Apakah perbedaan antara orang tersesat yang sadar bahwa dirinya tersesat dengan orang tersesat yang tidak sadar bahwa dirinya sedang tersesat? Seorang yang tersesat dan sadar bahwa dia sedang tersesat tidak mungkin tenang. Dia akan gelisah untuk mencari tuntunan, petunjuk, dan tanda yang dapat menunjukkan jalan agar dia dapat kembali. Alangkah sengsaranya jikalau kita sadar bahwa kita sedang tersesat dan ternyata tidak ada petunjuk apapun untuk membuat kita kembali ke jalan yang benar. Tetapi yang lebih sengsara sebenarnya adalah orang yang belum sadar bahwa dia sedang tersesat. Dia berjalan dengan tenang, tak kekurangan suatu apapun, tetapi sebenarnya dia sedang berada dalam ketenangan dan jaminan yang palsu. Lebih celaka lagi bila dia terus tidak sadar hingga akhirnya terlambat untuk kembali ke jalur yang benar.
Semua manusia telah kehilangan arah dalam menjalani hidup karena dia tidak lagi hidup untuk Tuhan. Semua manusia lebih memilih menuruti diri daripada menuruti Allah. Alkitab mengatakan semua manusia (baik yang memiliki tradisi menyembah Allah yang Esa maupun para kaum kafir yang menyembah berhala-berhala) sebenarnya hidup menuruti keinginan nafsunya sendiri, dan dengan menuruti keinginan ini telah jatuh di bawah kebertundukkan akan segala roh yang bekerja di antara orang-orang durhaka (Efesus 2:1-3). Tetapi, sebagaimana telah ditulis di atas, ada orang-orang yang tidak sadar kalau dia sedang tersesat. Alkitab mengatakan bahwa semua orang telah berbuat dosa (Roma 3:23), tetapi masih ada juga orang-orang yang merasa mereka tidak termasuk di dalamnya. Mengapa demikian? Karena mereka belum sadar apa yang dimaksud dengan dosa dan apa dampak dari dosa itu sebenarnya. Apakah dosa itu? Apakah dosa adalah segala bentuk pelanggaran moral? Lalu apa standar yang boleh dipakai untuk mengukur bahwa sebuah tindakan moral itu sudah melanggar? Kalau seorang polisi memberikan surat tilang karena kamu mengecat mobil dengan warna merah, tentu kamu akan protes. Mana ada aturan yang melarang mengecat mobil dengan warna merah? Coba, Pak, mana undang-undang yang menyatakan bahwa cat merah itu dilarang? Berarti harus ada standar yang menjadi acuan bersama. Demikian juga dengan moralitas. Apakah yang menjadi acuan? Kita akan melihat standar dari moralitas menurut Kant.
Kant menganggap bahwa setiap tindakan manusia itu haruslah memiliki satu maxim, yaitu dapat diberlakukan secara universal. Dengan demikian, kebertundukkan kepada prinsip ini akan membuat setiap orang tahu bagaimana harus bertindak dengan benar. Apakah berbohong itu baik? Bayangkan apa yang terjadi kalau semua orang berbohong. Tidak ada lagi saling percaya dan semua orang pasti curiga satu sama lain. Berarti berbohong tidak dapat memenuhi prinsip universal itu. Lalu, bagaimana dengan kejujuran? Ternyata kejujuran boleh, karena kalau semua orang hidup dengan jujur, maka dunia akan menjadi makin baik. Inilah maxim itu. Kalau begitu semua orang ditentukan oleh suatu ukuran absolut yang bernama “moralitas yang universal.” Segala sesuatu dilihat dari sudut pandang ini. Apakah yang disebut dengan dosa? Dosa adalah segala tindakan yang secara moral menyimpang. Mencuri, membunuh, penyimpangan seksual, korupsi … nah, ini semua namanya dosa. Siapa yang tentukan? Standar universal. Ada maximnya, demikian kata Kant, yaitu harus dapat jadi prinsip yang ditaati oleh semua manusia. Prinsip ini diambil dari mana? Rasio manusia. Lho? Ini dia … penyakit lama yang sudah setua dialog antara ular dan Hawa di Taman Eden. Manusia mau menjadi seperti Allah, mampu menentukan sendiri mana yang baik dan mana yang jahat.
