,
five children sitting on bench front of trees

I Labor, Therefore I Am: Refleksi Dunia Kerja Metropolitan

“Jadi orang dewasa itu menyenangkan, tapi (walaupun) susah dijalani.”[1]

Demikianlah celetuk seorang anak kecil di sebuah iklan komersial televisi. Iklan ini sedikit banyak menggambarkan apa yang ada di dalam benak kita ketika masa kecil yang manis itu masih ada di pangkuan kita. Apabila kita melayangkan memori kembali ke masa kanak-kanak, kita akan menemukan seorang anak yang mendambakan hari esok, hari yang dipenuhi dengan kejutan dan kotak-kotak hadiah berpita merah yang berisi coklat. Siapakah “dia” yang akan kita temui esok pagi sebagai teman sebangku kita? Akankah dia laki-laki… Ataukah perempuan? Akankah dia si pemalas Adrian, ataukah si rajin Kezia? Bagaimanakah rasanya memakai celana panjang abu-abu?? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini mungkin pernah membanjiri pikiran kita, pikiran seorang anak kecil dengan sekotak coklat yang siap untuk dicicipi satu per satu.[2]

Namun, seperti biasanya, kenyataan tidak selalu sejalan dengan perkiraan dan keinginan kita. Setiap pagi, masa-masa dewasa justru menyapa kita dengan sepiring masalah keuangan dengan sedikit hiasan bunga hutang di atasnya, yang dihidangkan bersama dengan secangkir tekanan sistem sosial yang baru saja diseduh. Hari-hari indah yang dahulu kita bayangkan sebagai sekotak coklat, ternyata adalah hari-hari yang dipenuhi dengan peningkatan kadar asam lambung dan tekanan darah. Bahkan, tidak jarang kita temui diri ini merindukan masa-masa kecil yang carefree, asalkan fasilitas-fasilitas yang kita nikmati sebagai orang dewasa tidak dicabut dari kita – sebuah impian yang sebenarnya ironis. Sedikit banyak, inilah yang dirasakan hampir 72% pekerja di atas dunia ini. Oleh karena itu, dewasa ini tidak jarang kita temui berbagai macam bantuan, baik dalam bentuk buku, artikel, ceramah motivasi, film, lagu, dan media-media komunikasi lainnya, yang disuarakan demi menenangkan pikiran-pikiran yang sedang tertekan.

Apakah dunia ini begitu kelam? Atas nama realitas, kita harus mengiyakan pertanyaan ini dengan berat hati. Banyak hati yang galau melihat apa yang ia kerjakan sama sekali berbeda dengan apa yang ia impikan. Apabila kita coba tanyakan, “Berapa banyak manager yang dengan rela menekan bawahannya supaya ia tidak ditekan oleh atasannya? Berapa banyak pekerja yang harus mengakui bahwa dirinya, mau tidak mau – harus mau, mengembara di tengah-tengah gudang administrasi dan mendaki tebing target tahunan, demi beberapa hari kelegaan yang dijanjikan di akhir bulan? Dan berapa banyak jiwa muda yang merelakan dirinya ditempa demi menumpuk padi di dalam lumbung bernama “deposito”, yang nantinya dapat ditukarkan dengan secercah “harapan tanpa basis” untuk memperpanjang beberapa menit kehidupan ketika masa tua mengetuk pintu rumah kita?” Jawabannya adalah, tak terhitung.

Dalam menjawab permasalahan sosial yang melanda hampir seluruh umat manusia, terutama mereka yang tinggal di perkotaan, dunia sosiologi dan psikologi menawarkan suatu pola pandang dalam melihat dunia pekerjaan. Meminjam istilah dari Timothy Butler[3], kita akan melihat tiga istilah yang umum digunakan dalam mendeskripsikan sebuah pekerjaan menurut pola pandang ini; tiga istilah tersebut adalah “pekerjaan (job)”, “karier (career)”, dan “panggilan (vocation)”.[4] Dengan pembedaan ini, diharapkan seorang pekerja dapat menelaah kembali dan menata kembali prioritas dan arti kerjanya. Dengan penataan ini, diharapkan para pekerja dapat menemukan arti sesungguhnya dari setiap rutinitas yang harus ia jalani setiap harinya.

