Saat berbagai serangan kemalasan ‘tuk melakukan pekerjaanku menyerang, siang itu kunyalakan televisi sebagai upaya melepaskan diri dari berbagai kepenatan pikiranku atas seluruh pekerjaan tersebut. Setelah membantingkan tubuhku di sebuah sofa empuk yang berada di ruang tamu, tanganku mulai mengambil remote control televisi dan jemariku mulai berkelana di dunia televisi kabel dengan puluhan channel-nya, lalu berhenti pada channel film serial mengenai kehidupan para dokter di sebuah rumah sakit. Sambil mengamati adegan yang entah dengan awal cerita apa, otakku mulai berpenat diri mencoba mengikuti alur cerita dengan berkonsentrasi penuh pada pembicaraan mereka. Tiba-tiba otakku tersentak kaget dengan satu kalimat yang dilontarkan oleh salah seorang dokter yang mengatakan, “You know what? We’re supposed to be wrong.”
Sesungguhnya dengungan yang sama telah terdengar sejak zaman Tiongkok kuno, yaitu teriakan seorang cendekiawan yang bernama Sunzi. Ia hidup antara 289-238 SM, dilahirkan di negara Zhao yang sekarang berada di bagian selatan provinsi Hebei dan Shanxi. Namun pada perkiraan setengah abad usianya, ia pergi ke negara Qi dan konon menjadi pemikir besar terakhir pada akademi Jixia, pusat pendidikan terbesar pada masa itu.
Pemikiran sang sayap realistik Konfusianisme ini mengatakan bahwa manusia pada dasarnya adalah jahat. Manusia tidak hanya lahir tanpa adanya permulaan kebajikan apapun, tetapi sebaliknya manusia benar-benar memiliki permulaan yang bersifat jahat. Dalam bab yang berjudul “Tentang Kejahatan dalam Sifat Dasar Manusia” Sunzi mencoba untuk membuktikan bahwa manusia lahir dengan membawa kehendak batin untuk mencari keuntungan dan kesenangan yang bersifat inderawi. Tetapi, meskipun dengan permulaan yang bersifat jahat ini, ia mengakui bahwa manusia sekaligus memiliki kecerdasan, dan kecerdasan ini yang memungkinkan manusia untuk menjadi baik. Menurut K’uang, nama kecil seorang filsuf lain yang hidup pada zaman itu, nilai berasal dari budaya, dan budaya merupakan hasil karya manusia. Maka dalam hal ini ucapnya, “Langit memiliki musim-musimnya, bumi memiliki sumber-sumber dayanya, manusia memiliki budayanya.” Inilah yang dimaksud dengan (ketika dikatakan bahwa manusia) mampu membentuk trinitas (dengan langit dan bumi). Namun pertanyaan yang kemudian timbul dari teori-teori di atas adalah: Bila demikian, bagaimanakah manusia dapat menjadi baik secara moral? Jika setiap manusia dilahirkan bersifat jahat, apakah asal mula kebaikan itu?
Maka Sunzi menjawabnya dengan berkata bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa berbagai jenis organisasi sosial. Alasannya adalah agar dapat menikmati kehidupan yang lebih baik manusia perlu saling membantu dan bekerja sama. Sunzi berkata, “Seorang individu memerlukan karya dari beratus-ratus orang pekerja. Seseorang yang terampil tidak mungkin terampil dalam lebih dari satu bidang, dan seseorang tidak dapat memangku dua jabatan secara bersamaan. Jika semua orang hidup secara sendiri-sendiri dan tidak saling melayani satu sama lain maka akan muncul kemiskinan”. Demikian juga, manusia perlu bersatu agar dapat menaklukkan makhluk-makhluk yang lain.
