From Struggle to Struggle

Aduh susahnya hidup sebagai orang Kristen!” desah Rudi sambil berjalan pulang dari kampus menuju ke tempat kosnya. Wajahnya tampak sangat muram dan langkahnya terlihat sangat berat. Setibanya di kamar, ia langsung melempar tasnya dan merebahkan dirinya di atas ranjang. Matanya menerawang ke langit-langit kamarnya dan ia kembali teringat perkataan Martin yang begitu menyentak perasaannya ketika mereka bersama-sama sedang membahas tugas kelompok mata kuliah Marketing. “Ternyata orang Kristen nggak lebih baik dari yang bukan Kristen!” Kalimat Martin tersebut terus mendengung di telinga Rudi.

Selama ini Rudi dikenal teman-teman kuliahnya sebagai seorang mahasiswa yang baik, tidak hanya dari segi akademik melainkan juga dari segi karakter. Tidak heran kalau ia memiliki banyak teman. Teman-teman di gereja juga mengenal Rudi sebagai seorang pemuda yang cinta Tuhan dan giat melayani. Rudi juga memiliki hati yang rindu untuk memberitakan Injil kepada orang lain termasuk kepada teman-teman kuliahnya yang belum mengenal Kristus. Sudah beberapa bulan belakangan ini Rudi terus mendoakan Martin teman kuliahnya yang free-thinker agar ia juga dapat mengenal Kristus. Rudi pun juga bersyukur kalau sudah beberapa kali sedikit demi sedikit Rudi dapat sharing Injil kepada Martin di tengah-tengah pembicaraan yang informal.

Tetapi kejadiaan siang tadi begitu membuat Rudi terpukul. Memang di dalam minggu-minggu terakhir ini Rudi sedang sangat sibuk baik di dalam pelayanan di gerejanya maupun di dalam mengerjakan berbagai tugas kuliahnya. Load yang banyak tersebut membuat Rudi beberapa hari belakangan ini merasa sangat letih baik secara fisik maupun mental. Dan di dalam kondisi seperti itulah waktu siang tadi ia menjadi begitu emotional ketika di dalam project meeting tersebut ia mendengar bahwa beberapa anggota tim begitu bermalas-malasan mengerjakan tugas kelompok itu, padahal deadline pengumpulan laporannya tinggal 5 hari lagi. Rudi sempat marah-marah dan mengeluarkan kalimat yang tidak bijaksana. Saat itulah Martin langsung menanggapi dengan mengatakan bahwa orang Kristen tidak lebih baik dari yang bukan Kristen.

Peristiwa itu membuat Rudi berpikir akan hidup Kekristenan. Ia merasa kalau hidup sebagai orang Kristen itu lebih susah dan berat daripada sebelum jadi orang Kristen. Ia coba membanding-bandingkan dan mengandaikan kalau dia bukan orang Kristen maka ia tidak perlu ambil pusing untuk hidup yang tak bercacat cela di hadapan orang-orang lain. Ia juga yakin Martin tidak akan mengeluarkan kata-kata itu yang menusuk hatinya kalau ia bukan orang Kristen. Timbullah satu pertanyaan di dalam pikiran Rudi tentang mengapa sepertinya hidup sebagai orang Kristen itu lebih susah daripada hidup orang yang tidak percaya Kristus. Selama ini Rudi memiliki satu konsep bahwa hidup Kristen itu pasti lebih menyenangkan, lebih lancar, serta tidak ada pergumulan karena sudah mengalami pengampunan dosa dan mendapatkan jaminan hidup kekal. Di dalam benaknya ia juga memiliki pengertian bahwa menjadi orang Kristen pasti otomatis memiliki hidup yang damai dan bahagia.

Sudah hampir satu jam Rudi terbaring di atas ranjang dan pandangannya masih menatap langit-langit kamarnya. Ia masih terpaku di dalam pergumulan tersebut. Saat itu ia benar-benar tidak ada mood untuk belajar maupun mengerjakan tugas-tugas kuliah yang menumpuk. Kerajinannya bagaikan ditelan kegalauan hatinya.

