Jodoh di Tangan Tuhan? (Atau di Tangan Hansip?)

Diego Armando Maradona pernah bilang “tangan Tuhan yang melakukannya” sewaktu ia bikin gol pake tangan. Adam Smith pernah mengklaim bahwa akan ada ‘invisible hand‘ yang meregulasi harga-harga di pasar sehingga tercapai keseimbangan yang adil (‘invisible’ atau ‘untouchable’?) – tangan Tuhan?

Bagaimana dengan ‘jodoh’? Jika ‘jodoh’ di tangan Tuhan, mungkin ‘janda’ di tangan Tuhan juga. Bagaimana dengan rate Dollar dan Euro? Bagaimana dengan jatuh-tidaknya burung Pipit (atau ‘burung’ Garuda) di atas sana? Jika tidak, tangan siapakah yang mengatur kejadian-kejadian sejarah besar dan kecil ini? Jika Allah hanya menetapkan siapa-siapa saja yang diselamatkan, bagaimana dengan kehadiran orang-orang yang akan menerima keselamatan ini dalam dunia? Apakah Allah juga menetapkan siapa-siapa saja yang akan pernah lahir dan kapan? Jika Ia tidak campur tangan dalam hal ini, lalu bagaimana mungkin Ia dapat menetapkan orang-orang yang tak pernah lahir dalam dunia, untuk diselamatkan? (Mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya … juga dibenarkan-Nya – Rm. 8:30).

Sekedar spekulasi skolastik yang sudah tidak zaman lagi (walau mungkin masih perlu dan masih asyik), saya mencoba berpikir begini:

1. Fisik kita adalah bagian penting dari DIRI kita. Yang dimaksud dengan FISIK bukan hanya tinggi badan, kecantikan, populasi jerawat per sentimeter persegi, dan sebagainya, tapi juga IQ, EQ, kecenderungan-kecenderungan dari lahir (kecuali kita percaya teori tabula rasa dari Locke dan Rousseau – anak bayi lahir sebagai kertas putih yang siap diprogram oleh lingkungan), termasuk kecenderungan menjadi religius, yang bukan melulu dipengaruhi lingkungan.

2. Karena FISIK kita merupakan bagian dari identitas kita, maka FISIK yang berbeda, susunan genetis yang berbeda, berarti juga ORANG yang berbeda. Kita jadi diri kita ini sebagian karena fisik kita. Kita ini makhluk fisik juga, bukan hanya makhluk rohani, dan keduanya tak terpisahkan sejak kita lahir sampai masuk kuburan. Bahkan masih akan diteruskan sewaktu kita mengenakan tubuh kemuliaan yang seperti tubuh kebangkitan Kristus – yang pernah makan ikan goreng sesudah kebangkitan-Nya. Tuhan berkata kepada Yeremia, “AKU mengenalmu (dan menetapkan engkau jadi nabi bangsa-bangsa) sejak dari dalam kandungan ….“

3. Fisik (atau susunan genetis) kita ditentukan oleh siapa-siapa saja yang berkombinasi menjadi orang tua (dan kakek-nenek-buyut) kita. Dengan kata lain, siapa yang dipilih papa menjadi mama sangat menentukan fisik si anak seperti apa. Faktor fisik ini menjadi penyusun tak terpisah dari SELF kita (kecuali kita menganut antropologi bidat Gnostik yang sudah dikutuk ramai-ramai sejak zaman Rasul Paulus dan Yohanes). Karena itu … bagaimana Allah menetapkan siapa-siapa yang dipilih-Nya (dalam kekekalan) untuk diselamatkan Kristus tanpa menetapkan siapa-siapa saja yang akan lahir dan kapan. Dan karena siapa-siapa yang akan lahir tergantung kepada siapa-siapa saja yang saling memilih untuk bekerja sama dalam meneruskan gen (=kawin), maka bagaimanakah Allah menetapkan siapa yang lahir jika Ia tidak menetapkan siapa-siapa saja yang akan saling kawin.

Tentu saja Alkitab tak berkata-kata secara eksplisit bahwa Ia menjodohkan satu per satu anak-anak manusia (atau anak-anak Tuhan), dan tentu saja Allah tak diikat oleh hukum sebab-akibat buatan otak manusia (bnd. “Life is too strong for logic” – David Hume, seorang agnostik-pesimis ternama yang menginspirasi Kant) sehingga mungkin-mungkin saja Ia menetapkan siapa-siapa saja yang diselamatkan tanpa menetapkan siapa-siapa yang pernah lahir dan/atau siapa-siapa saja yang akhirnya (pernah) saling kawin dan meneruskan rekombinasi gen mereka.

