white house under maple trees

Home and Loneliness: A Reflection on Incarnation

Home
Home, ini merupakan satu istilah yang cukup sulit untuk diterjemahkan dan dijelaskan. Kata “rumah” tidak bisa mewakili keseluruhan nuansa, spektrum, dan makna dari kata ini. Rumah memiliki penekanan lebih terhadap aspek fisik dan lebih dekat kepada istilah house. Namun untuk konsistensi dalam Bahasa Indonesia, penulis akan menggunakan istilah “rumah” untuk mewakili istilah “home”. Di dalam istilah ini, terkandung aspek asal/sumber, keberadaan, relasional, penerimaan, kehangatan, atmosfer kedamaian, intimasi, kerinduan untuk berdiam, peristirahatan, sentralitas dalam hati, kerinduan/dorongan untuk kembali/pulang, dan berbagai kekayaan aspek lainnya. Apabila pembaca PILLAR adalah termasuk golongan orang-orang yang merantau atau pergi ke suatu daerah yang baru, sedikitnya pernah merasakan perasaan seperti ini. Misalkan saja bagi yang pergi ke luar daerah/luar negeri untuk studi maupun bekerja.

Loneliness dan Lostness
Ketika seseorang pergi untuk pertama kalinya ke tempat yang sama sekali berbeda dengan kondisi asalnya, orang tersebut pasti akan merasakan berbagai gejala negatif. Baik itu perasaan tidak betah, homesick, kegalauan, kebosanan, sampai merasa terasing/terisolasi, dan bahkan tersiksa. Perasaan terasing dan terhilang ini bahkan bisa menyerang di tengah-tengah kondisi keramaian dan hingar-bingar sekalipun. Misalkan saja orang yang sedang terserang depresi/kesepian dan kemudian mencari penghiburan di tengah-tengah keramaian, tetapi justru di tengah suasana yang penuh sesak dengan manusia dan semaraknya atraksi berbagai rupa, orang itu sangat mungkin tetap merasa kesepian dan tersiksa. Hati kecilnya mungkin justru sedang berteriak, mengerang, dan menjerit-jerit. Yang lebih ironis lagi, ada juga kelompok orang yang merasa tersiksa dan terasing justru di dalam keluarga sendiri, tempat yang di mana seharusnya menjadi rumah dan perteduhan bagi orang tersebut.

Jika kita telaah lebih mendalam, kita sadar bahwa manusia yang sudah jatuh dalam dosa memang terhilang, tersesat, terasing, dan akan selalu mengembara tanpa tahu menuju ke mana. Pada awalnya di dalam Taman Eden, manusia memiliki rumah yang sejati, yakni hidup di dalam hadirat Allah dengan begitu intim dan indah. Relasi manusia dengan Allah, dengan diri, dengan manusia lain, dan seluruh alam masih begitu indah dan harmonis. Namun kejatuhan dalam dosa telah merusak total aspek yang begitu indah ini. Manusia diusir keluar dari Taman Eden dan mengembara kian kemari di muka bumi yang sudah terkutuk dan dilumuri dosa. Manusia berdosa hanya bisa terus berkelana tanpa bisa lagi menggapai tempat berpulang yang sesungguhnya. Dalam dunia seperti ini, tidak ada lagi rumah dan tempat perteduhan sejati bagi manusia. Di sisi lain, kerinduan manusia akan tempat perteduhan yang abadi adalah suatu dorongan yang begitu mendasar, natural, dan menggerakkan dengan sangat. Karena itu, tidak heran manusia berusaha mencarinya setengah mati melalui berbagai hal, entah itu melalui keluarga yang harmonis, teman-teman dekat, kehidupan yang nyaman, sekuritas kekayaan, megahnya kekuasaan, dan lain-lain.

Jika mau jujur, jauh di lubuk hati yang terdalam, manusia tahu bahwa hal-hal tersebut bukanlah jawaban yang sesungguhnya. Seindah-indahnya hubungan keluarga, pada akhirnya mereka akan berpulang menjadi debu dan hanya akan tersisa satu orang yang akan meratapi seluruh anggota keluarga lain yang sudah pergi meninggalkan dia.[1] Sebesar-besarnya kekayaan seseorang, ia tetap tidak bisa sepenuhnya mengendalikan gejolak politik ataupun bahaya ancaman pandemik penyakit yang juga sangat mungkin mengancam dan menghancurkan dirinya.[2] Semua hal baik tersebut hanya akan berlalu dan menuju kepada ‘kehampaan dan kesia-siaan’ (bandingkan dengan Kitab Pengkhotbah).[3]

Tidak heran dalam Amsal 14:13 dikatakan bahwa dalam tertawa pun, hati bisa merana, bersedih, dan berduka.[4] Inilah kesulitan besar dan pergumulan dari setiap umat manusia. Di dalam gejolak dahsyat seperti ini, kerinduan akan perteduhan yang abadi itu tetap begitu mendorong dengan sangat. Setiap manusia memiliki keinginan ini, tidak ada yang terkecuali.[5] Setiap manusia memiliki ingatan akan Taman Eden yang begitu indah dan sangat membekas dalam hati.[6] Momen di mana ada relasi yang harmonis antara Allah, manusia, seluruh ciptaan yang lain. Momen yang begitu berkesan, dirindukan, tetapi sudah terhilang. Momen yang dinantikan dan diimpikan, tetapi apa daya sudah tak tergapai.