Pekerjaan yang dilihat sebagai “job” adalah pekerjaan yang dilakukan hanya sebagai sarana demi mencapai hasil akhir yang menunggu di akhir dari pekerjaan tersebut, yaitu pemenuhan kebutuhan hidup (baik primer, sekunder, maupun tersier). Para pekerja yang memandang pekerjaan sebagai job rela mengencangkan ikat pinggang mereka demi mendapatkan satu cek gaji, yang nantinya ditukarkan dengan hak tinggal, hak makan, dan hak kepemilikan bagi dirinya dan orang-orang terdekatnya yang menjadi tanggungannya. Menurut para sosiolog, pekerjaan ini tidak selalu adalah pekerjaan yang buruk. Akan tetapi, pekerjaan yang hanya dilihat sebatas “job” akan memberikan kepuasan kerja yang sangat minim bagi sang pekerja.

Berikutnya, pekerjaan yang dipandang sebagai karier adalah pekerjaan yang dilakukan bukan demi natur pekerjaan itu sendiri maupun demi hasil akhirnya, melainkan demi peningkatan/promosi dan gratifikasi di dalam pergumulan proses pekerjaan ini. Oleh karenanya, di dalam dunia karier posisi atasan dan bawahan adalah dua posisi yang mutlak ada. Kedua posisi ini harus ada demi terciptanya hubungan timbal balik di dalam dunia karier. Apabila ditinjau dari asal katanya, “carrus” sebuah kata di dalam bahasa Latin yang berarti “kendaraan yang beroda”, dan “carrière” sebuah kata di dalam bahasa Perancis yang berarti “jalur balap”, kita dapat melihat bahwa dunia karier adalah semacam lomba balap yang digeluti oleh para pekerja, demi mendapatkan hadiah dari sang penyelenggara lomba, yaitu sang pemilik usaha.

Pola pandang pelaku dunia karier adalah satu pola pandang yang umum ditemukan di dalam benak seorang karyawan. Di dalamnya, pengangkatan dan promosi menjadi “kelinci umpan” yang digantung di hadapan para pekerja, yang mendorong mereka di dalam perlombaan lari demi mendapatkan umpan tersebut. Momen di mana para pekerja ini mendapatkan “kelinci umpan” adalah momen yang paling membanggakan, namun sekaligus momen di mana mereka memerlukan boneka kelinci yang lain. Pada akhirnya, ketiadaan dari boneka kelinci di suatu titik karier akan mematikan kinerja dan kreativitas dari sang pekerja.

Vocation, atau panggilan, adalah pekerjaan yang dilakukan demi pekerjaan itu sendiri; sehingga permasalahan finansial dan gratifikasi bukanlah sebuah isu yang relevan di dalam ranah ini. Bila ditarik dari asal katanya di dalam bahasa Latin, “vocare”, yang berarti “memanggil”, sebuah panggilan digeluti karena sang pekerja mengenal adanya suatu panggilan yang mendorong tindak kerjanya. Salah satu kutipan yang menarik mengenai konsep pekerjaan sebagai panggilan adalah pertanyaan dari Parker J. Palmer yang berbunyi,

“The deepest vocational question is not ‘what ought I do with my life?’ it is the more elemental and demanding ‘who am I? What is my nature?”[5]

Para pekerja yang mengejar pekerjaan sebagai panggilannya, melihat sebuah nilai yang lebih besar dan lebih signifikan di dalam pekerjaannya dibandingkan dengan kesusahan yang harus ia lalui sehari-hari. Nilai ini kemudian mengukuhkan posisinya di dalam hall of fame yang ia bentuk bagi dirinya sendiri. Singkat kata, pekerjaan yang ia kerjakan adalah sebuah manifestasi dari arti hidupnya; atau bahasa kerennya, sebuah “Passion” – sebuah pekerjaan yang memang telah disiapkan bagi seorang manusia di hari kelahirannya.

