Saat membaca pasal-pasal di awal Kitab Kejadian, kita membaca tentang Tuhan menciptakan dunia ini beserta dengan segala isinya termasuk menciptakan manusia. Ada satu bagian penting yang juga Tuhan nyatakan dalam Kitab Kejadian tersebut, yaitu saat Tuhan berfirman, “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (Kej. 2:18) Tuhan menciptakan seorang perempuan bagi Adam, penolong yang sepadan baginya. Saat itulah Tuhan membentuk pernikahan bagi manusia, atas inisiatif Tuhan sendiri pernikahan ini terbentuk dan ini jauh sebelum manusia jatuh dalam dosa. Setelah Allah memberkati Adam dan Hawa, Tuhan kembali berfirman untuk beranak cucu dan menugaskan manusia untuk mengelola seluruh ciptaan Tuhan. Melalui bagian awal dari Kitab Kejadian ini, Tuhan sudah menyatakan tujuan dan kehendak-Nya saat membentuk institusi yang kita sebut pernikahan. Mulai dari saat itu, manusia yang diberikan anugerah untuk menikah seharusnya mengerti tujuan dan kehendak Tuhan dalam suatu pernikahan dan pada akhirnya kita akan membentuk suatu keluarga yang memuliakan Tuhan.
Bagaimana dengan zaman kita sekarang? Banyak pemuda di sekeliling kita (bahkan bisa jadi diri kita sendiri) mempunyai konsep yang salah dalam membina suatu keluarga. Secara sadar ataupun tidak, kita mempunyai konsep yang keliru bahkan jauh dari apa yang Tuhan maksud dalam kita membentuk keluarga. Kita hanya berpikir mungkin sudah saatnya saya mencari pasangan hidup karena usia yang sudah matang menurut ukuran masyarakat di mana kita tinggal, atau bisa jadi karena kita kesepian ataupun ada kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi. Jika sudah seperti itu, mulailah kita mencari-cari “target” di sekitar kita, yah, mungkin dengan sisipan-sisipan doa kepada Tuhan meminta agar kita menemukan orang yang paling tepat untuk kita. Saat kita merasa sudah menemukannya, kita memulai masa pacaran, kemudian menikah. Sudah merupakan kewajaran dalam pemikiran masyarakat kita bahwa setelah menikah tentunya kita mempunyai anak, menjadi orang tua, mendidik anak-anak dengan baik, bekerja dengan baik, menjadi suami istri yang baik dengan menjalankan perannya masing-masing sehingga semuanya harmonis dengan banyak sisipan tiap minggu menjadi orang Kristen yang baik, datang ke gereja mendengarkan firman Tuhan, menjalankan kegiatan pelayanan beberapa kali. Menjadi tua dengan baik dan akhirnya meninggalkan dunia ini dengan baik pula. Inilah hidup kita jikalau kita mau merangkumnya dalam satu kalimat. Banyak orang yang menjalankan hal ini dan mereka sudah mampu menyimpulkan bahwa mereka sudah menjalankan hidup sebagai orang Kristen yang baik dan benar.
Apakah ini yang jadi kehendak Tuhan dalam suatu pernikahan Kristen? Jawabannya sudah pasti, Tidak!
Begitu absurdnya hidup dan pemikiran kita! Begitu mudahnya kita tertipu dengan pola yang sudah ditawarkan dunia sehingga kewaspadaan kita sudah hilang dan kita hanya tinggal mengikuti pola hidup yang sudah ada dan mengikuti arus tanpa memikirkan lebih lanjut lagi apa maknanya hidup kita dan apa maknanya suatu pernikahan yang sudah Tuhan anugerahkan kepada kita. Inilah pola yang begitu tertanam dalam hidup kita dan masyarakat. Jadi, pada saat hidup kita tidak lagi sesuai dengan pola yang ada, kita menjadi bertanya-tanya apakah ini menjadi kesalahan dalam hidup dan bahkan dalam doa pun kita menjadi “penuntut” agar Tuhan mengabulkan semua keinginan kita. Seharusnya, firman Tuhanlah yang menjadi dasar dari suatu pernikahan Kristen bukan pola pemikiran dunia yang terlihat begitu harmonis, semuanya berjalan lancar, seakan-akan kita sudah menjalani hidup benar dengan mengikuti setiap konsep yang sudah terpolakan ini.
Alkitab dengan gamblang memberikan dasar tentang pernikahan. Pernikahan itu dirancang oleh Tuhan bahkan sebelum manusia berdosa. Sebuah pernikahan adalah sebuah perjanjian yang diikrarkan di hadapan Sang Perancang pernikahan itu sendiri. Perjanjian yang diikrarkan oleh sepasang manusia inilah yang menjadi dasar pembentukan suatu keluarga. Semuanya diawali oleh suami dan istri di hadapan Tuhan “mereka menjadi satu daging”, itulah yang ditulis di dalam Alkitab. Relasi ini tidak mungkin ada dengan sendirinya, relasi ini harus terus dipupuk dan dipelihara, sehingga mampu memancarkan kasih yang murni dan tulus. Suami dan istri seharusnya mempunyai relasi yang didasarkan pada hubungan Kristus dengan jemaat-Nya. Seperti yang sudah disinggung sedikit pada bagian atas, Tuhan mempunyai tujuan dan kehendak dalam merancang pernikahan dalam dunia ini.