Perspektif Perjanjian Lama
Dalam Perjanjian Lama, tema-tema mengenai rumah, peristirahatan, pengembaraan, dan keterasingan juga kerap kali muncul.[7] Mulai dari Abraham yang selama bertahun-tahun hidup mengembara dan tinggal di dalam kemah menuju tanah yang Tuhan janjikan. Padahal Abraham sendiri belum jelas ke mana Tuhan akan memimpinnya. Kita juga melihat kisah hidup Yusuf yang memang walaupun tinggal di Mesir sebagai penguasa, ia sendiri begitu merindukan untuk bisa berpulang ke Kanaan. Maka ia memerintahkan agar tulang-tulangnya nanti bisa dibawa dan dikuburkan di sana. Juga kisah Musa di mana ia tidak menganggap tanah Mesir dengan segala kemajuan dan kemegahannya sebagai tempat kediamannya yang abadi. Ia lebih memilih untuk menderita bersama-sama dengan umat Allah dan membawa mereka ke tanah yang Tuhan janjikan. Dalam perjalanan orang Israel menuju Kanaan, Tuhan juga menunjukkan murka-Nya karena bangsa Israel yang begitu bebal dan tegar tengkuk. Allah menegaskan bahwa orang-orang Israel tersebut tidak bisa masuk tempat peristirahatan-Nya. Dalam kehidupan Daud, kita bisa melihat bagaimana ia hidup sebagai seorang pelarian karena dikejar dan akan dibunuh oleh Raja Saul. Dan dalam Kitab Mazmur, kita juga bisa merenungkan bagaimana Daud yang begitu rindu untuk dapat tinggal dan berdiam di dalam rumah Tuhan, bukan di tempat-tempat lain. Yang ia inginkan adalah untuk berdiam menikmati kehadiran Tuhan di dalam bait-Nya, sampai selama-lamamya. Dalam kisah pembuangan ke Babel, kita dapat dengan jelas melihat status orang Israel yang Tuhan sudah hukum, akhirnya benar-benar menjadi orang buangan, budak, dan terjajah di negeri asing. Pilunya ratapan dari kondisi pembuangan di Babel dapat kita baca dengan detail dalam Kitab Ratapan. Dalam kondisi terasing seperti ini, ada kerinduan besar dari orang Israel untuk bisa pulang dan menyembah Tuhan di Bait Allah di negeri asal mereka. Inilah sebagian contoh/gambaran dari Perjanjian Lama mengenai variasi dan kompleksitas dari tema-tema seputar rumah, peristirahatan, pengembaraan, dan keterasingan.

Kristus yang Terasing dan Tersendiri
Contoh ultimat yang menjadi titik fokus dalam artikel ini tentu saja adalah pribadi Yesus Kristus sendiri. Hanya melalui pribadi Kristus, manusia mampu mendapatkan jawaban tuntas akan masalah keterhilangan dan keterasingan yang sudah menggerogoti sepanjang zaman.[8] Kristus rela meninggalkan “rumah”-Nya melalui inkarnasi ke dalam dunia, dan setelah itu justru mengalami keterasingan dan keterhilangan total di atas kayu salib. Sehingga melalui keterasingan total tersebut, manusia yang sudah terhilang dan terasing, akhirnya boleh mendapatkan tempat berpulang dan perteduhan yang kekal.

Inilah pribadi Kristus yang rela membatasi diri-Nya dalam daging dan darah. “Rumah” berupa tubuh dan darah ini tentunya tidak bisa dibandingkan dengan kebesaran Kristus yang sesungguhnya, yang menopang seluruh alam semesta, yang layak mendapatkan seluruh puji dan sembah, dan bahkan sorga sekalipun tidak akan cukup untuk menampung-Nya. Kita bisa bayangkan Kristus bertumbuh dalam proses biologis mulai dari bayi dan beranjak bertumbuh menjadi anak-anak. Dalam proses tersebut, Ia hidup dalam kental dan pengapnya polusi dari dunia yang sudah terkutuk dan tercemar oleh dosa. Bahkan dalam kehidupan pelayanan sekalipun, Ia dicatat tidak memiliki tempat untuk meletakkan kepala-Nya. Padahal serigala memiliki lubang dan burung di udara memiliki sarang. Ditambah lagi, orang banyak yang secara kasat mata mengikuti Dia, juga kerap kali tidak benar-benar mengenal-Nya dan tidak mengerti apa yang Ia sampaikan.[9]