Dengan tetap tiada bersemangat, Rudi akhirnya bangun dari ranjang dan kemudian menyalakan laptop kesayangannya yang telah menemaninya selama 2 tahun kuliah. Ia lalu login ke facebook account-nya. Seperti biasa Rudi mem-browse kalimat-kalimat pendek “what’s on your mind” yang di-upload teman-teman facebook-nya. Tiba-tiba matanya tertarik dengan apa yang ditulis Nina, temannya. Kalimat yang sangat pendek tetapi begitu membuat Rudi ingin tahu lebih lanjut. Ia langsung mengajak Nina chatting.

Rudi: “Nina, kamu lagi struggling juga ya?”

Nina: “Eh, apa kabar Rud? Memangnya kenapa Rud?”

Rudi: “Aku lagi bad mood karena lagi struggling juga nih.

Nina: “Kamu lagi struggling apa?”

Rudi: “Cape jadi orang Kristen nih.”

Nina: “Koq bisa begitu?”

Rudi: “Iya, abis ngerasain jadi Kristen nggak gampang. Expectation orang lain terhadap orang Kristen tinggi banget. Padahal dulu aku kira jadi orang Kristen itu sekali diselamatkan, hidup ini otomatis semua jadi serba baik, indah dan lancar, dan udah nggak perlu bergumul lagi.”

Nina: “Terus sekarang kamu pikir jadi orang bukan Kristen lebih gampang kan?”

Rudi: “Koq kamu tahu pikiranku?”

Nina: “Rud, aku juga udah pernah ngalamin hal yang sama.”

Rudi: “Terus sekarang gimana?”

Nina: “Makanya sekarang aku bisa tulis “from struggle to struggle

Rudi: “Oh, berarti kamu sekarang masih struggle dan belom tahu solusinya ya?”

Nina: “Justru kebalikannya. Karena aku sudah tahu kuncinya, maka aku bisa tulis from struggle to stuggle.

Rudi : “Koq bisa begitu. Jadi bingung nih…

Nina:  “Susah jelasin ke kamu pakai chatting, bisa pegal nih tangan ngetik panjang-panjang. Besok kita ketemu aja di kantin A waktu makan siang. Ntar malam kamu baca dulu Mazmur 126 deh.

Rudi: “Kenapa musti baca Mazmur 126?”

Nina: “Pokoknya baca dulu deh. Dulu aku juga disuruh baca sama kakak pembimbing kelompok kecilku waktu ngalamin pergumulan itu.”

Rudi: “Ok deh, aku baca. Sampai ketemu besok.”

Nina: “Sip deh!

Setelah chatting dengan Nina, Rudi sedikit terhibur karena ia merasa tidak sendirian. Ada teman yang pernah mengalami hal yang sama serta mengerti apa yang sedang ia gumulkan. Tanpa menunda-nunda lagi, Rudi langsung mengambil Alkitabnya dan membuka Mazmur 126. Ia mulai membaca ayat demi ayat dari Mazmur yang cukup pendek itu. Ia masih tidak mengerti mengapa Nina menyuruh dia membaca Mazmur 126. Sekilas ketika membaca Mazmur 126 ia merasa Mazmur ini hanya relevan bagi bangsa Israel yang mengalami pembebasan dari pembuangan dari Babel. Karena tidak mengerti, maka Rudi kembali ke ke laptop-nya untuk menanyakan Nina lewat chatting. Ternyata Nina sudah offline. Maka ia mencoba membaca kembali Mazmur 126 itu. Semakin ia mencoba merenungkan Mazmur itu, semakin ia mulai menangkap relevansi Mazmur itu dengan kehidupannya di abad ke-21 ini.

Dengan mengikuti alur pengungkapan emosi di ayat 1-3 Mazmur 126 itu, Rudi bukan saja mendapatkan informasi mengenai pemulihan Israel, melainkan ia juga dapat turut merasakan luapan sukacita yang sangat melimpah dari si Pemazmur. Mata rohani Rudi mulai terbuka dan ia menyadari bahwa sukacita akan kelepasan di mazmur tersebut lebih dari hanya sebagai suatu pelajaran sejarah tentang peristiwa yang lampau melainkan merupakan sesuatu yang juga mewakili perjalanan kehidupan orang Kristen yang dipulihkan dari belenggu dosa. Rudi kembali merenungkan akan dirinya yang telah mengalami pembebasan dari ikatan dosa.

