“Jika Anda bisa mewawancarai siapa saja di dalam sejarah dunia, siapakah orang itu?” Larry King mengatakan, “Yesus Kristus.” Sang pewawancara bertanya lebih lanjut, “Jika Anda bisa bertanya kepada-Nya satu pertanyaan, pertanyaan apakah itu?” Larry menjawab, “Saya ingin bertanya kepada-Nya, apakah Ia benar-benar lahir dari seorang gadis perawan. Jawaban dari pertanyaan itu akan mengartikan sejarah untuk saya.” Lalu Larry King mempertegas jawabannya, “Saya ingin berbicara dengan Yesus dan saya ingin mengetahui apakah ibu-Nya benar-benar masih seorang gadis pada saat melahirkan Dia, sebab itu akan mengartikan sejarah.”[1]
Plato dilahirkan pada tahun 427 BC atau abad kelima sebelum masehi. Saya menulis artikel ini pada AD 2013 atau abad kedua puluh satu setelah masehi. Saya sangat terkesan pada waktu pertama kali mengetahui sistem penanggalan tersebut. Kepanjangan dari BC adalah Before Christ (sebelum hari kelahiran Kristus), sedangkan AD adalah Anno Domini (setelah hari kelahiran Yesus). Yang lebih menarik lagi adalah cara menuliskannya. Jika kalian memperhatikan penulisan di atas (427 BC dan AD 2013), itu bukan salah tulis, melainkan peraturan baku dalam penulisan tanggal seperti itu. Untuk tanggal-tanggal sebelum masehi, penulisan angka harus di depan BC, misalnya 427 BC. Sedangkan untuk tanggal-tanggal sesudah masehi, penulisan angka harus di belakang AD, misalnya AD 2013. Ini menggambarkan bahwa kelahiran Yesus mengubah zaman, membelah waktu, membagi sejarah. Dengan kata lain, peristiwa kelahiran Yesus sangatlah signifikan.
Yesus bukanlah manusia biasa. Hari kelahiran-Nya bukanlah hari kelahiran biasa. Dua contoh di atas ingin mengatakan hal tersebut. Saya percaya semua dari kita mengerti hal tersebut dengan otak kita. Namun, apakah kita juga mengerti hal tersebut dengan hati kita? Apakah kita benar-benar merasakan betapa signifikannya, betapa pentingnya, betapa tidak tergantikannya peristiwa tersebut? Saya lahir di keluarga Kristen dan mulai ke gereja sejak TK. Namun di Natal saya yang ke-18-lah (waktu saya kuliah tahun pertama), saya baru sedikit sadar akan pentingnya, dashyatnya, dan indahnya peristiwa ini (tepatnya pada waktu KKR Jakarta 2008 oleh Pdt. Stephen Tong). Setelah itu, saya dibuat lebih kagum lagi oleh Tuhan tentang peristiwa Natal pada waktu membaca Lukas 2:1-7 di salah satu saat teduh saya. Pada kesempatan ini, di Natal saya yang ke-23, saya ingin membagikan kepada pembaca Lukas 2:1-7 yang tampaknya sederhana, namun menyimpan arti yang begitu tak terkatakan.
Lebih dari Sekadar Cerita
“Pada waktu itu Kaisar Agustus mengeluarkan suatu perintah, menyuruh mendaftarkan semua orang di seluruh dunia. Inilah pendaftaran yang pertama kali diadakan sewaktu Kirenius menjadi wali negeri di Siria. Maka pergilah semua orang mendaftarkan diri, masing-masing di kotanya sendiri.” – Lukas 2:1-3
Pdt. Martyn Lloyd-Jones dalam salah satu khotbah Natalnya[2] mengatakan bahwa selain mempercayai, ada dua macam tanggapan atau respons manusia ketika mendengar cerita tentang kelahiran Yesus. Pertama, mentah-mentah menolak cerita tersebut. “Peristiwa itu tidak mungkin terjadi”, “Ahh, itu hanya dongeng karangan orang Yahudi semata”, “Hahaha, itu cerita terkonyol yang pernah saya dengar”. Bagi mereka cerita tersebut tidak logis. Namun, menurut Lloyd-Jones, ada tipe respons yang lebih mengkhawatirkan daripada penolakan. “Tidak masalah apakah peristiwa kelahiran Yesus itu terjadi atau tidak, karena apa yang diajarkan Alkitab itu jauh lebih penting.” Orang-orang yang berespons seperti ini mencoba untuk mereduksi Injil Kristen menjadi sekadar pengajaran-pengajaran, yang tidak ada bedanya dengan mitologi Yunani, fabel Aesop, dan dongeng-dongeng. Bagi mereka, pesan di balik suatu cerita itu lebih penting daripada cerita itu sendiri.
