Jonathan Edwards: Seorang Kristen Biasa

Puncak Everest…Itulah bagaimana D. Martyn Lloyd-Jones (1899-1981), seorang pendeta dan theolog yang sangat berpengaruh, melukiskan Jonathan Edwards. “Saya tergoda, mungkin bodoh, untuk menyamakan kaum Puritan dengan pegunungan Alpen, Luther, dan Calvin dengan pegunungan Himalaya, dan Jonathan Edwards dengan puncak Everest! Bagiku, ia selalu tampak sebagai sosok yang paling mirip dengan Rasul Paulus,” demikian deskripsi dari pena Llyod-Jones sendiri. Saya bertaruh bahwa Saudara terkejut dengan kutipan tersebut. Saya menebak bahwa Saudara sekarang bertanya-tanya, “Siapakah gerangan orang ini yang lebih luar biasa daripada kaum Puritan, Luther, dan Calvin yang sudah sangat luar biasa?” Paling tidak, itulah yang saya rasakan saat pertama kali tertarik kepada Jonathan Edwards dan membaca kutipan di atas.

Samuel Hopkins (1721-1803), seorang pendeta dan theolog yang belajar theologi di bawah bimbingan Jonathan Edwards, mengatakan, “Presiden Edwards (ia sempat menjadi Presiden dari Princeton University) adalah salah satu dari orang-orang yang terbesar, terbaik, dan paling berguna pada masa ini. Ada alasan untuk berharap walaupun ia sudah tiada, ia akan tetap terus berbicara untuk masa-masa yang akan datang, untuk manfaat yang besar bagi Gereja Kristus, dan kesejahteraan abadi bagi banyak jiwa – dan tulisan-tulisan beliau akan menghasilkan panen kebahagiaan yang lebih besar lagi bagi manusia dan kemuliaan bagi Tuhan pada hari Tuhan.” Banyak tulisan Edwards yang dicetak, dijual, disediakan secara online dan disimpan di perpustakaan sampai detik ini, menandakan bahwa kutipan di atas sudah menjadi kenyataan. Selain itu, melalui artikel ini, saya berharap bahwa kehidupan dan pemikiran Edwards akan “berbicara” dan menginspirasi kita, orang-orang di Indonesia, untuk semakin melihat dan menikmati kemuliaan Tuhan.

Jonathan Edwards adalah seorang pendeta dan theolog yang pemikirannya sangat luas. Ia membahas banyak topik, dari hal yang spiritual seperti kemuliaan Tuhan, sampai pada kehidupan sehari-hari seperti olahraga. Namun, yang membuat saya sangat tertarik kepadanya adalah kehidupannya. Ia memiliki kehidupan yang menghidupi Alkitab. Ya, sekali lagi: Ia benar-benar berusaha dengan sekuat tenaga untuk menghidupi firman Tuhan di dalam hidupnya yang singkat. Kenyataan tersebut akan kita lihat lebih jauh di bagian-bagian berikutnya dari artikel ini. Kita akan melihat cuplikan dari perjalanan hidup Jonathan Edwards – dari masa kecil, masa di universitas, pertobatan, praktik kerja, kehidupan cinta, pelayanan pastoral, perannya pada peristiwa kebangkitan rohani, kehidupan penginjilan, sampai pada saat ia bertemu dengan kematian – dan sesekali berhenti sejenak untuk merenungkan apa sih yang bisa kita petik dari masa-masa itu.