Rudi mengangguk-anggukan kepala tanda setuju dengan si Pemazmur yang menyatakan bahwa itu bagaikan satu mimpi yang tidak terduga (ayat 1). Rudi juga merasa tertegur karena ia sempat tidak bersyukur akan status hidupnya yang baru sebagai orang Kristen. Ia juga disadarkan untuk memiliki hati yang tidak mungkin untuk tidak bersukacita dan bersyukur kepada Tuhan atas anugerah-Nya seperti yang diungkapkan si Pemazmur dengan menggunakan kekayaan kosakata yang melukiskan sukacitanya.

Waktu sampai ke ayat 4, Rudi menjadi bingung. Waktu membaca peralihan dari ayat 3 ke ayat 4, ia merasakan satu perubahan emosi si Pemazmur dari sukacita beralih ke satu seruan permohonan kepada Tuhan. Dan yang membuat Rudi semakin bingung adalah karena apa yang diserukan di ayat 4 adalah mengenai permohonan akan pemulihan bangsa Israel. “Bukannya di ayat 1-3 si Pemazmur sudah mengungkapkan sukacita karena Tuhan sudah membebaskan bangsa Israel? Kenapa di ayat 4 sepertinya Pemazmur kembali berseru memohon hal yang sama?” ucap Rudi kepada dirinya sendiri. “Ah pusing deh. Besok aku tanya Nina aja.” Rudi kemudian menutup Alkitabnya, dan kembali berbaring. Tetapi kali ini hatinya sudah tidak segalau sebelumnya.

Keesokan harinya pada waktu makan siang di kantin A, tampak Rudi dengan sangat antusias bercakap-cakap dengan Nina.

Rudi: “Nin, ayat ke-4 bikin aku bingung nih. Sepertinya si Pemazmur itu plin-plan atau lupa sama anugerah Tuhan ya? Baru aja bersyukur di ayat 1-3, tiba-tiba di ayat ke-4 ia kembali berseru mohon pemulihan.”

Nina: “Wah, kamu salah ngerti rupanya. Si Pemazmur bukanlah orang yang cepat melupakan anugerah Tuhan dan bukan pula orang yang plin-plan. Justru ayat ke-4 ini merupakan satu ayat penting yang tidak boleh dilepaskan dari ayat-ayat sebelumnya dan menjadi kunci dari hidup Kristen yang sesungguhnya. Coba kamu bayangkan kondisi bangsa Israel di pembuangan. Setelah mendapatkan berita akan pembebasan serta boleh kembali ke tanah perjanjian, pasti mereka bersukacita seperti yang dicatat di ayat ke-1 sampai ke-3. Tetapi setelah mereka mendapatkan status yang bebas tersebut apakah itu sudah menjadi garis finish yang mereka ingin capai dan setelah itu mereka tinggal berdiam diri dan menikmatinya?”

Rudi: “Ya pasti nggak sih. Mereka tetap perlu berangkat dan berjalan kembali menuju ke tanah Kanaan.”

Nina: “Betul dugaan kamu! Walaupun mereka sudah mendapatkan status yang dibebaskan dari pembuangan, mereka tetap masih harus berjuang dalam beberapa hal misalnya: mereka perlu berjuang secara mental dan fisik menempuh perjalanan pulang yang jauh dan harus siap bertempur dengan musuh-musuh yang mau nyerang mereka, terus setelah tiba di tanah Kanaan mereka juga tetap harus berjuang untuk memulihkan kondisi yang sudah hancur. Baik memulihkan tembok Yerusalem maupun juga bait Allah. Pas membangun mereka juga harus siap melawan orang-orang yang ingin menghalangi rencana pembangunan. Belom lagi mereka juga harus memikirkan bagaimana bisa mendapatkan bahan-bahan bangunan. Selain itu mereka juga harus bisa memimpin dan memotivasi bangsa Israel untuk sehati kembali ke tanah Kanaan dan berjuang bersama. Menyadari perjuangan yang masih panjang dan tidak mudah itulah yang membuat si Pemazmur berseru kepada Tuhan memohon pertolongan-Nya. Wah, bagian ini kalau aku ceritain bisa panjang sekali. Nanti baca aja kitab Ezra dan Nehemia biar bisa semakin bisa mengerti pergumulan saat itu. Salah satu contohnya kamu bisa membayangkan gimana bangsa Israel waktu membangun tembok, satu tangan angkat batu, satu tangan siap dengan senjata.”