Melalui Lukas 2:1-3, Lukas ingin mengatakan bahwa terjadi atau tidaknya peristiwa kelahiran Yesus dalam sejarah adalah sesuatu yang sangatlah penting. “…Perhatikanlah bahwa Lukas sang sejarawan sangat berhati-hati untuk memberikan kita konteks historis pada waktu Yesus lahir… Dimensi ini dari cerita kelahiran Yesus membuat cerita tersebut sangat berbeda dari semua mitos dan fabel yang banyak ditemukan pada agama-agama zaman kuno. Dewa-dewa bangsa Yunani, sebagai contoh, tidak pernah lahir dan dibesarkan di dalam dunia nyata,” komentar R. C. Sproul.[3] Martyn Lloyd-Jones menambahkan, bahwa ayat 1-3 bertujuan “…untuk mengingatkan kita dan untuk meyakinkan bahwa kita seharusnya tidak boleh lupa akan kenyataan bahwa berita Kristen, iman Kristen, dan seluruh Injil Kristen dengan kokohnya berlandaskan pada peristiwa-peristiwa nyata, berlandaskan fakta-fakta yang benar-benar sudah terjadi dalam ranah sejarah.”[4]
Martyn Lloyd-Jones sangat menekankan pentingnya kita sebagai orang Kristen untuk menyadari bahwa kelahiran Yesus itu benar-benar merupakan peristiwa nyata dalam sejarah dunia sampai-sampai ia ‘rela’ menggunakan seluruh waktu dalam salah satu khotbahnya hanya untuk mengomentari frase “Pada waktu itu”[5]. Dalam khotbahnya yang lain[6], ia juga menegaskan bahwa, “Alkitab adalah sebuah buku sejarah. Ini bukanlah sebuah ajaran filsafat yang ditawarkan kepada manusia. Ini adalah sebuah catatan sejarah tentang apa yang telah Allah lakukan.” Kesan pada waktu membaca kesaksian tentang kelahiran Yesus itu mungkin lebih mirip dengan kesan pada waktu menonton kisah hidup John Nash dalam film A Beautiful Mind (berdasarkan kisah nyata dan dibintangi oleh Russel Crowe), daripada kesan pada waktu menonton kisah hidup Frodo Baggins dalam film The Lord of the Rings. Kisah kelahiran Yesus benar-benar terjadi di sebuah kota nyata bernama Betlehem, bukan suatu tempat khayalan seperti Middle Earth. Kisah kelahiran Yesus benar-benar terjadi pada waktu Kaisar Agustus dan Kirenius berkuasa, bukan pada suatu hari saat Sauron berkuasa.
Saya rasa kita sering kali mengabaikan sisi historis dari cerita yang lebih dari sekadar cerita ini. We should be joyful that our Christian faith is a “Those-days” faith, not a “Once-upon-a-time” faith. Implikasi dari fakta ini adalah iman Kristen itu bukan hanya bersifat supernatural, namun juga historis. Iman Kristen itu bukan hanya berdasarkan ajaran-ajaran atau moralitas atau filsafat, namun juga berakar pada peristiwa-peristiwa nyata dalam sejarah. Allah benar-benar lahir di dunia ini. Ia benar-benar mengambil rupa seorang hamba. Ia benar-benar meninggalkan kekekalan dan masuk ke dalam waktu. Ia benar-benar meninggalkan ketidakterbatasan dan masuk ke dalam ruang. Karena itulah ajaran-ajaran yang mengikuti tak terbilang harganya. Ini adalah dasar iman Kristen. Ini adalah dasar dari ajaran Kristen tentang keselamatan.
