I Commit to… Me

Kaum milenial sering kali dianggap sebagai orang-orang yang minim komitmen. Ada sebuah survei yang mengatakan bahwa anak-anak milenial hanya akan bertahan bekerja di satu tempat kerja selama tiga bulan.[1] Jika kantor atau perusahaan mulai dirasa tidak nyaman, mereka tanpa ragu akan segera mencari pekerjaan baru.

Bukan hanya dalam hal pekerjaan, semangat seperti ini pun merasuk ke dalam aspek-aspek lain, seperti percintaan dan keagamaan.

I Love You

Setiap orang pasti mendambakan untuk menemukan sang belahan jiwa. Ada yang jatuh cinta pada pandangan pertama, ada pula kisah cinta yang diawali dengan persahabatan selama bertahun-tahun. Segala sesuatu akan kita lakukan demi mendapatkan perhatian dari pujaan hati. Semua syarat dan ketentuan dengan senang hati kita patuhi demi memenangkan cintanya. Yang tadinya sulit untuk bangun pagi, sekarang rela bangun subuh-subuh demi menjemput pacar. Yang tadinya punya kebiasaan buruk, seperti merokok misalnya, langsung bisa berhenti atas permintaan kekasih.

Begitu pula dalam hal rohani. Waktu pertama kali kita bertobat, kita sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Kita rela melepaskan dosa-dosa yang selama ini menjerat kita. Dengan senang hati kita membaca Alkitab dan berdoa tanpa ada yang perlu mengingatkan. Dengan sukarela kita menyerahkan diri ikut berbagai pelayanan tanpa ada yang menarik-narik dan memaksa kita. Bahkan, kita dengan aktif mengajak orang lain untuk turut merasakan dan mengalami perubahan seperti yang kita lalui.

Hidup terasa begitu indah. Hati kita begitu berwarna, bagaikan langit yang membentangkan warna birunya, dan menjadi kanvas yang membuat warna-warni bunga-bunga menjadi sangat mencolok.

But I Lied

Namun, istilah “and they lived happily ever after” hanya ada di dongeng. Hidup ternyata tidak selamanya indah dan penuh warna. The true colours are starting to show. Datang hari-hari kelabu yang membuat kita menjadi ragu akan keputusan yang pernah diambil.

Ketika pasangan kita ternyata sangat jauh dari apa yang kita pikirkan selama ini. Ternyata sangat banyak ketidakcocokan yang makin terlihat. Hari demi hari berlalu untuk menunjukkan perbedaan yang makin tajam. Ketika relasi ini menjadi begitu sulit, kita memilih untuk bubar saja. Janji manis sehidup semati pun kita anggap tidak pernah terucap.

Begitu pula ketika perjalanan mengikut Tuhan mulai terasa begitu berat. Ternyata menyangkal diri tidaklah enak. Ternyata menjadi berbeda dengan kebanyakan orang di dunia tidaklah menyenangkan. Sering disalah mengerti, bahkan tidak jarang pula dihina. Belum lagi belajar mengenal Allah sangatlah rumit. Tidak semudah itu bisa mengerti kehendak-Nya. Ah, sudahlah. Lebih baik ditarik kembali janji mengikut Dia segenap hati selama-lamanya.

Commitment Issues

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), komitmen artinya sebuah perjanjian atau keterikatan untuk melakukan sesuatu. Menurut Oxford Dictionary, komitmen berarti dedikasi terhadap sesuatu, atau suatu kewajiban yang mengikat sehingga membatasi kebebasan untuk bertindak.

Bahkan, sebuah artikel jurnal berjudul “Existentialism: A Philosophy of Commitment”[2] dijelaskan bahwa komitmen dapat berarti banyak hal: sebuah janji yang harus ditepati, dedikasi yang melampaui segala pertimbangan yang lain, atau kesetiaan yang tidak bisa digeser terhadap satu sudut pandang tertentu. Di dalam eksistensialisme, komitmen berarti lebih lagi: sebuah kesediaan untuk hidup secara penuh dan membuat hidup itu berarti melalui penerimaan atas suka dan duka yang sudah menjadi satu paket di dalamnya.

Kalau kita mengevaluasi diri kita berdasarkan definisi-definisi yang sudah dipaparkan, mungkin kebanyakan dari kita, jika tidak semua, tidak lolos kualifikasi. Ketika kita sudah menyerahkan diri kepada seseorang atau suatu kepercayaan, seharusnya kita menjadi orang yang tidak bisa dengan mudah digeser, walaupun keadaannya sesulit apa pun. Tidak perlu memungkiri dan berusaha menutupi bahwa kita sebenarnya tidak mengerti apa arti komitmen dan memang kita bukan orang yang berkomitmen.

Ketika pekerjaan menjadi begitu berat, dengan gampang kita mencari pekerjaan lain dan meninggalkan tanggung jawab kita begitu saja. Ketika pasangan sudah tidak sesuai dengan apa yang kita dambakan, kita dengan ringan melangkahkan kaki keluar dari relasi tersebut. Ketika ada virus yang tak kasat mata datang, kita dengan santai meninggalkan kewajiban beribadah dan diam di rumah saja.

