Sebuah karikatur karya Kevin “Kal” Kallaugher yang diterbitkan oleh majalah The Economist pada 17 Maret 2016 menarik perhatian saya. Kartunis yang sering mencetuskan ide-ide satir politiknya ini menggambarkan kondisi ideologis Kuba pasca kepergian Fidel Castro. Sedari masa Perang Dingin, setelah pada Perang Dunia II muncul dua kekuatan super power yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet, Kuba dikenal sebagai perpanjangan pengaruh ideologi, politik, dan militer dari Uni Soviet dalam menekan Amerika Serikat. Dan tokoh utama yang menjadi pembawa panji ideologi komunis tersebut, sebagai corak dari kekuatan kelompok “kiri”, tidak lain dan tidak bukan adalah Fidel Castro sendiri.
Castro telah menjadi ikon yang paling flamboyan kalau kita berbicara soal Kuba. Seolah-olah bisa kita katakan Castro dan Kuba bagaikan larutan air garam, yang di mana keduanya sudah tak dapat dipisahkan. Ia telah memimpin Kuba melewati enam masa kepemimpinan Amerika Serikat yang berbeda-beda sejak 1976; negara yang selalu menjadi tekanan terbesar bagi eksistensi Kuba di bawah Castro. Setelah pada tahun 2008 ia pensiun, Castro masih hidup untuk menyaksikan bagaimana negara dan ideologi yang dibangunnya seumur hidup perlahan-lahan runtuh, sampai ia menutup mata untuk selamanya pada tahun 2016.
Pada titik inilah sebuah pesan ironi tergambar dengan gamblang pada karikatur Kal tersebut. Gambar yang sangat singkat namun kuat, dibuat sederhana dalam sebuah panel dan hanya terdiri dari enam bagian ilustrasi. Ilustrasi dibuka dengan karikatur Castro muda yang berdiri dengan gagah, lengkap dengan baju safari khas militer yang biasa ia kenakan. Sambil membawa sebuah bendera bertuliskan “Communism”, Castro sudah seperti seorang juruselamat.
Namun, ilustrasi selanjutnya yang menjadikan kisah dari fakta sejarah ini menjadi sebuah ironi. Ilustrasi kedua hingga kelima menggambarkan bagaimana Castro menua dan sekarat bersamaan dengan ideologi yang ia bawa. Pada puncaknya, faset keenam sebagai ilustrasi penutup dari karikatur tersebut menggambarkan bagaimana Obama, yang masih menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat pada saat itu, datang dengan senyuman khasnya yang karismatik sambil membawa bendera ideologi baru di tanah Kuba.
Jikalau pada awalnya Castro datang bak juruselamat dengan kalimat pembuka “Greetings Cuba!”, maka kedatangan Obama dengan ideologi barunya dibuka dengan pesan yang sama. Yang kemudian dilanjutkan dengan kalimat yang mewakili seluruh pesan utama dari karikatur tersebut, yang saya bahasakan ulang menjadi, “… I come bearing an ‘ideology’ that I promise will stand the test of time.” Generasi muda Kuba akhirnya digambarkan memulai kisah yang baru dari perjalanan bangsanya; bersama seorang juruselamat anyar.
Castro mewakili generasinya, yang pada akhirnya setelah berjuang 40 tahun di masa hidupnya, dia harus digeser pula oleh waktu. Ia menjadi sebuah gambaran bagaimana zaman dengan segera menggeser apa yang telah ia perjuangkan seumur hidup, dan pergeseran tersebut dilakukan dengan tanpa ampun. Seolah-olah waktu mau menyatakan bahwa dirinya sabar menunggu, namun yang sekaligus kejam; karena di dalam ujiannya, orang yang tadinya berdiri dengan gagah pada akhirnya akan tertunduk lemah dan tak berdaya.
Gambaran inilah yang akan menjadi titik berangkat perenungan kita dalam artikel ini sebagai seorang pemuda; baik pemuda Kristen secara umum, maupun sebagai pemuda di dalam Gerakan Reformed Injili secara khusus. Will we be a generation that stands the test of time?!!!
Generasi Muda Kristen: Pemuda dan Pandangan terhadap Kekristenan
Sekitar tahun 2007/2008, sebagai aktivis pelayanan mahasiswa kala itu, saya mendapatkan kesempatan untuk berdiskusi tentang kondisi pelayanan mahasiswa bersama pembina kami. Beliau, seorang ibu, yang secara khusus memang mendedikasikan hidupnya untuk pelayanan mahasiswa di tempat kami. Dari perbincangan tersebut, kami sama-sama sampai kepada sebuah kesimpulan, bahwa pelayanan mahasiswa tidak mungkin bisa hidup jikalau tidak ada orang yang mau stay setelah mereka lulus, untuk mendampingi anak-anak baru.