Dengan tiga pembedaan ini, dunia sosiologi dan psikologi memercayai ketidakmungkinan seseorang untuk mencapai kepuasan bekerja, apabila mereka masih tinggal di dalam sekadar job atau career. Para pekerja ini akan selalu merasa lelah dan tidak terpuaskan di dalam menghidupi hari-hari kerjanya. Oleh karena itu, demi tercapainya pengaktualisasian diri dan “istirahat itu”[6], maka seorang pekerja harus menemukan dan mengerjakan panggilan di dalam hidupnya. Izinkan saya bertanya, “Apakah kita, umat Kristen, menemukan pola pandang yang senada di dalam pencarian arti dari pekerjaan kita?”

Menyadari akan panggilan yang harus dikejar oleh setiap manusia di dalam merealisasikan arti hidupnya, psikologi modern menyadari adanya beberapa pertanyaan yang masih belum dapat terjawab dengan pasti. Mengenai panggilan ini, siapakah yang sebenarnya memberikan panggilan ini? Bagaimanakah kita dapat menyadari panggilan ini? Bagaimanakah kita dapat mengonfirmasi bahwa panggilan yang kita rasakan adalah benar-benar panggilan kita?

Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia, dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia![7]

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensial di atas, psikologi modern menawarkan satu prinsip dengan berbagai macam alternatif aplikasi sebagai jawabannya. Jawaban tersebut marak kita dengar akhir-akhir ini di dalam sebuah opini yang berbunyi, “Be true to yourself!” Arti dari hidup ini, tidak bisa tidak, harus ditarik dari kesadaran kita mengenai keberadaan diri di tengah-tengah dunia di mana kita hidup dan berada. Orang tua, guru, dan bantuan eksternal lainnya mungkin membantu kita dalam proses pengenalan panggilan ini. Namun sesungguhnya, kepekaan akan panggilan selalu bersifat independen dari kontrol eksternal.[8] Hanya diri kita sendiri yang sebenarnya mengetahui apa yang kita mau. Dan kemampuan untuk merealisasikan keinginan itu sebenarnya tinggal di dalam diri kita, sebagai sebuah potensi yang menetap sejak kelahiran kita, yang menunggu kepercayaan diri dan perjuangan kita di dalam penggaliannya.

Hal di atas telah dinyatakan Allah sebagai kebodohan dari dunia ini. Kebodohan yang juga adalah ganjaran dari Allah kepada dunia, bagi pemberontakan dan kedegilan hatinya.[9] Kedegilan di mana dunia menggantikan kemuliaan yang Allah telah tanamkan di dalam ciptaan-Nya, dengan kemuliaan yang fana yang ditarik dari impian kosong di siang hari. Lantas, bagaimanakah kita, sebagai orang Kristen, selayaknya menghidupi pekerjaan kita di atas dunia ini? Apakah yang membedakan kita dengan mereka? Karena kita sadar bahwa apa yang kita kerjakan, secara harfiah sebenarnya hampir tidak ada bedanya dengan yang dikerjakan oleh para pelawan Allah; dan kita sebenarnya juga dicemari bibit dosa yang sama.

Kita akan mencoba untuk melihat bagaimana seorang Kristen diperlengkapi dalam melihat realitas dunia pekerjaan. Satu hal yang pasti, bahwa iman Kristen tidak dipanggil untuk membuang seluruh ciptaan yang sudah jatuh ke dalam dosa, dan hidup mengasingkan diri mengharapkan pernyataan yang baru dari Allah. Karena sesungguhnya apa yang dapat kita ketahui mengenai Allah telah dinyatakan oleh Dia sejak dunia ini diciptakan. Maka kita akan melihat apa yang Allah kerjakan di dalam penciptaan, supaya kita beroleh kebijaksanaan di dalam mengerjakan pekerjaan, atau lebih tepatnya panggilan, kita.