Namun, adalah benar pada waktu Mark Driscoll mengatakan, “Fakta-fakta historis ini sangatlah penting, akan tetapi hal tersebut tidak ada gunanya jika kita tidak beralih dari ranah historis ke ranah theologis. Apa arti dari fakta-fakta tersebut? Apa yang sedang Allah lakukan? Apa yang sedang Allah selesaikan dan capai melalui kelahiran Yesus? Mengapa Yesus datang? Itu adalah pertanyaan-pertanyaan theologis yang mengartikan fakta-fakta sejarah.”[7] Bagian-bagian selanjutnya dari artikel ini, akan melihat beberapa hal-hal theologis dari cerita bersejarah yang mulia ini.
Nubuatan yang digenapi
“Demikian juga Yusuf pergi dari kota Nazaret di Galilea ke Yudea, ke kota Daud yang bernama Bethlehem, – karena ia berasal dari keluarga dan keturunan Daud – supaya didaftarkan bersama-sama dengan Maria, tunangannya, yang sedang mengandung. Ketika mereka tiba di situ tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin…” – Lukas 2:4-6
Peristiwa kelahiran Yesus bukan peristiwa sembarangan karena merupakan penggenapan dari nubuatan-nubuatan para nabi yang bisa kita baca di Perjanjian Lama. Di mana Yesus lahir dan bagaimana Ia lahir telah dinubuatkan oleh para nabi. Hal pertama yang muncul di kepala saya pada waktu mempersiapkan bagian ini adalah Yesaya 55:10-11, di mana Allah berkata “Sebab seperti hujan dan salju turun dari langit dan tidak kembali ke situ, melainkan mengairi bumi, membuatnya subur dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, memberikan benih kepada penabur dan roti kepada orang yang mau makan, demikianlah firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku: ia tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki, dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya.”
Apapun yang difirmankan Tuhan pasti akan terjadi. Setiap janji, penghiburan, nubuatan, dan apapun yang tertulis di Alkitab (termasuk hukuman) pasti akan terjadi dan tergenapi pada waktu-Nya Tuhan. Bukankah ini adalah suatu kenyataan yang sangat menghibur?
Nubuatan-nubuatan Allah dalam Perjanjian Lama tidak ada yang sia-sia. Berikut adalah beberapa contoh nubuatan yang digenapi oleh peristiwa kelahiran Sang Juru Selamat. Pertama, Yesus dilahirkan oleh seorang anak gadis seperti yang dinubuatkan Yesaya dalam Yesaya 7:14 “Sebab itu Tuhan sendirilah yang akan memberikan kepadamu suatu pertanda: Sesungguhnya, seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Imanuel.” Bagian ini dengan jelas mengatakan bahwa seorang anak gadis akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki. Suatu hal yang tidak mungkin terjadi, namun bagi Tuhan tidak ada yang mustahil. Immanuel (yang berarti Allah beserta kita) menandakan bahwa anak laki-laki yang dilahirkan adalah Allah yang dengan rela mengambil wujud seorang manusia sehingga dapat berada bersama-sama dengan manusia.
Nubuatan dalam Yesaya 11:1-10 juga digenapi pada waktu Yesus lahir. LAI memberikan judul “Raja Damai yang akan datang” untuk bagian tersebut. Sedikit cuplikan dari bagian itu: “Suatu tunas akan keluar dari tunggul Isai, dan taruk yang akan tumbuh dari pangkalnya akan berbuah. Roh TUHAN akan ada padanya, roh hikmat dan pengertian, roh nasihat dan keperkasaan, roh pengenalan dan takut akan TUHAN…. Maka pada waktu itu taruk dari pangkal Isai akan berdiri sebagai panji-panji bagi bangsa-bangsa; dia akan dicari oleh suku-suku bangsa dan tempat kediamannya akan menjadi mulia.” Intinya, Sang Juru Selamat adalah keturunan Raja Daud. Kita yakin keturunan Isai yang dimaksud di sini adalah keturunan dari Daud karena perkataan Yesus sendiri di Markus 12:35-37 pada waktu Ia mengutip dan mengomentari Mazmur 110:1. Selain itu, Nabi Yeremia dalam Yeremia 23:5-6 juga menubuatkan bahwa Mesias adalah keturunan Daud dan kemudian digenapi oleh kelahiran Yesus karena, seperti yang dicatat Lukas, Yusuf adalah seorang keturunan dan keluarga dari Daud.
