Pada bulan Juli tahun 2016 silam, ada sebuah berita mengenai peraturan baru yang dikeluarkan oleh Presiden Rusia, Vladimir Putin. Putin telah mengesahkan peraturan mengenai limitasi kegiatan penginjilan di Rusia. Warga yang beragama Kristen dilarang untuk menginjili di tempat-tempat umum selain gereja. Bahkan, mereka juga dilarang untuk mengadakan kegiatan ibadah di rumah— orang tua dilarang untuk mengajarkan iman kekristenan mereka kepada anak-anak! Hukuman sudah tersedia bagi siapa pun yang melanggar.[1]
Pada awal tahun 2018, dunia juga kembali dikejutkan oleh berita dari Tiongkok. Pemerintah Tiongkok menghancurkan Golden Lampstand Church yang berada di kota Linfen, provinsi Shanxi. Sebenarnya ini bukan kali pertama mereka mengalami penganiayaan dari pemerintah. Pada tahun 2009, gedung gereja yang memiliki 50.000 jemaat ini dihancurkan oleh segenap polisi dan preman sewaan. Mereka juga menyita semua Alkitab dan memasukkan para pemimpin gereja ke dalam penjara.[2]
Di Indonesia saat ini, mungkin tidak ada—atau setidaknya belum ada—peraturan seperti di Rusia atau penganiayaan seperti di Tiongkok. Kita sangat bebas dan nyaman untuk beribadah. Tidak ada hukuman atau denda yang menanti jika kita memutuskan untuk membagikan iman kita kepada orang yang duduk di sebelah kita saat di kereta api atau pesawat. Bahkan, kita bebas untuk melakukan kebaktian di lapangan terbuka. Tetapi, toh semua kebebasan ini tidak membuat kita makin sering berbicara tentang iman. Malahan, iman menjadi topik yang dianggap tabu oleh tidak sedikit orang. Ya, sepertinya memang Iblis tidak perlu repot-repot memutar otak untuk memikirkan cara supaya Injil tidak diberitakan di Indonesia. Hal ini sudah dan sedang dikerjakan oleh orang-orang Kristen sendiri!
Zaman sekarang ini, orang-orang Kristen menganggap bahwa iman adalah hal yang tidak perlu dikomunikasikan antara satu pribadi dan pribadi lainnya. Kekristenan direduksi menjadi sekadar pengalaman privat dan subjektif. Orang Kristen mulai lebih banyak berpikir dalam pengertian intuisi dan menitikberatkan pada perasaan. Dengan demikian, dirilah yang menjadi pusat kehidupan.
Di dunia bagian Barat sekarang ini, memang ada tekanan kultural saat seseorang mengakui kepercayaannya kepada Allah. Hal ini dipengaruhi oleh humanisme sekuler yang menganggap semua kepercayaan religius merupakan kesalahan, maka sudah seharusnya dihapuskan. Tetapi, pada kenyataannya, penjelasan mengenai sekularisasi tidak seperti itu. Sekularisasi menuntut agar semua kepercayaan kepada Allah disimpan sendiri—bukan ditinggalkan—dan tidak diperlihatkan secara terbuka di dalam masyarakat.
Lantas, bagaimana dengan di Indonesia? Apakah kita juga terpengaruh oleh semangat sekularisasi ini? Bukankah Indonesia adalah negara yang beragama? Seperti yang kita ketahui, Indonesia berpegang pada Pancasila. Sila yang pertama adalah “Ketuhanan yang Maha Esa.” Maka, tidak ada tekanan kultural saat seseorang mengakui kepercayaannya kepada Allah. Bahkan, di dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP), ada kolom agama yang wajib diisi. Indonesia mengakui enam agama secara sah, yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konfusianisme. Terdapat 87,2% populasi beragama Islam—menjadikan Indonesia negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Sedangkan Kristen Protestan hanya 6,9% (berdasarkan sensus pada tahun 2010). Sebagai kaum minoritas, sebenarnya di Indonesia ada gerakan-gerakan anti-minoritas dan anti-Kristen yang mengancam kita. Misalnya, kita tidak bisa mencapai jabatan tertentu jika tetap mau mempertahankan iman kita. Maka, kita akhirnya menjalani kehidupan yang terbagi-bagi. Kita memiliki dua macam kehidupan: privat dan publik.
