Hidup berkomunitas dalam gereja seharusnya menjadi suatu istilah yang tidak asing bagi orang Kristen. Terlebih lagi, ketika orang tersebut lahir dalam suatu keluarga Kristen dan sejak masih sangat dini sudah mengikuti program gereja seperti Sekolah Minggu. Seiring dengan bertumbuhnya seseorang di dalam gereja, orang tersebut mulai melayani dan terlibat dalam relasi yang lebih dekat dengan rekan-rekan seperjuangan dalam pelayanan. Tentunya hal ini merupakan suatu hal yang memiliki sukacita tersendiri walaupun tidak mungkin tanpa kesulitan dan pergumulan.
Hidup berjemaat dalam gereja tentunya adalah hal yang alkitabiah. Selain memang kita masing-masing mempertanggungjawabkan iman kita secara pribadi kepada Allah, kita dan seluruh umat Kristen dipanggil Allah di dalam suatu komunitas gereja yang kudus dan am. Rasul Paulus dalam Roma 12:4-5 menyatakan bahwa kita ini tergabung dalam satu tubuh, dan kemudian diperjelas lagi dalam Kolose 1:18 bahwa kita adalah gereja yang merupakan tubuh Kristus dan Kristus sendiri adalah kepala kita.
Namun kenyataannya, sering kali hidup bergereja tidaklah seindah yang dilukiskan oleh Alkitab. Alkitab menggambarkan hidup bergereja merupakan hidup yang penuh sukacita di mana antara satu sama lain saling mendukung dan membangun. Fakta lapangannya, makin kita terlibat lebih dalam di dalam suatu pelayanan di gereja, makin kita melihat bahwa orang-orang dalam gereja tidaklah semuanya seperti malaikat. Sebaliknya, banyak sekali orang gereja, bahkan yang terdapat di lingkaran terdalam pun, yang akan mencoba menjatuhkan kita atau paling tidak akan mengecewakan kita. Kadang gambaran indah jemaat Allah yang hidup saling membangun dan menyokong satu sama lain terasa begitu jauh dan bahkan kadang terasa begitu tidak nyata.
Rasul Paulus dalam Roma 3:23 menyatakan bahwa semua manusia telah jatuh ke dalam dosa dan kehilangan kemuliaan Allah. Diselamatkan dan menjadi orang Kristen tidak menghilangkan secara total efek kejatuhan ini. Tak heran jika kita masih dapat melihat fakta kejatuhan manusia dalam dosa bahkan di antara pelayan-pelayan gereja. Lalu bagaimanakah kita harus bersikap menghadapi fakta kejatuhan ini? Haruskah kita dengan mudah berkata itu semua terjadi karena dosa dan tidak berbuat apa-apa? Atau haruskah kita dengan keras menghardik atau memusuhi orang-orang yang bersalah atau berdosa tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mengambil sedikit jalan memutar dengan melihat suatu doktrin yang dikembangkan oleh Bapa-bapa Gereja yang diambil dasarnya dari salah satu pengajaran Rasul Paulus. Dalam 2 Korintus 5:21, Paulus menyatakan doktrin penting mengenai status kita sebagai orang percaya yang diselamatkan. Doktrin yang dikembangkan dari ayat ini disebut double imputation, yang berarti kita manusia berdosa dapat diselamatkan karena melalui kematian Tuhan kita Yesus Kristus di kayu salib, dosa-dosa pada diri kita diimputasikan kepada Yesus yang tak berdosa, dan sebaliknya kebenaran-Nya diimputasikan kepada kita orang berdosa sehingga kita dapat dipandang benar. Doktrin double imputation atau imputasi ganda ini begitu indah menjelaskan bagaimana kita yang berdosa ini dapat tampak benar di depan Allah Bapa yang Mahasuci. Bukan karena diri kita atau kebenaran kita, namun karena kebenaran Kristus yang diimputasikan ke dalam diri kita melalui kematian-Nya di salib.
Doktrin double imputation ini sering kali dilihat orang dalam menjelaskan status kita dalam pengadilan akhir. Namun, doktrin ini juga memberikan suatu penekanan pada fakta bahwa manusia yang berdosa tidaklah benar karena diri mereka benar, namun karena ada faktor eksternal, yaitu kebenaran Kristus yang diimputasikan dalam diri mereka. Satu fakta ini ditambah dengan fakta bahwa semua orang telah jatuh dalam dosa seharusnya membawa kita pada perenungan akan bagaimana kita seharusnya memandang orang-orang di sekitar kita.
Pertama, fakta bahwa semua manusia berdosa tak terkecuali satu pun seharusnya membuat kita rendah hati dan tidak melihat diri kita yang sering tersakiti lebih baik atau lebih tinggi daripada orang yang menyakiti kita. Lebih sering dari tidak, hal ini sangat sulit atau dapat dikatakan mustahil dilakukan oleh manusia. Hanya melalui bantuan Roh Kudus, kita dimampukan seperti yang dituliskan Rasul Paulus dalam 2 Korintus 3 yang secara panjang menjelaskan bagaimana orang percaya dimampukan untuk menjadi pelayan-pelayan perjanjian yang baru.