Dengan organisasi sosial tersebut maka manusia memerlukan aturan dalam berperilaku yang biasa disebut dengan ‘li’ (ritual, upacara, peraturan dalam kehidupan sehari-hari). Berkenaan dengan asal mula ‘li’, dikatakan bahwa manusia membawa kehendak ketika dilahirkan. Ketika kehendak ini tidak terpuaskan maka ia tidak akan dapat tenang tanpa berusaha mencari pemenuhannya. Ketika pencarian itu tanpa ukuran dan batasan maka yang muncul hanyalah pertikaian. Ketika muncul pertikaian maka yang ada hanyalah kekacauan. Bila terdapat kekacauan maka semuanya akan berakhir. Raja-raja dahulu benci terhadap kekacauan, dengan demikian mereka menetapkan ‘li’ (aturan dalam bertindak) dan ‘yi’ (rasa keadilan dan moralitas) untuk mengakhiri kekacauan ini. Maka, ketika ada ‘li’ ada moralitas. Hal ini bukanlah merupakan pemberian alam, tetapi suatu prestasi spiritual. Manusia harus memiliki hubungan sosial dan ‘li’ karena ini yang membedakannya dengan burung dan binatang. Menurut argumen ini, manusia harus memiliki moralitas bukan karena dia tidak dapat menghindarinya, tetapi karena sudah seharusnya memilikinya. ‘Li’ ini jugalah yang berfungsi untuk menyaring budi pekerti dan memurnikan perasaan manusiawi.
Namun dalam perkembangan pemikiran pada masa itu, Sunzi menganggap sebagian besar pemikiran tersebut berlandaskan atas berpikir sesat dalam berlogika dan merupakan kekeliruan yang besar. Dan penyebab dari timbulnya berpikir sesat tersebut adalah karena tidak adanya seorang raja yang bijaksana. Raja yang mampu menggunakan otoritas politiknya untuk menyatukan pemikiran rakyat dan mengarahkan mereka kepada pandangan hidup yang benar, yang di dalamnya tidak ada ruang atau kepentingan untuk berselisih paham. Di sini Sunzi menunjukkan refleksi jiwa pada masa kekacauan di zamannya. Ini adalah suatu masa yang di dalamnya manusia berusaha mati-matian mengadakan unifikasi politik yang dapat mengakhiri kekacauan-kekacauan ini.
Di antara murid-murid Sunzi, ada dua orang terkenal yaitu Li Si dan Han Feizi. Keduanya mempunyai pengaruh yang besar dalam sejarah Tiongkok. Li Si kemudian menjadi perdana menteri pada kekaisaran pertama dinasti Qin. Tokoh yang akhirnya menggunakan kekerasan dan pemaksaan untuk mempersatukan Tiongkok pada 221 SM. Bersama dengan gurunya, ia berusaha keras tidak hanya untuk mencapai persatuan dalam bidang politik, tetapi juga dalam bidang ideologi, suatu gerakan yang kulmilasinya pada pembakaran buku-buku pada 213 SM. Murid yang lain, Han Feizi, menjadi seorang pemimpin yang berpengaruh dalam mazhab kaum Legalis yang menghasilkan justifikasi teoritik untuk usaha penyatuan di bidang politik dan ideologi ini.
Han Feizi, seorang bangsawan negeri Han, penganut atheis dan materialisme inilah yang akhirnya menyusun pemikiran Legalis dengan lebih lengkap. Menurutnya, ‘shi’ yang artinya kekuasaan atau otoritas yang dipelopori oleh Shen Dao, orang sezaman dengan Mencius; ‘fa’ yang artinya hukum atau peraturan yang ditekankan oleh Raja Shang Yang; dan ‘shu’ yang artinya metode atau seni dalam mengurus masalah dan memperlakukan manusia yang dititikberatkan oleh Shen Buhai haruslah seimbang adanya. Maka katanya, “Penguasa yang cerdas menjalankan peraturan-peraturannya sejalan dengan alam ketuhanan, dan memperlakukan manusia seakan-akan ia adalah seseorang yang memiliki sifat ketuhanan. Sejalan dengan alam ketuhanan artinya adalah ia tidak melakukan hal yang salah. Dan seakan-akan ia adalah seorang yang memiliki sifat ketuhanan artinya adalah ia tidak mengalami kesulitan. ‘Shi’ menopang peraturan-peraturannya yang keras dan tak ada sesuatu pun yang mampu melawannya. Hanya bila demikian keadaannya maka ‘fa’ yang dibentuknya dapat dilaksanakan dengan benar.” Penguasa yang cerdas seperti alam ketuhanan bertindak sesuai dengan hukum secara jujur dan tidak memihak. Inilah fungsi ‘fa’. Ia seperti seseorang yang memiliki sifat ketuhanan karena ia memiliki seni dalam memperlakukan manusia, sehingga manusia memperoleh penanganan tanpa mengetahui bagaimana caranya mereka ditangani. Inilah fungsi shu. Demikian juga ia memiliki otoritas serta kekuasaan untuk menegakkan perintah-perintahnya. Inilah fungsi ‘shi’. Tiga hal yang terjadi secara bersamaan adalah “peralatan-peralatan para kaisar dan raja”, dan tidak ada satu pun di antaranya yang dapat diabaikan.