Rudi: “Lalu apa hubungannya dengan hidup kita sekarang?”

Nina: “Apa yang dinyatakan di sini menjadi satu prinsip yang berlaku di dalam hidup kita sebagai orang Kristen. Setelah jadi orang Kristen, tentu status kita sudah diubah dari budak dosa menjadi orang merdeka karena kita sudah dibebaskan dari belenggu dosa. Tetapi setelah itu bukan berarti kita sudah mencapai garis finish dan tinggal berdiam diri dan menikmati status hidup yang baru itu. Kita masih perlu menjalani proses pengudusan (sanctification) dan kita juga tetap masih perlu bergumul karena kita masih hidup di dunia ini yang berdosa di mana kondisi jahat (evil) seperti sakit penyakit, bencana alam dan sebagainya masih terjadi.“

Rudi: “Susah banget sih jadi orang Kristen!”

Nina: “Rud, kamu pasti berpikir kalau jadi orang Kristen itu otomatis hidupnya mulus lancar dan tidak perlu ada pergumulan lagi kan?”

Rudi: “Iya. Memangnya salah ya?”

Nina: “Berarti kamu masih punya konsep kekristenan model instant. Kristen langsung jadi dan cepat saji. Kalau kita baca Alkitab maka kita akan sadar bahwa justru kalau setelah kita menjadi orang Kristen kita nggak bergumul lagi, kita perlu hati-hati dan introspeksi diri. Jangan-jangan kita bukan orang Kristen yang sejati. Alkitab dengan jelas menguraikan bagaimana orang Kristen sebagai orang yang sudah dikuduskan oleh darah Kristus, Roh Kudus dan Firman-Nya, adalah orang-orang yang pasti akan bergumul karena hidupnya yang tidak sama lagi dengan pola hidup dunia.”

Rudi : “Ehmmm… begitu ya?”

Nina: “Ambil contoh Alkitab yang menyatakan bahwa orang Kristen berfungsi sebagai garam dan terang dunia yang berarti bahwa orang Kristen dipanggil untuk hidup berbeda dari dunia ini yang berjalan ke arah pembusukan dan kegelapan. Alkitab juga menyatakan bahwa kita diutus sebagai domba di tengah serigala, yang dengan jelas membedakan antara domba dan serigala. Oleh karena itu sebagai orang yang dikuduskan kita akan mengalami pergumulan di tengah-tengah dunia yang berdosa. Makanya aku tulis di facebook kalimat from struggle to struggle karena kalimat itu secara tepat melukiskan perubahan hidup orang Kristen. Sebelum dilahirkan kembali, maka hidup seseorang secara tidak sadar sebenarnya  mengalami struggle di dalam dosa. Di dalam kondisi mati rohani, maka orang di dalam belenggu dosa tidak sadar bahwa ia menjadi budak dari dosa. Setiap pergumulan hidupnya adalah pergumulan yang akan berputar-putar dan bahkan semakin berat serta tidak ada jalan keluar di dalam dosa. Kontras dengan itu, setelah seseorang mengalami anugerah kelahiran kembali, maka ia terlepas dari ikatan kuasa dosa yang membelenggu dia, tetapi hidup dengan status yang baru ini akan membawa dia ke satu tahap pergumulan yang baru, yaitu pergumulan di dalam proses sanctification serta kehidupan di tengah-tengah dunia yang berdosa ini. Dia tetap struggle tetapi struggle yang kedua berbeda dengan struggle yang pertama.”

