Di dalam dunia persilatan dan juga di dalam dunia olahraga bela diri istilah “jurus” adalah istilah yang tidak asing lagi. Dari berbagai macam jurus yang terkenal, sebagian besar memiliki nama yang diasosiasikan dengan binatang seperti jurus harimau menerkam, jurus rajawali terbang, jurus ular melilit, jurus kijang berlari, dan sebagainya. Dengan mengetahui nama suatu jurus kita dapat lebih mudah mengerti bentuk-bentuk gerakan dari jurus tersebut karena memang gerakan-gerakannya sesuai dengan nama yang diasosiasikan dengannya.
Jurus “Unta Lewat Lubang Jarum” bukanlah salah satu jurus silat seperti contoh-contoh di atas. Penamaan jurus ini sebenarnya untuk memudahkan kita untuk mengingat prinsip-prinsip penginjilan yang dapat kita teladani dari Tuhan Yesus ketika berdialog dengan seorang yang datang bertanya tentang hidup yang kekal.
Tentu sudah tidak asing lagi bagi kita ketika mendengar istilah “unta lewat lubang jarum”. Mendengar istilah itu kita langsung teringat satu perikop di dalam Alkitab di mana Tuhan Yesus menegaskan bahwa “…Lebih mudah seekor unta melewati lubang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah” (Markus 10:25). Bagian ini selain di Injil Markus juga dicatat oleh Matius (Matius 19:16-26) dan Lukas (Lukas 18:18-27).
Sebelum kita melihat prinsip-prinsip yang diuraikan di dalam jurus “unta lewat lubang jarum” ini, maka kita akan memikirkan terlebih dahulu mengenai kondisi orang yang datang kepada Tuhan Yesus dalam perikop Markus 10:17-27.
Siapakah orang tersebut? Tidak seperti perikop mengenai Nikodemus yang bertemu dengan Tuhan Yesus, di dalam bagian ini Alkitab tidak mencatat nama orang yang mendatangi Tuhan Yesus. Tetapi dari deskripsi yang diberikan oleh Matius, Markus, dan Lukas, maka kita dapat mengetahui bahwa orang tersebut secara usia masih tergolong muda, secara status dia adalah orang kaya, dan secara kedudukan dia adalah seorang pemimpin. Muda, kaya, dan berkuasa adalah gambaran tentang orang tersebut.
Sangatlah lazim bagi orang yang memiliki ketiga atribut tersebut untuk tidak lagi memikirkan hal-hal yang rohani. Tetapi bukan demikian dengan orang yang bertemu dengan Tuhan Yesus di dalam perikop ini. Dia mendatangi Tuhan Yesus dengan berlari dan bertelut di hadapan-Nya. Dari sikapnya yang demikian itu kita dapat memahami bahwa orang tersebut bukan datang untuk menjebak atau menguji Tuhan Yesus dengan pertanyaannya, bukan pula untuk menyombongkan diri atau membenarkan diri di hadapan Tuhan Yesus seperti yang dilakukan oleh beberapa orang yang lain yang dicatat di dalam Alkitab (bandingkan misalnya dengan Lukas 10:25, 29, Lukas 20:20). Ada satu keingintahuan yang tulus dari si pemimpin yang muda dan kaya tersebut tentang hidup yang kekal.
Bagaimanakah tanggapan Tuhan Yesus terhadap pertanyaan orang tersebut? Dengan memperhatikan jawaban dan sikap Yesus dalam merespons-nya maka kita bisa belajar beberapa prinsip dalam memberitakan Injil. Di dalam tulisan ini kita akan memperhatikan tiga buah prinsip memberitakan Injil.