Namun sungguh ironis kisah mengenai Han Feizi. Ketika ajarannya banyak diterapkan di Qin sehingga mampu menaklukkan negara-negara lain, ia justru meninggal di dalam penjara pada tahun 233 SM. Peristiwa ini dilakukan oleh Li Si, teman seperguruannya yang karena iri dengan kecerdasannya dan takut kehilangan pengaruh, maka ia dengan licik memfitnah dan menjebloskan Han Feizi ke penjara melalui raja Qin serta memaksanya untuk bunuh diri dengan cara meminum racun.
“We’re supposed to be wrong.” Konsep berpikir ini terus berkembang menjadi filsafat yang kemudian dikenal dengan nama Fa Jia/Legalisme. Filsafat inilah yang akhirnya mempengaruhi seluruh kebijakan, keputusan, serta perbuatan para pemimpin dinasti Qin, seperti yang telah dikatakan oleh Francis Schaeffer, “I do what I think, and I think what I believe”. Seluruh tindakan kita akan dipengaruhi oleh apa yang kita imani. Pengaruh filsafat ini bukan hanya berhenti pada diri sang raja saja, tetapi juga mempengaruhi seluruh aspek kebudayaan pada masa itu. Seluruh sistem pemerintahan, militer, pendidikan, seni, dan sebagainya akan sangat dipengaruhi oleh filsafat yang hidup pada masa itu. Maka dengan dilatarbelakangi oleh filsafat ini, muncullah dinasti Qin beserta pencapaiannya dalam sejarah Tiongkok.
Sejarah Perkembangan Dinasti Qin
Dinasti Qin muncul pada konteks masa peperangan antar negara/warring state (255-222 SM) pada dinasti Zhou. Dinasti Zhou menganut sistem pemerintahan feodalisme, di mana kerajaan dibagi menjadi negara-negara bagian yang dipimpin oleh raja vassal. Raja vassal ini memerintah atas nama kaisar dan tunduk kepada kaisar. Perwujudan dari kesetiaan raja vassal kepada kaisar dinyatakan dengan menyerahkan upeti dan mengirimkan tentara kepada negara pusat apabila negara berada dalam ancaman. Tetapi pada akhir dinasti Zhou, banyak negara bagian yang mulai melepaskan diri dan menyerang negara pusat. Negara-negara bagian itu saling berperang satu dengan yang lainnya untuk memperebutkan wilayah dan kekuasaan tertinggi.
Asal mulanya Qin sendiri merupakan salah satu dari tujuh negara bagian terkuat dari sekian banyak negara bagian yang lain pada akhir dinasti Zhou. Negara Qin terletak di bagian barat laut Tiongkok dan merupakan negara yang paling kuat karena ia adalah yang paling awal melakukan reformasi di bidang militer dan pertanian. Oleh karena itu, negara bagian ini memiliki syarat material yang cukup untuk keluar sebagai “pemenang” dari masa peperangan antar negara dan menguasai seluruh Tiongkok. Maka, mulailah dinasti yang dinamakan dinasti Qin.
Dinasti Qin merupakan dinasti yang pertama kali berhasil menyatukan seluruh Tiongkok di bawah satu kekuasaan terpusat yang absolut. Kata “China” yang dipakai sekarang berasal dari nama dinasti ini, yaitu “Qin”. Penguasa dinasti ini menggelari dirinya dengan nama Qin Shihuangdi, yang berarti “kaisar pertama dinasti Qin”. Dia adalah penguasa pertama yang tidak menobatkan dirinya sebagai raja melainkan sebagai kaisar. Kata “Huang” dan “Di” di sini terdiri dari dua kata yang sama-sama memiliki arti “raja”. Hal ini menandakan bahwa gelar itu menyatakan Qin Shihuangdi adalah lebih dari sekedar raja.
