Sekaleng Minuman Dingin
Siang itu, matahari di bumi Kalimantan bersinar begitu terik menyengat. Ilalang dan rumput liar terhampar di samping jalan yang sepi, mendaki, berbatu, berpasir, berlubang, dan yang lebarnya hanya dapat memuat sekitar satu setengah mobil. Di hari seperti itu, seorang pemuda harus berjalan kaki sambil memanggul tas ranselnya yang cukup berat sejauh kira-kira 7 km menuju tempat tujuannya. Tiba-tiba dari arah berlawanan, datang tiga truk besar pengangkut batu bara yang lebarnya sudah memakan lebih dari setengah jalan tersebut. Sang pemuda itu pun berjalan lebih menepi untuk menghindari hempasan truk yang bagaikan raksasa itu. Dalam sekejap mata, pandangan pemuda tersebut mendadak menjadi kabur dan matanya terasa begitu pedih! Apakah yang sedang terjadi? Ternyata, tembok debu cokelat pekat setinggi 3 meter dengan panjang belasan meter telah tercipta akibat lajuan cepat tiga truk besar tersebut di atas tanah di musim kemarau yang terik.
Beberapa menit setelah peristiwa itu, secercah harapan timbul bagi sang pemuda. Sebuah truk batu bara lain melaju searah ke tempat tujuannya. Otaknya pun berpikir cepat dan keras. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia memberanikan diri melambaikan tangan dan menghentikan mobil besar tersebut. Ia pun berucap, “Pak, saya guru, mau ke sekolah di daerah abc, boleh saya menumpang?” Tak disangka, dengan begitu ramah sang supir mempersilakannya masuk menumpang. Setelah berjalan beberapa menit, ternyata pak supir malah menghentikan truk tersebut dan turun keluar. Sang pemuda sedikit kebingungan sebab tempat yang dituju masih jauh, tetapi mobil malah berhenti. Sang supir pun akhirnya kembali membawa sebuah kantong plastik berisi minuman kaleng. “Nih Pak, silakan diminum,” ujar pak supir seraya memberikan sekaleng minuman ringan dingin. Detik itu juga, sang pemuda merasa begitu tersentuh. Di saat kelelahan, kehausan, kepanasan, kebingungan, dan ketersendirian, sang supir menawarkan tumpangan, keramahan, belas kasihan, dan minuman dingin yang menjadi solusi begitu sempurna bagi rangkaian kesulitan sang pemuda saat itu. Ditambah lagi ketulusan sang supir yang bersikeras menolak untuk dibayar atas tumpangan dan minuman kaleng yang diberikannya.
Ya, ini hanyalah sepenggal kisah dari begitu banyaknya pergumulan dan sekaligus penyertaan Tuhan dalam KKR Regional di berbagai daerah di Indonesia. Begitu kaya momen pembentukan yang berkesan bagi para ‘serdadu’ yang akan memberitakan Injil. Mulai dari mengetahui pergumulan sopir batu bara yang kadang harus tidak tidur selama 48 jam dan kerentanan mereka terkena wasir karena harus duduk terus, kurang minum, dan jarang makan sayuran. Bahkan akhirnya ada yang harus dioperasi belasan juta rupiah karena penyakit tersebut. Berlanjut pada sepeda motor yang terpeleset di jalan berlumpur, mobil yang tersangkut di lubang yang dalam, penolakan oleh kepala sekolah yang adalah orang Kristen, dan gertakan/ancaman dari orang yang memiliki kuasa. Sampai harus mengarungi sungai penuh riam di tengah malam yang dapat mengakibatkan kematian jika sang pengemudi perahu tidak berhati-hati.
Nilai Jiwa
Tantangan demi tantangan tidak memupuskan semangat para pemberita Injil dari zaman ke zaman. Saya mengenal secara langsung seorang penginjil yang terus maju walaupun telah mendapat ancaman akan dibunuh karena ia dengan begitu gencar, frontal, dan terang-terangan menginjili kaum buruh, preman, dan orang yang berada di dalam penjara. Saya bersyukur mengenal seseorang yang walaupun tidak berpendidikan tinggi, tetapi begitu setia, terbakar, dan memiliki hati yang sungguh-sungguh dalam melayani Tuhan. Setidaknya ini menjadi bahan pembelajaran atau teguran bagi kita yang mungkin menganggap diri kaum intelektual tetapi sangat rentan jatuh dalam sikap ignorant dan eksklusivisme. Sekali lagi saya diingatkan bahwa nilai jiwa sama berharga di mata Tuhan. Bukankah ini salah satu teks lagu yang cukup sering kita nyanyikan: Dalam kota besar atau dalam rimba, jiwa sama berharga di mata-Mu?