Sebuah Perasaan ‘Baru’
Seorang Amerika yang dilahirkan pada tanggal 5 Oktober 1703 ini sudah memperoleh pendidikan Alkitab dan theologi Reformed sejak kecil. Hal tersebut memungkinkan karena sang ayah, Timothy Edwards, adalah seorang pendeta. Steven J. Lawson, dalam bukunya yang berjudul The Unwavering Resolve of Jonathan Edwards, menuliskan bahwa Timothy mempersiapkan Jonathan muda untuk pelayanan dengan mengajarkan dia Alkitab, Katekismus Singkat Westminster, dan theologi Reformed. Melalui ayahnya, ia juga melihat secara langsung kehidupan Kristen dan tanggung jawab serta upah dari pelayanan sebagai pendeta. Selain itu, peran sang ibu, Esther Stoddard, juga sangatlah penting. Hal ini tercermin dari tulisan Stephen J. Nichols dalam bukunya yang berjudul Jonathan Edwards: A Guide Tour of His Life and Thought. Nichols mengatakan, “Sebagai tambahan, Jonathan belajar Alkitab, katekismus, kekayaan warisan kaum Puritan, dan iman Reformed dari ayahnya dan ibunya.”

Kenapa saya menekankan kenyataan bahwa Edwards bukan hanya diperkenalkan, tetapi juga telah “dilatih” kekristenan sejak kecil? Latihan yang disiplin dan terus-menerus itu ternyata tidak membuat Edwards otomatis bertobat dan menerima Yesus sebagai Juruselamatnya. Edwards baru benar-benar bertobat pada waktu ia berumur tujuh belas tahun, saat menyelesaikan program magisternya di Yale University.

Pertobatannya kepada Yesus Kristus yang tiba-tiba ini terjadi pada waktu ia sedang merenungkan 1 Timotius 1:17, “Hormat dan kemuliaan sampai selama-lamanya bagi Raja segala zaman, Allah yang kekal, yang tak nampak, yang esa! Amin.” Berikut adalah kata-kata Edwards sendiri mengenai pertobatannya, “Datang ke dalam jiwaku, dan seolah-olah disebarkan melalui itu, sebuah rasa kemuliaan Sang Ilahi; sebuah perasaan yang baru, yang sangat berbeda dari apa pun yang pernah kurasakan sebelumnya.” Bertahun-tahun kemudian, Edwards merenungkan kembali pertobatannya di masa muda dan memberikan gambaran lebih lanjut sebagai berikut, “Aku pada waktu itu mulai memiliki suatu jenis pengertian dan gambaran-gambaran baru tentang Kristus, dan karya penebusan, dan jalan keselamatan melalui-Nya yang sungguh mulia. Sebuah perasaan yang mendalam, perasaan yang manis tentang hal-hal ini, kadang-kadang, masuk ke dalam hatiku; dan jiwaku dibawa pergi pada gambaran-gambaran yang menyenangkan dan perenungan akan hal-hal tersebut. Dan pikiranku sangat dipenuhi untuk menghabiskan waktu dalam pembacaan dan perenungan tentang Kristus, tentang keindahan dan kemuliaan pribadi-Nya, dan jalan keselamatan oleh kasih karunia yang cuma-cuma di dalam diri-Nya yang begitu indah.”

Apakah kita pernah merasakan perasaan seperti itu dalam kehidupan Kristen kita? Apakah kita pernah merasakan “perasaan yang baru, yang berbeda, yang mendalam, yang menyenangkan, yang manis” tentang Kristus dan karya penebusan-Nya seperti yang dirasakan Edwards? Apakah kita pernah sungguh-sungguh berterima kasih kepada Tuhan atas jalan keselamatan “oleh kasih karunia, melalui iman” yang sudah Ia hadiahkan kepada kita? Mari kita semua sama-sama jujur, rindu, dan berdoa untuk hal ini.

Senyuman Allah, Bukan Senyuman yang Lain
Jonathan Edwards muda baru saja menjadi seorang Kristen. Sebelum menulis skripsinya, Edwards memperoleh sebuah kesempatan untuk magang di satu gereja Presbyterian Skotlandia yang kecil di kota New York. Lawson menuliskan, “Dalam masa-masa pertumbuhan ini, Edwards ‘merasakan sebuah keinginan yang berapi-api untuk menjadi seorang Kristen yang sempurna dalam segala hal’. Momen ini terbukti menjadi sebuah masa yang sulit di mana Edwards memikirkan dengan cermat prioritas-prioritas yang ia inginkan untuk menjadi prinsip-prinsip yang memimpin hidupnya. Pada saat itulah Edwards, delapan belas tahun, mulai menuliskan resolusi-resolusinya.”

