Pembicaraan mengenai Reformasi tidak akan bisa dilepaskan dari nama-nama besar seperti Martin Luther, John Calvin, Theodore Beza, dan John Knox. Para pahlawan iman ini telah melakukan tugasnya di dunia, menjadi alat Tuhan untuk menunjukkan kebenaran Tuhan di tengah-tengah dunia yang serong. Di lain pihak, tidak bisa dipungkiri bahwa perjuangan dan gebrakan Reformasi di abad ke-16 sudah dipersiapkan jalannya oleh para pelayan Tuhan yang sebelumnya telah hidup dengan setia, mendahului para tokoh Reformasi di atas.
Teriakan Reformasi di Eropa sudah dikumandangkan sejak pertengahan abad 14 oleh tokoh-tokoh seperti Jan Milíč, Matěj dari Janov, dan John Wycliffe.[1] Tokoh-tokoh ini telah memunculkan ide-ide Reformasi seperti supremasi Alkitab, kemurnian keselamatan, dan kerinduan terhadap cara hidup otentik para jemaat mula-mula. Akan tetapi, pokok-pokok pemikiran mereka masih terbatas dalam bentuk yang cenderung sporadis, yang menyebabkan mereka mengalami tekanan di tengah penganiayaan oleh Gereja Katolik Roma. Ide-ide ini menunggu kedatangan pribadi-pribadi yang dapat menyatukan mereka menjadi satu terang yang kuat, guna menggebrak tradisi yang sudah salah kaprah. Sesungguhnya, kerinduan itu akan segera terjawab! Akhir dari abad pertengahan yang sarat dengan penyalahgunaan kuasa dari Gereja Katolik Roma, sedang ditetaskan.
Pada kesempatan ini kita akan memfokuskan pembahasan mengenai cikal bakal Reformasi, di suatu daerah kecil di Eropa yang bernama Bohemia (sekarang berada di negara Ceko), di mana salah satu dari telur-telur pertama akan ditetaskan. Menjelang akhir abad pertengahan, Bohemia mengalami persengketaan rasial antara satu kelompok penduduk yang berbahasa Jerman dan kelompok lain yang berbahasa Ceko. Persengketaan yang berbau politik dan rasisme ini sayangnya juga masuk sampai ke dalam gereja, dan memengaruhi alur perkembangan gereja, di mana muncul kelompok gereja yang berbahasa Ceko dan gereja yang berbahasa Jerman. Salah satu puncak dari persengketaan ini adalah diangkatnya dua Paus untuk memimpin dua kelompok yang berseberangan ini.
“You are now going to burn a goose, but in a century you will have a swan which you can neither roast nor boil!”[2]
Adalah sebuah kalimat yang menurut tradisi lisan diucapkan oleh seorang tokoh Reformasi dari Bohemia di abad 15 sebelum kematiannya di atas tiang bakaran. Keberanian dan perjuangannya untuk menguak kebobrokan gereja dan menuntut pertobatan harus ia selesaikan di atas tiang bakaran, dibakar hidup-hidup sebagai seorang terdakwa dari tuduhan penyebaran ajaran sesat.
Tokoh reformis yang telah disinggung di atas dilahirkan pada tanggal 6 Juli 1369 di sebuah rumah sederhana di Husinetz, Bohemia Selatan, dengan nama Jan Hus (dikenal juga dengan nama John Huss; “hus” sendiri memiliki arti spesifik angsa kecil/goose). Jan Hus mengenyam pendidikan di Prague University, tempat di mana ia mendapatkan gelar “Master of Arts” pada tahun 1396, dan mendapatkan gelar Bachelor of Divinity pada tahun 1398. Pada tahun 1400, Jan Hus ditahbiskan sebagai pastor dan mulai melayani di Bethlehem Chapel, tempat yang nantinya menjadi base camp dari perjuangan Reformasi di Bohemia.
Didorong oleh kondisi keluarganya yang sangat sederhana, dan keinginan akan kehidupan yang lebih nyaman, Jan Hus terjun ke dalam kehidupan biara. Terlepas dari motivasi yang salah, hal ini memberikan Jan Hus kesempatan untuk bertemu langsung dengan firman Tuhan.[3] Pembelajaran firman Tuhan dan fenomena yang ternyatakan di dalam gereja mengubah pola pandang Jan Hus mengenai hidup; yang tadinya hidup untuk kenyamanan, menjadi hidup yang didedikasikan hanya kepada firman Tuhan.[4]
Jan Hus dikenal sebagai seorang pengkhotbah yang dengan tidak ragu-ragu menyatakan hasratnya untuk kebenaran dan tuntutan Alkitab, yang ditekankan pada aplikasi moral. Ia tidak pernah membatasi dirinya dalam menyatakan kedegilan hati dan menuntut pertobatan manusia; tidak terkecuali termasuk kelompok biarawan dan kaum aristokrat, yang pada abad pertengahan saling berbagi kuasa atas tonggak pemerintahan.[5] Hal ini semakin dikobarkan dengan masuknya pengaruh Wycliffe ke Bohemia di akhir abad ke-14.