The Committed Slave

Di dalam Keluaran 21, kita bisa membaca mengenai hak budak Ibrani. Seorang budak harus bekerja enam tahun lamanya, tetapi pada tahun yang ketujuh ia diizinkan keluar sebagai orang merdeka (ay. 2). Tetapi, jika budak itu dengan sungguh-sungguh berkata: Aku cinta kepada tuanku, aku tidak mau keluar sebagai orang merdeka, haruslah tuannya itu membawanya menghadap Allah, lalu membawanya ke pintu atau ke tiang pintu, dan tuannya itu menusuk telinganya dengan penusuk, dan budak itu bekerja pada tuannya untuk seumur hidup (ay. 5-6; penekanan ditambahkan).

Budak tersebut tidak wajib untuk tetap mengikut tuannya. Bahkan, secara hukum sudah diatur bahwa dia boleh merdeka setelah mengabdi selama enam tahun. Sah-sah saja jika dia mau bebas. Tetapi, jika memang budak itu cinta kepada tuannya, dia boleh berkomitmen untuk melayani sang tuan selama-lamanya. Dia boleh menyerahkan dirinya untuk terikat melayani sang tuan dan melepaskan kebebasan dan kemerdekaannya.

Cerita lain yang bisa kita lihat di dalam Alkitab adalah kisah tentang Rut. Kita tahu bahwa Rut adalah seorang Moab (Rut 1:4). Dia menjadi istri Kilyon, anak Naomi, seorang Israel (Rut 1:2). Ketika suaminya mati, seharusnya Rut kembali lagi ke keluarganya, kembali kepada rumah ayahnya di Moab. Dia sudah tidak perlu lagi untuk mengikut Naomi. Kakak iparnya pun, sesama orang Moab, kembali ke tempat asalnya ketika suaminya mati. Tetapi, Rut memilih untuk tetap tinggal bersama Naomi (Rut 1:14). Dia rela melepaskan asal-usulnya, karena sekarang dia sudah memberikan diri dan berkomitmen untuk tetap mengikut Naomi. Kata Rut, “Janganlah desak aku meninggalkan engkau dan pulang dengan tidak mengikuti engkau; sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku; di mana engkau mati, aku pun mati di sana, dan di sanalah aku dikuburkan. Beginilah kiranya TUHAN menghukum aku, bahkan lebih lagi dari pada itu, jikalau sesuatu apa pun memisahkan aku dari engkau, selain dari pada maut!” (Rut 1:16-17). Baik di dalam suka maupun duka, Rut tetap rela mengikut Naomi sampai akhir hayatnya.

The Committed God

Jika kita mencoba menelusuri apa yang menjadi fondasi dari komitmen, kita bisa mendapatkannya di halaman-halaman yang lumayan awal di dalam Alkitab. Kejadian 15 menceritakan mengenai perjanjian Allah dengan Abraham, yang kala itu masih dipanggil dengan nama Abram.

Allah berjanji kepada Abram akan memberikan Tanah Perjanjian kepadanya. Abram pada mulanya sulit untuk memercayai perkataan Allah. Karena dia tahu dirinya hanyalah seorang musafir di tanah itu, bagaimana pula tiba-tiba dia akan memilikinya? Abram seolah meminta semacam bukti atau janji dari Allah atas pernyataan-Nya tersebut. Lalu, Allah menyuruh Abram untuk mengambil seekor lembu betina, kambing betina dan domba jantan yang berumur tiga tahun, seekor burung tekukur, dan seekor anak burung merpati. Abram mengambil binatang-binatang tersebut dan memotongnya menjadi dua, kecuali burung-burung tidak dipotongnya. Satu bagian diletakkan di sebelah sini, dan bagian lainnya diletakkan di sebelah sana. Pada zaman itu, memang seperti inilah cara dua orang melakukan perjanjian. Keduanya harus berjalan melewati barisan binatang-binatang yang mati dan terbelah dua, menandakan bahwa siapa yang melanggar perjanjian akan bernasib sama seperti binatang-binatang tersebut.

Ternyata, hanya Allah saja yang berjalan melewati potongan-potongan daging itu, sedang Abram terlelap. Ini artinya, segala pertaruhan ada di tangan Allah. Jika Allah atau Abram gagal menepati janji itu, Allah harus dibelah dua. Maka hanya ada satu opsi yang bisa diambil, yaitu menepati janji-Nya. Allah adalah Allah yang setia. Dia tidak mungkin mengingkari janji-Nya. Dia tidak akan pernah gagal untuk menggenapi janji-janji-Nya. Sekali Dia berjanji, Dia akan menepatinya, no matter the cost.