Yang pertama kita bisa belajar dari kepekaan Yesus yang mengerti tembok-tembok penghalang orang tersebut dalam memperoleh hidup yang kekal. Dia menyebut Tuhan Yesus sebagai ‘guru yang baik’ dan ia menanyakan tentang ‘perbuatan apa yang dapat ia lakukan untuk memperoleh hidup yang kekal’. Orang tersebut memilki konsep bahwa ada perbuatan yang dapat dilakukan untuk membuat seseorang menjadi baik serta memperoleh hidup yang kekal. Orang tersebut melihat Yesus sebagai orang yang baik, tetapi belum mengenal Yesus sebagai Allah. Dengan kekayaan, prestasi, pengertian Taurat, dan otoritas sebagai pemimpin yang dimiliki orang muda tersebut, dia berpikir bahwa dia sudah memiliki modal untuk menjadi orang yang baik dan mendapatkan hidup yang kekal. Dia merasa tinggal memerlukan tips atau langkah-langkah praktis yang mampu dia lakukan dari seorang guru yang baik untuk memperoleh hidup yang kekal. Itulah jawaban yang dia harapkan akan diberikan oleh Yesus. Tetapi Yesus menjawab berbeda dari apa yang dia harapkan. Dari jawaban Yesus yang menyatakan bahwa hanya Allah yang baik, secara tegas Ia menyatakan bahwa manusia dengan usahanya sendiri tidak mungkin mencapai standar kebaikan Allah. Jawaban Yesus memberikan satu konsekuensi kepada orang tersebut untuk mengakui bahwa Yesus adalah Allah sejati yang menjadi manusia dan setiap firman-Nya adalah otoritas tertinggi.
Mungkin ketika ada orang yang bertanya kepada kita dengan kalimat yang sama, hati kita akan berbunga-bunga karena disebut sebagai orang baik dan kita akan terlena serta lupa untuk memberitakan kebenaran. Atau mungkin kita justru masuk ke dalam diskusi hal-hal yang sekunder dan melupakan hal yang primer yang berkenaan dengan Injil. Misalnya ada orang yang datang kepada kita dan menyebut kita baik, tetapi pada saat yang sama mengatakan si ini dan si itu yang juga adalah orang-orang Kristen, mereka kurang atau tidak baik. Kita mungkin akhirnya terbawa arus pembicaraan untuk membanding-bandingkan siapa yang terbaik, yang kurang dan tidak baik. Sehingga kita tidak peka bahwa sebenarnya konsep kebaikan yang dimiliki orang tersebut adalah konsep yang salah. Apalagi ketika orang tersebut beranggapan bahwa melalui kebaikan yang dilakukannya dia dapat mencapai hidup yang kekal. Yesus begitu peka akan konsep yang salah dari si orang muda yang kaya tersebut. Dengan gamblang Yesus mengatakan bahwa hanya Allah yang baik.
Hal kedua yang dapat kita pelajari adalah dari sikap hati Yesus ketika berhadapan dengan orang tersebut. Alkitab mencatat bahwa Yesus “memandang dia dan menaruh kasih kepadanya”. Yesus secara khusus memperhatikan orang tersebut yang memiliki halangan untuk menerima hidup yang kekal dan Ia mengasihi dia dengan kasih yang tak bersyarat. Di dalam bagian ini kita bisa belajar hubungan antara kasih dan kebenaran. Di dalam kasih, Yesus menyatakan kebenaran tanpa kompromi. Kita bisa jatuh ke dalam dua sisi yang salah ketika mengaitkan kasih dengan kebenaran. Dengan alasan mengasihi maka kita tidak ingin menyatakan kebenaran tanpa kompromi yang dapat menegur dia. Karena kita berpikir kasih itu identik dengan tidak melukai perasaan orang lain walaupun orang itu sebenarnya salah dan perlu ditegur dengan tegas. Hal ini membuat kita sering kali mengalami kesulitan untuk memberitakan Injil kepada orang-orang yang dekat dengan kita. Karena hubungan kita dengan mereka sudah demikian akrab maka kita tidak mau merusak relasi dengan menyatakan kebenaran Injil kepada mereka. Apalagi kalau hati kita sudah menjadi tidak murni lagi di dalam mengasihi seseorang. Kita mengatakan kita mengasihi orang tersebut tetapi sebenarnya kita lebih mengasihi hal-hal yang kita harapkan dari orang tersebut, seperti uang, bantuan, dukungan, dan sebagainya.