Dinasti Qin merupakan dinasti yang tersingkat dalam sejarah Tiongkok, hanya berlangsung sekitar 14 tahun (221 – 207 SM). Meskipun demikian, persatuan seluruh Tiongkok di bawah dinasti ini memiliki arti yang sangat besar dalam sejarah Tiongkok.
Pencapaian pada dinasti Qin dalam usaha menyatukan seluruh Tiongkok:
1. Sistem Pemerintahan
Dinasti Qin meninggalkan sistem pemerintahan feodalisme dan memerintah dengan sistem sentralisasi/terpusat (kekuasaan sebesar-besarnya di tangan pemerintah pusat). Kaisar Qin membagi negerinya menjadi 36 provinsi yang terdiri dari beberapa kabupaten, kecamatan, dan kelurahan. Pejabat provinsi dan kabupaten dilantik dan dipecat oleh kaisar serta jabatan tidak dapat diwariskan seperti yang sering dilakukan pada dinasti sebelumnya. Sistem pembagian provinsi dan kabupaten yang dirintis oleh dinasti Qin ini berkembang menjadi sistem baku selama dua ribu tahun kemudian.
Untuk menghubungkan ke-36 provinsi di atas maka dibangunlah jalan raya. Jalan raya yang dibangun mencapai panjang 7.500 km, di mana jarak ini telah melampaui prestasi bangsa Romawi dalam membangun jalan raya.
Selain itu, kaisar Qin membuat struktur negara menjadi 3 perdana menteri dan 9 menteri. Dia mengubah sistem feodalisme istana menjadi sistem ketatanegaraan. Dalam hal ini, ada kemungkinan bahwa kaisar Qin adalah penguasa pertama yang menerapkan manajemen modern.
2. Pembangunan Seni Arsitektur
Pada masa dinasti Qin, bangsa barbar dari utara masih sering melakukan serangan. Untuk menangkal hal tersebut, Kaisar Qin memerintahkan pembangunan Tembok Besar dengan menyambung tembok-tembok besar yang dibangun oleh negara Qin, Chao, dan Yan pada masa lampau, sehingga terbentuklah Tembok Besar sepanjang lima ribu kilometer dari ujung barat ke ujung timur Tiongkok. Tembok ini merupakan satu-satunya bangunan di dunia yang dapat dilihat dari bulan tanpa bantuan alat.
Selain itu, Kaisar Qin juga mengerahkan 700 ribu tenaga dan mengalokasi dana dalam jumlah sangat besar untuk membangun Makam Gunung Lishan yang sekarang lazim disebut sebagai Makam Kaisar Qin, lengkap dengan prajurit terakota dan kuda dari Qin Shihuangdi. Di dalamnya diperkirakan terdapat 8.000 prajurit terakota dengan fitur wajah yang berbeda satu dengan lainnya, 130 kereta dengan 520 kuda dan 150 prajurit berkuda. Tujuan pembuatan prajurit terakota ini adalah untuk membantu Qin Shi Huang Di memerintah kerajaan di kehidupan selanjutnya.
3. Melakukan Standardisasi
Kaisar Qin melakukan standarisasi huruf dan ukuran yang berlaku di negerinya. Ia berhasil menyatukan huruf Han atau Kanji untuk dipakai di seluruh negeri. Oleh karena itu, sekarang Tiongkok hanya mengenal satu sistem penulisan huruf Mandarin. Hal ini merupakan dampak yang sangat penting dalam pembentukan sejarah dan pertukaran kebudayaan di Tiongkok.
Selain itu, Kaisar Qin juga melakukan standarisasi terhadap ukuran panjang, isi, dan berat. Hal tersebut dikarenakan standar ukuran yang berbeda-beda di berbagai daerah menimbulkan masalah yang serius bagi perkembangan ekonomi. Demikian pula dengan hukum dan mata uang disatukan dalam satu standar.