Selama hidupnya, Edwards menuliskan tujuh puluh resolusi yang didasari oleh firman Tuhan dan ia pegang teguh sampai akhir hayatnya. Beberapa resolusi Edwards akan ditampilkan dalam bagian-bagian setelah ini. Khusus dalam bagian ini, saya ingin menyoroti kalimat pembuka dari kumpulan resolusi seorang Jonathan Edwards, “Dengan sangat sadar bahwa aku tidak mampu untuk melakukan apa pun tanpa pertolongan Tuhan, aku dengan rendah hati memohon dengan sangat kepada-Nya untuk memampukan diriku untuk memegang teguh resolusi-resolusi ini, sejauh itu sejalan dengan kehendak-Nya, demi Kristus.”

Jonathan Edwards, seorang Kristen baru, sadar dengan sangat bahwa tanpa Tuhan ia bukan siapa-siapa dan tidak dapat melakukan apa-apa. Bagaimana dengan kita? Ia ‘dengan rendah hati memohon dengan sangat’ agar dimampukan untuk melakukan resolusi-resolusi yang ia buat. Sebenarnya, ‘dengan rendah hati memohon dengan sangat’ di sini bisa diartikan sebagai mengemis. Lebih jauh lagi, Edwards ‘mengemis’ kepada Tuhan untuk dimampukan bukan semata-mata untuk kepentingan diri sendiri. Ia hanya ingin dimampukan untuk menjalankan ketetapan-ketetapan hatinya sejauh itu sejalan dengan kehendak-Nya dan ia melakukan semuanya itu demi kemuliaan Kristus semata. Jonathan Edwards hanya memiliki satu visi dan itu adalah kemuliaan Tuhan. Kalimat pembuka tersebut mengingatkan saya akan tulisan Rasul Paulus, “Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku” (1Kor. 15:10). Yang Edwards cari adalah senyuman Allah, bukan senyuman yang lain. Mari kita sama-sama merenungkan dan merasakan kebenaran permohonan Jonathan Edwards ini.

Ada Apa dengan Edwards?
Hari itu cerah. Udaranya hangat. Seperti biasa, Jonathan Edwards sedang membaca buku di tengah kicauan burung dan teriknya matahari. Namun, entah kenapa, hari itu sang pemuda ini tidak dapat berkonsentrasi pada buku yang sedang ia baca. Kalimat demi kalimat, kata demi kata yang dilewati oleh matanya tidak masuk ke dalam pikirannya. Otaknya saat itu sedang dipenuhi oleh ‘hal’ yang lain. Ya, Sarah Pierrepont, gadis yang pertama kali ia jumpai setelah pulang dari New York, memenuhi otaknya di siang hari itu.

“Ah, mengapa sosok Sarah tidak bisa pergi dari pikiranku?” pikir Edwards.
“Aku harus serius. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.” tegasnya.

Sayangnya, semakin keras Edwards berusaha untuk menghilangkannya, wajah Sarah hanya menjadi semakin nyata dalam benaknya.

“Ada apa dengan diriku ini?” tanyanya kepada dirinya sendiri.

Akhirnya, bukannya melawan perasaan itu, Edwards malah mengambil pena kesayangannya. Setelah itu, jari-jari Edwards sibuk mencari halaman yang kosong dari buku yang sedang ia baca. Ia ingin segera menumpahkan perasaanya dalam bentuk tulisan. Sambil tersenyum, ia mulai menulis:

“Mengenai Sarah Pierrepont”

“Kata mereka ada seorang wanita muda di New Haven yang adalah kekasih dari Sang Makhluk Agung yang menciptakan dan mengatur dunia ini, dan ada saat-saat tertentu di mana Sang Makhluk Mahakuasa ini, melalui cara-cara tertentu yang tidak kelihatan, menghampirinya dan memenuhi pikirannya dengan kebahagiaan yang terlampau manis, dan itu membuatnya seakan-akan tidak dapat memedulikan hal apa pun, kecuali untuk merenungkan Dia….