Bukankah gambaran seperti ini yang dapat kita lihat dengan jelas di Alkitab? Mengapa tertulis Yesus harus melalui Samaria dan akhirnya menginjili seorang perempuan Samaria muka dengan muka di siang hari yang panas terik?[1] Yesus sengaja menemui orang yang dianggap bertingkat-tingkat lebih rendah daripada orang-orang pada umumnya. Seorang perempuan bukan baik-baik, yang kalau beribadah hanya di Samaria (bukan Yerusalem).[2] Bukankah Yesus bisa ‘tinggal’ mengajar di rumah ibadah secara publik? Bukankah dengan demikian Yesus dapat menjangkau lebih banyak orang? Bagaimana dengan Filipus yang tadinya sudah melayani dengan begitu ‘sukses’ di kota Samaria?[3] Akhirnya Tuhan pimpin untuk berjalan dari Yerusalem menuju Gaza dengan melalui jalan yang sunyi. Berapa banyak orang dan siapakah yang akhirnya ia akan temui melalui jalur tersebut? Sekali lagi, ‘hanya’ seorang sida-sida Etiopia. Dari dua peristiwa ini, kita lihat bahwa Injil bukanlah dimonopoli oleh orang-orang kalangan tertentu atau golongan yang dianggap layak menurut pandangan manusia. Injil adalah kebutuhan yang begitu mendasar dan memiliki cakupan universal. Tak heran, dalam amanat agung,[4] Kristus memerintahkan untuk menjadikan semua bangsa murid-Nya. Juga Paulus yang begitu bersyukur karena diberikan anugerah untuk memberitakan kekayaan Kristus yang tidak terduga kepada orang bukan Yahudi.[5]
Keropos
Inilah Injil yang begitu berharga, dibutuhkan secara universal dan terus-menerus harus diberitakan! Tanpa Injil, sebenarnya mau ke manakah dunia ini? Sadarkah bahwa kita ini begitu rentan, rapuh, dan lemah? Dengan hempasan banjir selama beberapa hari saja sudah membuat rakyat dan pemerintah Thailand kewalahan. Frekuensi krisis ekonomi yang dahulu terjadi lebih dari 10 tahun sekali akhirnya terus-menerus direvisi. Mulai dari 8 tahun, 6 tahun, 3 tahun, sampai kepada belasan bulan sekali. Hal ini akhirnya mengakibatkan begitu banyak konglomerat kelas atas akhirnya harus mati bunuh diri dengan begitu tragis. Belum lagi gelombang teriakan rakyat di negara-negara daerah sekitar Timur Tengah (seperti Mesir dan Libya) yang menumbangkan para diktator kelas kakap yang sebelumnya dikira tidak mungkin dapat diturunkan. Juga RRC yang sangat bangga akan perkembangan sayap ekonomi yang begitu luar biasa akhirnya harus meratap ketika ‘hanya’ seorang anak kecil digilas mobil dengan kejam dan tanpa perasaan. Ditambah lagi sikap yang begitu keterlaluan dari pejalan kaki yang hanya berlalu tanpa berbuat apa-apa. Kita mengerti bahwa sebelumnya pernah ada kejadian di mana orang yang menolong akhirnya dihukum. Tetapi, masakan hati nurani dan belas kasihan manusia sampai menjadi begitu buta dan sedemikian lumpuh dikalahkan oleh ketakutan?![6]
Dunia yang seolah mengalami penerobosan begitu cepat dan megah di berbagai bidang (ekonomi, teknologi, pengetahuan, dan lain-lain), ternyata harus menelan pil pahit karena begitu rentan, keropos, dan bobrok dalam berbagai esensi yang menjadi dasar seperti iman, moralitas, dan perasaan kemanusiaan. Persis seperti yang tertulis di Kejadian pasal 4. Di sana disebutkan bahwa Kain yang pergi dari hadapan Tuhan, ternyata memiliki kapabilitas untuk mendirikan suatu kota. Bahkan beberapa keturunan Kain disebut sebagai bapa dari semua orang yang memainkan kecapi dan suling, juga bapa dari semua tukang tembaga dan tukang besi. Baik aspek administrasi pemerintahan, arsitektur, musik, pahat, kerajinan tangan, dan teknologi, sepertinya semua dapat dikuasai oleh Kain dan keturunannya. Namun pada akhirnya, fenomena pencapaian yang luar biasa ini hanya semakin membuktikan betapa rusaknya manusia yang sudah terpisah dari Allah. Kemampuan syair dari keturunan Kain hanya digunakan untuk mengekspresikan perasaan dendam, kebencian, dan keinginan untuk membalas. Persis seperti keadaan sekarang di mana manusia seolah menjadi binatang ekonomi yang begitu egois, suka memamerkan diri, dan tanpa belas kasihan.