Melalui ayat-ayat Alkitab, Tuhan sudah menjelaskan tujuan-Nya kepada orang Kristen dengan begitu gamblang. Pernikahan merupakan lambang relasi Kristus dengan jemaat-Nya. Jadi, dengan jelas kita dapat memahami bahwa pernikahan Kristen bukan hanya pernikahan berdasarkan cinta sepasang manusia semata. Tetapi ada yang lebih mendasar daripada hal tersebut yaitu cinta antara suami istri harus bercermin dari cinta Kristus. Suami yang merepresentasikan Kristus harus mampu belajar bagaimana hidup ini tidak lagi menjadi miliknya sendiri. Suami tidak dapat menjadi “raja” yang hanya mau dilayani dalam keluarga tanpa memedulikan yang lain. Kasih Kristus yang penuh pergorbanan harus menjadi dasar kasih yang ada. Tindakan Kristus yang melayani bukan mau untuk dilayani inilah yang harus menjadi contoh. Kristus yang rela turun ke dunia untuk orang berdosa, rela meninggalkan takhta, inilah yang harus dipahami oleh orang yang akan menjalani hidup berkeluarga. Suami harus mengerti bagaimana melayani dan harus bertanggung jawab atas seluruh keluarga. Istri pun harus mengerti bahwa dia juga mempunyai peran yang krusial. Tanggung jawab seorang istri yaitu belajar untuk taat dan mengikut suami yang mengikuti teladan Kristus. Istri harus mempunyai kepekaan untuk mengerti bagaimana kehendak Tuhan dapat dijalankan dalam suatu hubungan keluarga. Istri harus mengerti bagaimana melayani dengan kasih yang murni, mengerti bagaimana memberikan yang terbaik untuk keluarga (kita dapat membaca Amsal 31). Suami dan istri mempunyai peran masing-masing yang tak dapat tergantikan untuk saling mencintai, saling memberi bukan menuntut, saling mendukung sehingga pasangan kita dapat mengeluarkan hal yang terbaik dalam keluarga. Itu bukan untuk kepentingan keluarga itu sendiri tetapi untuk melayani Tuhan lebih dan lebih lagi, untuk pembangunan Kerajaan Allah sebagai suatu misi. Inilah relasi terindah yang sudah Tuhan anugerahkan dalam hidup manusia.
Jikalau kita sudah mengerti hal sederhana ini, bukannya mudah untuk dijalankan, butuh tekad dan perjuangan untuk menjalankannya. Cinta tidak pernah timbul begitu saja, butuh kerja keras, butuh perjuangan, butuh waktu, kesabaran yang panjang, butuh pengorbanan. Tidak percaya? Lihatlah teladan Kristus! Dia yang sudah rela meninggalkan takhta di sorga untuk turun ke dunia, menebus dosa manusia, dan mati disalib untuk menggantikan orang berdosa tetap ditolak oleh manusia! Tetapi karena melihat teladan Kristuslah, tetap selalu ada harapan untuk menjalankan perjuangan agar keluarga yang sudah Tuhan anugerahkan menjadi keluarga yang benar-benar berkenan di mata Tuhan.
Keluarga merupakan suatu yang penting di mata Tuhan. Sejak awal Tuhan sudah merancangkannya sedemikian rupa agar keluarga yang terbentuk adalah keluarga yang mengerti dan peka akan kehendak Tuhan dan menjalankan perintah Tuhan.
Dalam Kejadian 1:28, Tuhan tidak memberikan firman hanya kepada Adam seorang, tapi kepada Adam dan Hawa. Kepada dua orang yang sudah dipersatukan dalam sebuah pernikahan kudus. Mandat yang Tuhan berikan adalah beranak cucu dan mengelola bumi ciptaan Tuhan ini. Hal yang sederhana bukan? Pertanyaannya adalah sudahkah kita berhasil menjalankan hal tersebut? Pernahkah kita pikirkan mengapa kita harus mempunyai anak? Apakah untuk meneruskan marga keluarga ataukah agar saat kita tua nanti ada orang yang akan mengurus kita?