Contoh nubuat terakhir yang digenapi adalah Mikha 5:1 – “Tetapi engkau, hai Betlehem Efrata, hai yang terkecil di antara kaum-kaum Yehuda, dari padamu akan bangkit bagi-Ku seorang yang akan memerintah Israel, yang permulaannya sudah sejak purbakala, sejak dahulu kala.” Sangat jelas terlihat bahwa Yesus, yang permulaan-Nya sudah sejak purbakala (Yohanes 1:1), sudah ditetapkan Allah untuk lahir di Betlehem. Menarik untuk diingat bahwa dalam Matius 2:1-12 diceritakan bagaimana para imam kepala dan ahli taurat bangsa Yahudi menggunakan Mikha 5:1 untuk menunjukkan kepada orang Majus di mana sang Mesias lahir atas dasar permintaan Raja Herodes sendiri. Lebih menariknya lagi, setelah mengetahui penggenapan nubuat ini, Raja Herodes langsung berusaha untuk mencari Yesus, namun bukan untuk menyembah, melainkan untuk membunuh-Nya karena takut dikudeta oleh Yesus.
Melihat nubuatan-nubuatan apa saja yang digenapi melalui peristiwa kelahiran Yesus sangatlah menarik. Yang tidak kalah serunya adalah melihat bagaimana cara Allah menggenapi nubuatan-nubuatan tersebut. Kita akan bersama-sama melihat hal itu pada bagian berikutnya dari artikel ini.
“Kebetulan”
“Dan pertama-tama ia [Lukas] mengesampingkan gagasan tentang rancangan manusia, dengan mengatakan, bahwa Yusuf dan Maria meninggalkan tempat tinggal, dan datang ke tempat itu [Betlehem] karena harus kembali ke kampung halaman masing-masing berdasarkan keluarga dan suku mereka. Jika dengan sengaja dan penuh kesadaran mereka mengubah tempat tinggal sehingga Maria dapat melahirkan Anaknya di Betlehem, kita pastinya hanya akan melihat manusia-manusia yang bersangkutan. Namun karena mereka tidak ada tujuan lain selain mematuhi ketetapan dari Kaisar Agustus, kita dapat dengan segera mengakui, bahwa mereka dituntun seperti orang buta, oleh tangan Tuhan, ke tempat di mana Kristus harus lahir,”[8] demikian pemikiran dari John Calvin mengenai Lukas 2:1-7. R. C. Sproul juga memiliki pemikiran yang sama, “…namun perhatikanlah, satu-satunya alasan historis mengapa Yesus lahir di Betlehem adalah karena dekrit yang sangat berkuasa yang ditetapkan oleh Kaisar Agustus… Bukanlah suatu kebetulan bahwa dekrit kekaisaran ini dikeluarkan pada waktu ini, yang memaksa mereka untuk melakukan perjalanan ke Betlehem. Di sini kita melihat kaisar yang paling berkuasa di dunia menjalankan ketetapan Allah sendiri. Kaisar Agustus, jika kita analisis lebih lanjut, hanyalah sebuah bidak catur di tangan Tuhan Allah Sang Mahakuasa.”[9]
Saya selalu melewatkan hal ini pada waktu membaca bagian ini sebelum saya membaca penjelasan di atas. “Kok bisa pas banget yah?” demikian reaksi pertama saya pada waktu menyadari “kebetulan” tersebut. Coba renungkan, bisa-bisanya Kaisar Agustus mengeluarkan suatu ketetapan pada suatu waktu yang pada akhirnya memaksa Yusuf dan Maria untuk berangkat dari Nazaret menuju Betlehem beberapa hari sebelum Maria harus melahirkan. Kaisar Agustus memerintahkan setiap orang kembali ke kampung halamannya masing-masing untuk mendaftarkan diri agar mereka bisa dikenai pajak seperti yang juga dirasakan oleh negara-negara jajahan kerajaan Romawi lainnya. Suatu ketetapan yang egois, namun Allah menggunakan kesempatan ini untuk membuat sang Mesias yang harus lahir di Betlehem untuk lahir di sana. Ini seperti yang dikatakan Yusuf kepada saudara-saudaranya yang dicatat Musa dalam Kejadian 50:20: “Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar.”