Sebenarnya, ketika manusia menyatakan diri bebas dari Allah, dia sedang memperhambakan dirinya sendiri pada suatu prinsip absolut yang abstrak. Prinsip yang mengikat secara absolut, tetapi tidak bersifat “pribadi.” Van Til mengatakan ini dengan istilah “absolute non-personal god.” Kita pikir yang namanya “god” itu harus tinggal di kuil, diberi sesajen, disembah pakai asap-asap segala, dan pemujanya berteriak-teriak, “Baal, we cry to thee…!!” Tetapi tidak. Prinsip yang mengikat secara absolut, yang menggantikan Allah sebagai pengatur hidup manusia, juga adalah “god” yang tidak perlu bersemayam di kuil buatan tangan manusia. Apakah “god” itu? Dia adalah suatu prinsip. Prinsip apa? Prinsip yang mengikat secara absolut. Tetapi sekarang zaman postmodern, tidak ada yang absolut! Baik, berarti prinsip absolutmu adalah “Tidak ada yang absolut!” dan “Tidak ada yang absolut!” inilah “god” mu! Manusia memang harus menyembah sesuatu. Tidak bisa tidak. Coba pikirkan betapa liciknya ular. Dia berkata, “Yuk, makan buah ini … nanti kamu jadi seperti Allah, tahu mana yang baik dan mana yang jahat.” Tetapi dia “lupa” menjelaskan bahwa kalau manusia makan buah ini, dia akan menyembah prinsip-prinsip, yang walaupun bukan Allah, tetapi mengikat dan menundukkan mereka secara absolut.
Ketika manusia ditundukkan oleh sesuatu yang non-personal, akan ada tiga kemalangan yang menimpa mereka. Yang pertama adalah manusia menjadi seteru dari Allah yang Personal dan juga Absolut. Allah berkata bahwa Dia akan membinasakan setiap orang yang telah menolak Dia dengan menggantikan Dia dengan allah lain (Keluaran 20:3 dan Yeremia 15:6). Yang kedua adalah manusia direndahkan martabatnya sebagai gambar dan rupa Allah. Kalau manusia adalah Imago Dei, masakan manusia ditundukkan di bawah suatu prinsip-prinsip yang bukan Allah? Kalau manusia bersifat personal, mengapa dia harus tunduk kepada sesuatu aturan absolute yang non-personal? Mengapa dia harus menaklukkan diri kepada sesuatu yang tidak bersifat pribadi? Bukankah yang personal lebih besar dari yang non-personal? Lalu kemalangan yang ketiga adalah sesuatu yang bersifat absolute tetapi non-personal, tidak mungkin memiliki tujuan yang benar bagi hidup manusia. Coba tanya Kant, apa tujuan dari bertindak sesuai ketentuan moral? Kant akan menjawab, “Lakukanlah sesuatu karena sesuatu itu baik pada dirinya sendiri.” Jangan mencuri. Mengapa? Karena itulah yang baik. Baik pada dirinya sendiri, bukan baik pada tujuan yang dapat dicapainya. Tetapi kalau terus didesak, paling banter jawaban yang dapat diberikan adalah demi tercapainya suatu kualitas hidup yang lebih baik, yaitu hidup bermoral yang bebas dari perang dan kebodohan. Lalu untuk apa hidup bermoral yang bebas dari perang dan kebodohan? Tidak tahu. Karena prinsip non-personal ini tidak mungkin menjadi tujuan hidup kita. Bukankah aneh kalau ada seseorang yang berkata, “Tujuan hidup manusia adalah untuk memuliakan moralitas dan menikmati dia selama-lamanya”?