Dampak tindakan Qin Shi Huang di dalam usaha mempersatukan seluruh Tiongkok:
1. Pembakaran Buku
Untuk meningkatkan kekuasaan monarki di bidang pemikiran, pada tahun 213 SM Kaisar Qin memerintahkan untuk membakar semua buku sejarah negara lain, buku karya para ahli filsafat zaman sebelumnya, dan kitab ajaran Konfusianisme, terutama buku ajaran yang bertentangan dengan ajaran Fa Jia. Mereka yang berani menyimpan buku-buku itu akan dibunuh dengan cara dikubur hidup-hidup. Buku yang tidak dimusnahkan adalah buku mengenai pertanian dari Nong Jia (ilmu pertanian), buku seni perang dari Bing Jia, buku ramalan, buku-buku pengobatan, dan kitab sejarah yang disimpan oleh pejabat sejarah. Pemusnahan karya tulisan ini dilakukan untuk menghindari kritik terhadap kaisar Qin dan ajaran Fa Jia yang dianutnya.
2. Korban dalam Pembangunan Tembok Besar (The Great Wall)
Pembangunan Tembok Besar menimbulkan banyak sekali korban jiwa. Hal ini disebabkan karena buasnya alam dan kurangnya prasarana pada masa itu. Bahkan, karena tidak ada waktu untuk menguburkan korban yang meninggal dalam pembuatan tembok itu maka mayat-mayat dimasukkan ke dalam Tembok Besar tersebut.
Runtuhnya Dinasti Qin
Karena kekejamannya, dinasti Qin tidak bertahan lama dan hanya berlangsung selama dua generasi. Kaisar Zheng (Qin Shihuangdi) wafat pada tahun 210 SM saat sedang dalam perjalanan. Seharusnya yang ditunjuk sebagai pengganti adalah putera pertama kaisar yang bernama Fusu. Tetapi Li Si, seorang penasehat kaisar merekayasa sedemikian rupa sehingga putera kedua raja yang bernama Huhai naik takhta dan memperoleh gelar Ershi Huangdi (Kaisar Kedua).
Pada masa pemerintahan Huhai, terjadi penindasan yang lebih besar terhadap rakyat dengan cara menaikkan pajak. Rakyat pada masa itu sangat menderita, seperti yang diungkapkan oleh sejarawan pada zaman dinasti Han, Dong Zhongshu, yaitu, “Orang miskin kerapkali memakai pakaian lembu dan kuda serta makan makanan anjing dan babi”. Oleh karena itu, para petani yang telah menderita hidupnya di bawah dinasti Qin melakukan banyak pemberontakan. Pemberontakan ini kemudian semakin banyak dan meluas.
Dalam keadaan kacau tersebut tampillah tokoh Liu Bang dan pasukannya yang mengadakan pemberontakan (206 SM). Pemberontakan ini berhasil dan Ziying, kaisar terakhir dinasti Qin yang baru memerintah selama 46 hari menyerah pada Liu Bang. Dengan demikian, dinasti Qin pun berakhir dan Liu Bang berhasil menduduki takhta serta mendirikan dinasti baru bernama dinasti Han.
Dinasti Qin dan Christian Worldview
Tiongkok merupakan suatu negara yang sangat besar dan bukanlah merupakan suatu negara yang dapat dipandang sebelah mata. Dalam perkembangan budaya di Tiongkok, kita dapat melihat adanya wahyu umum yang sangat limpah yang telah Allah berikan. Berbagai penemuan penting dalam bidang ilmu, politik, seni, dan lain-lain telah ditemukan lebih dulu di tempat ini dibandingkan dengan negara lain. Di tengah-tengah segala kemegahan dan anugerah yang Tuhan berikan selama masa dinasti Qin, tidak bisa tidak kita harus sekali lagi melihatnya dari kacamata wahyu khusus, yaitu Firman dari Tuhan atas sejarah.
Dari cerita singkat di atas, kita dapat melihat bahwa dinasti Qin muncul dalam konteks masa yang kacau, di mana terjadi peperangan antar bangsa (warring state) di Tiongkok. Yaitu pada masa di mana Tiongkok terpecah-pecah, terbagi-bagi, dan saling memperebutkan kekuasaan tertinggi dan menjadi yang terkuat. Dengan dasar filsafat Fa Jia inilah, negara Qin mencoba menyelesaikan keadaan permasalahan yang ada dan mempersatukan seluruh Tiongkok.