Ia adalah seorang wanita yang sangat manis, tenang, dan berpikiran bijak; terutama setelah Allah yang luar biasa ini menyatakan diri-Nya ke dalam pikirannya. Ia kadang-kadang pergi dari satu tempat ke tempat lainnya, bernyanyi dengan manis; dan sepertinya selalu penuh sukacita dan kegembiraan; dan tidak seorang pun tahu untuk apa. Ia senang menyendiri, berjalan di padang-padang dan kebun-kebun, dan terlihat seperti ditemani oleh seseorang yang tidak terlihat yang selalu bercakap-cakap dengan dia.”

Jonathan Edwards sedang jatuh cinta! Jujur, waktu pertama kali saya membaca tulisan Edwards di atas, kehangatan memenuhi hati saya. Hal ini membuat saya mengingat manisnya perasaan yang saya rasakan pada waktu jatuh cinta dan sekaligus menjadi cermin untuk berkaca bagi diri sendiri tentang kenapa saya bisa jatuh hati kepada seseorang. Dalam kutipan di atas, kita dapat melihat bahwa Edwards bukan hanya melihat penampilan (manis), tingkah laku (tenang), dan cara berpikir (berpikiran bijak), tetapi yang lebih penting lagi, ia melihat cinta Sarah kepada Allah yang juga sangat ia cintai. Cinta Sarah yang besar kepada Allah membuat seluruh pikiran dan kehidupannya dipengaruhi oleh firman Tuhan. Ini adalah alasan mengapa Edwards tidak dapat menghilangkan Sarah dari benaknya. Dari deskripsi Edwards di atas, kita dapat melihat betapa Edwards mengagumi Sarah yang hidupnya penuh sukacita dan kebahagiaan oleh karena Tuhan. Edwards jatuh cinta kepada Sarah karena ia melihat bahwa mereka mencintai Allah yang sama, tentunya, dengan sepenuh hati mereka. Bagaimana dengan cerita cinta kita?

Alkitab yang… Kosong
Jonathan Edwards akhirnya memenangkan hati pujaan hatinya, Sarah Pierrepont, dan mereka menikah pada tanggal 28 Juli 1727. Sebelumnya, ia sudah secara resmi diangkat menjadi asisten pendeta dari kakeknya sendiri, Solomon Stoddard, yang juga merupakan seorang pendeta yang sangat berpengaruh di New England pada masa itu. Jonathan Edwards mendadak harus mengisi posisi gembala sidang gereja di Northampton, Massachusetts, tersebut setelah kematian kakeknya yang tiba-tiba pada tahun 1729.

Pada saat inilah, ia memulai pekerjaannya, yang akan ia lakukan terus-menerus selama ia hidup, yang kemudian hari disebut “The Blank Bible” atau “Alkitab yang Kosong”. Alkitab ini merupakan hadiah dari saudara iparnya, memuat kira-kira 900 halaman kosong yang diselipkan di setiap halaman Alkitab. Bayangkan, satu halaman kosong diselipkan di setiap halaman dari Alkitab. Fungsi dari halaman-halaman kosong itu adalah sebagai tempat bagi Edwards untuk menuliskan refleksi, interpretasi, catatan-catatan dan sebagainya yang ia peroleh pada waktu membaca bagian Alkitab tertentu. Nichols mengatakan bahwa Edwards menuliskan komentarinya sendiri di halaman-halaman kosong dari Alkitab tersebut. John Piper, yang pernah memperoleh kesempatan untuk memegang dan melihat The Blank Bible yang asli, mengatakan bahkan “pada halaman demi halaman di bagian-bagian Alkitab yang paling asing sekalipun terdapat catatan-catatan dan refleksi-refleksi yang panjang lebar dalam tulisan tangannya yang kecil dan hampir tidak terbaca.”

