Mungkin salah satu istilah kekristenan yang paling ironis adalah kerendahan hati. Ironi yang paling lucu ini muncul ketika kita membicarakan kerendahan hati kepada orang lain, namun pada saat yang bersamaan, kita pun tak menunjukkan kualitas tersebut dalam banyak hal. Ibaratnya, selama ini kita sering menyuarakan dengan lantangnya kepada orang lain untuk meneladani Pdt. Stephen Tong, tetapi pada saat yang bersamaan, kita pun tidak meneladaninya. Ketika kita menemukan hidup pelayanan orang lain terlihat seadanya, jargon itu kita keluarkan. Tetapi, mari kita berlaku fair. Pak Tong adalah seorang hamba Tuhan yang serius dalam mempelajari firman, bagaimana dengan diri kita? Jangan-jangan kita malah lebih sibuk mencari kelemahan orang lain sembari kita sendiri tidak menjalankan tugas, panggilan, dan tanggung jawab kita sendiri.
Lebih ironis lagi, bila kita yang menelantarkan tugas panggilan tersebut ternyata, katanya, adalah orang yang sudah terpanggil (oleh Tuhan) untuk mengkhususkan diri di dalam pelayanan firman. Namun, ketika firman itu diminta untuk diberitakan, kita gelagapan dan tidak serius; lebih banyak bercandanya, cengengesannya, dan kita jadikan mimbar lebih mirip panggung stand-up comedy (jadi siapa sih yang sesungguhnya tidak menghargai mimbar?). Kalau begini, bagaimana kita bisa menuntut orang lain untuk serius belajar firman kalau kita saja tidak?
“Heh, emang lu kira gampang persiapin materi? Coba deh lu yang siapin.” Memang pasti tidak gampang, semua yang dikerjakan mepet ya pasti tidak gampang. Semua tugas yang baru mulai dikerjakan pada sisa-sisa hari menjelang pengumpulan pasti diperhadapkan pada kesulitan dan stres. Pertanyaannya, pada hari-hari sebelumnya kita ngapain? Sibuk “pelayanan”? Ini menandakan ada gap yang besar antara jargon yang: 1) kita teriakkan secara gagahnya, 2) kita asosiasikan terhadap diri kita, dan 3) realitas yang sesungguhnya dari apa yang kita jalankan.
Ini kan ironis. Bukankah ini hanya akan menjadi sebuah bahan tertawaan? Pak Tong begitu serius soal mimbar, kita tidak. Pak Tong serius soal kerja keras dan ketekunan di dalam mempelajari firman, kita? Tidak juga. Tetapi herannya kita masih merasa bahwa kita begitu dekat dengan kekristenan, begitu merasa mewakili semangat kekristenan. Heran, bukan?
Sikap kita yang seperti ini justru hanya makin menjadikan jargon “kita harus meneladani Pak Tong” sebagai sebuah basa-basi (padahal kita sendiri yang sering meneriakkannya). Kalau sudah begini, bukankah wajar bila muncul orang-orang yang menghina kita, yang tidak lagi mau mendengarkan kita, oleh karena memang kita berstandar ganda (kalau tidak mau disebut munafik)? Kepada yang di luar, kita begitu keras, tetapi kepada diri dan kelompok sendiri, kita begitu toleran. Lalu kita masih merasa layak untuk menuntut mereka, yang tidak mau mendengarkan kita itu, untuk bersikap rendah hati?
Memang paling sulit mengintrospeksi diri kalau selama ini sejatinya kita selalu mendasarkan kehidupan kita pada citra yang kadang terlalu dilebih-lebihkan. Citra kelompok rohani yang orientasinya hanyalah selalu soal Kerajaan Allah, Kerajaan Allah, dan Kerajaan Allah. Pokoknya plus-plus bangetlah. Namun kini ketika semua itu harus diuji, dan terbukti bahwa memang kita tidak serius dengan semua ocehan keren kita itu, bisakah kita menjadi rendah hati sebagaimana narasi-narasi “kerendahan hati” yang kita tuntut dari orang lain itu? Atau lagi-lagi kita hanya akan menyalahkan yang lain, yang “pada sibuk sendiri” itu karena tidak mau mendengarkan kita yang, jujur sajalah, munafik?
Kan lucu bila kita hanya bersemangat ketika bersuara bagi mereka yang di luar kita, sambil kita sendiri tak rela membayar harga untuk menjalani apa yang kita teriakkan itu. Sampai pada titik ini, satu pertanyaan sederhana saja bagi kita: Jadi, siapa yang sebenarnya harus rendah hati? Mereka atau kita? Kalau kita masih tidak bisa melihat bagian dan tanggung jawab kita terlebih dahulu, orang akan muak mendengarnya. Akhirnya, kita memang tidak ada bedanya dengan dunia. Kita hanya lebih munafik saja dari orang-orang yang sering kali kita katakan kafir itu. Dalam dunia ada pepatah bahwa hukum yang korup hanya selalu “tajam ke bawah, tumpul ke atas”. Semoga kita tak sampai dikatakan sebagai orang Kristen yang korup, yang tahunya hanya menerapkan dalih agama dengan model “tajam ke luar” tetapi “tumpul ke dalam”.
Di akhir dari sebuah refleksi singkat ini, mari kita yang sombong ini tidak berhenti berharap. Berharap supaya kita bertobat, dan kiranya kerendahan hati yang sejati itu dianugerahkan-Nya kepada kita. Ya kita, kita yang sering kali hanya bisa membicarakannya dan menuntutnya dari orang lain, bukan dari diri sendiri.
Nikki Tirta
Pemuda FIRES