Han Feizi berpendirian bahwa “Rusaknya ketertiban dan hilangnya keharmonisan” ini disebabkan oleh tradisi lama “rule by virtue” (pemerintahan berdasarkan kebajikan). Oleh karena itu, tradisi ini harus diganti, dan Han Feizi membuat satu ide ekstrem yang berintikan “Semua adalah demi kepentingan diri sendiri”. Han Feizi berkata, “Tabib mengobati orang, itu demi uang. Orang yang jual peti mati pasti mengharapkan orang cepat mati.” Ia berpendapat bahwa dunia nyata adalah dunia yang kejam maka kepentingan pribadi harus didahulukan. Maka, emosi kekeluargaan yang hangat diganti dengan menghalalkan segala cara demi mengejar kepentingan pribadi. Kalau diperlukan, dalam sehari melakukan seratus kali peperangan pun tidak ada salahnya! Semangat bisnis yang menggebu-gebu menggantikan pembicaraan moral yang serius. Saat itu, kontradiksi masyarakat sudah mencapai puncaknya. Apa gunanya berbicara tentang “cinta kasih”? Toh… We’re supposed to be wrong. Sampai pada akhirnya beliau berkata, “Yong fa zhi xiang ren, er qu ren zhi xiang lien”, artinya: Jalankan undang-undang tanpa ampun, buang jauh-jauh kasih mengasihi antar manusia!
Inilah konsep manusia berdosa yang berada di dalam dunia yang berdosa. Melihat dan berusaha menyelesaikan permasalahan dosa dengan cara berpikirnya yang berdosa, dicipta, serta terbatas (polluted, created, limited). Segala sesuatu adalah dari diri, oleh diri, kepada diri, bagi diri kemuliaan sampai selama-lamanya. Yang dikejar adalah egoisme diri dan membuang nilai kebenaran, kesucian, kekudusan, dan cinta kasih yang Tuhan berikan kepada manusia sebagai gambar dan rupa Allah.
Filsafat Fa Jia mencoba menyelesaikan dilema yang terjadi dengan hukum/law (‘fa’). Di satu sisi, mereka melihat bahwa semua manusia pada dasarnya adalah jahat dan mereka semua hanya mencari keuntungan dan kesenangan pribadi. Di sisi lainnya, mereka menyadari bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri. Mereka bergantung kepada sesamanya satu dengan yang lain. Di tengah desakan untuk hidup bersama-sama/bersatu dalam keanekaragaman keinginan pribadi setiap individu yang terus berusaha mencari pemenuhannya, untuk menghindari kekacauan/chaos maka dibuatlah ukuran atau batasan, yaitu ‘fa’. Dengan begitu, ‘fa’ inilah yang akhirnya menjadi pemersatu mereka sekaligus memisahkan mereka dari keanekaragaman tiap individu yang berbeda. Terciptalah suatu keadaan “unity without diversity”.
Arah dari filsafat Fa Jia ini adalah ingin menyakinkan bahwa yang ada itu seharusnya satu dunia, satu pemerintahan, satu sejarah, dan satu jalan pemikiran. Maka Qin Shihuangdi dalam kebijakannya telah memusnahkan seluruh catatan sejarah kecuali catatan dinasti Qin. Ia memusnahkan buku karya para ahli filsafat zaman sebelumnya yang bertentangan dengan ajaran Fa Jia, kecuali buku-buku teknis yang tidak memiliki hubungan dengan ideologi, seperti buku tentang kedokteran dan pelajaran-pelajaran yang bersifat praktis. Para sarjana yang menolak untuk menyerahkan buku-buku tersebut akan menjalani hukuman dikubur hidup-hidup. Qin Shihuangdi mencoba membuat persatuan tanpa ada perbedaan.