Beberapa dari kita mungkin tertawa dengan prinsip mengabsolutkan moral seperti yang dilakukan Kant. Tetapi saya hanya mengambil ini sebagai contoh. Bagaimana kalau kata moral diganti dengan uang? Nah, mungkin lebih dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, ya? “Tujuan hidup manusia adalah memuliakan uang dan menikmati dia selamanya!” Terdengar lucu? Lucu, ya, bagaimana suatu prinsip yang kita jalani dalam hidup terdengar begitu aneh ketika dirumuskan seperti ini? Tetapi ini yang terjadi. Ketika prinsip-prinsip non-personal menjadi absolut, dia tidak akan menawarkan tujuan apapun bagi hidup manusia dan itu membuat manusia berjalan dalam suatu lostness yang dia sendiri tidak sadari. Apapun di luar Tuhan yang mengatur hidup saudara secara absolut pasti akan membuat saudara tersesat dalam menjalani hidup ini. Pdt. Sutjipto Subeno pernah berkhotbah dengan suatu dialog yang lucu, yang kira-kira seperti demikian:
“Untuk apa sekolah baik-baik?”
“Supaya dapat kerjaan yang baik”
“Untuk apa kerjaan yang baik?”
“Supaya dapat uang yang banyak”
“Untuk apa uang yang banyak?”
“Biaya sekolah anak, supaya dapat pendidikan yang baik”
“Untuk apa anak dapat pendidikan yang baik?”
“Supaya dia dapat kerjaan yang baik”
“Untuk apa dia dapat kerjaan yang baik?”
“Supaya dapat uang yang banyak”
“Untuk apa uang yang banyak?”
“Biaya sekolah anaknya, supaya dapat pendidikan yang baik”
Perlu diteruskan? Kalau diteruskan, maka tulisan ini dapat menjadi tulisan terpanjang sepanjang masa dari Buletin PILLAR. Lucu sekali bagaimana manusia tersesat tanpa sadar mereka sedang tersesat. Lucu sekali bagaimana hidup menjadi sedemikian tidak berharganya tetapi kita masih bisa sombong dan menganggap kita hebat. Lucu sekali karena kita mencari sesuatu yang tidak berharga dengan mengorbankan waktu, tenaga, bahkan hidup yang sudah Tuhan karuniakan kepada kita, dan kita malah bangga karenanya. Apa sih, yang Saudara cari dalam hidup? Siapa yang tentukan sasaran itu? Tuhan-kah? Atau suatu prinsip absolute non-personal? Mungkin kita akan terus menjalani hidup dengan prinsip dan sasaran yang salah. Mungkin kita sampai mati tidak pernah sadar. Mungkin ada yang sadar ketika hampir mati. Sadar betapa banyaknya tahun-tahun yang sudah dibuang untuk suatu pencarian yang sia-sia. Sadar bahwa tahun-tahun itu tidak mungkin lagi kembali. Menangis hingga segenap kekuatan pun tidak akan mengembalikan segala kesempatan yang telah dibuang dengan percuma. Berbahagialah orang yang tersadar dengan segera bahwa dia sedang tersesat. Biarlah orang tersebut menjadi gelisah dan, dengan anugerah Tuhan, disadarkan untuk membuang segala allah-allah palsu yang telah menuntun dia dalam kesesatan. Berbahagialah dia yang cepat tersadar untuk menyembelih semua nabi Baal itu, yang telah membuat umat Tuhan membuang-buang segala karunia Tuhan hingga mereka sendiri harus dibuang jauh ke Babel, dan kembali kepada satu-satunya Allah yang Mutlak dan Berpribadi.