Sebenarnya itu bukan sebuah kesimpulan yang luar biasa. Itu adalah sebuah fakta yang sederhana, sebuah kebenaran yang bahkan bersifat umum. Nasib sebuah perusahaan, sebuah NPO, bahkan sebuah negara pun demikian. Jikalau seluruh pekerjanya, termasuk pemiliknya, hanya akan selalu datang dan pergi, perusahaan tersebut tidak akan berumur panjang. Untuk menumbuhkan sesuatu memang dibutuhkan dedikasi yang panjang, dan bahkan seumur hidup. Tak jarang, sejarah menyatakan bahwa dedikasi seumur hidup itu pun belum tentu cukup; perlu ada generasi penerus yang melanjutkan.
Permasalahannya adalah, sering kali kita sebagai pemuda tidak dapat melihat kebenaran yang sederhana tersebut. Salah satu problem yang dihadapi oleh pelayanan mahasiswa/pemuda adalah cepatnya pergantian generasi akibat peralihan masa. Sudah didik susah-susah selama beberapa tahun, satu generasi akhirnya harus pergi. Lalu generasi baru datang, dan semua proses pendidikan serta pelayanan harus dimulai dari nol kembali.
Di sisi lain, tetap dapat mempertahankan jumlah bukan berarti masalah sudah selesai. Kekristenan yang macam apa yang diajarkan kepada generasi muda tersebut? “Kekristenan macam apa yang kelak akan mereka teruskan?” menjadi sebuah pertanyaan dan tanggung jawab yang teramat besar; dan bahkan mengerikan. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengatakan, dengan pengajaran yang salah, makin banyak massa justru makin merusak dan mematikan kekristenan.
Betul bahwa kita tidak bisa melarang orang-orang yang sudah harus pergi. Misalnya proses perkuliahannya sudah selesai sehingga mereka harus kembali ke kota asal. Atau biasanya, bagi orang-orang tertentu, kepergian adalah sebuah kewajiban (seperti anak-anak kedokteran yang harus coas contohnya). Akar permasalahannya memang bukan pada lalu lintas orang-orangnya, melainkan pada pandangan pemuda Kristen secara umum terhadap kekristenan itu sendiri. Tak jarang “kekristenan” bagaikan stiker label yang mudah dicopot-pasang.
Sangat sulit bagi generasi kita untuk dapat menangkap makna kekristenan jikalau, di dalam benak kita, tidak terdapat gambaran akan peperangan rohani (spiritual warfare) sebagai sebuah konteks besar yang mendasar. Bahwa peperangan ini adalah situasi yang sedang kita hadapi secara nyata. Bahwa peperangan ini memang suatu kondisi yang sudah dinyatakan Tuhan sedari awal dunia dijadikan. Dan bahwa peperangan ini akan terus berlangsung hingga Kristus datang untuk kedua kalinya.
Hanya kesadaran akan konteks yang benar yang sanggup menciptakan kewaspadaan di dalam hidup seorang pemuda. Konteks ini pula yang dapat membuat pemuda melihat kekristenan secara berbeda. Tetapi tentu saja peperangan ini, seperti yang Rasul Paulus sampaikan, bukan dalam bentuk melawan “darah dan daging”. Substansinya bukan pada peperangan secara fisik. Dan bukan pula menjadi sebuah konteks yang berbenturan dengan konteks-konteks kehidupan kristiani yang lain. Konteks peperangan ini justru menaungi dan di-support oleh konteks-konteks yang lain. Misalnya keluarga, pekerjaan, studi, dan masih banyak lagi, seharusnya menjadi sebuah supporting sphere di dalam kita menjalankan konteks peperangan rohani secara kolektif.
Penghujung Bagian Pertama: Hantu Sekularisme dan Perjuangan Kolektif
Upaya/pola pikir yang berusaha memisahkan seluruh (maupun sebagian) dari aspek-aspek kehidupan ini terhadap pertimbangan-pertimbangan dan keputusan yang bernilai rohani (di dalam rangka peperangan rohani) inilah yang kelak menjadi cikal bakal dari matinya kehidupan kristiani secara kolektif. Pemisahan inilah yang kita kenal dengan istilah sekularisme. Bahwa menjadi rohani itu tempatnya terbatas, dan di luar batasan-batasan tersebut sudah merupakan dunia dengan mekanisme kerjanya yang berbeda. Berpola pikir rohani, di dalam konteks peperangan rohani, dan sebagai sebuah realitas hidup yang utuh, memang menjadi sebuah tuntutan bagi setiap generasi muda Kristen jikalau mereka mau bertahan dalam menghadapi “genosida” zaman.