Ini adalah bukti bahwa Edwards melakukan resolusinya yang ke-28, yang berbunyi demikian: “Menetapkan hati: Untuk belajar Alkitab dengan terus-menerus, tidak henti-henti, dan sesering mungkin, supaya dengan demikian aku dapat merasakan, dan dengan jelas mengerti, bahwa diriku bertumbuh di dalam pengetahuan akan hal tersebut.”

Lebih mencengangkan lagi adalah kenyataan bahwa ia menuliskan resolusi itu jauh sebelum ia menjadi gembala sidang yang harus mempersiapkan khotbah setiap minggu. Edwards menuliskan itu pada masa kuliahnya di Yale University. Dia memiliki kesadaran dan komitmen untuk mempelajari Alkitab dengan sangat serius sejak masa mudanya. Sering kali, yang saya jumpai adalah orang-orang Kristen lebih senang memperoleh pengertian tentang Allah dari pihak kedua. Kita lebih senang membaca buku theologi atau mendengarkan khotbah ketimbang mencoba menggali sendiri Alkitab secara mendalam. Bukannya saya menentang hal tersebut. Poin saya adalah, jika hal-hal tersebut tidak memunculkan suatu kerinduan dalam diri kita untuk pergi menyelami mata air yang utama atau mencicipi makanan rohani dari pabrik utamanya, apakah gunanya?

John Piper, dalam salah satu khotbahnya, berkata, “Janganlah kamu memperoleh pengertianmu akan Tuhan melalui orang lain. Bahkan, jangan jadikan Edwards atau Packer sebagai sumber pengertian kita akan Tuhan yang paling utama. Ini adalah contoh yang Edwards sendiri berikan untuk kita.” Penulis biografinya, Sereno Dwight, mengatakan bahwa pada waktu ia menjalankan pelayanan pastoralnya di Northampton, “Ia telah mempelajari theologi, bukan terutama di dalam sistem-sistem atau komentari-komentari, melainkan di dalam Alkitab, dan di dalam karakter serta hubungan satu sama lain antara Allah dan ciptaan-ciptaan-Nya, yang dari mana semua prinsip theologi itu diperoleh.”

Dalam salah satu khotbahnya yang berjudul “Pentingnya dan keuntungan dari sebuah pengetahuan yang menyeluruh akan kebenaran ilahi”, Edwards sendiri mengatakan, “Tekunlah dalam pembacaan Kitab Suci. Ini adalah mata air dari mana seluruh pengetahuan tentang Tuhan harus diperoleh. Oleh karena itu, jangan biarkan harta karun ini tergeletak sia-sia oleh dirimu.” Bagaimana pembacaan Alkitab kita sehari-hari?

Kristen Bajakan
Selama hidupnya, Jonathan Edwards pernah menyaksikan sendiri, merasakan dan menikmati dua peristiwa kebangunan rohani. Kebangunan Rohani atau The Great Awakening adalah masa di mana hasrat dan kesadaran orang-orang terhadap hal-hal yang bersangkut-paut dengan Tuhan lebih besar daripada biasanya. Banyak orang yang merasakan dan menyesali dosa-dosa mereka, Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) diadakan di mana-mana, pertobatan terlihat di banyak tempat dan gereja-gereja penuh oleh jemaat yang ingin mendengarkan firman Tuhan.

Jonathan Edwards bukan hanya seorang pemimpin besar, pengkhotbah, pendoa setia dalam peristiwa-peristiwa kebangunan rohani tersebut. Ia juga adalah seorang ‘tukang kritik’ yang paling tajam pada masa itu. Ia sangat khawatir jika ada orang yang merasa bahwa ia telah diselamatkan padahal ternyata tidaklah demikian. Ia takut jika ada orang yang bersandar pada tanda-tanda yang tidak esensial sebagai suatu tanda yang menunjukkan pertobatan murni dan tidak memedulikan tanda-tanda yang sebenarnya esensial. Ia sadar, bahwa pasti ada Kristen ‘bajakan’. Didasari atas kekhawatiran ini, ia kemudian menggali dan merenungkan Alkitab yang akhirnya membuahkan satu karyanya yang paling luar biasa, yaitu Religious Affections (secara literal dapat diterjemahkan menjadi “Kasih Sayang yang Religius”).