Tetapi di sisi lain, saya juga tak melihat perlunya kita takut orang lari dari tanggung jawab, karena Tuhan yang memilihkan kita jodoh. Mengapa? Karena Ia tak pernah memberi tahu kita mengenai keputusan kekalnya itu (kecuali, mungkin, nanti setelah Tuhan datang lagi). Itu bagian dari God’s secret will. Sama seperti kita tak perlu takut orang lari dari tanggung jawab untuk memberitakan Injil gara-gara doktrin predestinasi.

Di abad pertengahan ada doktrin ‘media gratia’. Tuhan menurunkan anugerah-Nya (baik keselamatan – special/saving grace – ataupun pemeliharaan umum/providensia – common grace) melalui PERANTARA MATERI yang menjadi media dari anugerah itu, ‘eksistensi luar’ bagi ‘esensi dalam’, yaitu anugerah itu sendiri. Cinta dalam hati (esensi) menghadirkan sekuntum mawar (eksistensi) di atas meja makan. Tak ada esensi tanpa eksistensi. “Gratia non tollit naturam, sed perficit” kata Thomas Aquinas (anugerah itu tak meniadakan peran alam, malahan menggenapinya). Misalnya, Alkitab diberikan dalam media budaya, bahasa, tanda baca, tinta, kertas/perkamen/papirus/hardwaresoftware komputer, de-el-el. Datangnya Firman bukannya menjadikan kita makhluk rohani tapi memberikan arah/’roh’/makna kepada materi-materi ciptaan Tuhan ini.

Tuhan menetapkan orang pilihan (predestinasi) tapi para kita-kita yang memberitakan Injillah yang ditetapkan untuk dipakai mewujud-materikan pilihan ini. Pemilihan itu esensinya, penginjilan itu eksistensinya. Pemilihannya terjadi dalam pikiran Tuhan, pertobatannya terjadi di alam materi dengan diantarai oleh fisika, bahasa, jejaring sosial, reaksi kimiawi di otak dengan manusia-manusia ini sebagai agen pelaksananya. Mungkinkah Tuhan juga menetapkan ‘jodoh’ (dan banyak hal-hal kecil lainnya – mengingat kejadian-kejadian dalam dunia kemungkinan besar sangat berkaitan erat jika hipotesa Teori Chaos benar)? Pemilihan terjadi dalam rencana kekal Tuhan (dan dirahasiakannya dari manusia), tetapi eksekusi rencana ini terjadi di alam materi dengan perantara latar belakang sejarah psikologis seseorang (yang bikin mata sipit Mei Lan jadi menarik, atau dalam kasus lain, si hitam manis Salomo-lah yang menawan hati), letak geografis (witing tresno jalaran soko kulino), pertimbangan ekonomis, atau latar belakang doktrin, Firman yang dimengerti, dan pimpinan Roh Kudus pada diri seseorang.

Seperti dalam kasus Predestinasi, pemilihan Tuhan tak boleh jadi alasan malas menginjili (atau menyalahkan Tuhan kalau orang kabur dari gereja gara-gara kita ‘nggak pake otak’ waktu menginjili). Dalam kasus Providensia, rencana kekal Tuhan yang berdaulat bahkan dalam menentukan jatuh-tidaknya burung pipit tak boleh dijadikan kambing hitam untuk kita malas atau sembrono milih pacar. Kalau gagal dalam pacaran carilah lagi, carilah dengan lebih sesuai prinsip Alkitab – jangan tanya apa rencana kekal Tuhan (Tuhan tak suruh kita mengorek-ngorek rencana kekal-Nya), karena mungkin saja Tuhan memang merencanakan kita gagal sekali-dua dulu baru menemukan pacar yang cocok dijadikan istri/suami. Tapi bagaimana kalau salah menikah? Dari mana kita tahu itu “salah menikah”? Jangan-jangan hanya karena kita tak sebahagia yang kita kira, atau pernikahan tak semudah yang kita mimpikan. Atau kita sudah menyerah pada dosa sebelum berserah pada Sang Penebus dosa?

Ev. Yadi S. Lima

Pembina Pemuda GRII Pondok Indah