Seluruh peraturan (fa) ini harus dijalankan oleh seorang yang memiliki otoritas dan kuasa (shi) yang besar. Maka, muncullah Qin Shihuangdi sebagai Kaisar dan menjalankan hukum dengan siasat/strategi (shu) untuk merealisasikannya. Filsafat Fa Jia menggabungkan ketiga hal ini (fa-shu-shi). Han Feizi berkata, raja Shang Yang hanya mengerti undang-undang dan tidak mengerti siasat. Shen Buhai hanya bicara tentang siasat dan tidak mengerti undang-undang, sedangkan Shen Dao hanya menekankan kekuasaan. Han Feizi berkata, hanya “fa, shu, shi” atau “Undang-Undang, Siasat, dan Pengaruh” yang menyatu sajalah keberhasilan dapat tercapai.
Inilah satu otoritas, satu pemimpin yang absolut dari seorang manusia berdosa. Qin Shihuangdi mengklaim dirinya sebagai “Anak Langit” yang menjalankan Tian Ming (mandat Surga), yaitu mempersatukan seluruh Tiongkok di bawah satu langit (Tian Xia). Ia menjadikan dirinya sebagai pusat segala sesuatu dan menjadi seperti Allah. Inilah manusia berdosa yang memimpin manusia berdosa. Di antara sejumlah kebijakan yang dibuat oleh Qin Shihuangdi untuk menyatukan Tiongkok, yaitu dalam bentuk unifikasi pemikiran, ia telah menundukkan seluruh negara yang menjadi lawannya dengan kuasanya yang otoriter. Salah satu penasehatnya, Li Si, menyampaikan peringatan kepada Shihuangdi, “Pada zaman dahulu dunia berada dalam kondisi terpecah-belah dan dalam keadaan kacau… orang-orang menghargai apa yang telah mereka pelajari sendiri secara pribadi, sehingga tidak menghormati lagi apa yang telah ditetapkan oleh atasan-atasan mereka.” Ia ingin menyakinkan bahwa yang ada itu seharusnya satu dunia. Dan satu Tian Xia itu dipimpin oleh seorang berdosa yang otoriter untuk menjalankan Tian Ming yang sebenarnya berasal dari ambisi dan hukum manusia sendiri. Maka, tidaklah mengherankan bila demi membangun Tembok Besar Tiongkok/Great Wall dalam mempersatukan Tiongkok, menimbulkan banyak sekali korban.
Ide pemerintahan berdasarkan hukum mengantikan pemerintahan berdasarkan berkebajikan ini telah membuka jalan bagi lahirnya pemerintahan sentralistik yang “dengan kekerasan mengatasi kekerasan”. Sebuah pemerintahan berdasarkan “fa” serta dijalankan oleh seorang Kaisar yang penuh kuasa absolut. Ide inilah yang berhasil mengakhiri masa Warring State menuju negara kesatuan sentralistik dinasti Qin yang perkasa tetapi berusia pendek.
Ironis, ide Fa Jia ini hanya bertahan tidak sampai seratus tahun. Selanjutnya ideologi ini hilang dari proses pembangunan budaya feodal-agraris Tiongkok yang berkelanjutan selama dua ribu tahun. Seterusnya, ide kenegaraan rival utamanya Ru Jia (Rule by Virtue) yang berhasil bertahan hingga kini. Kaum Ru yang mempertahankan tradisi, menekankan kebajikan, anti kekerasan, yakin bahwa manusia itu asalnya baik, akhirnya berkembang hingga sekarang. Han Feizi selain gagal mendapatkan kekuasaan yang stabil, malah menjerumuskan rakyat ke dalam pemerintahan tiran yang kejam.
Kita harus mengakui, Han Feizi hidup pada zaman peralihan untuk mengantar dari situasi peperangan antar negara. Sistem feodalisme menjadi suatu sistem kenegaraan yang bersatu dan terpusat. Jalan satu-satunya adalah mendobrak tradisi lama, yaitu mengganti “rule by virtue” dengan “rule by law”. Di dalam kedaulatan Tuhan, dinasti Qin dan filsafat Fa Jia ini pada sisi-sisi tertentu telah memberikan sumbangsih bagi sejarah Tiongkok hingga sekarang.
