Orang majus, Simeon, dan Hana. Tiga “nama” ini membuat aku termenung dan terheran-heran. Pertanyaan-pertanyaan berkecamuk di kepalaku. Mengapa dari sekian banyak orang yang tinggal di Betlehem, akhirnya malah orang yang menempuh perjalanan begitu jauh dari Timur yang datang untuk menyembah Yesus? Mengapa orang-orang yang tinggal di Betlehem, yang begitu dekat, yang mungkin setiap hari bisa bertemu muka, sama sekali tidak sadar bahwa penggenapan janji yang sudah dinantikan selama ribuan tahun sebenarnya sedang berada di tengah-tengah mereka? Mengapa orang yang sebenarnya kafir (baca: bukan orang Yahudi) justru yang datang untuk menyembah Sang Raja di atas segala raja. Sementara seluruh Yerusalem, berikut dengan para ahli Taurat yang setiap hari dapat membaca hukum Musa dan kitab para nabi, malah terkejut. Mungkin sekali pertanyaan orang majus akan raja orang Yahudi yang baru dilahirkan secara tidak langsung menegur dan menusuk para pemimpin politik dan agama yang sudah begitu korup. Di sisi lain, mengapa ada seorang tua yang bernama Simeon, yang hanya dengan melihat bayi Yesus, langsung dapat melihat keselamatan yang dari Allah yang telah Allah sediakan di hadapan segala bangsa?[1] Mengapa akhirnya hanya seorang janda berumur 84 tahun yang berbicara tentang Kristus kepada semua orang yang menantikan kelepasan untuk Yerusalem?[2] Mengapa dari sekian banyak orang, bahkan orang-orang yang memiliki kekuasaan agama, politik, ekonomi, dan militer, akhirnya hanya segelintir orang saja yang sadar bahwa Sang Juruselamat yang dinantikan sudah berada di tengah-tengah mereka?
Cukup lama bagiku untuk dapat mulai mengerti bagaimana mereka dapat memiliki kepekaan yang seperti demikian. Semakin aku menelaah kisah mereka, semakin aku mengagumi dan menyadari mengapa akhirnya mereka yang mendapat kesempatan untuk menyambut dan menyembah Sang Mesias. Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa Simeon adalah seorang yang benar dan saleh yang menantikan penghiburan bagi Israel.[3] Terlebih lagi, ia adalah orang yang dengan begitu teguh memegang janji yang dinyatakan Roh Kudus bahwa ia tidak akan mati sebelum ia melihat Mesias. Hana juga dicatat tidak pernah meninggalkan Bait Allah dan siang malam beribadah dengan berpuasa dan berdoa. Demikian pula dengan orang majus, kemungkinan besar mereka adalah orang yang tidak asing lagi dengan nubuat-nubuat di Perjanjian Lama. Jika kita bayangkan, tentu mereka perlu berkorban tenaga, harta, waktu, dan kenyamanan di negeri mereka untuk mempersiapkan persembahan yang berharga dan menempuh perjalanan panjang tersebut. Belum lagi ketidakpastian akan lama dan jarak perjalanan. Sebab satu-satunya pegangan mereka adalah bintang yang memimpin. Mereka rela menempuh tantangan yang demikian besar dengan satu motivasi, yakni menyembah Sang Raja.
Kisah yang serupa juga pernah dicatat dalam Perjanjian Lama, yakni mengenai kisah Abraham. Saat itu, Abraham sedang duduk di pintu kemahnya dan melihat tiga orang berdiri di depannya.[4] Reaksi dari Abraham sungguh mengejutkan. Dari tindakannya, kita dapat mengerti bahwa Abraham memandang ketiga orang ini sebagai tamu yang sangat istimewa. Ia langsung berlari menyongsong mereka dan sujud sampai ke tanah. Padahal dalam budaya Timur Tengah, berlari menyongsong bukanlah sebuah respons yang wajar dari seorang yang berumur kepada tamunya. Tidak berhenti sampai di sana, Abraham meminta mereka untuk singgah sebentar untuk minum air dan makan sepotong roti. Padahal Abraham kemudian justru menyiapkan makanan lengkap berupa roti dari tepung terbaik, anak lembu, dan susu. Terlebih lagi, ketika makanan tersebut dihidangkan kepada ketiga orang tamunya, Abraham justru berdiri di dekat mereka dan tidak ikut makan. Abraham bersikap seperti seorang pelayan yang menunggu tuannya makan. Namun dari peristiwa ini, akhirnya Abraham mendapat janji bahwa tahun depan ia akan memiliki seorang anak laki-laki. Inilah suatu janji yang begitu ia dambakan, yang sudah ia tunggu selama bertahun-tahun.