Sungguh menyedihkan, dunia yang Ia ciptakan malah menolak Dia. Mereka sama sekali tidak mengenal dan menyambut Dia. Dari kalangan orang tersebut, tidak ada setitik keramahan dan kehangatan yang dinyatakan kepada Sang Pencipta alam semesta. Justru sebaliknya, berkali-kali mereka mau menjatuhkan dan membunuh Dia. Keluarga dan saudara secara fisik yang seharusnya lebih dekat dan mengerti, justru tidak percaya dan begitu skeptis terhadap Kristus.[10] Orang-orang di Nazaret yang adalah tempat asal-Nya, justru tidak percaya sehingga tidak banyak mujizat terjadi di sana.[11]

Pada akhirnya, puncak keterasingan Kristus bisa kita saksikan di atas kayu salib. Di atas salib, Ia mengalami keterpisahan total ketika Bapa memalingkan muka dari pada-Nya, dan Yesus akhirnya berteriak, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”[12] Inilah pribadi Kristus yang kita percaya, yang hidup begitu terasing di dalam dunia, yang sudah kehilangan “rumah”-Nya, sehingga kita boleh mendapat rumah dan tempat peristirahatan yang kekal.

Rumah dan Peristirahatan Sejati
Dalam momen-momen Natal ini, mari kita sekali lagi merenungkan mengenai pribadi Kristus, satu-satunya jawaban akan kehausan jiwa manusia yang mencari rumah dan peristirahatan sejati. Beberapa jam sebelum Ia naik ke atas kayu salib, dalam percakapan terakhir dengan murid-murid-Nya, Ia menyatakan bahwa Ia akan pergi dan menyediakan tempat tinggal.[13] Di rumah Bapa ada banyak tempat tinggal. Dan inilah janji yang kita percaya di dalam Dia, bahwa di mana Kristus berada, di sana kita juga akan berada. Pribadi Kristus yang memberikan undangan agar orang-orang yang letih lesu dan berbeban berat boleh datang kepada-Nya dan mendapatkan kelegaan. Bahkan di atas kayu salib sekalipun, dengan jelas Kristus telah memberikan konfirmasi tempat tinggal, yakni Firdaus, kepada satu perampok di samping-Nya. Melalui Kristus yang inkarnasi dan tersalib, kita beroleh peristirahatan yang kekal. Relasi kita dengan Allah boleh dipulihkan. Harta peristirahatan hari Sabat yang sejati boleh direstorasi kembali. Melalui Kristus, kita memiliki akses untuk dapat berpulang kepada Bapa. Melalui Kristus, kerinduan besar umat manusia akan momen Taman Eden akhirnya bisa terobati dengan sempurna.

Dengan pengertian ini, sungguh tepat doa Musa dalam Mazmur 90 yang menyatakan bahwa Tuhanlah tempat perteduhan manusia secara turun-temurun. Jauh sebelum gunung-gunung berada, dan bumi dibentuk. Juga senada dengan kalimat Agustinus yang menyatakan bahwa jiwa manusia begitu gelisah sebelum mendapatkan peristirahatan sejati di dalam Dia. Sebab manusia memang dicipta untuk-Nya, dan sudah seharusnya hidup menyenangkan dan memuliakan Dia.[14]

Sebagai penutup, biarlah kita sama-sama merenungkan satu bagian dari lirik lagu yang menyatakan keajaiban cinta kasih Tuhan. Panggilan yang menggetarkan hati dan terngiang dalam kepala kita. Kasih yang terus menggerakkan kita. Kasih yang mengembalikan kita kepada kehangatan relasi dengan Bapa. Kasih yang memanggil kita pulang. Selamat merayakan dan merenungkan makna Natal!

Oh, kasihHu, ajaib indah,
Dalam lebar, sungguh tak terduga.
Meski aku, mendukakan Dikau,
Oh, cinta-Mu memanggilku pulang.