Dalam bukunya, Nichols merangkumkan buku tersebut dalam format perbandingan antara tanda-tanda keselamatan yang tidak pasti vs. yang pasti. Dari dua belas poin yang dirangkum oleh Nichols, berikut adalah beberapa cuplikannya (Bukan Tanda Pasti vs. Tanda Pasti):
1. Semangat dan gairah keagamaan yang besar vs. Sumber yang murni: kasih sayang yang bersifat spiritual, supernatural, dan bersifat ketuhanan.
2. Suka berbicara tentang agama vs. Cinta terhadap hal-hal ilahi karena keindahan dan kemuliaan yang melekat pada hal-hal tersebut.
3. Kemampuan untuk menguraikan Alkitab vs. Kepastian: keyakinan akan realitas dan kepastian dari hal-hal ilahi.
4. Penampilan luar yang mencintai vs. Kehinaan: sebuah perasaan akan diri sendiri yang tidak cukup dan tidak layak.
5. Memberikan banyak waktu untuk agama dan sangat berapi-api dalam penyembahan vs. Kepekaan: sebuah hati yang lembut dan tidak dikeraskan.
6. Kepercayaan diri dalam pengalaman-pengalaman kegamaan vs. Kelaparan rohani: makin tidak menginginkan diri sendiri dan dosa dan makin merindukan pertumbuhan spiritual.

Kita dapat melihat bahwa kebanyakan dari tanda-tanda yang tidak pasti adalah tingkah laku yang bisa dilihat oleh semua orang, sehingga bisa kita palsukan. Namun, kebanyakan dari tanda-tanda yang pasti adalah sesuatu yang terjadi di dalam diri. Kita tidak dapat melihatnya, namun dapat merasakannya. Kita dapat membohongi orang lain, namun kita tidak akan pernah dapat membohongi diri sendiri dan Tuhan. Bagaimanakah hidup pertobatan kita?

Cinta yang Meluap
Seperti yang sudah kita lihat dalam bagian-bagian artikel sebelumnya, Edwards adalah seseorang yang menghabiskan banyak waktunya untuk membaca Alkitab, belajar theologi, menulis buku, dan sebagainya. Namun, Edwards tidak berhenti di titik itu. Dia tidak serta-merta merasa ‘puas’ dengan hidupnya pada waktu memiliki pengertian yang dalam akan firman Tuhan. Justru sebaliknya, semakin dia mengerti firman Tuhan, dia semakin mencintai Tuhan karena semakin sadar bahwa Tuhan sangat mencintai dirinya dan cinta itu meluap. Ya, cinta Tuhan kepada Edwards meluap dari dalam dirinya kepada sesamanya dalam bentuk penginjilan. Dia tidak puas hanya dengan mengerti dan yakin bahwa ia telah diselamatkan. Ia ingin orang lain juga mengetahui dan menerima kabar sukacita ini.

Hal ini terbukti bahwa pada saat Kebangunan Rohani terjadi, Edwards sempat berkeliling ke beberapa kota di sekitar Northampton untuk menjadi pembicara KKR. Pelayanan Edwards ini menghasilkan salah satu khotbah yang mungkin paling diingat orang, yaitu khotbah yang berjudul Sinners in the Hands of an Angry God atau dapat diterjemahkan menjadi “Pendosa-pendosa di dalam Tangan Allah yang Murka”. Selain itu, pada masa ini, melalui surat, ia juga meminta George Whitefield, sang pengkhotbah KKR yang terkenal itu, untuk mengunjungi Northampton. Edwards rindu pelayanan George Whitefield yang membangkitkan kerohanian banyak orang di kota-kota yang dikunjunginya, juga terjadi di Northampton.