Ide politik pada zaman dinasti Zhou yang diikat berdasarkan kekerabatan/hubungan darah/keningratan telah didobrak dan diubah menjadi ikatan kekuasaan teritorial yang terpusat. Penguasa daerah yang memiliki kekuasaan teritorial telah ditunjuk dari pusat dan dia harus tunduk pada kekuasaan pusat. Sistem kenegaraan berdasarkan strata birokrasi masyarakat agraris sudah ada dua ribu tahun lebih awal dari ide kenegaraan Max Weber yang berdasarkan strata birokrasi masyarakat industri.
Manusia sebagai gambar dan rupa Allah, pada mulanya diciptakan dengan sungguh amat baik dan memiliki sifat cinta kasih, kebajikan, kesucian yang merepresentasikan Penciptanya. Meskipun telah jatuh ke dalam dosa dan sifat-sifatnya menjadi rusak total, tetapi tidak berarti kehilangan total akan kemanusiaannya. Ketika filsafat Fa Jia ingin menyelesaikan efek dosa yang terjadi, ia berusaha menghilangkan sama sekali atribut manusia tersebut dan ia gagal.
Jadi, dapatkah hukum menyelesaikan permasalahan yang ada? Dapatkah hukum menyelesaikan permasalahan dosa yang bekerja sedemikian hebatnya dalam diri manusia? Ternyata tidak! Justru karena hukumlah kita mengenal dosa, demikian kata firman Tuhan, “Roma 3:20, Sebab tidak seorang pun yang dapat dibenarkan di hadapan Allah oleh karena melakukan hukum Taurat, karena justru oleh hukum Taurat orang mengenal dosa.”
Syukur kepada Allah yang memberikan kita pengharapan dalam diri Tuhan kita Yesus Kristus. Dengan pengorbanan-Nya di kayu salib, ia telah menyelesaikan permasalahan terbesar umat manusia, yaitu dosa. Melalui saliblah, hukum dan kasih itu bertemu. Karena cinta kasih yang begitu besar kepada dunia berdosa ini, Ia telah menggenapi hukum Taurat dan membebaskan kita dari dosa. Apakah respons kita?
Demikianlah kasih mengikat dan mempersatukan. “Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan” (Kolose 3:14). Di dalam Kristuslah kita mendapat persatuan yang sejati. Di dalam kasih Kristuslah, kita dipersatukan dan disempurnakan sebagai satu tubuh Kristus. Karena kasih adalah kegenapan hukum, dan bukan meniadakannya. “Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia, karena itu kasih adalah kegenapan hukum Taurat” (Roma 13:10).
Ketika cinta kasih (love) telah hilang, maka yang ada adalah hukum (law). Ketika hubungan kasih antara orang tua dan anak telah hilang maka yang ada adalah peraturan, hukuman, kewajiban, dan tuntutan. Ketika hubungan kasih antara suami dan isteri telah hilang maka yang ada adalah batasan. Ketika cinta kasih kita kepada Tuhan telah sirna maka yang ada adalah job description, rutinitas, program, aktivitas. Itulah persembahan dan pelayanan yang memuakkan hati Tuhan. “Sebab itu Aku telah meremukkan mereka dengan perantaraan nabi-nabi, Aku telah membunuh mereka dengan perkataan mulut-Ku, dan hukum-Ku keluar seperti terang. Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran” (Hosea 6:5-6).
Sudahkah kita kembali dipenuhi cinta kasih Kristus yang telah menjadi iman pengharapan kita? Sudahkah kita menempatkan Kristus sebagai ultimat tertinggi, sebagai Kaisar yang absolut atas hidup kita? Sudahkah kita mengenakan kasih sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan? Sudahkah kira menjalankan Tian Ming (mandat surga) sebagai panggilan kita masing-masing atas kehendak Allah, di dalam Tian Xia (kolong langit), yaitu Kerajaan Allah itu sendiri?
“Damai sejahtera dan kasih dengan iman dari Allah, Bapa dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai sekalian saudara. Kasih karunia menyertai semua orang, yang mengasihi Tuhan kita Yesus Kristus dengan kasih yang tidak binasa.” [Efesus 6:23-24]
Andre Winoto, Dorothy, Rebecca Puspasari
REDS – Culture
Referensi:
- http://indonesian.cri.cn/chinaabc/chapter14/chapter140104.htm
- http://osdir.com/ml/culture.region.china.budaya-tionghua/2005-11/msg00172.html