The Committed Church

Sejak awal manusia jatuh ke dalam dosa, Allah sudah berjanji akan ada keturunan perempuan yang akan meremukkan kepala keturunan ular. Allah yang setia pasti akan mewujudkannya, sekalipun Anak-Nya sendiri harus dikorbankan.

Allah Anak, yaitu Tuhan Yesus Kristus, turun ke dunia menjadi manusia. Dia menanggung semua dosa yang dilakukan oleh umat pilihan-Nya. Hidup-Nya begitu menderita. Dia yang tidak terbatas sekarang dibatasi ruang dan waktu. Dia yang Mahamulia sekarang dianggap begitu hina oleh semua orang. Dia yang empunya langit beserta bumi dan segala isinya, sekarang menjadi sangat miskin. Tuhan Yesus rela menjalani hidup seperti ini demi melaksanakan rencana keselamatan Allah Bapa. Dia sepenuhnya berkomitmen untuk menyenangkan hati Bapa dan menyelamatkan umat manusia. Dia benar-benar membuang ke-Aku-an-Nya, merendahkan diri-Nya, supaya manusia bisa melihat Bapa dan fokus untuk meninggikan Bapa. Tuhan Yesus taat, walaupun it costs Him His own life.

Jika kita diselamatkan oleh Allah yang demikian fully committed, sudah sewajarnya kita pun menjadi pengikut-Nya yang juga fully committed di dalam menyembah dan melayani Dia. Dia tidak bisa kita perlakukan seperti pekerjaan kita, yang jika dirasa tidak lagi menguntungkan kita, boleh ditinggalkan begitu saja. Dia bukan gebetan kita yang hanya kita hubungi saat ingin bersenang-senang. Dia juga bukan pacar kita yang sedang kita kaji apakah cocok untuk lanjut ke jenjang selanjutnya yang lebih serius atau tidak.

Dia adalah Allah yang menyelamatkan kita, bukannya tanpa penderitaan. Sesungguhnya komitmen tidak bisa dipisahkan dari penderitaan. Sebagaimana dicatat oleh Rasul Petrus di dalam 1 Petrus 4:19, “Karena itu baiklah juga mereka yang harus menderita karena kehendak Allah, menyerahkan jiwanya, dengan selalu berbuat baik, kepada Pencipta yang setia.” Kata “menyerahkan” diterjemahkan dari bahasa Yunani yang sebenarnya memiliki arti “to commit”.

Ini sangat berlawanan dengan apa yang dunia ajarkan. Pertama, mereka tidak terlalu suka dengan keharusan tunduk di bawah satu otoritas yang absolut. Kedua, mereka juga pada umumnya sangat tidak menerima konsep penderitaan. Kalau bisa gampang, kenapa harus susah?

Jika umat Tuhan tidak bisa mengubah cara pikir dunia, dia yang akan diubah cara pikirnya oleh dunia. Tidak heran kalau orang Kristen jadi kehilangan giginya, karena hanya mau berelasi dengan Allah yang santai. Jika Allah dirasa mulai menuntut yang tidak masuk akal, ke-allah-an-Nya mulai diragukan.

Seumpama di jam yang seharusnya kita pergi ibadah Minggu, tiba-tiba turun hujan badai. Wah, kalau keluar rumah bisa celaka, akan tertiup kencangnya angin badai. Jika Tuhan tetap menuntut kita untuk datang beribadah, itu adalah Tuhan yang kejam. Tuhan seharusnya mengerti bahwa kondisi sedang tidak memungkinkan untuk kita pergi beribadah. Tuhan Maha-penyayang lagi Maha-pengertian. Pasti Dia maklum jika kita tidak pergi beribadah, termasuk saat ini di mana virus corona sedang bertebaran di berbagai penjuru dunia.

Bayangkan kalau Tuhan Yesus berpikir dengan pola seperti ini juga. “Ah, Bapa. Bukankah Aku ini Anak-Mu? Masakan Aku dibuat menderita seperti ini? Apa pantas, padahal Aku tidak berdosa? Sudahlah, Aku tidak mau membawa salib yang berat ini ke Golgota. Harap Bapa memakluminya!” Celaka! Keselamatan tidak akan pernah ada.

Tuhan Yesus sudah memberikan teladan yang sangat jelas. Kita harus tunduk kepada Bapa, apa pun risikonya, termasuk mati sekalipun. Dietrich Bonhoeffer mengerti konsep ini dengan sangat baik, dia mengatakan, “When Jesus calls a man, He bids him come and die”—mati bagi diri baik secara konsep maupun literal.

Kiranya Tuhan menolong kita dan boleh ikut teladan Kristus seutuhnya dan bukan setengah-setengah.

Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. (Flp. 1:21)

Widya Sheena

Pemudi FIRES

Endnotes:

[1] https://blog.accessperks.com/millennial-employee-engagement-loyalty-statistics-the-ultimate-collection.
[2] Clemence M. 1966. Existentialism: A Philosophy of Commitment. American Journal of Nursing; 66(3): 500-505.