Selain itu, Edwards juga menulis sebuah biografi mengenai seorang pemuda yang menjadi misionaris untuk suku Indian yang bernama David Brainerd. John Piper mengatakan, “Daftar misionaris yang bersaksi tentang inspirasi dari kehidupan Brainerd melalui tulisan Jonathan Edwards ini lebih panjang dari yang setiap kita ketahui: Francis Asbury, Thomas Coke, William Carey, Henry Martyn, Robert Morrison, Samuel Mills, Fredrick Schwartz, Robert M’Cheyne, David Livingstone, Andrew Murray. Dan beberapa hari sebelum ia meninggal, Jim Elliot, yang mati martir di tangan suku Aucas, menulis di dalam buku hariannya, “Pengakuan akan kesombongan – seperti yang disarankan oleh Buku Harian David Brainerd kemarin – harus menjadi hal yang saya lakukan setiap jam.”

Jonathan Edwards tidak hanya menuliskan Buku Harian David Brainerd yang terus mendorong kegiatan misionari di segala abad setelahnya, namun ia sendiri pernah menjadi seorang misionaris bagi suku Indian selama tujuh tahun. Setelah ia ‘dipecat’ (karena ia menentang praktik perjamuan kudus yang salah di gerejanya) dari gerejanya di Northampton, Edwards memilih untuk menjadi misionaris bagi suku Mohicans dan Mohawks di kota perbatasan Stockbridge, Massachusetts. Apakah pembacaan dan pembelajaran Alkitab ataupun buku-buku theologi kita membuat cinta Tuhan kepada kita meluap kepada sesama kita melalui bentuk penginjilan?

Bapa yang Tak Pernah Mengecewakan
Pada bulan Desember 1757, setelah bergumul dengan serius, Edwards akhirnya menerima tawaran Universitas Princeton yang memintanya untuk menjadi presiden dari universitas tersebut. Ia tiba di Princeton dari Stockbridge pada bulan Januari 1758. Namun, kehendak Tuhan ternyata lain. Baru beberapa bulan menjadi presiden, Jonathan Edwards meninggal pada tanggal 22 Maret 1758. Ia meninggal dengan tiba-tiba karena komplikasi dari vaksin cacar yang ia terima dengan sukarela karena ingin menjadi contoh bagi masyarakat agar tidak takut pada hasil kemajuan dari dunia kedokteran tersebut. Yang lebih menyesak lagi adalah pada waktu ia meninggal, sang istri tercinta, Sarah Edwards, masih belum tiba di Princeton karena musim dingin yang sangat parah.

“Yang Tersayang Lucy,
Bagiku sepertinya adalah kehendak Allah bahwa aku harus meninggalkanmu sebentar lagi. Oleh karena itu sampaikanlah cintaku yang paling manis kepada istriku yang tercinta, dan sampaikan kepadanya bahwa hubungan yang luar biasa, yang sudah hidup di antara kami sejak lama memiliki sebuah natur, yang aku percaya adalah spiritual, dan oleh sebab itu akan terus berlanjut selamanya.
Dan aku berharap ia akan dikuatkan dalam menghadapi cobaan yang sangat berat ini, dan berserah kepada kehendak Tuhan ini dengan riang. Dan untuk anak-anakku, sekarang kalian sepertinya akan menjadi yatim, yang di mana aku berharap akan menjadi suatu dorongan bagi kalian semua untuk mencari seorang Bapa yang tidak akan pernah mengecewakan kalian.”