Lambat
Di sisi lain, orang yang taat kepada pimpinan Tuhan seolah berkembang terlalu lambat jika menggunakan penilaian manusia. Lihat saja keturunan Set yang tidak ditulis hasil perkembangan kebudayaannya sedangkan keturunan Kain seolah sudah berkembang begitu pesat. Juga Daud yang harus dikejar-kejar Saul begitu lama padahal ia sudah diurapi oleh Samuel dan bahkan mendapat kesempatan untuk membunuh Saul. Belum lagi Musa yang akhirnya harus menunggu selama 40 tahun di tanah Midian dan berputar-putar di padang gurun setelah bangsa Israel menolak untuk berperang melawan bangsa Kanaan. Namun dari rangkaian peristiwa ini, kita belajar bahwa ternyata penyertaan, pimpinan, dan waktu Tuhan jauh melebihi pertimbangan, pandangan, dan kalkulasi manusia semata. Tidak heran dalam Ibrani 3 akhirnya Musa ditulis bahwa ia adalah orang yang setia dalam segenap rumah-Nya.[7] Juga Daud yang kemudian menjadi raja dan bahkan Tuhan berjanji akan mengokohkan takhta Daud sampai selama-lamanya.[8] Bahkan dalam kitab Hagai, perbedaan orang yang mengutamakan Tuhan dengan yang tidak kelihatan lebih jelas lagi. Orang yang melupakan pekerjaan Tuhan (dalam konteks Hagai adalah membangun kembali rumah Tuhan) adalah seperti orang yang menabur tetapi hanya menuai sedikit, makan tetapi tidak kenyang, minum tetapi tidak puas, dan bekerja untuk mendapat upah yang ditaruh dalam pundi-pundi berlubang.[9]
Pejuang Sejati
Dalam Perjanjian Lama, Yosia adalah contoh sosok raja yang juga begitu sungguh-sungguh ingin kembali kepada Tuhan. Ia dengan berani menghancurkan berhala-berhala di Israel dan dengan segenap hati mau mengajak segenap bangsa menjalani Taurat Tuhan.[10] Contoh lain adalah nabi Yehezkiel yang taat pada panggilan Tuhan padahal dari awal Tuhan sudah memberitahukan bahwa orang Israel akan memberontak dan tidak mau mendengarkan Firman yang disampaikannya.[11] Apalagi jika kita memperhatikan pergumulan berat Yeremia yang sampai tidak mau lagi mengucapkan Firman. Namun Firman itu begitu luar biasa bagaikan api yang menyala-nyala, terkurung dalam tulangnya sehingga Yeremia tidak bisa tidak memberitakan Firman.[12] Dalam Perjanjian Baru, Paulus juga menasihatkan Timotius agar siap sedia memberitakan Firman, baik maupun tidak baik waktunya.[13] Bahkan Paulus sendiri pernah dirajam oleh orang Yahudi sampai sedemikian parahnya sehingga dikira sudah mati.[14] Inilah para pahlawan iman, pejuang sejati, pemberita Firman yang gagah berani, yang sudah tertulis dengan begitu jelas dalam Alkitab. Apakah yang mereka kejar sehingga mereka berjuang begitu giat? Tentunya bukanlah hal-hal remeh dalam dunia yang sementara. Seperti salah satu contoh dalam kitab Ibrani, Musa menganggap penghinaan karena Kristus sebagai kekayaan yang lebih besar daripada semua harta Mesir, sebab pandangannya ia arahkan kepada upah.[15] Juga Paulus yang melupakan apa yang telah di belakangnya dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapannya, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.[16] Apakah yang selama ini membuat kita berlari dan berjuang dengan begitu giat? Sudahkah saya, kita, persekutuan ini, gereja ini, kota ini, bangsa ini, dan dunia ini berlari dan mengarahkan pandangan kepada Kristus? Ke manakah kita berlari?
Juan Intan Kanggrawan
Redaksi Bahasa PILLAR
Endnotes
[1] Yohanes 4
[2] Orang yang beribadah di Yerusalem menganggap orang Samaria lebih rendah karena tidak beribadah di Yerusalem. Hal ini memiliki sejarah panjang yang bermula dari kasus Rehabeam dan Yerobeam yang tertulis di dalam kitab 1 Raja-Raja.
[3] Kisah Para Rasul 8:5-13
[4] Matius 28:18-20
[5] Efesus 3:8
[6] Penulis tergugah oleh sharing devotional Pdt. Billy Kristanto mengenai kasus ini di berbagai wadah seperti Persekutuan Doa dan PA (Pendalaman Alkitab) Umum.
[7] Ibrani 3:2
[8] 2 Samuel 7
[9] Hagai 1:1-6
[10] 2 Raja-raja 23
[11] Yehezkiel 2
[12] Yeremia 20:7-9
[13] 2 Timotius 4:2
[14] Kisah Para Rasul 14:19
[15] Ibrani 11:26
[16] Filipi 3:13-14