Kehidupan privat terdiri dari lingkaran keluarga, sahabat, dan mungkin beberapa asosiasi sosial kita. Di dalam kehidupan privat ini ada relasi personal dan tuntutan pertanggungjawaban yang integral dari setiap perilaku kita. Kehidupan publik lebih memikirkan relasi untung-rugi. Kalaupun ada tuntutan pertanggungjawaban, hal itu lebih berorientasi kepada bisnis ketimbang pribadi. Allah bisa saja menjadi bagian dari gambaran secara privat, tetapi Ia tidak boleh menjadi pemain di dalam wilayah publik, di dalam studi ataupun cara kerja secara umum di kantor. Akhirnya kita memilih untuk menjadi makhluk amfibi. Kita hidup di dalam dua dunia dengan worldview yang saling bertolak belakang. Kita hidup dengan standar-standar moral yang berbeda, bergantung pada apakah kita sedang berada di dunia privat atau dunia publik kita. Kita tidak lagi memiliki suatu poros yang konsisten. Ketika strategi ini kita aplikasikan ke dalam pengertian kita akan Allah, maka sesuatu yang sangat buruk akan terjadi pada iman Kristen. Maksudnya adalah seperti ini: saat kita tidak memiliki poros yang konsisten tentang sifat Allah, kita akan menciptakan garis batas yang memisahkan antara sifat Allah yang satu dan yang lainnya, misalnya antara transendensi Allah dan imanensi Allah, atau antara kasih Allah dan murka Allah. Jadi kita hanya condong kepada satu sisi kebenaran, tanpa melihat konsistensi dengan sisi kebenaran yang lainnya. Ketika kita tidak mengenal Allah secara utuh, berarti kita tidak sedang mengenal Allah yang Alkitab nyatakan.
Iman Kristen percaya kepada Allah yang telah menyatakan diri-Nya di dalam Kitab Suci dan di dalam Kristus. Bukan kita yang merangkai pengertian tentang Dia, tetapi Dia yang telah menyingkapkan diri-Nya dan mendefinisikan diri-Nya kepada kita. Allah yang memberitahukan kepada kita siapa diri-Nya dan bagaimana kita seharusnya menjalani hidup ini.
Di dalam pandangan Allah, seluruh umat manusia di sepanjang sejarah hanya memiliki dua wakil saja. Pertama, wakil yang melawan kehendak Allah, yaitu Adam. Kedua, wakil yang membalikkan situasi pemberontakkan kepada Allah dan taat kepada Allah, yaitu Yesus Kristus. Allah tidak mengenal eksistensi di luar kedua golongan ini. Jika di luar Adam, pasti di dalam Kristus; yang di luar Kristus, pasti di dalam Adam. Adam, sebagai manusia pertama, telah memberontak kepada Allah, sehingga Adam menjadi manusia pertama yang berdosa. Dosanya diperhitungkan kepada kita sebab dia adalah wakil kita. Di dalam Adam, manusia bergerak dari ketidaktaatan kepada ketidaktaatan, atau dari dosa kepada dosa. Hanya ada satu manusia yang sungguh-sungguh sempurna, yaitu Allah Anak yang berinkarnasi menjadi manusia—Yesus Kristus. Dari kelahiran-Nya di Betlehem sampai kematian-Nya di Golgota, Dia telah menyatakan diri sebagai wakil umat manusia untuk menyatakan bagaimana manusia harus hidup memperkenan hati Tuhan Allah. Di dalam Kristus, manusia bergerak dari ketaatan kepada ketaatan, atau dari iman kepada iman. Apa yang telah hilang dari diri kita di dalam Adam, bisa kita dapatkan kembali di dalam Kristus. Apa yang telah hancur di dalam Adam, hanya mungkin disempurnakan kembali oleh Kristus. Apa yang telah rusak di dalam arus hidup Adam, hanya mungkin disembuhkan di dalam ketaatan Kristus. Iman orang Kristen dimulai di dalam Kristus dan digenapkan juga di dalam Kristus. Orang Kristen hidup dari iman kepada iman—baik dalam dunia privat maupun publik. Seperti kalimat yang dikatakan oleh Abraham Kuyper, “There is not a square inch in the whole domain of our human existence over which Christ, who is Sovereign over all, does not cry, Mine!” (Terjemahan bebas: Tidak ada satu inci pun dalam seluruh keberadaan/eksistensi manusia di mana Kristus, yang berdaulat atas segalanya, tidak berteriak, milik-Ku!)
Dewasa ini, kehidupan beriman orang-orang Kristen sudah sangat simpang siur. Kita sudah terlalu sering berkompromi dengan iman kita. Bukan suatu hal yang mengejutkan kalau ternyata orang-orang yang mengaku dirinya Kristen, sebenarnya sudah kehilangan makna sesungguhnya dari iman Kristen. Kebanyakan orang berpikir bahwa hanya dengan pergi ke gereja setiap hari Minggu sudah cukup untuk menyatakan bahwa kita beragama Kristen.