Kita juga bisa jatuh ke sisi lain yang juga salah yaitu ketika memberitakan Injil, kita menyatakan kebenaran firman Tuhan tanpa kompromi dengan sikap hati tertuju pada kemenangan untuk mematahkan berbagai argumentasi orang tersebut tanpa memiliki kasih yang rindu agar orang tersebut mengalami kelahiran baru yang sejati dan menerima hidup yang kekal. Kita akan jatuh ke dalam satu sikap sebagai seorang yang benar sedang menghakimi seorang yang berdosa dan hanya ingin membongkar kesalahan dan kelemahan orang tersebut tanpa ada kasih yang rindu membawa orang tersebut mengenal siapakah Kristus.
Yesus mengasihi orang tersebut, dan Ia dengan tegas menyatakan kekurangan orang tersebut tanpa kompromi.
Hal ketiga yang dapat kita pelajari dari arah percakapan dan pemberitaan Injil yang dilakukan Yesus kepada orang tersebut. Si pemimpin yang muda dan kaya tersebut adalah orang yang telah berusaha menjalankan hukum Taurat sejak kecil. Tetapi ia tidak menyadari bahwa tuntutan hukum Taurat bukanlah sekedar menjalankan hukum secara penampakan luar saja melainkan berkaitan dengan hati dan motivasi yang tidak keliatan dari luar. Oleh karena itu ketika Tuhan Yesus menjawab pertanyaan orang tersebut tentang hidup yang kekal dengan menyebutkan bagian dari sepuluh hukum Taurat, maka dengan cepat dia menjawab bahwa semuanya itu telah ia lakukan sejak kecil. Ia tidak menyadari bahwa standar dan tuntutan hukum Taurat yang sejati tidaklah sama dengan standar yang ia pakai dalam menginterpretasikan hukum-hukum tersebut. Yesus di dalam bagian ini ketika menyatakan “Hanya satu lagi kekuranganmu: pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku” tidak sedang mengajarkan satu tambahan hukum Taurat yang belum pernah dipelajari orang tersebut. Dari reaksi orang tersebut setelah mendengar jawaban Yesus, kita dapat mengerti sebenarnya orang tersebut masih gagal dalam menjalankan hukum Taurat, khususnya hukum pertama. Karena bagi orang tersebut hartanya yang banyak lebih utama daripada Tuhan. Hartanya menjadi ilah bagi dirinya. Kegagalan memenuhi salah satu hukum Taurat berarti kegagalan dalam mencapai standar yang telah ditetapkan Tuhan.
Kita bisa belajar bagaimana arah percakapan Yesus dengan orang tersebut adalah untuk membawa orang tersebut menyadari kegagalannya memenuhi tuntutan hukum Taurat serta ketidakmungkinan dirinya untuk mengandalkan diri atau bersandar pada apa yang ia miliki untuk mendapatkan hidup yang kekal Orang muda tersebut datang dengan satu harapan bahwa dengan modal yang ia miliki maka ia dapat melakukan sesuatu untuk memperoleh hidup kekal, tetapi setelah mendengar jawaban Yesus, ia pergi dengan kecewa serta sedih hatinya karena ia tidak mau berpisah dengan harta yang menjadi andalan hidupnya.
