Gereja dalam Surat Paulus kepada Jemaat Roma

Apakah itu yang disebut gereja? Apakah gedungnya? Atau kumpulan banyak orang yang percaya kepada Allah? Ataukah dua atau tiga orang yang berkumpul di mana Yesus hadir di tengah-tengah mereka? Sebagian besar dari kita mungkin sudah cukup puas dengan kedua pengertian gereja yang disebutkan di atas. Namun, pandemi COVID-19, yang memaksa kita untuk beribadah di rumah kita masing-masing, membuat kita dapat lebih menghayati perkataan Yesus dalam Matius 18:20. Pandemi ini memang telah membuat kita semua harus memikirkan ulang hal-hal yang selama ini sudah kita anggap biasa. Banyak hal yang menurut kita merupakan suatu kebutuhan dan keharusan terpaksa kita kurangi, singkirkan, atau hindari akibat wabah yang melanda seluruh dunia. Seluruh dunia seperti sedang dimurnikan dari hal-hal yang berlebihan atau bahkan sebenarnya tidak dibutuhkan sama sekali. Di sisi lain, ada hal-hal yang dahulu kita anggap boleh ada boleh tidak, tetapi setelah hal tersebut diambil dari kita, baru kita menyadari betapa pentingnya dan betapa kita membutuhkan hal-hal itu. Demikian juga gereja saat ini harus memikirkan kembali hal-hal yang harus ada di dalam ibadah, hal-hal apa yang bisa dihilangkan, dan hal-hal yang bisa digantikan dengan cara yang berbeda.

Perubahan yang besar dan signifikan sering kali mengharuskan kita untuk beradaptasi atau, dengan kata lain, mengharuskan kita untuk berespons dengan tepat. Perubahan besar adalah kondisi yang juga dialami oleh gereja di Roma yang akhirnya menimbulkan masalah di tengah-tengah jemaat. Perubahan besar tersebut bermula dari dikeluarkannya dekret Kaisar Klaudius pada tahun 49 yang mengharuskan semua orang Yahudi untuk pergi keluar dari kota Roma. Peristiwa ini juga dicatat dalam Kisah Para Rasul 18:2, “Di Korintus ia [Paulus] berjumpa dengan seorang Yahudi bernama Akwila, yang berasal dari Pontus. Ia baru datang dari Italia dengan Priskila, istrinya, karena Kaisar Klaudius telah memerintahkan, supaya semua orang Yahudi meninggalkan Roma. Paulus singgah ke rumah mereka.” Dekret tersebut berakhir ketika Kaisar Klaudius mangkat pada tahun 54. Dengan berakhirnya larangan tersebut, maka banyak orang Yahudi kembali ke kota Roma, termasuk orang Yahudi-Kristen (orang Israel yang percaya kepada berita Injil). Ketika Paulus menulis surat kepada jemaat Roma, diperkirakan ini terjadi empat tahun setelah kembalinya orang-orang Yahudi ke Roma. Walaupun tidak jelas pada tahun berapa, namun fakta bahwa jemaat Roma sudah diisi kembali oleh orang Yahudi-Kristen dapat dilihat pada bagian penutup Surat Roma. Di dalam Roma 16:3, terlihat bahwa Priskila dan Akwila sudah kembali ke kota Roma. 