Kenyataan ini selalu menghibur saya. Orang yang paling kuat dan berkuasa saat itu, yang bahkan diberi julukan “Agustus” (nama aslinya adalah Caius Octavius) yang berarti “Yang Mulia” dan juga “Dominus et Deus” yang berarti “Tuhan dan Allah”, tetap saja harus tunduk kepada Tuhan dan Allah yang mulia yang sejati. Lucu juga untuk dibayangkan bahwa seorang kaisar yang mengaku bahwa dirinya adalah tuhan di atas segala tuhan, walaupun secara tidak sadar, tetap saja taat, tunduk dan melakukan apa yang sudah ditetapkan oleh Tuhan di atas segala tuhan. Ketetapan Kaisar Agustus yang mungkin dianggap dunia sangat berkuasa, ternyata hanyalah merupakan sebuah ‘alat’ untuk melaksanakan ketetapan Allah yang sudah difirmankan-Nya sejak zaman purbakala.
“Apakah kalian pernah merasakan, seperti saya, kecil dan tidak berarti di dalam sebuah dunia yang berisi kurang lebih tujuh miliar manusia, di mana semua berita-berita adalah tentang pergerakan politik, sosial, dan ekonomi yang besar, dan tentang orang-orang yang memiliki kekuasaan dan kehormatan yang luar biasa? Jika kalian pernah merasakannya, jangan biarkan hal itu membuat Anda kecewa atau sedih. Sebab secara tersirat Alkitab mengatakan bahwa semua kekuatan-kekuatan politik yang besar dan segala kerumitan dunia industri, tanpa mereka menyadarinya, sedang dipandu oleh Tuhan, bukan untuk kepentingan mereka sendiri, tetapi untuk kepentingan umat-umat kecil Allah – orang kecil seperti Maria dan Yusuf yang harus pergi dari Nazaret ke Betlehem. Allah menggunakan sebuah kerajaan untuk memberkati anak-anak-Nya. Jangan berpikir, karena kalian mengalami kesulitan, bahwa tangan Tuhan itu terlalu pendek. Bukan kemakmuran kita namun kesucian kitalah yang Allah inginkan dengan segenap hati-Nya. Dan untuk tujuan itulah, Allah mengatur seluruh dunia. Seperti yang dikatakan oleh Amsal 21:1 “Hati raja seperti batang air di dalam tangan TUHAN, dialirkan-Nya ke mana Ia ingini.” Ia adalah Allah yang besar untuk orang-orang kecil, dan kita memiliki alasan yang sangat kuat untuk bersukacita bahwa, tanpa sepengetahuan mereka, semua raja, presiden, perdana menteri, dan kanselir dunia ini tunduk kepada ketetapan-ketetapan Bapa kita yang di sorga, supaya kita, anak-anak-Nya, dapat menjadi serupa dengan Anak-Nya, Yesus Kristus,” demikianlah John Piper dengan hangatnya menyimpulkan bagian ini.[10]
Sangat menghibur untuk mengetahui bahwa Allah, Bapa kita yang ada di sorga, memegang penuh kendali atas dunia tempat kita tinggal ini. Namun, ada hal lain yang lebih menyegarkan dari ‘sekadar’ kenyataan bahwa Allah itu berdaulat total atas dunia ini.
