Hukum: Penghayatan Melalui Perspektif Pribadi dan Intensi

Introduksi dan Tujuan
Pada bulan ini, buletin PILLAR akan membahas secara khusus tema mengenai hukum. Dalam khotbah eksposisinya mengenai Sepuluh Hukum, Pdt. Dr. Stephen Tong sudah mengulas tema penting ini dengan teliti. Dalam introduksinya, hukum di seluruh dunia dibedakan menjadi dua, yakni yang berasal dari wahyu umum dan wahyu khusus. Dalam perspektif wahyu umum, kita bisa mengerti bahwa semua orang (juga yang tidak mengenal Tuhan) sadar bahwa hukum sangatlah penting dan diperlukan dalam masyarakat. Bahkan dalam kebudayaan-kebudayaan kuno sekalipun, hukum sudah muncul dalam kebudayaan tersebut. Namun dalam perspektif wahyu khusus, hanya Sepuluh Hukum yang langsung bersumber dari Allah. Maka tidak ada konstitusi lain di seluruh dunia yang dimulai dengan kalimat “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku”.

Manusia yang adalah gambar dan rupa Allah diciptakan dengan sifat kebenaran dan keadilan. Maka sejak awal, hukum merupakan suatu elemen yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Hukum menjadi suatu panduan dan arahan yang berguna untuk mengatur segala perilaku dan tindak-tanduk dalam masyarakat. Contoh-contoh fungsi penting hukum adalah untuk melindungi setiap individu dari segala bahaya/tindakan yang tidak bertanggung jawab, menjadi alat untuk menegakkan keadilan, menjaga hak-hak setiap orang, dan menjaga kestabilan dalam masyarakat.

Salah satu catatan tertua mengenai hukum adalah hukum Mesir kuno yang ditemukan pada tahun 3000 SM. Pada konteks waktu itu, hukum tertulis berjalan berdampingan secara erat dengan hukum verbal yang diturunkan secara tradisi. Topik besar yang dicakup adalah mengenai kesamarataan sosial. Pada tahun 1760 SM, hukum mengalami perkembangan yang lebih signifikan di daerah Babilonia. Hukum yang paling terkenal pada masa itu adalah Kodeks Hammurabi. Kodeks ini menjadi kode resmi hukum tertulis pertama di dunia. Dalam tahun-tahun selanjutnya, kebudayaan Yunani kuno juga memperkembangkan hukum dan diterapkan secara khusus dalam aspek pengaturan kota. Dari contoh-contoh ini, kita bisa melihat bahwa dari kebudayaan-kebudayaan kuno sekalipun, hukum sudah menjadi elemen penting dan tidak terpisahkan dalam peradaban manusia.

Pribadi dan Intensi
Pada kesempatan ini, salah satu bagian yang penulis ingin tekankan adalah mengenai aspek pribadi dan intensi dalam hukum. Dalam dunia yang sudah jatuh dalam dosa ini, sangat sering kita tidak lagi memikirkan mengenai pribadi yang membuat hukum dan motivasi dalam pembuatan hukum tersebut. Hukum sering kali dilihat hanya sebagai peraturan tertulis yang kaku dan mati sehingga dilaksanakan secara literal, tanpa kesadaran, dan mekanis. Atau kalau tidak, hukum dilihat sebagai sesuatu yang bisa dianalisis dan dibongkar untuk dicari celahnya, sehingga berbagai macam kesempatan dan keuntungan bisa diambil dari celah-celah tersebut. Tentunya mentalitas seperti ini menjadi masalah besar, apalagi kalau diterapkan ke dalam aspek hukum-hukum yang Tuhan nyatakan dalam Alkitab. Dengan sikap seperti ini, akan menjadi sangat sulit bagi kita untuk menghayati Pribadi yang begitu mengasihi kita dan sebenarnya memberikan seluruh peraturan dan hukum tersebut justru untuk kebaikan kita sendiri.

