Kehidupan Seorang Pengkhotbah

Bagaimanakah kehidupan Calvin dapat dinilai? Apakah kualitas yang penting dari apa yang telah dikerjakan dalam hidupnya? Dari sekian banyak teladan yang ditinggalkannya, kita tidak mungkin boleh melupakan fakta bahwa Calvin adalah seorang pengkhotbah firman Tuhan. Sebagai pengkhotbah firman, kita tidak mungkin boleh melewatkan kesempatan untuk belajar bagaimana dia melihat Alkitab. Apakah gunanya seseorang mempelajari Alkitab?

Dalam Efesus 4, Paulus memberikan fokus pelayanan kepada pertumbuhan tubuh Kristus. Ini juga yang dilihat oleh Calvin sebagai tujuan seseorang merumuskan pengertian theologis yang konsisten dalam mempelajari Alkitab. Bagi Calvin, theologi adalah untuk membangun komunitas orang-orang suci.[1] Mempelajari Alkitab, mengerti ajaran Alkitab secara konsisten, dan mengetahui rahasia yang terkandung dibaliknya (kalau boleh kita sebut rahasia…) mempunyai tujuan untuk membangun tubuh Kristus. Alkitab tidak berguna untuk memberikan berkat, penghiburan, pengajaran, dan lain sebagainya untuk “saya” jikalau “saya” ini tidak membuat tubuh Kristus bertumbuh. Seseorang yang mencintai Alkitab tidak dipanggil Tuhan untuk tinggal dalam kamar paling tinggi di sebuah menara di mana jalan masuk dan keluar satu-satunya adalah rambut panjang yang dijulurkan dari jendela.

Seseorang yang mencintai Alkitab dipanggil Tuhan untuk menyadari fakta bahwa dia hidup di tengah-tengah komunitas. Tidak ada “saya” yang lepas dari persekutuan. Kita yang mempelajari Alkitab tidak dipanggil Tuhan untuk terjun ke dalam suatu komunitas orang-orang suci… kita memang sudah ada di tengah-tengah komunitas itu. Jadi kalau saya tiba-tiba melihat bahwa saya berada di dalam suatu kamar di tingkat 103 yang tenang, jauh dari semua orang-orang pendosa yang berisik di bawah sana, maka sebenarnya saya sudah bersusah payah memanjat keluar dari tempat di mana saya sebelumnya dan seharusnya berada, yaitu di tengah-tengah komunitas orang suci yang ternyata tidak terlalu suci. Yang ironis adalah ketika seseorang tinggal di sebuah asrama dengan lusinan orang-orang lain, hanya untuk mendekam di tahanan yang bernama “kamar” tanpa menyadari bahwa dia mempunyai komunitas. Memenjarakan diri karena mau mencapai tingkat kesucian yang lebih tinggi dengan cara bertapa di dalam kamar ditemani buku Institutio dan sebuah kipas angin. Bukankah ini jauh lebih baik daripada berinteraksi dengan para pendosa di tangan Allah yang murka di bawah sana? Tetapi ini bukanlah semangat dalam mempelajari Alkitab menurut Calvin. Mempelajari Alkitab adalah untuk membangun komunitas orang-orang suci. Komunitas yang terdiri dari orang-orang yang hanya karena anugerah disebut “suci.” Komunitas yang penuh cacat dan kekurangan, di mana cacat dan kekurangan saya, yang mungkin lebih rusak dari kecacatan komunitas itu, juga berbagian di dalamnya. Komunitas yang hanya oleh belas kasihan Kristus menjadi komunitas orang-orang suci.