Inilah Kasih Itu
“…dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.” – Lukas 2:7
Inkarnasi…Itulah esensi dari peristiwa kelahiran Yesus. “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran,” demikianlah deskripsi Rasul Yohanes tentang inkarnasi. (Yohanes 1:14) Rasul Paulus menjelaskan inkarnasi sebagai berikut “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.” (Filipi 2:6-7) Inkarnasi adalah hal yang spektakuler. Raja Daud mengatakan bahwa, “TUHAN memandang ke bawah dari sorga kepada anak-anak manusia untuk melihat, apakah ada yang berakal budi dan yang mencari Allah. Mereka semua telah menyeleweng, semuanya telah bejat; tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak.” (Mazmur 14:2-3) Semua orang telah berdosa, dan upah dosa adalah maut. Yeremia mengatakan bahwa, “Dapatkah orang Etiopia mengganti kulitnya atau macan tutul mengubah belangnya? Masakan kamu dapat berbuat baik, hai orang-orang yang membiasakan diri berbuat jahat?” (Yeremia 13:23) Seluruh manusia telah berdosa, upah dosa adalah maut, namun manusia tidak dapat berbuat apa-apa untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Inkarnasi adalah peristiwa yang tak terkatakan indahnya karena, “…Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” (Roma 5:8) Ia datang ke bumi pada waktu kita masih berdosa. Ia mati untuk kita pada waktu kita masih berdosa. Kita tidak dapat berbuat apa-apa. We were hopeless. Namun, Yesus rela melakukan semuanya itu untuk kita pada waktu kita masih berdosa karena cinta-Nya yang begitu besar untuk kita. Ia melakukannya karena Ia adalah KASIH itu sendiri. “Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih. Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.” tulis Rasul Yohanes (1 Yohanes 4:8-10)
Semangat inkarnasi inilah yang mendorong para rasul untuk pergi mengabarkan Injil ke seluruh penjuru dunia. Semangat inkarnasi inilah yang mendorong Stefanus untuk menjadi martir pertama dalam sejarah. Semangat inkarnasi inilah yang mendorong misionaris-misionaris di sepanjang zaman untuk meninggalkan segalanya. Semangat inkarnasi inilah yang membuat setiap orang Kristen rela untuk melayani, baik di gereja, maupun di masyarakat. Semangat inkarnasi inilah yang mendasari cinta suami dan istri. Semangat inkarnasi inilah yang membuat seseorang berinisiatif untuk berkenalan dengan seseorang yang belum ia kenal di persekutuan pemuda.
Kita akan lebih kaget lagi jika merenungkan rupa, keluarga, tempat kelahiran, waktu, dan cara hidup yang Yesus pilih pada waktu berinkarnasi ke dalam dunia ini. John Piper menjelaskan, “Sekarang kalian mungkin berpikir jika Allah sedemikian menguasai dunia sehingga dapat menggunakan sensus kerajaan untuk membawa Maria dan Yusuf ke Betlehem, Ia tentunya juga dapat memastikan ada ruangan yang tersedia di penginapan tersebut. Ya, tentu saja Ia bisa. Dan Yesus bisa saja lahir ke dalam keluarga yang kaya raya. Ia dapat mengubah batu menjadi roti di padang gurun. Ia dapat memanggil 10.000 malaikat untuk membantu-Nya di Taman Getsemani. Ia dapat turun dari salib dan menyelamatkan diri-Nya sendiri. Pertanyaannya bukanlah apa yang Tuhan dapat lakukan, namun apa yang Ia hendak lakukan. Kehendak Allah adalah bahwa walaupun Kristus kaya, namun untuk Anda Ia telah menjadi miskin. Papan-papan “Tidak Ada Kamar” yang berada di semua penginapan di Betlehem tersebut adalah untuk Anda. “Untuk Andalah ia menjadi miskin.” Allah berkuasa atas segala sesuatu – termasuk kapasitas penginapan – demi anak-anak-Nya. Jalan Kalvari itu dimulai dengan sebuah papan “Tidak Ada Kamar” di Betlehem dan diakhiri dengan peludahan dan penghinaan dan salib di Yerusalem.”[11]
John Calvin dengan indahnya mengatakan, “Pada waktu Ia [Yesus] dilemparkan ke dalam kandang binatang, dan dibaringkan di dalam palungan, dan penginapan menolak Dia di antara manusia-manusia, pada saat itulah sorga terbuka untuk kita, bukan sebagai sebuah tempat penginapan sementara, namun sebagai tanah air dan warisan kita yang kekal, dan bahwa malaikat menerima kita untuk tinggal bersama mereka.”[12]
Ini adalah definisi mencintai. Ini adalah arti dicintai. Inilah cinta itu sendiri. Inilah cinta yang harus kita hidupi sebagai pengikut-pengikut Kristus.
Orang yang Paling Berbahagia
“Kelahiran Yesus Kristus yang sederhana itu agak paradoks, karena Sang Mesias lahir di dalam sebuah ruangan yang biasanya diperuntukkan bagi hewan. Dari awal yang sederhana seperti itu akan muncul sang “Surya pagi dari tempat yang tinggi.” (Lukas 1:78) Yesus Kristus memiliki warisan yang tepat: Ia lahir dari orang tua keturunan Daud yang saleh di dalam kota yang dijanjikan oleh Perjanjian Lama akan menjadi tempat kelahiran dari seorang penguasa. Sebuah sensus yang ‘kebetulan’ membuat hal itu terjadi. Roma adalah seorang perantara yang tidak sadar dalam pekerjaan Allah. Sebuah ketetapan sensus yang menjijikkan telah menyebabkan sebuah peristiwa yang suci. Sebuah kandang adalah ruang singgasana Sang Mesias yang pertama”[13] demikianlah Darrell L. Bock meringkas dan menyimpulkan poin-poin penting dari Lukas 2:1-7.