Pada Mulanya Allah Menciptakan Langit dan Bumi – Kejadian 1:1

Alkitab, firman Tuhan, dibuka dengan satu pernyataan yang merangkum seluruh ciptaan dan keberadaan yang telah ditemukan dan yang akan ditemukan di kemudian hari. Rangkuman ini menyatakan Allah sebagai Pencipta, dan keaktifan-Nya di dalam mengadakan segala sesuatu yang ada dari ketiadaan. Keaktifan Allah sebagai Subjek utama dari segala yang ada dilanjutkan di dalam perlengkapan, penataan, dan pengoperasian ciptaan. Seluruh hal ini menyatakan karya aktif Allah yang terbentang dari awal penciptaan sampai akhir penggenapannya.

Allah yang aktif demikianlah yang menciptakan kita, manusia. Oleh sebabnya, keaktifan kita, yang di dalamnya juga termasuk kemampuan bekerja, sesungguhnya berasal (diderivasi) dari atribut aktif Allah. Tindakan kerja kita ada karena Allah yang menciptakan kita adalah Allah yang bekerja. Dari hal ini kita dapat melihat relasi dua arah antara Tuhan dan manusia; Kuasa Allah yang memungkinkan adanya kuasa kerja manusia, dan dependensi kerja manusia yang bergantung pada pekerjaan Allah.

Dengan kata lain, potensi kerja kita bukanlah potensi yang berasal dari diri kita sendiri, melainkan sebuah potensi yang sebenarnya adalah pemberian Allah, sesuatu yang sesungguhnya kita berhutang kepada Allah. Oleh sebab itu, satu-satunya yang boleh memberi arti dari potensi kerja ini adalah Tuhan, Allah kita. Karenanya, adalah suatu hal yang absurd apabila kita berusaha mencari arti dari pekerjaan kita, namun di saat yang sama tidak berelasi dengan Sang Pribadi yang memungkinkan pekerjaan itu sendiri ada in the first place. Berdasarkan pemetaan ini, adalah suatu hal yang tidak mungkin untuk kita terbebas dari kemelut jiwa di dalam pekerjaan, apabila kita tidak memiliki relasi yang benar dengan Allah Pencipta kita.[10] Kebebasan kita di dalam bekerja sesungguhnya datang dari pengikatan diri kita di dalam pengenalan akan Allah yang sehat.

Selanjutnya, pengenalan kita akan Allah yang aktif harus datang bersamaan dengan pengenalan kita akan Allah yang berencana dan mengetahui dengan jelas apa yang Ia kerjakan. Ketika Allah menciptakan dunia ini, Allah telah mengetahui kepada siapa dunia ini akan diserahkan untuk diolah dan dipelihara. Dia juga telah mengetahui bahwa sang pemelihara dunia ini adalah ciptaan yang nantinya melawan Dia. Terlebih lagi, Ia juga telah mengetahui bahwa Anak-Nya yang tunggal harus Ia serahkan untuk mati sebagai tebusan bagi sang pemberontak ini. Dengan seluruh hal ini di dalam pengetahuan-Nya, Ia menyatakan, “Jadilah Langit dan Bumi”.

Jika Allah demikian berencana, tentulah potensi kerja yang kita derivasi dari Allah juga memiliki standar nilai tertentu – yang berdasarkan standar tersebut kita akan diminta pertanggungan jawab oleh Allah. Potensi ini bukanlah potensi yang tidak bertuan, yang sudah menggenapi tujuan keberadaannya asalkan tidak dibiarkan pasif. Pendayagunaan potensi kerja ini harus koheren dengan maksud awal Allah di dalam menciptakan dunia ini. Singkat kata, panggilan kita bukanlah panggilan yang berasal dari dalam kesadaran diri kita semata. Sebagai bagian dari gereja sepanjang zaman, panggilan kita adalah panggilan yang diberikan oleh Allah, panggilan yang berasal dari luar diri kita. Oleh karenanya, hak kita sebagai umat Allah adalah untuk membebaskan diri dari tuntutan dunia dan kematiannya, dan di dalam kebebasan yang sama boleh mengikatkan diri kepada standar yang Allah telah tetapkan di dalam pekerjaan kita. Mengenai hal ini, Allah telah menyatakan standar nilai-Nya secara gamblang, sehingga sukacita boleh tinggal di dalam mereka yang menghidupinya, dan murka Allah boleh nyata bagi mereka yang membuangnya dan menggantikannya dengan kelaliman; keduanya sebagai bentuk pernyataan Keadilan Allah.[11]