Juan Intan Kanggrawan
Redaksi Bahasa PILLAR

Referensi:
http://www.ligonier.org/learn/articles/sabbath-rest/
https://www.youtube.com/watch?v=v9AcS6dAEpQ – The Longing for Home
http://www.desiringgod.org/sermons/remember-the-sabbath-day-to-keep-it-holy
http://www.ccel.org/ccel/augustine/confess.ii.i.html

Endnotes:
[1] Dr. Tim Keller beberapa kali menggunakan contoh ini untuk mendorong pendengar dalam melakukan refleksi mengenai ilah-ilah apa yang sangat mungkin bercokol dan melekat dalam hati yang terdalam. Ilah-ilah ini justru bukanlah sesuatu yang buruk/menyeramkan. Melainkan sesuatu yang baik dan indah, namun memiliki potensi besar untuk menggantikan posisi Tuhan. Misalnya relasi keluarga yang begitu harmonis juga sangat mungkin menggantikan posisi Tuhan sebagai yang terutama dalam hidup manusia.
[2] Pembaca bisa membandingkan hal ini dengan kisah orang kaya yang bodoh yang tertulis dalam Injil Lukas 12:13-21. Dalam kondisi sekarang, sangat banyak instabilitas yang terjadi dan membuat perubahan dahsyat dalam waktu yang singkat. Mulai dari krisis ekonomi global, wabah H1N1, wabah ebola, serangan-serangan kaum ekstremis, dan lain-lain.
[3] Dalam pasal-pasal awal, Pengkhotbah mengeksplorasi dan membandingkan berbagai hal. Mulai dari pengetahuan, hikmat, pekerjaan-pekerjaan besar, hidangan-hidangan, pelayan-pelayan, dan harta benda yang berharga. Namun dalam akhir pasal 2, ia menyatakan bahwa hal-hal tersebut adalah kesia-siaan, bagaikan menjaring angin, dan hari-harinya penuh dengan kesukaran dan dukacita.
[4] Dalam kondisi sukacita sebesar seperti apa pun, manusia tahu bahwa hal tersebut tidak akan berlangsung terus-menerus. Sukacita tersebut akan berakhir, dan dukacita/kemalangan akan datang kembali.
[5] Hal ini tidak berlaku bagi orang-orang pilihan saja. Seluruh umat manusia, bahkan yang menentang Tuhan, juga memiliki kerinduan seperti ini.
[6] C. S. Lewis membuat pernyataan yang menarik. Walaupun rasa lapar tidak menjamin bahwa kita akan segera mendapatkan makanan, rasa lapar itu setidaknya membuktikan bahwa ada sesuatu yang bernama makanan. Walau kerinduan akan Eden tidak menjamin bahwa manusia akan segera kembali ke Taman Eden, namun kerinduan tersebut membuktikan bahwa ada sesuatu yang lebih superior dibandingkan dunia materi/fisik semata. Ada realitas Taman Eden yang manusia nantikan, yang sanggup memuaskan lapar dan dahaga manusia akan realitas tersebut.
[7] Alkitab memberikan paradoks yang menarik antara dua hal. Pertama, kita mengerti bahwa dunia ini adalah dunia yang Tuhan ciptakan. Dan bahkan dalam dunia berdosa pun, masih ada cicipan kebaikan Tuhan dalam tatanan anugerah umum. Maka ada lagu yang berjudul This is My Father’s World. Kedua, kita juga sadar bahwa dunia ini bukanlah tempat perteduhan abadi kita. Kita hanyalah musafir/pengembara selama berada di dunia. Maka ada lagu lain yang berjudul This World is not My Home.
[8] Ketika menulis kalimat ini, saya teringat suatu khotbah yang memberikan satu teguran. Sering kali kita sembarangan atau dengan gampang menyebutkan bahwa Yesuslah jawaban, tanpa terlebih dahulu menggumulkan kompleksitas dan kedalaman masalah/pertanyaan yang ada. Kita seharusnya benar-benar mengerti dan mendalami terlebih dahulu pergumulan tersebut, baru kemudian memproklamasikan Kristus sebagai jawaban. Dengan demikian, dapat dengan jelas terlihat relevansi dan keterkaitan akan pribadi Kristus yang adalah jawaban sesungguhnya dari problem tersebut.
[9] Minimal kita bisa melihat dalam kasus di Yohanes 6, seolah-olah banyak orang mengikuti Yesus. Mereka tidak mampu menerima perkataan keras Yesus (makan daging-Ku dan minum darah-Ku) sehingga akhirnya meninggalkan Dia. Juga dalam Yohanes 10 di mana orang banyak yang seolah mengikuti dan mendengarkan Yesus, padahal tidak sungguh-sungguh mengenal Dia sebagai Gembala yang Baik.
[10] Hal ini tercatat dengan jelas dalam Yohanes 7:5.
[11] Matius 13:53-58.
[12] Bandingkan dengan Imamat 16:10, di mana ada kambing jantan yang kena undi bagi Azazel. Kambing ini menjadi lambang dari penanggungan kutukan, kenajisan, dan keterasingan. Pada akhirnya kambing ini harus dilepaskan ke padang gurun dalam keterasingan total.
[13] Yohanes 14:1-4.
[14] St. Augustine, The Confessions, Book 1 Chapter 1: “Thou awakest us to delight in Thy praise; for Thou madest us for Thyself, and our heart is restless, until it repose in Thee.”