In Jesus’ Name We Pray

Berdoa adalah hal yang vital dalam kehidupan kekristenan. Dalam 1 Tes. 5:17, Paulus menuliskan agar kita tetap berdoa dengan tidak henti-hentinya (“Pray without ceasing”). Sebagai seorang Kristen, kita berdoa kepada Bapa di Sorga, seperti yang Tuhan Yesus ajarkan kepada para murid. Kita sebagai orang Kristen melihat doa sebagai sarana kita berbicara dan berseru kepada Tuhan. Pdt. Billy Kristanto pernah mengatakan ketika kita berdoa dan kita menutup mata kita, kita sedang menutup diri kita dari dunia ini, dan memberi diri seutuhnya untuk mendengarkan perkataan Tuhan. Dan ketika kita selesai berdoa, kita membuka mata kita, untuk kembali berhadapan dengan dunia ini tetapi dengan sebuah visi yang telah diperbaharui oleh Tuhan. Dunia ini tidak akan pernah berhenti menawarkan kenikmatannya, maka kita sebagai orang-orang yang telah dipilih harus selalu bersiap dan peka terhadap setiap godaan yang datang. Itu sebabnya sangatlah tepat jika Paulus menyerukan agar kita berdoa dengan tidak henti-hentinya. Akan tetapi, dunia bukanlah berada di dalam genggaman sang penguasa langit yang bodoh, melainkan sang penipu yang sangat berpengalaman, yang sanggup membuat kita terjatuh dan kalah di saat-saat kita berdoa sekalipun.

Satu hal yang saya ingin kita bersama pikirkan adalah setiap kali kita berdoa, kita selalu mengakhiri doa kita di dalam nama Tuhan Yesus. Penggunaan kalimat “di dalam nama Tuhan Yesus” begitu sering keluar dengan begitu mudahnya dari mulut kita. Hal tersebut sudah umum sehingga setiap orang Kristen dan bahkan juga Katolik secara otomatis akan menutup setiap doa mereka dengan kalimat itu. Suatu kecenderungan pemikiran yang muncul yaitu kalimat itu seakan menjadi semacam mantera yang ampuh untuk membuat doa kita diterima di hadapan Allah atau seperti sebuah perangko surat yang memastikan surat permohonan doa kita sampai ke dalam Kerajaan Allah. Dan yang sekarang terjadi adalah dalam nama itu, banyak orang berani mengklaim kalau Tuhan pasti akan menjawab doa-doa mereka. Itu berarti siapapun yang berdoa dengan mengalaskan doanya di dalam nama Yesus pasti didengar dan dijawab. Benarkah demikian? Alkitab secara tegas menjawab tidak. Theologi Reformed tegas menjawab bahwa jawaban terhadap setiap permohonan kita berada di dalam kedaulatan Allah, karena demikian yang Alkitab katakan. Tetapi pernahkah kita memikirkan apa makna yang tersimpan di balik nama Yesus yang kita sebut dalam doa kita yang ditujukan kepada Bapa di Sorga? Jika kita ternyata sudah menjadi orang-orang yang dengan mudah menggunakan nama Yesus ketika menutup doa kita, tanpa mengerti mengapa kita berdoa dalam nama-Nya, bukankah kita juga sudah menjadikan nama Yesus hanya sebatas sebuah ‘perangko surat’ doa kita?

Melalui Yoh. 14:1-14 kita melihat salah satu pembicaraan yang sangat penting antara Tuhan Yesus dengan para murid-Nya. Saat itu Yesus baru memberitahukan kepada para murid-Nya bahwa Ia akan dibunuh. Perkataan ini pastilah mengguncang hati para murid yang selama ini bersandar pada konsep bahwa Yesus akan menjadi pahlawan penyelamat mereka dari penjajahan Romawi saat itu. Di tengah kegoncangan hati tersebut, Yesus mengawali penghiburan kepada murid-murid-Nya dengan perkataan, “Jangan gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku.” Ada sebuah ketenangan yang Yesus tawarkan dalam perkataan-Nya. Ia mengatakan agar para murid tidak menjadi gelisah, tetapi melawan kegelisahan tersebut. Yesus menarik mereka untuk percaya kepada Allah. Ia tidak hanya berhenti pada kata-kata penghiburan yang membuai dan menenangkan hanya untuk sementara, tetapi Ia membawa para murid untuk kembali menyembah Allah, dan percaya kepada Allah, karena Dia adalah Allah yang telah memimpin Abraham, Ishak, Yakub, dan para nenek moyang mereka.

Percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku (believe in God and believe in Me)

Menurut Calvin, di dalam kalimat-Nya, Yesus mengutamakan posisi penyembahan kepada Allah sebagai yang terutama, terkait dengan keberadaan-Nya saat itu sebagai manusia yang berkulit dan berdaging. Dia ingin mengajak para murid untuk menatap ke arah yang benar yaitu memuliakan Allah sebagai yang terutama, dan setelah mengajak para murid menatap kepada Allah, barulah Dia memposisikan diri-Nya. Semua ini sesuai dengan tujuan kedatangan-Nya ke dunia yaitu agar setiap orang kembali mempermuliakan Allah. Tetapi hal tersebut bukan hanya mengklaim kemanusiaan Yesus tetapi juga menyatakan dengan jelas ke-Tuhan-an Yesus. Hidup percaya kepada Allah disejajarkan dengan hidup di dalam percaya kepada-Nya. Kesejajaran dan kesatuan diri-Nya secara utuh ditegaskan dengan menyatakan bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan dan kebenaran dan hidup, di mana tidak ada seorang pun yang dapat sampai kepada Bapa kalau tidak melalui Dia (Yoh. 14:6). Perkataan ini dengan jelas menyatakan bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan yang harus kita tempuh untuk bisa sampai kepada Bapa sehingga kita dapat melihat dengan jelas Yesus sebagai satu-satunya Pengantara. Ketika Filipus meminta agar Yesus menunjukkan Bapa kepada dia dan rekan-rekan murid Yesus yang lainnya dalam ayat 8, kita berjumpa dengan penegasan dari kesetaraan Yesus dengan Bapa di dalam jawaban-Nya pada ayat 9-14. Yesus menjawab bahwa barangsiapa melihat Dia, mereka sudah melihat Bapa.

Yoh. 14:1-14 menegaskan ke-Tuhan-an Yesus di dalam kemanusiaan-Nya. He is the Only and true image of God. Dan melalui perkataan-Nya di ayat 6, Yesus menyatakan Diri-Nya sebagai seorang Mediator, jembatan antara manusia sebagai ciptaan dengan Allah sebagai Pencipta. He is the Only and true Mediator. Maka ayat 14 yang mengatakan, “Jika kamu meminta sesuatu kepada-Ku di dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya,” harus ditafsirkan dalam konteks ini. Kata “kamu” dijelaskan di dalam ayat 12 menunjuk kepada orang-orang yang percaya kepada-Nya dan mereka yang melakukan pekerjaan-pekerjaan-Nya. Orang yang berhak berseru di dalam nama Yesus adalah mereka yang sudah berada di dalam Kristus. Mengapa? Sebab hanya orang-orang yang sudah memahami dan menerima cinta kasih Allah di dalam anugerah pengorbanan Yesus Kristus, yang akan dengan rela mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang Tuhan sudah persiapkan. Dan tentu saja mereka, yang mengerjakan apa yang Tuhan rencanakan, akan memiliki hati yang memohon segala sesuatu sesuai dengan apa yang dibutuhkan dalam mengerjakan pekerjaan yang merupakan kehendak Allah dan pada akhirnya hanya mempermuliakan Allah.

Orang-orang bisa dengan sembarangan menggunakan nama Yesus dengan begitu mudah dan menempelkannya sebagai simbol penutup doa tetapi Tuhan tidak akan mendengar seruan doa mereka. Ini menjadi sebuah pelanggaran hukum ketiga dalam hukum Allah. Pdt. Stephen Tong mengatakan dengan tegas bahwa mereka yang mengaku Kristen tetapi hidup mereka tidak merepresentasikan Yesus Kristus dan mengakibatkan nama Yesus dihina, berarti mereka telah mempermalukan nama Kristus. Dan ini adalah pelanggaran terhadap hukum ketiga, yaitu “Jangan menyebut nama Tuhan, Allahmu, dengan sembarangan sebab Tuhan akan memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan” (Kel. 20:7). Kita mungkin telah menjadi orang-orang yang pandai merangkai kata-kata yang indah di dalam doa dan mengakhirinya dalam nama Yesus, tetapi kita menjadi orang yang sama yang merangkai kepahitan buat orang-orang yang bersentuhan dengan kita dan membuat mereka menghina Yesus. Nama Yesus adalah nama yang agung yang kelihatannya bisa dengan mudah disebut banyak orang, tetapi ketika kita menyebut nama-Nya, kita sedang berhadapan dengan Pencipta kita, yang membuat kita ada, yang sanggup mengadakan sekaligus meniadakan kita. Ketika kita menyatakan diri kita sebagai orang-orang percaya yang memiliki hak untuk menyebut nama Yesus di dalam doa kita tetapi kita tidak memahami mengapa kita menyebut nama-Nya, bukankah kita telah dengan sembarangan menyebut nama-Nya?

He is the only true God and He is the one and only true mediator

Berbicara tentang Yesus sebagai Mediator, kita tidak akan pernah bisa melepaskan hal tersebut dari kasih-Nya yang sempurna. Seorang mediator dikatakan sebagai seseorang yang berdiri di tengah-tengah dua pribadi atau kelompok yang sedang berseteru dan berusaha merekonsiliasi keduanya. Berbicara tentang mediator dalam Perjanjian Lama, Musa adalah seorang yang Tuhan panggil untuk berdiri di antara bangsa Israel. Musa juga dikatakan sebagai salah satu tipologi Yesus. Musa dipanggil untuk membawa umat Israel beribadah kembali kepada Allah yang sejati. Musa dipanggil untuk merekonsiliasi hubungan Allah dengan bangsa Israel.