Kedua, fakta bahwa kebenaran kita bukanlah milik kita, melainkan merupakan imputasi dari Kristus, dan juga bahwa setiap orang percaya juga menerima imputasi kebenaran tersebut, juga seharusnya membawa kita untuk tidak memandang kesalahan orang lain sebagai hal yang utama yang kita harus terus perhatikan dan ingat. Kita seharusnya melihat kebenaran Kristus yang telah diimputasikan kepada orang benar tersebut. Kita seharusnya melihat darah Kristus yang telah menyucikan kita juga dicurahkan bagi orang tersebut.
Kedua doktrin ini ketika digabungkan menjadi satu, seharusnya membuat suatu kesadaran lain dalam melihat saudara-saudara seiman kita yang jatuh dalam dosa, baik pada diri mereka sendiri maupun berlaku buruk pada diri kita. Dengan karunia Allah, yang membuat kita dapat memahami kejatuhan manusia yang menyeluruh, namun tidak putus asa karena dosa tersebut sudah diimputasikan kepada Kristus ketika kita percaya, beserta kebenaran-Nya yang diimputasikan kepada kita, maka kita seharusnya memiliki keberanian untuk membuka diri kepada orang-orang yang paling sulit sekalipun karena kita sama-sama berdosa, serta mau berelasi dengan orang-orang tersebut, karena kita tidak lagi melihat baik kesalahan maupun keburukan orang tersebut, melainkan melihat kebenaran Kristus yang diimputasikan kepada orang-orang tersebut sebagai dasar untuk kita berelasi.
Mengutip Pdt. Jadi S. Lima dalam sebuah wawancara dengan Pdt. Eko Aria, beliau menyatakan bahwa gereja yang ideal yang beliau harapkan adalah gereja yang berani telanjang dan mengenakan pakaian kebenaran Allah. Pernyataan tersebut mungkin datang dari beban yang melatarbelakangi tulisan ini: gereja yang selalu bermain aman sehingga tidak berani mengasihi seutuhnya. Melalui pengertian akan kedua doktrin ini, kita dapat memiliki dasar untuk menjadi “telanjang”, yaitu berani terbuka dan rentan untuk tertusuk dari belakang, serta mengenakan pakaian kebenaran Allah yang sudah diimputasikan ketika kita dibenarkan oleh Allah sendiri. Terlebih lagi, hanya dengan bersama-sama mempraktikkan pengetahuan theologis yang kita ketahui dalam hidup bergereja, kita dapat membawa komunitas gereja lokal kita bertumbuh dan dapat menjadi tempat di mana Allah menyatakan kehendak-Nya.
Namun ada satu hal yang masih mengganjal dari penarikan kesimpulan di atas. Hal tersebut adalah apakah hal ini dapat diaplikasikan tanpa mempertimbangkan budaya lokal di mana gereja tersebut ditempatkan oleh Allah sendiri. Terutama dalam budaya Asia yang cenderung lebih tertutup dari sudah lama, tiba-tiba menjadi terbuka seterbuka-bukanya juga mungkin bukanlah keputusan yang paling bijaksana. Alih-alih menjadi berkat dengan menjadi terbuka, sebaliknya kita dapat saja menjadi batu sandungan untuk orang yang kita hendak layani seperti yang Rasul Paulus katakan dalam Roma 14 dan 1 Korintus 8.
Rasul Paulus menyatakan bahwa bukan suatu tindakan pada diri sendiri yang kadang salah, namun karena hal tersebut tidaklah baik untuk perkembangan iman orang-orang di sekitar kita. Sehingga sebelum kita terbuka, kita harus membaca situasi di sekitar kita—bagaimana budaya mereka, bagaimana tingkat kepercayaan mereka, bagaimana interaksi antarindividu dalam komunitas tersebut, dan lainnya. Makin kita memahami konteks di sekeliling komunitas, makin kita mengerti bagaimana seharusnya kita membentuk perwujudan kasih yang harus kita sampaikan kepada orang yang kita ingin layani dengan meminimalisir gesekan-gesekan yang tidak perlu.
Akhir kata, kita adalah umat pilihan Allah yang dipanggil tidak hanya sebagai individu, namun juga sebagai suatu jemaat. Jemaat pilihan Allah, sayangnya, bukanlah kumpulan malaikat yang tidak berdosa dan selalu berlaku baik dan santun. Gereja Allah adalah kumpulan pendosa yang sama-sama membutuhkan kasih karunia Allah dalam darah Kristus untuk diselamatkan. Hal ini seharusnya mengingatkan betapa samanya kita dan orang-orang lain yang pernah menyakiti kita; kita sama-sama berdosa dan hanyalah benar karena Kristus telah mengimputasikan kebenaran-Nya kepada kita.
Kiranya kita sebagai jemaat Allah tidak membenci jemaat lain dan membuat gereja makin dingin, melainkan mengasihi satu sama lain, karena kita mengetahui bahwa kita adalah sesama manusia yang berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah, namun diimputasikan kebenaran Kristus. Seperti yang Yesus katakan sendiri dalam Yohanes 13:35, bahwa orang di luar akan melihat bahwa kita adalah murid Yesus karena kita saling mengasihi.
David Kurniawan
Pemuda GRII Singapura