Kepergian orang Yahudi dari kota Roma mengubah kondisi gereja Roma. Jemaat yang dahulu didominasi oleh orang-orang Yahudi-Kristen, sekarang justru didominasi oleh orang non-Yahudi atau sebut saja orang Yunani. Ditinggalkan selama kurang lebih lima tahun oleh orang Yahudi, besar kemungkinan ada kebiasaan-kebiasaan yang identik dengan orang Yahudi yang mulai ditinggalkan oleh jemaat Roma. Persekutuan gereja Roma sebelumnya mungkin hanya akan makan makanan yang halal menurut Kitab Taurat. Namun, karena sudah tidak ada orang Yahudi lagi, jemaat Roma orang Yunani sekarang bisa dengan bebas makan makanan yang mereka inginkan, makanan yang memang sudah biasa mereka makan ketika berada di rumah masing-masing. Ketika orang-orang Yahudi kembali lagi ke kota Roma, mereka menemukan kondisi gereja yang sudah berbeda. Gereja yang dahulu mereka tinggalkan sekarang memiliki kebiasaan yang bertentangan dengan Taurat yang selama ini mereka pegang. Bukan itu saja, komposisi jemaat yang dahulu didominasi oleh mereka, sekarang justru didominasi oleh orang Yunani. Suara mereka mungkin tidak lagi cukup kuat untuk mengubah kebiasaan yang baru ini. Hal ini membuat adanya masalah atau perselisihan di antara orang Kristen Yunani dan Yahudi di gereja Roma. Mungkin ada orang Kristen Yahudi yang merasa lebih baik karena menjalankan Taurat dan akhirnya menghakimi mereka yang tidak menjalankannya. Hal ini terindikasi dari teguran Paulus dalam Roma 2:1. Masalah inilah yang ingin diselesaikan oleh Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma. Dengan melihat bagaimana Paulus menyusun argumen theologisnya, kita dapat belajar tentang gereja yang sejati menurut Paulus.

Pertama-tama, Paulus menunjukkan bahwa Allah sedang murka kepada manusia yang fasik dan zalim. Manusia tidak mengakui Allah sekalipun kemuliaan Allah nyata bagi manusia dalam karya ciptaan-Nya. Penolakan manusia dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Seluruh aspek hidup manusia telah rusak, karena di dalam seluruh aspek manusia telah menolak Allah. Ketika membaca bagian ini, orang-orang Kristen Yahudi di Roma mungkin akan merasa bahwa pernyataan Paulus ini hanya berlaku bagi orang-orang kafir yang tidak mengenal Allah. Sedangkan mereka yang Yahudi, yang telah menerima Taurat, tentu lebih baik. Mengantisipasi pikiran tersebut, Paulus menuliskan bahwa orang Yahudi pun tidak luput dari dosa-dosa. Mereka telah memiliki bahkan mengajarkan Taurat, tetapi mereka sendiri melanggarnya (2:17-23). Seperti ada tertulis, “Sebab oleh karena kamulah nama Allah dihujat di antara bangsa-bangsa lain” (2:24). Maka tidak ada yang lebih baik dari yang lain. Kita semua adalah manusia yang sama-sama telah jatuh ke dalam dosa.

Gereja bukan hanya kumpulan orang yang berdosa, tetapi juga yang sudah dibenarkan oleh iman. Sekalipun jemaat Roma yang Yahudi masih menjalankan Taurat, ini tidak membuat mereka menjadi lebih benar dibandingkan dengan orang-orang Kristen Yunani yang tidak menjalankannya. Sebab tidak seorang pun dapat dibenarkan di hadapan Allah oleh karena melakukan Taurat (3:20). Tetapi orang dapat dibenarkan karena iman dalam Yesus Kristus. Sebab Allah telah menentukan Yesus Kristus sebagai jalan pendamaian melalui pengorbanan-Nya di atas kayu salib. Hal ini sesuai dengan apa yang diajarkan dalam Taurat, bahwa orang dapat dibenarkan melalui adanya korban pengganti atau substitusi, karena Allah adalah Allah yang adil, yang tidak akan membiarkan dosa begitu saja. Pelanggaran tidak dapat ditebus dengan ketaatan, karena hukuman tetap harus diberikan agar keadilan ditegakkan. Oleh karena itu, Allah menjadikan Yesus Kristus sebagai korban penebusan, dengan maksud untuk menunjukkan keadilan-Nya dan supaya nyata bahwa Ia benar, dan juga membenarkan orang yang percaya kepada Yesus (3:26). Tuhan Yesus telah menjadi korban yang menanggung segala pelanggaran yang telah kita perbuat. Ini adalah kasih karunia, bukan upah atas perbuatan kita (4:4). Sebab jika berdasarkan perbuatan, kita semua seharusnya mendapatkan murka Allah. Tetapi oleh kasih karunia, kita telah dibenarkan dengan cuma-cuma. 