R. C. Sproul mengatakan, “In the Incarnation, the Son took upon Himself human nature in order to accomplish the redemption of Adam’s fallen seed. By His perfect obedience, Christ satisfied the demands of God’s law and merited eternal life for us. By His submission to the atoning death on the cross, He satisfied the demands of God’s wrath against us. Both positively and negatively Christ satisfied the divine requirements for reconciliation. He brought about a new covenant with God for us by His blood and continues daily to intercede for us as our High Priest.”

Dalam pekerjaan pendamaian kekal ini, R. C. Sproul juga mengatakan bahwa tidak ada satu malaikat pun yang bisa mengerjakan hal ini. Hanya Allah sendiri yang sanggup menyelesaikan perseteruan kekal ini dan Ia berinkarnasi turun menjadi manusia untuk menyelesaikannya. Maka, berbicara tentang nama Yesus, kita harus melihat kasih yang memperdamaikan Allah dengan manusia di dalam perdamaian yang baru dan di dalam perjanjian yang baru. Itu sebabnya nama Yesus menjadi sebuah nama yang melaluinya kita diizinkan datang kepada Bapa—nama yang telah membuat setiap orang yang mau datang kepada-Nya berhak berseru, “Ya Abba, ya Bapa!” Pekerjaan pendamaian yang Yesus tuntaskan di atas kayu salib menjadi sebuah cinta kasih yang tidak akan pernah terulang sampai kekekalan.

Waktu kita berseru dan berdoa di dalam nama Yesus, maka sesungguh-sungguhnya kita harus kembali gentar melihat anugerah yang kita miliki, yaitu hak sebagai seorang anak Allah untuk berdoa kepada Bapa di sorga. Kita diperdamaikan terlebih dahulu baru kita dapat berdoa. Ini harus menjadi prinsip dasar mengapa orang Kristen berdoa. Bukan menyebut nama Yesus yang menjadikan doa itu berkenan, tetapi Yesus dan karya-Nya di kayu salib, itulah yang telah memperdamaikan kembali diri kita dengan Allah Bapa, sehingga kita mampu berdoa. Kita pun beriman bahwa setiap kali kita berdoa, kita berdoa atas pendampingan Roh Kudus yang diutus Yesus menjadi meterai yang mengesahkan bahwa kita adalah kepunyaan-Nya. Dalam pimpinan Roh Kudus, kita berseru dan memohon dalam nama-Nya. Semua itu adalah karena Yesus yang telah merendahkan diri-Nya dengan mengosongkan diri-Nya dan menjadi sama seperti kita, mencurahkan darah-Nya sebagai tanda perjanjian baru antara Allah dengan manusia, dan menyegel kemenangan tersebut di dalam kebangkitan-Nya. Sekarang Dia berada di surga, mempersiapkan setiap tempat bagi setiap mereka yang sudah ditebus-Nya – mereka yang meresponi panggilan-Nya dengan menerima-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat satu-satunya.

Sudahkah kita mengerti bahwa setiap waktu kita datang, berlutut, dan berdoa kepada-Nya, kekuatan untuk menyerukan kata pertama diberikan melalui darah-Nya? Untuk membawa milik-Nya kembali memuliakan Allah Bapa, Dia memberi diri-Nya dirobek dan mengalirkan darah yang suci. Karena itu, berdoa kepada Allah yang sejati adalah anugerah—anugerah dari Dia yang telah memberikan diri-Nya, dan saat ini duduk di sebelah kanan Allah Bapa, menjadi Pengantara tunggal setiap umat pilihan-Nya. Masih adakah kegentaran di dalam hati kita ketika kita memejamkan mata kita dan mulai mengucapkan kata-kata kita kepada Allah? Atau doa sudah menjadi sebuah ucapan rutin untuk mempertahankan kesadaran kita bahwa kita menyandang status Kristen? Siapa kita yang dapat datang menghadap takhta Allah dan berkata-kata kepada-Nya? Hanya di dalam nama Yesus Kristus, Juru Selamat dan Pengantara kita satu-satunya, kita datang menghadap Allah dalam perjanjian yang baru dan pendamaian yang kekal, melalui darah-Nya yang kudus dan tak bercacat. Marilah kita berdoa di dalam kesadaran akan anugerah keselamatan yang telah kita terima untuk menyinkronkan diri dengan kehendak Allah dan menggenapkannya dalam hidup kita, seperti teladan Pengantara Agung kita yang telah menggenapkan seluruh kehendak Bapa di atas kayu salib! Soli Deo Gloria.

Solidaritus

Pemuda GRII Pusat