Hukum bukanlah hanya sebatas peraturan dan regulasi yang abstrak. Hukum dengan jelas merefleksikan intensi dari pribadi yang membuat dan menyatakan hukum tersebut. Melalui hukum, seharusnya kita bisa lebih mengenal karakter dari sang pembuat hukum. Dalam konteks Kitab Mazmur, terminologi Hukum Allah dan Firman Allah sering digunakan secara bergantian. Sering pemazmur menyatakan kecintaan dan kerinduannya yang mendalam akan hukum-hukum Tuhan. Jika kita melihat hukum hanya sebagai peraturan-peraturan yang mati, tentunya akan kesulitan untuk bisa memiliki kecintaan yang mendalam akan hukum-hukum tersebut. Melalui hukum, sang pemazmur mengenal Allah sebagai Allah yang menyatakan diri-Nya, mencintai keadilan, Mahabijaksana, mengasihi umat-Nya, memberikan tuntunan, panjang sabar, dan berlimpah kasih setia. Lebih dalam lagi, melalui hukum, pemazmur juga menjadi sadar akan betapa sempurnanya Allah Sang Pembuat Hukum, dan betapa bobroknya dia sebagai manusia berdosa. Kesadaran ini mendorong pemazmur untuk memiliki hati yang siap untuk diingatkan dan diajar, juga untuk terus mendekatkan diri kepada Tuhan.

Dalam kitab Yesaya pasal 1, Tuhan memberikan teguran yang sangat jelas kepada pemimpin-pemimpin Israel. Secara fenomena, mereka terlihat menjalankan hukum-hukum Tuhan dengan baik. Mereka masih memberikan korban-korban bakaran, masih rajin dan rutin datang beribadah, dan juga terus konsisten membawa persembahan kepada Tuhan. Tetapi dalam bagian itu, tertulis jelas bahwa Tuhan menolak, dan bahkan membenci itu semua. Tuhan ditulis jemu dan jijik akan segala hal tersebut. Hal yang senada juga tertulis dalam kitab 1 Samuel pasal 15. Di sana Saul dan rakyat ditulis mengambil jarahan kambing domba dan lembu terbaik yang sebetulnya Tuhan perintahkan untuk dimusnahkan. Saul beralasan bahwa hewan-hewan tersebut nantinya akan dipersembahkan kepada Tuhan. Namun Tuhan yang menilik hati lebih berkenan kepada ketaatan dan telinga yang mendengar dibandingkan segala lemak domba-domba jantan. Dalam Injil Matius, Tuhan Yesus memberikan teguran keras kepada ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang begitu munafik. Sekali lagi, dari luar mereka seolah begitu rajin dan menjalankan hukum. Mereka memberikan perpuluhan dan persembahan, menaikkan doa yang panjang, dan menjalankan hukum Taurat dengan ketat. Tetapi dalam bagian itu ditulis bahwa mereka mengabaikan aspek belas kasihan, kesetiaan, dan keadilan.

Perenungan
Setelah sedikit membahas mengenai aspek hukum, pribadi, dan intensi, kita bisa sama-sama memikirkan dan merefleksikan kembali sikap kita sejauh ini terhadap hukum. Apakah kita selama ini hanya menjalankan hukum secara mekanis dan rutinitas semata? Seberapa dalam kita sudah mengenal karakter Tuhan Sang Pemberi Hukum? Pernahkah kita memiliki kecintaan yang begitu mendalam terhadap hukum-hukum yang sudah Tuhan berikan? Untuk para pembaca yang memiliki kapasitas sebagai pembuat hukum (policy maker) atau yang menginterpretasi hukum, bagaimanakah mentalitas kita selama ini? Apa hukum-hukum tersebut diformulasikan sedemikian rupa hanya supaya ada keuntungan yang bisa diambil? Sudahkah hukum-hukum itu diimplementasikan dengan memikirkan orang-orang yang nantinya menjalankan hukum tersebut? Tentunya kita sudah kenyang dengan kisah-kisah mengenai kebijakan dan hukum yang dibuat tetapi sangat tidak sesuai dengan konteks realitas masyarakat yang ada. Semoga artikel singkat ini bisa memicu setiap kita untuk melihat aspek hukum dalam perspektif yang benar, sesuai dengan firman Tuhan.

Juan Intan Kanggrawan
Redaksi Bahasa PILLAR

Referensi:
1. https://www.buletinpillar.org/transkrip/sepuluh-hukum
2. http://www.desiringgod.org/sermons/why-the-law-was-given
3. http://www.ligonier.org/learn/articles/goodness-law/
4. http://www.ligonier.org/learn/articles/lighting-way-didactic-use-law/
5. http://www.ligonier.org/learn/articles/restraining-sin-civil-use-law/
6. http://www.ligonier.org/learn/articles/reflecting-sin-pedagogical-use-law/