Itu adalah sebagian besar dari kata-kata Jonathan Edwards sebelum ia meninggal. Jonathan Edwards jatuh cinta kepada orang yang tepat. Berikut adalah tanggapan Sarah Edwards dalam suratnya kepada salah satu anaknya, Esther:

“Anakku yang tersayang,
Apa yang harus aku katakan? Allah yang suci dan baik telah meliputi kita dengan sebuah awan gelap. O, sekiranya kita dapat mencium tongkatnya, dan meletakkan tangan kita pada mulut kita! Tuhan telah melakukannya. Ia (Tuhan) telah membuat diriku mengagumi kebaikan-Nya sebab mengizinkan kita memiliki dia (Edwards) selama ini. Namun Allahku hidup, dan Ia memiliki hatiku. O, betapa luar biasanya warisan yang suamiku, dan yang juga ayahmu, telah tinggalkan bagi kita! Kita semua diserahkan kepada Allah; dan di sanalah aku berada dan senang.
Ibumu yang selalu penuh dengan kasih sayang,
Sarah Edwards”

Anak-anak pasangan Edwards ini juga merupakan pribadi-pribadi yang luar biasa. Berikut adalah sebagian dari isi surat salah satu anak mereka, Susannah Edwards, kepada Esther Edwards setelah kematian ayah mereka tercinta:

“…. O, aku mohon doa-doamu, agar kita, yang muda dalam keluarga ini, boleh dibangunkan dan didorong untuk memanggil Allah dengan lebih sungguh-sungguh, agar Dia menjadi Bapa, dan Sahabat kita selamanya….”

Tidak lama setelah surat-surat ini dituliskan, Sarah dan Esther Edwards juga meninggal. Saya yakin, mereka bertemu kembali di sorga dan bersama-sama menikmati Tuhan yang mereka sangat cintai. “Edwards menggunakan seluruh hidupnya mempersiapkan diri untuk mati,” tulis George Marsden, salah seorang penulis biografi Jonathan Edwards. Bagaimana dengan kita? Apakah kita juga rindu untuk memiliki keluarga yang taat seperti keluarga Edwards?

Epilog
Jonathan Edwards bukan seorang superman. Ia hanyalah seorang Kristen biasa yang terkadang, sama seperti kita, sulit untuk melihat dan menikmati kemuliaan Tuhan. Di dalam buku hariannya, ia berulang kali mengakui bahwa ia merasa ‘bosan’, ‘kering’, dan ‘lesu’ dalam kehidupan spiritualnya. Namun, ia terus berjuang untuk memperoleh sukacita dalam memuliakan Kekasih Agungnya tersebut. Bagaimana respons kita sewaktu menghadapi ‘gurun pasir’ dalam kehidupan kekristenan kita?

Setelah saya menutup buku-buku tentang kehidupan Jonathan Edwards, ataupun buku-buku yang ditulisnya, dirinya semakin tidak kelihatan. Semakin saya belajar tentang pemikiran-pemikirannya, saya semakin terdorong untuk meninggalkan buku-buku tersebut dan lari ke satu-satunya Mata Air Hidup sejati untuk meminum langsung air dari situ. Semakin saya melihat kehidupan Edwards, ia semakin tidak tampak. Allah dengan segala kemuliaan-Nyalah yang semakin bersinar terang. Ia hanyalah seorang Kristen biasa, namun selalu memeluk, bersandar, bangga, dan cinta kepada Allahnya – yang juga adalah Allah kita semua – yang luar biasa! Jonathan Edwards benar-benar berhasil dalam menghidupi perkataan Yohanes Pembaptis, “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yoh. 3:30). Apakah tokoh-tokoh yang kita kagumi membawa kita ke arah yang sama? Dalam pelayanan kita, apakah kita ingin Allah yang semakin besar, atau diri kita?

Fabio Laurent Lumantau
Pemuda GRII Pusat

Endnotes:
[1] John Piper, The Pastor as Theologian – Life and Ministry of Jonathan Edwards (www.desiringgod.org).
[2] Michael A. G. Haykin (Ed.), A Sweet Flame – Piety In The Letters of Jonathan Edwards (Reformation Heritage Books).
[3] Stephen J. Nichols, Jonathan Edwards: A Guide Tour of His Life and Thought (P&R Publishing).
[4] Steven J. Lawson, The Unwavering Resolve of Jonathan Edwards (Reformation Trust).