Namun, berhasil membunuh hantu yang bernama sekularisme itu saja tidak cukup. Ada pertanyaan lanjutan yang harus kita jawab sebagai pemuda. “Kalau begitu apa yang harus dicapai oleh saya sebagai individu di dalam konteks peperangan rohani ini?” Dari Alkitab kita belajar bahwa tolok ukur yang benar perihal pencapaian (atau biasanya dibahasakan sebagai “panggilan”) dari seorang individu hanya dapat ditemukan di dalam panggilan umat Tuhan secara kolektif. Ibaratkan sebuah Bait Allah yang, dari rancangan besar hingga detail terkecilnya, telah ditetapkan oleh Allah untuk dikerjakan umat-Nya, maka pencapaian yang benar bagi tiap individu adalah ketika hidup kita disesuaikan dengan panggilan kolektif tersebut, yaitu membangun Bait Allah.
Pada tiap zaman, Tuhan memang memunculkan task khusus yang secarakolektif harus diselesaikan oleh umat-Nya. Pada zaman Nuh, Tuhan memanggil umat-Nya untuk membangun bahtera. Pada zaman Musa, Tuhan memanggil umat-Nya untuk keluar dari tanah Mesir, bukan untuk membuat bahtera. Pada zaman Nabi Hagai, Tuhan memanggil umat-Nya untuk mendirikan kembali Bait Allah yang telah runtuh sebelumnya akibat zaman pembuangan, dan seterusnya. Perjalanan dari zaman ke zaman ini masih terus berlangsung hingga kini, tahun 2017, dan tentu juga hingga tahun-tahun yang akan datang. Zaman-zaman spesifik ini yang akan membentuk narasi besar kekristenan. Pertanyaan selanjutnya pada zaman kita adalah, umat Tuhan sedang dipanggil untuk mengerjakan apa secara kolektif? Bagaimana kita bisa mengetahuinya? Apa ciri-cirinya? Dan di mana bagian kita sebagai generasi muda pada zaman ini?
Generasi Muda Kristen: Pemuda dan Pandangan terhadap Gereja
Pandangan pemuda terhadap kekristenan tidak bisa tidak menentukan bagaimana mereka kelak akan memandang gereja. Pada satu sisi, bila kita berangkat dari permasalahan sekularisme terlebih dahulu, maka kita akan menemukan sebuah fakta bahwa institusi gereja berdiri dengan orientasi sebagai penyedia komoditas. Sebenarnya kondisi seperti ini, di mana sebuah institusi religius didirikan hanya untuk mencari keuntungan pribadi maupun kelompok, bukanlah sebuah fenomena yang baru. Sudah banyak kita melihat bagaimana institusi gereja diperalat sebagai alat politik maupun ekonomi.
Jikalau gereja didirikan sebagai penyedia komoditas untuk menarik sebanyak-banyaknya orang, maka jemaat akan terdidik untuk melihat gereja berdasarkan kenyamanan yang bisa mereka dapatkan. Komitmen generasi muda terhadap gereja hanya akan berdiri sejauh kemenarikan yang ditawarkan gereja. Kalau sudah demikian, bagaimana tidak akhirnya institusi gereja hanya akan terus berusaha menawarkan entertainment dalam setiap kegiatannya? Celakanya, ketika gereja sudah tidak menarik lagi, generasi muda tinggal pergi dan mencari tempat yang lebih menarik. Kalau sudah seperti ini, kekristenan secara umum akan mati secara terstruktur, sistematis, dan masif. Bergereja sudah bukan lagi bicara soal bagaimana saya beribadah kepada Tuhan Sang Pencipta segala sesuatu, bukan lagi soal bagaimana umat Allah dikumpulkan sebagai “Tubuh Kristus” untuk berjuang menggenapkan kehendak Allah.
Di sisi lain, gereja di dalam pengembangan pelayanan pemudanya sering kali hanya berhenti sebagai tempat berkumpul dan berelasi/community-based. Tidak salah bila gereja adalah sebuah komunitas kumpulan orang percaya yang saling mengasihi di dalam relasi ramah-tamah, dan sebagainya. Tetapi berhenti hanya sampai di sana adalah sebuah jebakan era postmodern. Hal ini terjadi sebagai sebuah respons terhadap zaman modern yang nyaris membuang perhatian terhadap manusia yang adalah pribadi. Sebagai akibatnya, titik berat perhatian terhadap individu (I, me, and myself) menjadi sebuah arus gerakan dari semangat zaman postmodern.