Jika kita dibenarkan hanya oleh kasih karunia melalui iman, bolehkah kita terus berbuat dosa? Toh bukan atas dasar usaha diri kita diselamatkan. Apakah Surat Roma mendukung doktrin hyper grace? Tentu saja tidak. Yesus Kristus mati demi menebus kita dari dosa, bagaimana mungkin kita masih tinggal di dalam dosa? Tidak mungkin barang yang sudah dibeli ditinggalkan di tempat penjual, pasti akan dibawa oleh pembelinya. Paulus menjelaskan bahwa ketika kita beriman kepada penebusan Tuhan Yesus, maka manusia lama kita juga turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya (6:6). Lalu kita juga memperoleh hidup yang baru dalam Kristus, sebab Kristus juga bangkit dari kematian, hidup baru yang harus dihidupi bagi Allah yang telah memberikannya. Paulus mengumpamakan hal ini seperti seorang hamba. Hamba dosa akan dipaksa bekerja di ladang kecemaran dan kedurhakaan. Akibatnya, hamba ini akan memetik buah rasa malu dan akhirnya kematian (6:21). Namun, ketika hamba ini dimerdekakan dari dosa dan menjadi hamba kebenaran, ia akan bekerja di ladang Allah dan memperoleh pengudusan, serta akhirnya hidup yang kekal (6:22). Oleh karena itu, gereja yang sejati adalah gereja yang senantiasa mengalami pengudusan. 

Pengudusan? Tunggu dahulu. Bukankah bangsa Israel, bangsa pilihan itu, yang telah diberikan Taurat, tetap gagal menjalankan perintah Allah? Mereka gagal menguduskan diri menjadi umat Allah. Berkali-kali mereka jatuh ke dalam penyembahan berhala hingga akhirnya mereka dibuang dari Tanah Perjanjian. Sekalipun mereka dipulihkan dan berhasil membangun kembali Bait Allah, apakah keadaan baik tersebut berlangsung lama? Lihat saja akhirnya. Bahkan Mesias yang dijanjikan pun disalibkan oleh mereka. Bukankah kegagalan-kegagalan ini yang menjadi argumen Paulus bahwa semua orang telah jatuh ke dalam dosa? Jadi bagaimana gereja dapat menguduskan dirinya bagi Allah? Apa jaminannya kalau kali ini gereja tidak akan gagal seperti Israel telah gagal? Jaminannya adalah Roh Kudus. Roh Kudus memerdekakan kita yang ada di dalam Kristus dari hukum dosa dan maut (8:2). Roh mengubah hasrat kedagingan yang terikat pada dosa menjadi keinginan Roh yang adalah hidup dan damai sejahtera. Kita diberikan hidup yang baru oleh Roh Kudus, hidup yang dimampukan untuk menjalankan kehendak Allah dalam hidup kita. Dengan demikian, gereja yang kudus adalah suatu keniscayaan, sebab Roh Kuduslah yang mengerjakannya. 

Paulus sebagai seorang yang banyak merintis gereja mula-mula adalah salah satu saksi hidup mengenai apa yang diajarkannya dalam Surat Roma. Dia juga adalah seorang berdosa yang menerima kasih karunia Allah, dan menyerahkan seluruh hidupnya bagi Tuhan. Mari kita baca kesaksian yang diberikan oleh Paulus sendiri. “Aku yang tadinya seorang penghujat dan seorang penganiaya dan seorang ganas, tetapi aku telah dikasihani-Nya, karena semuanya itu telah kulakukan tanpa pengetahuan yaitu di luar iman. Malah kasih karunia Tuhan kita itu telah dikaruniakan dengan limpahnya kepadaku dengan iman dan kasih dalam Kristus Yesus. Perkataan ini benar dan patut diterima sepenuhnya: ‘Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa,’ dan di antara mereka akulah yang paling berdosa. Tetapi justru karena itu aku dikasihani, agar dalam diriku ini, sebagai orang yang paling berdosa, Yesus Kristus menunjukkan seluruh kesabaran-Nya. Dengan demikian aku menjadi contoh bagi mereka yang kemudian percaya kepada-Nya dan mendapat hidup yang kekal” (1Tim. 1:13-16). Kiranya kita juga, sebagai gereja yang telah ditebus dan dikuduskan, boleh belajar mengikuti teladan Paulus, sadar akan keberdosaan kita, mengamini anugerah keselamatan yang semata-mata berasal dari belas kasihan Tuhan, dan dengan penuh ucapan syukur mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah. Amin.

Deddy Welsan

Pemuda GRII Bandung