Calvin adalah seorang hamba Tuhan. Dan apakah yang menjadi ciri kehidupan seorang hamba Tuhan? Seorang hamba Tuhan mempunyai kehidupan yang menyadari panggilan sebagai pemberita Firman. Tugas seorang theolog adalah untuk menjelaskan Alkitab sehingga pesan asli yang terkandung di dalamnya dapat dinyatakan, bebas dari kesalahan dan ketidak-konsistenan.[2] Dalam dedicatory epistle bagi tafsiran surat Roma yang ditulisnya, Calvin mengatakan bahwa tugas seorang hamba Tuhan dalam menyampaikan Firman adalah sesuatu yang sangat mulia, kalau dia menyampaikannya dengan jelas, tidak bertele-tele, dan tepat sebagaimana dinyatakan Alkitab. Mengapa Calvin sangat mementingkan hal ini? Karena ini adalah cara jemaat Tuhan bisa bertumbuh. Jemaat Tuhan tidak akan bertumbuh dengan proposisi-proposisi rumit yang hanya bisa dipahami setelah seseorang mengerti Ludwig Wittgenstein terlebih dahulu, jika jemaat itu bahkan tidak tahu ada makhluk bernama Wittgenstein yang pernah hidup di dunia ini. Maka pengertian Calvin mengenai khotbah adalah adanya suatu konteks-sensibilitas (meminjam istilah Pdt. Billy Kristanto), yaitu suatu kesadaran untuk berespons secara lincah terhadap pendengar yang berbeda-beda pada saat yang berbeda-beda pula. Inilah yang mendorong Parker untuk menjelaskan pengertian Calvin mengenai penyataan diri Allah sebagai sesuatu yang mirip dengan seorang ibu memakai babytalk untuk bicara kepada bayinya.[3]

Kesalahan dalam menerapkan pengertian Calvin mengenai khotbah seringkali adalah karena kita menganggap bahwa khotbah yang baik harus sederhana, jangan rumit-rumit. Bagaimana orang bisa mengerti kalau khotbah banyak memasukkan nama-nama orang Jerman yang membutuhkan setengah halaman untuk ditulis. Bagaimana mungkin orang-orang yang seluruh outline khotbahnya berisi nama-nama orang Jerman tersebut (ditambah dua atau tiga nama dari Perancis dan kadang-kadang masih ditambah satu nama dari Denmark) dapat membangun jemaat Tuhan? Tetapi Calvin tidak pernah memaksudkan bahwa khotbah harus sederhana (jikalau pengertian sederhana yang dimaksud adalah bebas dari nama-nama Jerman yang menyusahkan itu) atau harus bebas dari kutipan-kutipan filosofis. Bukankah Institutio sendiri diwarnai dengan pembahasan filsafat Plato dan Seneca? Fokus utama dari khotbah menurut Calvin adalah jemaat bertumbuh. Jemaat yang tidak bisa mengeja nama Wittgenstein tidak akan bertumbuh jika mendengar khotbah yang dipenuhi dengan pertempuran antara Paulus yang ditafsirkan memakai teori Wittgenstein dengan Paulus versi Bultmann. Tetapi mungkin akan berbeda halnya jika yang mendengar khotbah adalah para remnant dari kelompok kota Wina yang senang membentuk “lingkaran”. Jadi yang terpenting adalah jemaat Tuhan bertumbuh. Bagaimana jemaat bisa bertumbuh? Yang paling utama adalah jikalau sang pengkhotbah menyampaikan firman Tuhan dengan jelas, sebagaimana Alkitab menyatakannya, dan tepat sebagaimana konteks membutuhkannya. Maka, pengenalan akan Firman yang sejati jauh lebih penting daripada pengenalan akan hal-hal yang lain, dan kesungguhan hati mau melihat pertumbuhan umat Tuhan jauh lebih penting daripada motivasi-motivasi yang lain.