Semakin aku memikirkan bagian-bagian ini, semakin aku gentar mengenai bagaimana seharusnya aku bersikap dalam meyambut dan merenungkan kembali makna Natal. Terkadang kita merasa jenuh dan terjebak dalam rutinitas ketika menyambut Natal. Jangan-jangan kita yang begitu giat dalam pelayanan justru akhirnya menjadi orang yang kehilangan makna sesungguhnya. Dari bagian Alkitab di atas, dicatat orang-orang yang mampu menembus fenomena yang kelihatan biasa (baca: rutin), dan akhirnya menemukan penggenapan janji dan rencana Allah yang sudah diturunkan dari zaman ke zaman. Aku begitu tertegur ketika membandingkan sikapku dengan sikap Simeon yang terus memegang dan menantikan janji Tuhan. Ditambah lagi sikap Hana yang terus berdoa dan berpuasa. Jika dipikir-pikir, sering kali aku baru benar-benar berdoa dan merenungkan makna Natal hanya ketika minggu-minggu menjelang KKR Natal saja. Bukankah berita Natal seharusnya menjadi berita penghiburan, berita sukacita, dan berita kelepasan? Sebuah berita yang menjadi jawaban dari kompleksitas pergumulan-pergumulan manusia dari segala tempat dan segala zaman, termasuk di Singapura di tempat aku bekerja. Inilah negara di mana makna Natal sudah direduksi sedemikan rupa menjadi sekadar untuk kepentingan komersial saja. Sebuah negara di mana pencapaian dan performa sangat ditekankan. Tak heran jika tidak sedikit orang yang tertekan dan merasa bahwa kerja bukanlah hidup. Istilah work life balance kerap kali dikumandangkan. Kalau begitu, apakah berarti work is not life[5]? Apakah yang disebut life baru dihitung ketika sudah keluar dari kantor, yakni ketika makan di restoran, bertemu teman ataupun keluarga, menyanyi sambil bersenda gurau di KTV, ngobrol di café, menikmati tontonan seru di atas kursi bioskop yang empuk, ataupun jalan-jalan di Orchard Road dengan segala lampu kelap-kelip dan ornamen Natal yang memanjakan mata? Hal-hal yang begitu ironis ini dapat kita saksikan setiap harinya. Manusia begitu sibuk menggunakan hidupnya untuk sekadar mencari kebutuhan hidup. Bukankah hidup itu sendiri lebih penting dari pada makanan?[6] Akhirnya Sang Sumber Hidup yang datang mencari manusia, sementara manusia yang dicari malah masih sibuk mencari kebutuhan hidup tanpa sadar bahwa hidupnya sendiri sudah terhilang.[7]
Natal… Adakah kita merayakannya yang seolah begitu dekat melekat dengan hidup kita tetapi sesungguhnya begitu jauh? Seperti orang-orang di Betlehem yang begitu dekat dengan Sang Juruselamat tetapi justru begitu jauh… Secara fisik begitu dekat tetapi secara hati begitu jauh. Betapa ironinya kita hanya mengisi Natal yang bukannya membawa kita masuk ke dalam kekekalan Allah tetapi membawa diri menuju kebinasaan kekal… jauh dari Allah.
Natal… Di manakah kita sesungguhnya?
Juan Intan Kanggrawan
Redaksi Bahasa PILLAR
Endnotes
- Lukas 2:30-31
- Lukas 2:38
- Lukas 2:25
- Kejadian 18:1-15
- Pertanyaan yang dirangsang melalui kelas Theology of Work and Vocation yang dibawakan oleh Prof. James Skillen
- Matius 6:25
- Bagian dari renungan di Persekutuan Doa GRII Singapura tanggal 24 November 2010 yang dibawakan oleh Pdt. Billy Kristanto