Ketersesatan manusia hanya dapat teratasi ketika seseorang tahu siapa Penciptanya. Dalam tulisannya, “The End for which God Created the World,” Jonathan Edwards, yang lahir 20 tahun sebelum Immanuel Kant lahir, telah memiliki konsep yang jauh lebih jelas daripada Kant. Edwards mengatakan bahwa Allah menyatakan kemuliaan-Nya dalam ciptaan sehingga restorasi ciptaan ini untuk kembali menyatakan kemuliaan-Nya secara makin sempurna adalah tujuan dari seluruh ciptaan ini. Zaman Edwards adalah zaman di mana orang-orang mulai kembali mencintai Aristotle dengan konsep absolute non-personal yang dirasa begitu cocok dengan kebangkitan science. Tetapi Edwards memiliki suatu konsep yang berbeda. Konsep Aristotelian melihat suatu kaitan dari yang absolut sebagai yang menggerakkan segala sesuatu, tetapi yang absolut ini bahkan tidak sadar bahwa ada sesuatu yang lain di luar dirinya karena yang absolut ini hanya memiliki kesadaran tentang dirinya sendiri. Karena yang absolut ini adalah yang paling sempurna, maka dia tidak dapat memikirkan apapun di luar dirinya sendiri. Tetapi, karena dia juga adalah yang absolut, maka dia menjadi penggerak yang tidak digerakkan (unmoved mover). Wah, ini cocok sekali untuk menerangkan dari mana asal dunia ini dan mengapa bisa ada keteraturan dalam dunia, tanpa harus menerima ada suatu Pribadi yang Absolut yang menuntut pertanggungjawaban kita. Tanpa ada Pribadi yang Absolut hanya akan ada sang unmoved mover yang tidak berdaya menuntut tanggung jawab manusia. Dengan demikian manusia bebas menentukan tujuan hidup… tetapi justru di sinilah manusia menjadi tersesat. Bagaimana mungkin tidak tersesat? Kalau yang absolut saja tidak sadar akan dunia ini, apalagi yang tidak absolut? Tetapi Edwards melawan konsep ini dengan mengatakan bahwa Allah terlibat secara aktif dan bekerja secara aktif untuk menyatakan kemuliaan-Nya dalam ciptaan ini. Allah menjadikan diri-Nya sendiri tujuan dari ciptaan ini dan Dia menuntut semua ciptaan ini untuk sinkron dengan diri-Nya. Apakah ini merupakan sesuatu yang egois? Edwards mengatakan tidak. Mengapa? Karena menjadikan Allah sebagai tujuan merupakan hal terbaik yang dapat dialami oleh ciptaan, termasuk manusia. Tujuan penciptaan adalah kembali kepada Allah. Tujuan penciptaan adalah kemuliaan Allah dinyatakan dalam ciptaan-Nya. Tujuan penciptaan manusia adalah agar manusia mempermuliakan Allahnya. Di sinilah kebahagiaan sejati manusia. Di sinilah jalur yang benar itu. Di luar jalur ini, Saudara sedang tersesat.
Edwards menulis “The End for which God Created the World” ini untuk dilanjutkan dengan sebuah disertasi yang berjudul “The Nature of True Virtue”. Tetapi, setelah perjuangan berat membaca “The End for which God Created the World” rasanya membaca lagi “The Nature of True Virtue” sangat melelahkan. Memang benar kata Pengkhotbah, banyak belajar melelahkan badan. Apalagi baca dua karya “ribet” dari Edwards ini. Tetapi bersyukurlah karena Jonathan Edwards adalah seorang gembala. Karena dia adalah seorang gembala maka dia mencatat beberapa pertobatan dari jemaatnya yang sangat mengharukan. Dia mencatat tiga pertobatan ini dalam tulisannya, “The Narrative of Surprising Conversions.” Narasi ini menunjukkan kerendahan hati Edwards karena ketiga pertobatan yang dianggap luar biasa ini bukanlah pertobatan dari pelayanan Edwards. Ketiga petobat baru ini mengalami perubahan hidup yang membuat kita sadar bahwa selama ini kita masih terus bermain-main dengan hidup kita di hadapan Tuhan. Kalau dalam “The End for which God Created the World” Edwards membahas secara filosofis, maka “The Narrative of Surprising Conversions” ini adalah contoh aplikasinya. Seorang petobat baru yang dicatat Edwards di sini mengalami perubahan hidup yang luar biasa. Dia melihat apa maksudnya Allah menyatakan kemuliaan-Nya dalam ciptaan ini. Dia dapat menikmati matahari pagi, dan seluruh kejadian dalam alam semesta, dan mengaitkannya dengan betapa hebatnya Allah. Setiap kali dia bertemu dengan siapa saja, maka hatinya akan penuh dengan sukacita surga dan kerinduan untuk menceritakan tentang kasih Kristus kepada orang itu. Dia mengasihi setiap orang yang mengasihi Tuhan sehingga dia berdoa untuk setiap orang tersebut tiap-tiap hari. Hingga akhirnya dia jatuh sakit. Sakit yang begitu parah hingga untuk makan pun harus melalui selang, dan dia mengalami sakit yang luar biasa setiap kali harus makan. Tetapi meskipun mengalami penderitaan hebat, dia berani berkata, “Kalau Tuhan mau saya dalam keadaan seperti ini selama bertahun-tahun, saya rela. Selama itu menyenangkan hati Tuhan, maka biarlah hal itu jadi.” Dia meninggal karena penyakitnya itu dengan suatu kedamaian surgawi. Setiap orang yang mengenalnya tahu bahwa dahulu dia adalah orang yang gampang menggerutu dan begitu egois. Tuhan merubah dia dan memberi arah yang benar sehingga dia boleh mempermuliakan Tuhan.