Pengaruh dari John Wycliffe mulai masuk ke Bohemia, lewat hubungan kerja sama antara Bohemia dengan negara-negara tetangganya dalam bidang pendidikan (terutama Inggris dan Perancis). Salah satu buah dari kerja sama ini, memungkinkan para pelajar dari Universitas Prague untuk mempelajari karya-karya doktoral dari Universitas Oxford dan Paris. Hal ini membawa seorang pelajar Bohemia, yang kelak akan menjadi rekan seperjuangan Jan Hus, Jerome, masuk ke dalam pemikiran-pemikiran John Wycliffe dan membawanya pulang ke kampung halamannya di Bohemia.[6]
Jan Hus mendapatkan pengaruh yang demikian kuat sehingga khotbah dan pola pelayanannya sangat mencerminkan pokok-pokok pemikiran Wycliffe. Secara garis besar, pokok pemikiran Jan Hus berisi pemberontakan terhadap penyalahgunaan kuasa yang telah dilakukan oleh gereja Abad Pertengahan. Hal ini dinyatakan secara positif di dalam proklamasi akan otoritas Alkitab yang mengatasi otoritas gereja, dan doktrin keselamatan melalui iman.
“Some of the Popes were heretics, some of the clergy were villains, foredoomed to torment in Hell; and, therefore, all in search of the truth must turn, not to the Pope and the clergy, but to the Bible and the law of Christ!”[7]
Jan Hus sangat menentang penyalahgunaan otoritas yang didasarkan pada ordo baku gerejawi, di mana Paus menjadi kepala gereja, dan meletakkan otoritas Alkitab di bawah otoritas gereja. Stand point ini didorong oleh observasinya terhadap kehidupan gerejawi yang dipenuhi dengan hedonisme dan kemelencengan pengajaran firman Tuhan, terutama di kalangan Paus dan Kardinal. Hal ini membuatnya sangat sulit untuk menyatakan bahwa otoritas kebenaran harus diletakkan di tangan mereka yang sama sekali tidak mengenal kebenaran, baik dalam iman maupun hidup.
Sebaliknya, Jan Hus sangat mengedepankan teladan kesederhanaan Kristus dan perintah-Nya bagi pengabar Injil untuk tidak mengedepankan kekayaan duniawi, di dalam Alkitab.[8] Oleh karenanya, kesederhanaan dan pengosongan diri Kristus menjadi salah satu tema yang sangat sering dikabarkan di Bethlehem Chapel. Sebagaimana Kristus telah turun ke dalam dunia, mengambil rupa seorang manusia berdosa, dan hidup di dalam keterbatasan dan keletihan akibat dosa, demikianlah gereja harus turun dan melayani umat manusia. Hal ini disampaikan tidak hanya melalui khotbah-khotbah Jan Hus, namun Bethlehem Chapel sendiri dirancang dengan ornamen kaca yang menggambarkan Paus dengan segala kekayaan fananya duduk di samping Sang Kristus yang miskin dan rendah hati.
Terlepas dari pengertiannya mengenai kesederhanaan yang telah bias akibat kemuakannya dengan keadaan zamannya, sikap hati Jan Hus yang merindukan otoritas Alkitab diletakkan di atas yang lain adalah letupan kecil pertama dari salah satu ledakan pengakuan iman Reformed, Sola Scriptura.
“let the Pope, or a Bishop, or a Priest say, ‘I forgive thee thy sins; I free thee from the pains of Hell.’ It is all vain, and helps thee nothing. God alone, can forgive sins through Christ!”[9]
“Keselamatan datang melalui pertobatan yang dianugerahkan Allah melaui Kristus!” Paham ini diketahui dengan baik oleh Paus dan para theolog Abad Pertengahan. Namun, dengan memanfaatkan hak eksklusif mereka sebagai satu-satunya kelompok yang mendapatkan kesempatan untuk membaca Alkitab, dengan sengaja bagian ini tidak diberitakan dengan jelas. Sebagai gantinya, gereja menjual surat indulgensia yang diklaim dapat menyelamatkan manusia dari api purgatori, tempat di mana seluruh umat Katolik akan berada sebelum mereka masuk ke dalam sorga. Gereja telah menggantikan kebenaran yang mereka kenal dengan ketidakbenaran untuk memperkaya dirinya sendiri. Indulgensia telah menjadi komoditas baru yang dijual oleh gereja.