Calvin adalah pengikut Luther, terutama dalam pengertian Luther mengenai khotbah. Luther mengatakan bahwa dia dipanggil untuk mengkhotbahkan Firman, dan Firman akan melakukan semuanya.[4] Sang pengkhotbah bukanlah pahlawan bagi komunitas orang-orang suci. Dia adalah bagian dari komunitas itu. Dia bukanlah pahlawan super yang mengatakan bahwa bersama dengan kekuatan yang besar terdapat tanggung jawab yang besar. Firmanlah pahlawannya, dan sang pengkhotbah harus menyingkir untuk memberikan semua sorotan spotlight kepada firman Tuhan, dan bukan dirinya. Karena itu, tidak mungkin seorang pengkhotbah dapat menjalani hidup yang berguna bagi komunitas orang-orang suci kecuali dia memiliki kerinduan untuk semakin mengenal firman Tuhan, sehingga apa yang dinyatakan oleh Alkitab, itu jugalah yang dinyatakan olehnya kepada jemaat Tuhan.

Hughes Oliphant Old, dalam The Reading and Preaching of the Scriptures memberikan beberapa poin mengenai keistimewaan Calvin dalam berkhotbah:

§ Yang pertama adalah bahwa “The thoroughness and completeness, the systematic nature, of his expository preaching is trully remarkable.” (hlm. 91)

§ Kemudian yang berikut adalah bahwa Calvin memberikan fokus perhatiannya pada “…both on the passage at hand and on the congregation before him” (hlm. 129)

§ Yang juga menjadi pujian dari Old adalah bahwa “[Calvin’s] vocabulary was brilliant. Words are used with the greatest precision. His vocabulary is rich but never obscure or esoteric. It is never vain or contrived.” (hlm. 129)

§ Lalu hal berikut yang memberikan kekuatan pada khotbah Calvin adalah “…his constant concern for application” (hlm. 130).

Old mengatakan bahwa orang-orang berdatangan untuk mendengarkan khotbah Calvin bukan karena kemampuan oratorikal yang dia miliki, tetapi karena kemampuannya untuk menarik orang-orang ke dalam teks Alkitab (hlm. 130). Bagaimanakah mungkin kualitas-kualitas seperti ini dimiliki oleh orang yang tidak memberikan kekagumannya kepada Alkitab? Seseorang yang mencintai dunia orasi lebih daripada Alkitab tidak akan mampu mempunyai pengaruh seperti Calvin. Seseorang yang mencintai segala metode dan sistematika dalam dunia akademik sedemikian rupa hingga membuatnya melihat Alkitab sebagai tulisan yang gagal memenuhi standar tidak mungkin memberikan berkat kepada gereja Tuhan seperti Calvin.

Calvin melihat bahwa firman Tuhan adalah sesuatu yang sangat penting, segar, hidup, dan berdampak pada kehidupan manusia karena firman Tuhan berarti Tuhan berbicara kepada manusia.[5] Firman Tuhan membuat segala sesuatu menjadi ada, firman Tuhan menyapa manusia, firman Tuhan memberikan hidup, firman Tuhan membersihkan jiwa manusia, firman Tuhan menghakimi manusia, dan firman Tuhan menyatakan kehendak kekal Allah kepada manusia. Begitu pentingnya firman Tuhan bagi Calvin sehingga dia tidak ragu menyatakan bahwa setiap pemberitaan Injil Tuhan dalam jemaat harus dihargai seolah-olah pemberitaan itu keluar dari mulut Allah secara langsung. Tetapi penghargaan itu bukan karena sang pengkhotbah memiliki karisma pribadi yang kuat atau kemampuan orasi yang luar biasa. Penghargaan itu diberikan karena otoritas dari firman Tuhan. Firman Allah adalah firman Kristus, dan meskipun disampaikan oleh manusia biasa, Firman itu tetaplah firman Allah dan Kristus.[6] Tetapi Calvin tidak jatuh ke dalam kesalahan gereja Katolik Roma ketika mereka mengidentikkan perkataan dari hamba Tuhan sebagai perkataan yang tidak mungkin salah. Calvin dengan jelas menyatakan bahwa sang pengkhotbah itu tidak ada apa-apanya pada dirinya sendiri. Dia mempunyai otoritas hanya karena dia dipanggil oleh Allah untuk berkhotbah dan hanya kalau dia menyampaikan apa yang Allah mau dia sampaikan berdasarkan Alkitab. Khotbah harus selalu terikat pada Alkitab sehingga khotbah adalah eksposisi Alkitab.[7] Maka, berapapun tingginya pujian Calvin terhadap seorang pengkhotbah, dia tidak terjatuh dalam kesalahan yang sama dari gereja Katolik Roma pada waktu itu.