Ada satu kisah lagi yang saya ingin bagikan. Kisah ini adalah mengenai Pdt. Amin Tjung yang tanggal 22 Juli lalu telah dipanggil Tuhan. Ketika itu Beliau memberikan intensive course mengenai sejarah kebangunan rohani. Salah satu dari sedikit kuliah yang amat mempengaruhi saya hingga sekarang. Pagi sebelum memberikan kuliah, dia berkhotbah di chapel pagi. Ketika dia menutup dalam doa, dia begitu terharu sehingga menangis. Dia berdoa dengan segenap hatinya untuk suatu kebangunan rohani boleh terjadi sekali lagi. Doa yang begitu indah dan menggetarkan. Doa yang menggerakkan saya untuk berjanji mau melanjutkan doa yang seperti itu seumur hidup saya. Saya yakin bahwa kerinduan dia untuk mendoakan terjadinya sebuah kebangunan rohani bahkan lebih besar dari kerinduannya untuk mendoakan kesembuhannya sendiri dari penyakit kanker yang dia derita. Kita melihat teladan dari orang-orang yang memiliki arah yang benar dalam hidup mereka. Mereka akan terus mengejar untuk mencapai sasaran, dan rela bahkan jika harus mengorbankan hidup mereka sendiri. Mengapa ada orang yang mencintai pekejaan Tuhan lebih dari diri sendiri, tetapi ada juga orang yang mengabaikan Tuhan untuk kepentingan diri sendiri? Mengapa ada orang yang begitu mengagumi, mencintai, dan melayani Tuhan dengan begitu giat, tetapi ada orang yang membuang hidupnya dengan tujuan yang tidak jelas, terus mempermain-mainkan anugerah Tuhan, dan hidup dalam kesia-siaan di hadapan Tuhan? Karena yang satu telah menemukan arah hidup yang sejati, sedangkan yang lain masih terus tersesat. Karena yang satu telah pernah tersesat, tetapi menemukan kasih karunia Tuhan dilimpahkan kepadanya, sedangkan yang lain, walaupun tersesat, tidak merasa tersesat, tidak merasa perlu dikoreksi, tidak merasa perlu anugerah Tuhan, dan tidak merasa perlu mengubah haluan hidupnya, sehingga seumur hidup terus berada dalam kenyamanan kesesatannya.
Bagaimana mungkin kita berani mengatakan bahwa kita tidak tersesat, padahal hati kita jauh dari Tuhan? Kita tidak mengasihi Penebus kita dengan segenap hati, kita tidak merindukan Dia, kita tidak merindukan firman-Nya, kita tidak mengagumi apa yang Dia kerjakan dalam sejarah, dan kita tidak rela bayar harga untuk melayani Dia, bahkan kita masih mau terus membuang hidup kita untuk kepentingan sendiri dan kenyamanan diri. Sampai kapankah kita mengabaikan Tuhan dalam hidup kita? Kiranya Tuhan memberikan kita belas kasihan-Nya untuk memelihara kita pada arah yang benar, yaitu hidup yang mencintai dan melayani Tuhan. Hidup yang sepenuhnya ditujukan kepada Dia. Hidup yang mengasihi, mengagumi, dan meninggikan Tuhan lebih daripada apapun. Kiranya Tuhan memberikan kekuatan kepada kita sekalian. Amin.
Jimmy Pardede
Pembina Pemuda GRII Bintaro