Anak adalah harta yang paling berharga yang Tuhan titipkan kepada kita. Anak menjadi tanggung jawab yang besar sekali, dan itu harus disikapi dengan benar. Bukan hanya memberikan kehidupan yang layak, tetapi bagaimana mendidik anak agar mengerti dan menjalankan hidupnya sebagai orang yang takut akan Tuhan, orang yang semakin hari semakin peka akan pimpinan Tuhan sehingga ia dapat meneruskan perjuangan kita dalam menjalani kehendak Tuhan dalam dunia ini. “Beranak cuculah dan penuhilah bumi ini” bukanlah hal yang segampang yang kita pikirkan. Masyarakat memandang saat sudah menikah sudah hal yang wajar jika mempunyai anak. Sudah berapa banyak pasangan hidup yang sudah menikah tapi sebenarnya belum siap untuk menikah? Berapa banyak orang tua yang sebenarnya juga belum siap untuk menjadi orang tua yang bertanggung jawab di hadapan Tuhan tapi akhirnya dengan terpaksa harus menjalankan peran sebagai orang tua? Tuntutan masyarakat yang semakin menuntut hidup kita membuat hidup kita semakin berantakan, jikalau kita tidak peka akan pimpinan Tuhan. Saat sudah siap, Tuhanlah yang akan membukakan jalan, bukan karena umur kita, bukan karena tuntutan sosial yang kita dapatkan. Tetapi karena memang Tuhan memberikan kita tanggung jawab untuk menjadi suami atau istri atau menjadi orang tua. Tuhanlah yang menjadi alasan utama kenapa kita membentuk suatu keluarga. Dalam keluarga yang dibentuk inilah, kita akan berjuang dengan segenap hati dan pikiran kita untuk semakin memahami cinta yang sesungguhnya yang sudah Kristus nyatakan di atas kayu salib.
Keluarga yang terus berjuang untuk hidup bagi Tuhan pasti berjuang untuk menggenapkan kehendak Tuhan dalam dunia ini. Keluarga ini tidak mungkin menjadi egois dengan melihat bahwa semua berkat atau apa pun itu akan berhenti sampai pada keluarga itu saja. Tetapi keluarga ini akan membagi begitu banyak berkat untuk banyak orang di sekelilingnya. Dan semuanya berperan! Baik suami, istri, dan anak-anak (jikalau Tuhan anugerahkan anak-anak dalam hidup pernikahan).
Suami mempunyai tanggung jawab untuk mencari nafkah, begitu terhimpit dengan waktu yang minim untuk ada bagi keluarganya. Itukah yang menjadi masalah? Harusnya tidak. Sebab dialah yang bertanggung jawab untuk membawa keluarga ini semakin dekat dengan Tuhan dan mencintai Tuhan, dia tidak dapat mencari alasan karena begitu sibuknya sehingga dia menghilangkan fungsinya sebagai kepala dan menyerahkan tanggung jawab kepada istri. Sang istri juga harusnya mempunyai kepekaan untuk mendukung suami dan mengingatkannya, itulah fungsi istri sebagai penolong. Bukan mendominasi dalam keluarga atau hanya menjadi “ratu” yang tidak melakukan apa pun. Saat anak-anak melihat bagaimana perjuangan orang tua dalam menjalankan hidup untuk Tuhan dan orang tua mengajarkan cinta Tuhan yang dilakukan di dalam jalur yang benar, anak tentunya dapat tumbuh menjadi anak yang mengasihi Tuhan. Jikalau memang ternyata dalam keluarga kita hanya terdiri dari suami dan istri saja, kenapa harus berkecil hati? Inilah yang Tuhan anugerahkan kepada kita bukan? Hidup kita terlalu singkat jika kita pakai hanya untuk meratap hal yang tidak mungkin diubah oleh kuasa manusia. Keluarga yang dilihat oleh Tuhan bukan berfokus hanya pada anak semata, tetapi adalah bagaimana keluarga yang kita bentuk itu menjadi keluarga yang mampu taat dan tunduk kepada kehendak Tuhan, terus berjuang untuk melayani Tuhan dan mau memberikan yang terbaik bagi Tuhan. Kalau memang ternyata hidup pelayanan keluarga kita lebih maksimal dalam kondisi seperti itu, biarlah hanya kehendak Tuhan yang terjadi, bukan keinginan kita yang menggebu-gebu yang terjadi. Sebab pada akhirnya nanti pasti akan sangat manis kalau kita belajar untuk terus taat kepada kehendak Tuhan.
Biarlah dengan kekuatan yang Tuhan berikan, keluarga kita dimampukan untuk hidup hanya bagi Tuhan. Bukankah sesuatu yang indah sekali bahwa ternyata melalui keluarga yang kita bentuk, kita diberikan anugerah untuk menggenapkan kehendak Tuhan dan menjadi saluran berkat bagi banyak orang? Betapa indahnya misi Kerajaan Allah dalam hidup kita. Bahwa ternyata keluarga Kristen mencerminkan kasih Tuhan yang begitu mendalam dan kudus serta memperlihatkan cerminan Kerajaan Sorga melalui keluarga sehingga seluruh anggota keluarga mampu berkata dengan penuh pengharapan “Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga”.
Padmaroshantika D. R.
Pemudi FIRES