Seperti apakah gaya khotbah Calvin? Kalau saudara membayangkan seorang tua yang sakit-sakitan, terus batuk-batuk, suara lemah, membosankan, datar, maka saudara sedang membayangkan orang lain tetapi bukan Calvin. Pada masa mendekati akhir hidupnya memang dia diganggu dengan begitu banyak penyakit sehingga kekuatan untuk berkhotbah yang dimilikinya tidak banyak. Tetapi gambaran mengenai Calvin yang berkhotbah dengan datar dan tanpa emosi adalah salah total. Calvin adalah seorang yang… passionate, lively, intimate, direct, dan clear dalam menyampaikan khotbahnya.[8] Bahasanya jelas dan mudah dimengerti. Dia berbicara dengan cara yang penuh semangat sehingga sering kali seperti lupa akan dirinya sendiri. Calvin tidak pernah membuat catatan apapun untuk khotbahnya. Seolah-olah memorinya dengan kapasitas yang lebih itu mampu menampung semua hal yang diperlukan untuk pembahasan yang dia lakukan. Tetapi, walaupun Calvin berkhotbah tanpa membawa catatan apapun kecuali Alkitabnya, dia tidak pernah naik mimbar tanpa persiapan yang matang. Calvin mengatakan bahwa jika dia berani naik mimbar dengan hanya berharap bahwa Roh Kudus akan memberitahukan apa yang harus dikhotbahkannya, tanpa sebelumnya membaca baik-baik ayat-ayat Alkitab, merenungkan baik-baik hal-hal yang akan disampaikan, dan memikirkan bagaimana kalimat-kalimat yang dinyatakan dapat menumbuhkan jemaat Tuhan, maka dia hanyalah orang sombong yang tidak berguna.[9] Parker menggambarkan khotbah Calvin sebagai gabungan dari infinite passion of faith, burning sincerity, theological sense, lively wit and imagery, depth, compassion, dan unquenchable joyousness of hope.[10] Semua ini dimiliki Calvin dengan tujuan utama untuk menumbuhkan jemaat Tuhan melalui Alkitab, firman Tuhan. Parker mengatakan bahwa mereka yang tinggal di Jenewa mendapatkan anugerah karena mereka… Sunday after Sunday, day after day… received a training in Christianity such as had been given to few congregations in Europe since the days of the fathers.[11] Inilah anugerah yang diperoleh pendengarnya dari seorang pengkhotbah yang hidup di tengah-tengah mereka. Seorang pengkhotbah yang mengagumi firman Tuhan. Seorang pengkhotbah yang menggerakkan mereka untuk mengagumi Firman.

Bagaimana dengan kita? Bukankah kedengarannya kisah Calvin terulang kembali di zaman ini kepada kita? Sadarkah kita akan anugerah ini?

Ev. Jimmy Pardede

Gembala Sidang GRII Malang

Endnotes:

[1] John Leith, “Calvin’s Theological Realism,” dari Toward the Future of Reformed Theology: Tasks, Topics, Traditions, David Willis dan Michael Welker, ed., (Grand Rapids: Eerdmans, 1999), 342.

[2] T. H. L. Parker,  John Calvin: A Biography, 100.

[3] Ibid., 102.

[4] B. B. Warfield, Selected Shorter Writings, vol. 2, 404.

[5 ]Parker, 116.

[6 ]Ibid., 82.

[7 ]Ibid., 117.

[8 ]Ibid., 120.

[9 ]Ibid., 119.

[10] Ibid.

[11] Ibid.