Selain orang muda kaya tersebut yang pulang dengan kecewa dan sedih, para murid pun juga sempat tercengang dan bahkan gempar ketika Tuhan Yesus menegaskan bahwa “… alangkah sukarnya masuk ke dalam Kerajaan Allah.” (Markus 10:24) dan “… lebih mudah seekor unta melewati lubang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah” (Markus 10:25). Bayangkan seekor unta lewat lubang jarum dikatakan itu lebih mudah daripada seseorang dengan berbagai atribut maupun hal yang dimilikinya untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah! Tidaklah mengherankan reaksi dari para murid yang begitu gempar. Unta adalah hewan yang begitu besar. Lubang jarum adalah satu lubang begitu kecil. Tidak mungkin! Itulah yang dipikirkan oleh para murid. “Kalau demikian siapakah yang dapat diselamatkan?” adalah pertanyaan yang secara spontan dilontarkan oleh para murid. Yesus menutup bagian ini dengan kalimat “Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah. Sebab segala sesuatu adalah mungkin bagi Allah.” (Markus 10:27). Hanyalah karena anugerah Tuhan manusia dapat memperoleh hidup yang kekal.
Sangatlah begitu indah ketika ketiga penginjil menempatkan perikop tentang Yesus memberkati anak-anak tepat sebelum perikop ini. Berbeda dengan respons para murid yang gusar dan marah kepada orang-orang yang membawa anak-anak kecil kepada Tuhan Yesus, Yesus justru menegur para murid dan mengatakan, “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.” (Markus 10:14-15) Begitu kontras antara kedua perikop yang berdampingan itu. Markus 10:17-27 menjelaskan orang kaya yang memiliki berbagai atribut dan pencapaian gagal masuk ke dalam Kerajaan Allah. Sedangkan Markus 10:13-16 menjelaskan justru sikap hati seperti seorang anak kecil yang tidak memiliki atribut-atribut dan pencapaian menurut cara pandang dunialah yang masuk ke dalam Kerajaan Allah. Hanya karena anugerah, seseorang dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah.
Setelah kita mempelajari ketiga prinsip yang telah dibahas di atas, maka tentu kita tidak hanya menjadikan prinsip-prinsip itu menjadi hal yang kita tahu pada saat ini saja. Melainkan biarlah kita rindu untuk merenungkan, mengingat dan melakukannya secara khusus untuk mengarahkan kita di dalam memberitakan Injil. Untuk memudahkan kita mengingatnya maka secara singkat ketiga prinsip itu dapat dikristalisasi menjadi satu “jurus” yang kita sebut jurus “unta lewat lubang jarum”. Penamaan ini membantu kita langsung teringat akan perikop di kitab Markus tersebut.
Lalu apakah setelah kita mengerti dan mengingat prinsip-prinsip tersebut kita dapat dengan mudah menerapkannya? Sungguh tidaklah mudah!.
Kepekaan yang diperlukan dalam memberitakan Injil bukanlah suatu kepekaan yang hanya bergantung pada jam terbang kita ataupun pelatihan-pelatihan yang kita ikuti. Setiap pengalaman dan pelatihan kita tentu akan semakin memperlengkapi kita di dalam memberitakan Injil. Tetapi di dalam peperangan rohani kita tidak dapat bergantung kepada diri kita. Kepekaan yang diperlukan adalah kepekaan yang Tuhan berikan ketika Roh Kudus memimpin dan menyertai seorang pemberita Injil. Kita juga memerlukan pertolongan Roh Kudus untuk memberikan hati yang mengasihi orang-orang yang terhilang dan bijaksana serta kuasa untuk menolong seseorang menyadari ketidakmungkinan memperoleh hidup yang kekal dengan mengandalkan jasa atau perbuatan manusia.
Jurus “unta lewat lubang jarum” menolong kita untuk mengingat bahwa tidaklah mungkin bagi manusia termasuk diri kita untuk memperoleh keselamatan. Sudahkah kita senantiasa bersyukur atas anugerah keselamatan yang telah kita terima? Kiranya selain bersyukur kita juga semakin digerakkan untuk memberitakan Injil keselamatan kepada orang lain.
Daniel Gandanegara
Jemaat GRII Singapura