencobaan tersebut menjadi bagian yang diapit oleh bagian pertama dan ketiga tentang “kesuksesan” Yusuf. Ketaatan Yusuf kepada Allah adalah satu bagian yang tak terpisahkan dari hidup yang disertai oleh Tuhan dan “kesuksesan” Yusuf tidak terlepaskan dari ketaatan kepada Allah dan kemenangan dari pencobaan.
Yang keempat, acuan “kesuksesan” sejati bukanlah pada perbandingan dengan orang lain. Secara paralel kita dapat membandingkan kalimat Yusuf di Kejadian 39: 9b “Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?” dengan kalimat Yehuda di Kejadian 38:26 “Bukan aku, tetapi perempuan itulah yang benar (more righteous)…” Bagi Yusuf dosa apapun adalah satu dosa pemberontakkan secara langsung terhadap Allah. Sehingga Yusuf memiliki satu kemutlakkan di dalam etika moral tentang benar dan salah. Kontras dari itu adalah ketika Yehuda di dalam kisahnya dengan Tamar di Kejadian 38. Yehuda memiliki cara pandang tentang etika moral dari kaca mata membanding-bandingkan yaitu siapa yang lebih benar dari yang lain. Bagi Yusuf, kalau ia berzinah maka ia tidak hanya bersalah kepada Potifar melainkan ia secara langsung berdosa di hadapan Allah yang Maha Suci.
Jika kita sekarang memakai keempat prinsip di atas untuk melihat kepada gerakan Reformed Injili di mana kita ditempatkan, apakah yang dapat kita pelajari?
Yang pertama, gerakan Reformed Injili adalah satu gerakan yang berbasiskan theologi Reformed dengan doktrin dasar tentang kedaulatan Allah. Allah yang telah menciptakan manusia adalah Allah yang berdaulat atas hidup setiap manusia. Allah pencipta adalah Allah yang juga memelihara dan menopang ciptaan-Nya. Dia adalah sumber dari segala pemberian yang baik, termasuk “kesuksesan”. Gerakan Reformed Injil dapat memiliki “kesuksesan” sejati ketika sesuai dengan doktrin dasar di atas maka di dalam kesehariannya setiap orang yang berbagian di dalam gerakan ini tidaklah bersandarkan kepada pencapaian baik pribadi maupun secara keseluruhan dari wadah gerakan. Setiap pelayan perlu senantiasa memiliki sikap hati yang rindu akan penyertaan Tuhan dan demi memuliakan Tuhan semata. Bahaya yang mungkin timbul adalah kalau para pelayan dalam gerakan ini tidak lagi mencari penyertaan Tuhan – Sang Pemberi Karunia – tetapi mengandalkan berbagai talenta dan karunia yang telah dianugrahkan kepada mereka.
Yang kedua, gerakan Reformed Injil dapat dikatakan “sukses” ketika tidak melihat pencapaian-pencapaian target sebagai ukuran dari kesuksesan melainkan senantiasa memiliki hati yang peka mengikuti pimpinan Roh Kudus di dalam keseluruhan proses perjalanan perjuangan. Kita sangat bersyukur dapat menjadi saksi teladan dari Pdt. Stephen Tong yang memiliki semangat berjuang demi melaksanakan kehendak Tuhan. “Kesuksesan” bukan hanya dilihat ketika penginjilan melalui KKR Regional menjangkau sedemikian banyak siswa, melainkan setiap proses dari persiapan, pra-penginjilan, pelayanan doa, sharing visi, dan sebagainya juga dikerjakan dengan melibatkan jemaat Tuhan dan mengandalkan penyertaan Tuhan.
Yang ketiga, “kesuksesan” sejati itu ada ketika para pelayan di dalam gerakan Reformed Injili, memiliki ketetapan hati untuk taat total kepada Tuhan. Keinginan dan kepentingan individual dapat menjadi penghalang berbagai pelayanan. Ketaatan total juga menjadi alat uji apakah suatu pelayanan adalah sungguh-sungguh disertai Tuhan dan “sukses” dari sudut pandang Tuhan. Ada kemungkinan fenomena menunjukkan suatu pelayanan yang begitu “sukses” dan kita bisa menyangka bahwa itu karena Tuhan menyertai. “Kesuksesan” sejati tidak dilihat dari fenomena tetapi dari unsur ketaatan menjalankan setiap prinsip kebenaran Firman Tuhan di lapangan.
Yang keempat, “kesuksesan” sejati dari gerakan Reformed Injili adalah ketika menjalankan setiap pelayanan selalu mengacu kepada apa yang Tuhan kehendaki dan bukan membanding-bandingkan dengan orang lain. Ketika kekristenan mulai kendor, gerakan Reformed Injili seharusnya tetap setia dan berkobar-kobar menggenapkan kehendak Allah di muka bumi ini. Kita tidak ikut-ikutan menjadi kendor karena yang lain juga tidak lagi giat. Kita juga tidak berhenti ketika kita sudah selesai mengerjakan apa yang pernah dikerjakan oleh orang-orang lain, jikalau Tuhan menghendaki kita melangkah lebih jauh. Termasuk juga ketika harus menerobos berbagai keterbatasan yang ada. Mandat Injili dan Mandat Budaya harus terus dengan setia dikerjakan. Satu hal yang juga harus diwaspadai adalah jiwa kompetisi di antara para pelayan di dalam gerakan Reformed Injili. Tanpa memiliki konsep “kesuksesan” yang tepat, kita akan mudah terprovokasi untuk membanding-bandingkan “kesuksesan” seorang pelayan dengan pelayan yang lainnya, atau antara diri kita dan rekan-rekan pelayanan kita. Pada akhirnya akan menimbulkan kesombongan, iri hati, dan hati yang sempit atau bahkan kebencian.
Setelah belajar dari prinsip “kesuksesan” Yusuf, apakah yang menjadi respon kita sebagai pemuda-pemudi di dalam gerakan Reformed Injili? Di tengah arus dunia di mana manusia mencari dan mengejar “kesuksesan” diri masing-masing, apakah kita mengerti prinsip yang benar akan “kesuksesan” dan senantiasa merindukan penyertaan dan kemuliaan Tuhan baik di dalam hidup keseharian masing-masing maupun pelayanan di gerakan Reformed Injili? Mari kita mengejar kesuksesan sejati di dalam Tuhan.
Daniel Gandanegara
Pemuda GRII Singapura