Kemelencengan begitu hebatnya, gereja tanpa keraguan memanfaatkan indulgensia untuk menyetir masyarakat awam bahkan untuk tujuan-tujuan yang tidak mulia. Salah satu contohnya, pada tahun 1411, Paus John XXIII memanggil seluruh Eropa untuk bangkit dan bergabung ke dalam satu perang suci melawan Klaudius dari Napel, yang melindungi Paus Gregory XII.[10] Gereja sudah diperlakukan selayaknya tentara bayaran, yang dibayar dengan “bayaran yang lebih mulia”.
Jan Hus menolak mentah-mentah “perang suci” ini, terutama pada bagian indulgensia, representasi dari pertobatan, sebagai imbalannya. Sebagai bentuk penolakannya, Bethlehem Chapel mulai memberitakan ajaran keselamatan melalui iman kepada Kristus saja, tanpa ada penambahan yang lain. Pokok-pokok pemikiran ini banyak ia adaptasi dari ajaran Wycliffe, terutama hal-hal yang menyangkut dosa dan penghukuman.
Penolakan untuk ikut menjalankan mandat dari Paus membawa permasalahan yang serius bagi Jan Hus dan pengikutnya. Oleh karena paham ini, tiga dari murid Jan Hus harus dihukum mati oleh gereja sendiri karena mereka dengan terang-terangan menolak paham indulgensia di sebuah ibadah raya yang terbuka. Mengikuti hukuman ini, enam dari karya Jan Hus, yang memang sangat sarat dengan pokok-pokok pemikiran Wycliffe, dinyatakan sesat. Mengikuti pengutukan ini, pihak universitas, kaum klergi, dan uskup sendiri mendesak agar Jan Hus diberikan sanksi ekskomunikasi. Mulai saat ini, Jan Hus melakukan pelayanannya, meneriakkan nilai pertobatan yang sejati, melalui Kristus dan bukan yang lain, bukan lagi di dalam gedung gereja, melainkan di padang dan di hutan. Gedung gereja tidak lagi mendefinisikan kebenaran, namun kebenaran justru yang mendefinisikan di mana gereja seharusnya berada.
“O Lord God, this Council now condemns Thy action and law as an error! I affirm that there is no safer appeal than that to the Lord Jesus Christ.”[11]
Pada tanggal 6 Juli 1415, Jan Hus dinyatakan bersalah atas tuduhan penghujatan pada Allah dan gereja-Nya yang kudus yang dijatuhkan di sebuah konsili di Constance; Jan Hus mengakhiri hidupnya di atas tiang bakaran sebagai salah satu martir pertama bagi reformasi gereja.
Konsili Constance diadakan atas izin dari Raja Sigismund, untuk memperteguh status sesat dari karya-karya Wycliffe, dan mengadili seorang pastor yang paling keras meneriakkan ajaran Wycliffe dan melawan mandat agung dari Gereja Katolik Roma, Jan Hus dari Bohemia. Konsili Constance memaksa Jan Hus untuk menarik seluruh ajarannya dan mengakui kesesatan Wycliffe. Jan Hus menyatakan bahwa dirinya tidak akan ragu untuk melakukan kedua hal itu, kecuali ditemukan bahwa keduanya telah berseberangan dengan ajaran Alkitab sendiri. Dalam hal ini, Konsili Constance tidak dapat menemukan sebab yang jelas untuk memaksa Jan Hus tunduk di bawah otoritas gereja.
Sebagai gantinya, Jan Hus dituduh mengajarkan pengertian yang lain mengenai keilahian Allah. Jan Hus dituduh telah menyatakan dirinya sendiri sebagai pribadi keempat dari Allah, karena dia menolak untuk tunduk di bawah mandat agung gereja, yang secara tidak langsung adalah mandat dari Allah sendiri. Jan Hus, dengan kejujuran hatinya menandatangani surat kematiannya saat ia menyatakan bahwa memang tidak ada tempat perlindungan yang lebih kokoh selain perlindungan di bawah kebenaran Kristus (dan bukan gereja yang kelihatan).