Rudi: “Bedanya di mana ya?”

Nina: “Ketika seseorang masih di dalam kondisi struggle yang pertama, maka mungkin ia dapat merasa hidupnya lebih enak dan menyenangkan karena pada dasarnya ia tidak sadar bahwa ia sebenarnya mengalami pergumulan. Bagaikan seekor ikan yang mengikuti arus, maka ikan itu tidak merasakan kesulitan, tetapi ia tidak tahu arah dari arus itu yang dapat membawa ke bahaya yang besar. Sedangkan orang yang sudah mengalami kelahiran baru ia sudah terlepas dari struggle yang pertama, tetapi ia mengalami proses struggle yang kedua untuk sementara waktu sampai bertemu muka dengan muka dengan Kristus.”

Rudi: “Apakah struggle yang kedua pasti lebih ringan?”

Nina: “Nah jangan stop di ayat 4. Lanjut dengan ayat ke-5 dan ke-6, kita akan masuk ke kedalaman pengertian struggle yang kedua. Di sini kita bisa melihat keindahan kehidupan orang Kristen yang walaupun tidak terlepas dari air mata dan pergumulan tetapi ia memiliki jaminan sukacita dan kemenangan yang berasal dari Tuhan. Kalimat di ayat ke-4 yang mendahui kalimat di ayat ke-5 dan ke-6 mengajarkan kita bagaimana di tengah pergumulan, kita memiliki hak istimewa untuk berseru kepada Tuhan yang telah menebus kita serta mengangkat kita menjadi anak-anak-Nya. Jadi ketika kita sedang mengalami pergumulan di dalam kehidupan kita sebagai orang Kristen, maka Mazmur 126 ini akan kembali mengingatkan kita untuk terus bersyukur atas anugerah keselamatan yang Tuhan telah berikan kepada kita, memberikan penghiburan dan penguatan karena kita dapat berseru dan memohon kepada Bapa kita di sorga, serta menjanjikan satu jaminan sukacita dan kemenangan yang diberikan-Nya kepada kita.”

Rudi: “Wow kalo gitu indah sekali hidup orang Kristen donk, walaupun harus jalanin pergumulan di dunia ini! Nina, thanks banget untuk sharing dan penjelasannya ya. Koq kamu bisa tahu semuanya itu sih?”

Nina : “Soalnya waktu aku lagi gumulin hal itu, aku pernah sharing ke Ci Yenty, dia itu kakak pembimbing kelompok kecilku. Dia yang ajak aku untuk bible study dari Mazmur 126 sehingga aku dikuatkan oleh firman Tuhan itu.”

Rudi: “Asyik juga ya kamu ada kelompok kecil. Aku jadi pengen ikutan kelompok kecil juga. Gimana caranya ya?”

Nina: “Aku dengar dari Ci Yenty bahwa ada kakak pembimbing yang lain yang baru mau start kelompok kecil untuk mahasiswa juga. Kalau nggak salah namanya Ko Heru. Kalau kamu mau, nanti aku tanyakan ke Ci Yenty untuk tanyain ke Ko Heru.”

Rudi: “Tolong tanyain ya, aku tertarik untuk ikutan kelompok kecil nih.”

Nina: “Ok deh. Eh udah jam 1 kurang lima nih, aku harus buruan cabut ke ruang kuliah biar nggak telat.”

Rudi: “Iya, aku juga ada kuliah. Sekali lagi thanks banget ya Nina.”

Nina: “Rud, jangan lupa ‘from struggle to struggle’ ya!”

Rudi: “Sip deh!”

Dengan wajah yang ceria Rudi bergegas menuju ke ruang kuliah. Di dalam hatinya ia bersyukur kepada Tuhan atas firman Tuhan yang telah menyegarkan dan menguatkan hatinya. Ia juga bersyukur memiliki teman yang Tuhan pakai menjadi saluran berkat baginya. Soli Deo Gloria.

Daniel Gandanegara

Diaken GRII Singapura