Padahal bicara keberadaan gereja, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan, kehadirannya tidak pernah bisa lepas dari rencana Tuhan sedari kekekalan. Gereja, yang baginya Allah Bapa sampai rela menyerahkan Putra-Nya yang satu-satunya, yang paling Ia kasihi dan yang kepada-Nya Ia berkenan, mempunyai tanggung jawab yang besar dan mulia; dan itu harus ia genapkan. Dengan melihat betapa penting, suci, dan sakralnya posisi gereja di mata Tuhan ketika Ia menghadirkannya di dalam dunia, kita menyadari bahwa kehadiran gereja tidak bisa hanya sekadar sebagai tempat kumpul-kumpul, atau bahkan, penyedia komoditas belaka.
Jadi, bagaimana seharusnya generasi muda Kristen memandang gereja, dan mengembangkan bentuk pelayanannya?
Generasi Muda Kristen: Pemuda dan Pandangan terhadap Gerakan Reformed Injili
Sebagai pemuda yang berada di dalam Gerakan Reformed Injili, sebenarnya kita dipanggil untuk menjawab tantangan-tantangan yang ada; melalui anugerah beserta tanggung jawab yang diberikan oleh-Nya. Betul apa yang disampaikan oleh Uncle Ben dalam seri Spiderman. With great power comes great responsibility.
Berangkat dari pernyataan Pdt. Dr. Stephen Tong (selanjutnya disebut “Pak Tong”) bahwa “Reformed is a global invitation for the whole church to return to the whole Bible with a whole heart”, maka Gerakan Reformed Injili bukanlah berbicara soal sebuah denominasi. Dari dahulu sejarah umat Tuhan selalu berbicara bagaimana Tuhan memanggil umat-Nya untuk kembali, dan bagaimana Ia membangkitkan semangat dalam hati umat-Nya untuk kembali mengerjakan pekerjaan Tuhan. Reformed merupakan satu istilah yang muncul pada masa Reformasi, dan menjadi istilah yang populer untuk menggambarkan sebuah semangat yang sama untuk kembali kepada kebenaran Tuhan.
Dengan melihat konteks bahwa sering kali kelompok yang mengatasnamakan diri Reformed dingin di dalam penginjilan, Pak Tong melihat sebuah keharusan untuk menambahkan kata “Injili” sebagai wajah, identitas, dan corak yang mewakili semangat mula-mula dari gerakan ini. Melalui nama ini, ada sebuah cita-cita bahwa pemuda Kristen akan berani dan rela memberikan dirinya bagi Tuhan dengan membentuk dasar iman Kristen yang solid di dalam kerangka dan semangat Reformed, serta terjun di dalam penginjilan yang seutuhnya (Mandat Injil dan Budaya).
Maka ketika pemuda memandang kekristenan, kekristenan bukan lagi sebagai sebuah status turunan—karena orang tua saya Kristen, maka saya Kristen. Kekristenan juga bukan lagi sekadar sebagai sebuah agama, melainkan suatu panggilan untuk mendedikasikan hidup yang penuh dan utuh kepada Tuhan. Betul bahwa tuntutan ini berat, namun kita juga tidak bisa tidak mengakui bahwa tuntutan ini mulia. Bagaimana kita dituntut membangun karir, keluarga, cita-cita, dan masa depan kita di dalam rangka membangun “Kerajaan Tuhan”.
Ketika memandang gereja, kita tidak lagi melihatnya sebagai sebuah tempat di mana kita bisa mencari keuntungan atau kenyamanan pribadi. Melalui Gerakan Reformed Injili, pemuda diharapkan belajar untuk dapat melihat bahwa gereja adalah kumpulan orang percaya yang dikumpulkan berdasarkan rencana Tuhan, didirikan oleh Tuhan, dan hanya bagi kehendak Tuhan saja segala keberadaannya. Maka, pengembangan dari bentuk pelayanan pemuda/mahasiswa tidak bisa lepas dari segala persiapan yang diperlukan supaya pemuda Kristen dapat memiliki “tulang punggung” iman yang pantas.
Jikalau sedari dahulu Tuhan memunculkan pola panggilan terhadap umat-Nya dengan memunculkan pemimpin (baik berupa raja, imam, maupun nabi) beserta gerakan kolektif seluruh umat Tuhan, mungkinkah kali ini Tuhan juga memunculkan ciri-ciri tersebut di dalam Gerakan Reformed Injili? Jikalau kita percaya akan anugerah Tuhan, yang sekali lagi, Ia curahkan di tengah-tengah dunia ini, maukah kita berbagian dan menyambutnya di dalam iman dan kesetiaan?
Kiranya Tuhan sekali lagi berbelaskasihan kepada generasi kita, generasi muda Kristen, generasi muda Reformed Injili. Kiranya rahmat-Nya sekali lagi berkenan Ia berikan untuk menopang kaki kita. Menopangnya agar kaki ini dapat tetap berdiri. Berdiri di dalam ujian dari sang waktu; demi nama-Nya dan bukan kita. Tuhan tolong kami! Amin.
Nikki Tirta
Pemuda FIRES