“What fear, shall part us from God, or what death?! What shall we lose if for Christ’s sake we forfeit wealth, friends, the world’s honors and our poor life? It is better to die well than to live badly. We dare not sin to avoid the punishment of death. To end in grace the present life is to be banished from misery. Truth is the last conqueror! He wins who is slain, for no adversity hurts him if no iniquity has dominion over him!”[12]
Bila kita tinjau lebih dekat, sebagai seorang theolog, Jan Hus tidaklah tuli untuk mendengar bahwa Wycliffe telah dinyatakan sesat di sebuah konsili di Black Briar. Jan Hus juga tidak buta untuk dapat melewatkan pembakaran dari 200 karya Wycliffe di hadapan umum, tidak di tempat lain, melainkan di pelataran Universitas Prague. Ia juga tidak bodoh untuk menalar bahwa ketika institusi di mana seharusnya kebenaran dinyatakan justru menyatakan ketidakbenaran, institusi ini sedang membunuh dirinya sendiri.
Tidaklah sulit untuk kehilangan harapan di tengah-tengah dunia yang secara konstan menganulir pernyataan kebenaran Allah. Namun, Jan Hus diberikan iman untuk melihat hal-hal yang lebih tinggi daripada apa yang kelihatan. Iman ini membuatnya tidak lelah hati ketika penolakan demi penolakan dinyatakan melawan dirinya. Bukan saja demikian, iman yang sama memberikan harapan bahwa apa yang ia beritakan, walaupun ditolak habis-habisan di zamannya, suatu hari akan dipakai dalam pernyataan kebenaran Tuhan. Hal-hal ini membuatnya semakin berapi-api dalam pemberitaan kebenaran, walau akhirnya ia sendiri harus mati dimakan api dunia ini.
Konfirmasi iman Jan Hus dinyatakan tidak lama setelah waktu kematiannya. Jan Hus meninggalkan satu kelompok yang mewarisi semangat perjuangannya, yang dikenal dengan nama Hussites, atau lebih dikenal dengan nama The Moravian. Hussites terus memperjuangkan semangat pemurnian gereja, meneruskan jejak pendahulunya. Tidak lama setelah Hussites berjalan di bawah bayang-bayang pendahulunya, Tuhan menetaskan telur angsa kedua dalam era Reformasi; pada tahun 1517, tidak jauh dari Bohemia, Tuhan membawa angsa kedua untuk menancapkan 95 tesis menuntut reformasi gereja di pintu gerbang Gereja Wittenberg.
Hal yang sama menanti setiap dari kita dalam konteks hidup kita masing-masing. Sejarah tidak akan pernah terlepas dari efek kejatuhan manusia di dalam dosa; Gereja pun ketika terlepas dari firman Tuhan tidak akan luput dari efek ini. Namun Tuhan telah memberikan kita akses menuju sumber kebenaran itu sendiri, firman Tuhan. Adalah hak kita untuk selalu belajar melihat dan belajar dari Sang Firman dengan mata iman, di bawah terang Roh Kudus, melalui firman Tuhan yang tertulis, yang telah memelihara iman Jan Hus dari Bohemia.
Stephen D. Prasetya
Pemuda FIRES
Endnotes:
[1] Hutton, J. E. A History of the Moravian Church. Grand Rapids: Christian Classics Ethereal Library, 7-9.
[2] Hill, Jonathan. The History of Christian Thought. Illinois: InterVarsity Press, 2003, 176.
[3] Pada Abad Pertengahan, kehidupan yang nyaman dan akses terhadap Alkitab hanya dimiliki oleh para tuan tanah, kelompok aristokrat, dan kelompok gerejawi.
[4] Bandingkan dengan Yesaya 55:11.
[5] Bandingkan dengan Hutton, op cit., 11.
[6] Bandingkan dengan Schaff, Philip. History of The Christian Church, Volume VI: The Middle Ages. A.D. 1294-1517. Grand Rapids: Christian Classics Ethereal Library. 294.
[7] Hutton. Op cit., 14.
[8] Bandingkan dengan Lukas 10:4-11, Lukas 9:3-5, dan Markus 6:8-11.
[9] Hutton. Op cit., 13.
[10] Gereja Katolik Roma sedang dipimin oleh dua Paus, satu memimpin kelompok berbahasa Jerman, dan satu memimpin kelompok berbahasa Ceko.
[11] Hutton, Op cit., 15.
[12] Schaff. Op cit., 205.