Pertanyaan akhir dari refleksi ini adalah, “Apakah tujuan akhir dari semua pekerjaan ini?” Kita akan melihat jawaban apa yang ditawarkan dunia, dan apa yang dinyatakan Allah di dalam firman-Nya.

Dunia, layaknya minuman soda di bawah terik matahari, menawarkan suatu bentuk kesegaran melalui bentuk aktualisasi diri, seraya berkata, “Kutahu yang kumau”. Namun, dengan hilangnya pengenalan mengenai Pribadi yang memberikan panggilan, yang juga merupakan poin di mana standar mengenai konsep nilai yang benar telah hilang, kesegaran yang dijanjikan dunia kerap kali tidak berbeda dengan kesegaran dari sebotol minuman soda. Kesegaran aktualisasi diri ala Maslow adalah kesegaran yang tampak meriah saat pertama kali dibuka, namun pudar seiring semaraknya (CO2 di dalam minuman) menguap tak berbekas – dan menyisakan sirup kehidupan yang manis di awal, namun membawa dahaga gelombang kedua.

Di lain pihak, melalui penciptaan, Allah menceritakan diri-Nya sebagai Subjek utama dari seluruh keberadaan. Melaluinya, Allah menyatakan diri-Nya sebagai Allah yang berkuasa untuk mengadakan dan mendefinisikan. Seluruh tindakan penciptaan sesungguhnya dimaksudkan untuk menceritakan jati diri Allah kepada umat yang dikasihi-Nya. Jati diri yang tadinya tidak dapat dimengerti oleh akal budi manusia yang terbatas, diceritakan di dalam penciptaan sebagai suatu hal yang nampak jelas oleh mata jasmani kita.[12]

Bagian kita, sebagai manusia yang diciptakan oleh Allah yang menyatakan diri-Nya, adalah berlaku sebagai responden yang berespons dengan benar terhadap revelasi Allah. Respons yang dimaksud adalah respons positif terhadap ajakan relasi (dalam bentuk pernyataan diri) dari Sang Absolut kepada sang relatif di dalam posisi yang seharusnya.[13] Sebagai bentuk implikasinya, tujuan akhir umat Kristen dalam menggeluti dunia kerja tidak lain adalah untuk mengenal Allah dengan lebih komprehensif, yang muncul sebagai buah relasi antara kita dengan Allah di dalam dunia kerja. Pengenalan ini yang akanmenjadi media pendefinisian panggilan Allah bagi setiap dari kita dalam seluruh sudut kehidupan kita (panggilan yang spesifik, yang sesuai dengan maksud dan kehendak Allah, bagi setiap umat-Nya – after our own kind). Panggilan inilah yang akan menyatakan arti khusus dari pekerjaan yang kita geluti di dalam peta besar penggenapan Kerajaan Allah, yang sesungguhnya telah Allah nyatakan sejak pertama kali Ia merancangkan penciptaan.

Dengan menyadari peran Allah di dalam keseluruhan proses kerja kita, pekerjaan yang kita geluti, atau yang akan kita geluti, tidak seharusnya menjadi menu yang memperburuk kondisi asam lambung kita semata. Pekerjaan yang kita kerjakan sesungguhnya memiliki arti, bukan hanya di dalam pembentukan jati diri kita, tetapi juga di dalam pernyataan diri Allah bagi dunia yang telah jatuh ke dalam dosa. Bila kita mau sadari, pekerjaan kita sesungguhnya adalah salah satu bagian dari surat undangan Mempelai Pria yang diberikan-Nya kepada mempelai wanita, supaya wanita sundal ini boleh mengenal Sang Pangeran yang telah terlebih dahulu membayar mahal demi menebus kedurhakaan dari si sundal. Puji Tuhan!