Para Reformator dengan teliti mempelajari Alkitab dan menarik kesimpulan tentang definisi iman yang Alkitab nyatakan. Ada tiga aspek esensial dari iman yang alkitabiah, yaitu notitia, assensus, dan fiducia.[3] Notitia adalah isi dari iman, atau sesuatu yang kita percaya. Iman selalu memiliki objek, atau dalam hal ini lebih tepat disebut Subjek. Subjek iman Kristen adalah Yesus Kristus. Untuk beriman kepada Yesus Kristus, kita harus terlebih dahulu mengetahui sesuatu mengenai Dia. Hal ini disampaikan melalui mimbar gereja saat kebaktian atau pelayanan pengajaran lainnya di gereja. Assensus adalah pengakuan kita bahwa yang kita percaya adalah benar. Hanya sekadar mengetahui konten dari iman Kristen tidaklah cukup. Kita perlu untuk menyatakan bahwa iman Kristen adalah kebenaran. Banyak orang mengetahui tentang kekristenan, and yet tidak memercayainya sebagai kebenaran. Iman yang menyelamatkan memerlukan assensus, pengakuan bahwa konten dari notitia adalah benar. Fiducia mengacu kepada kepercayaan secara personal dan kebergantungan kepada apa yang kita percaya. Mengetahui konten dari iman Kristen dan percaya bahwa itu benar masih belum cukup untuk menjadikan kita seorang Kristen yang sejati. Yakobus 2: 19 mengatakan, “Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan pun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar.” Jadi, setan pun mengakui bahwa apa yang Allah katakan adalah kebenaran, tetapi mereka tidak trust Allah. Fiducia berarti kita menyerahkan diri kita ke dalam tangan Kristus, Sang Kebenaran yang Hidup.
Maka, berbicara mengenai menjadi orang yang beriman bukan berarti sekadar mengatakan, “Saya percaya,” lalu dibaptis dan menjadi anggota gereja. Mengetahui ada Allah dan percaya bahwa Dia adalah Allah tidak otomatis menjadikan kita memiliki hubungan pribadi dengan Allah. Banyak orang menyadari bahwa di dalam hati mereka percaya bahwa Allah itu ada, tetapi bersikap seolah-olah Allah tidak akan pernah menggubris dan menghakimi mereka. Beriman berarti menjalani hidup yang takut akan Dia. Beriman adalah keberadaan seluruh pribadi seseorang yang kembali kepada kebenaran. Iman adalah suatu tindakan menyeluruh. Alkitab mencatat Abraham sebagai bapa orang beriman. Di dalam English Standard Version Study Bible, dijelaskan bahwa ketika Abraham diminta Allah untuk mempersembahkan Ishak, ia taat. Ketaatan Abraham ini merupakan konfirmasi dari imannya kepada Allah. That faith is now active along with his works and the faith is completed by his works. Sebagaimana dicatat dalam Yakobus 2:20-23, demikian: “Hai manusia yang bebal, maukah engkau mengakui sekarang bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong? Bukankah Abraham, bapa kita, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, ketika ia mempersembahkan Ishak, anaknya, di atas mezbah? Kamu lihat, bahwa iman bekerja sama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna. Dengan jalan demikian genaplah nas yang mengatakan: “Lalu percayalah Abraham kepada Allah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.” Karena itu Abraham disebut: “Sahabat Allah.”” Abraham’s faith resulted in obedience, and that is its expected outcome.
Orang Kristen harus menjadi saksi Allah di tengah-tengah masyarakat. Orang Kristen harus mengaplikasikan atau menyatakan iman dan fungsi iman Kristen di dalam hidup sehari-hari. Kita dipanggil bukan hanya untuk mempertahankan iman kita secara privat saja, melainkan kita harus memengaruhi orang lain melalui sifat-sifat Ilahi yang bersangkut paut dengan etika serta penerapannya di dalam publik.
Widya Sheena
Pemudi FIRES
Endnotes:
[1] Russia’s Newest Law: No Evangelizing Outside of Church
[2] Chinese authorities blow up Christian megachurch with dynamite
[3] Faith Defined
Referensi:
1. Dari Iman Kepada Iman. Stephen Tong.
2. Iman, Rasio, dan Kebenaran. Stephen Tong.
3. Iman dan Agama. Stephen Tong.
4. Reformasi dan Theologi Reformed. Stephen Tong.
5. Keberanian Menjadi Protestan: Para Pecinta Kebenaran, Para Pemasar, dan Para Emergent di dalam Dunia Postmodern. David F. Wells.