Sesungguhnya panggilan untuk berelasi telah Tuhan berikan kepada kita. Panggilan itu mungkin muncul dalam bentuk orang-orang yang merindukan Injil Tuhan yang boleh diberitakan lewat mulut kita, atau dalam bentuk murid-murid yang menunggu penjelasan kita mengenai teori termodinamika, atau bahkan dalam bentuk setumpuk kertas perpajakan yang menunggu respons kita. Kiranya Tuhan berbelaskasihan dan menganugerahkan kepada kita, yang sering salah mengartikan maksud dan tujuan Tuhan, sebuah pengenalan yang benar akan Allah dan undangan-Nya. Dan kiranya pengenalan ini memampukan mata rohani kita untuk memandang dan mendekat kepada Allah, melalui darah Sang Penebus, di dalam relasi yang intim antara Pencipta dan ciptaan-Nya.

Selamat bergiat di dalam Tuhan!
Sola Gratia, Soli Deo Gloria.

Stephen D. Prasetya
Pemuda FIRES

Endnotes:
[1] Kata-kata ini diambil dari suatu iklan provider jaringan telepon seluler di Indonesia.
[2] Gambaran “hidup sebagai sekotak coklat” diambil dari sebuah film Hollywood berjudul “Forrest Gump”.
[3] Timothy Butler adalah Director of MBA Career Development dari Harvard Business School yang juga dikenal sebagai pengamat ekonomi, penulis, dan co-founder dari Waldroop Butler Associates
[4] Webber, Alan M. Is Your Job Your Calling (Extended Interview). Fast Company Magazine, 1998. Web. 15 July 2013
[5] McKay, Brett and Kate, Finding Your Calling part I: What is your Vocation. Art of Manliness, 2008. Web. 15 July 2013
[6] Penggunaan frase “istirahat itu” diadopsi dari frase “That sabbath” oleh Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam mendeskripsikan puluhan tahun pelayanannya di ladang Tuhan. Di dalam deskripsi ini, beliau mengaku tidak sekalipun dirinya berhak mengeluh karena terlalu lelah melayani Tuhan karena sebenarnya Tuhanlah yang telah “berkorban” memimpin dan memelihara hidupnya mengarungi panas dan teriknya pelayanan. Pelayanan di dalam pimpinan dan pemeliharaan Tuhan inilah “istirahat itu” ditemukan.
[7] 1 Korintus 1:25
[8] Hal ini telah dikumandangkan oleh seorang filsuf berkebangsaan Jerman, Friedrich Nietzsche, sejak pertengahan abad 19 di dalam konsep nihilismenya yang dikenal dengan nama “Gott ist tot” atau “God is Dead”.
[9] Roma 1:22-25
[10] Tinjau kembali point 6 di dalam footnote artikel ini.
[11] Mazmur 19:8 dan Roma 1:19
[12] Mazmur 19:1-5A
[13] Relasi ini disebut oleh para theolog abad ke 19 (di dalam garis pemikiran Geehardus Vos) sebagai covenantal relationship. Secara garis besar, covenantal relationship adalah relasi yang menggambarkan perjanjian antara Allah – sebagai Pencipta dan manusia – sebagai kepala ciptaan. Relasi ini menggambarkan metode revelasi Tuhan kepada manusia, di mana kedua pihak memiliki posisi yang berbeda, namun keduanya saling berobligasi satu kepada yang lain. Bentuk obligasi yang dimaksud adalah dependensi absolut dari manusia kepada Allah, yang didahului dengan janji pemeliharaan Allah kepada manusia. Tema ini adalah tema yang sangat besar, oleh karenanya, diperlukan penelaahan yang lebih lanjut melalui artikel/buku yang lebih komprehensif untuk mendapatkan pengertian yang lebih lengkap dan sehat.