Jadi, “Hal pertama yang harus kita sadari pada waktu kita merayakan Natal adalah bahwa kita tidak sedang merayakan suatu ajaran, suatu filsafat ataupun ‘spirit’ Natal. Kita sedang merayakan sebuah peristiwa”[14] Martyn Lloyd-Jones mengingatkan kita. Ia meneruskan, “‘Dibaringkannya Ia di dalam sebuah palungan’ Mengapa? Karena tidak ada tempat bagi mereka di dalam penginapan. Apa yang hal itu katakan kepada kita tentang dunia? Nah, yang hal itu katakan kepada kita tentang dunia pada zaman itu yang juga berlaku untuk dunia zaman sekarang adalah ini: dunia dengan segala kepintarannya dan apa yang mereka anggap ‘kebijaksanaan’ tidak pernah sadar tentang apa yang sebenarnya benar-benar penting.”[15]
Sebenarnya, masih banyak lagi yang bisa dituliskan tentang kelahiran Yesus, namun seperti yang dikatakan Rasul Yohanes, “… jikalau semuanya itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu.” (Yohanes 21:25) Jikalau harus ditulis satu per satu, maka edisi PILLAR kali ini dan yang berikut-berikutnya tidak akan dapat memuat semua tulisan yang harus dituliskan. Saya mengakhiri artikel ini dengan mengutip perkataan Yesus sendiri, “Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya banyak nabi dan orang benar ingin melihat apa yang kamu lihat, tetapi tidak melihatnya, dan ingin mendengar apa yang kamu dengar, tetapi tidak mendengarnya.” (Matius 13:17) Maka kata Yesus lagi, “…berbahagialah matamu karena melihat dan telingamu karena mendengar.” (Matius 13:16) Pada posisi kita saat ini adalah kita sudah melihat bagaimana Yesus lahir, melayani, dikhianati, difitnah, disiksa, mati, bangkit, dan naik ke sorga. Kita juga sudah mendengar Injil keselamatan yang sangat ditunggu-tunggu oleh orang-orang di Perjanjian Lama. Kita sebenarnya adalah orang yang seharusnya paling berbahagia. Sadarkah kita?
Fabio Laurent Lumantau
Pemuda GRII Pusat
Endnotes:
[1] Dikutip oleh Mark Driscoll dalam http://www.marshill.com/media/luke/jesus-birth. Diakses pada November 02, 2013.
[2] http://www.mljtrust.org/sermons/those-days. Diakses pada November 02, 2013.
[3] R. C. Sproul, A Walk with God – An Exposition of Luke, (Ross-shire, Great Britain: Christian Focus Publications, 2005), 27.
[4] http://www.mljtrust.org/sermons/laid-him-in-a-manger. Diakses pada November 02, 2013.
[5] http://www.mljtrust.org/sermons/those-days. Diakses pada November 02, 2013.
[6] http://www.mljtrust.org/sermons/laid-him-in-a-manger. Diakses pada November 02, 2013.
[7] http://www.marshill.com/media/luke/jesus-birth. Diakses pada November 02, 2013.
[8] John Calvin, Commentary on a Harmony of the Evangelists, Matthew, Mark, and Luke, trans. Rev. William Pringle, (Edinburgh, Scotland: Baker Books, 2005), 108.
[9] R. C. Sproul, A Walk with God – An Exposition of Luke, (Ross-shire, Great Britain: Christian Focus Publications, 2005), 29-30.
[10] http://www.desiringgod.org/resource-library/sermons/a-big-god-for-little-people. Diakses pada November 02, 2013.
[11] Ibid.
[12] John Calvin, Commentary on a Harmony of the Evangelists, Matthew, Mark, and Luke, trans. Rev. William Pringle, (Edinburgh, Scotland: Baker Books, 2005), 112.
[13] Darrell L. Bock, Luke (1:1 – 9:50), (Grand Rapids, MI: Baker Academic, 2008), 209.
[14] http://www.mljtrust.org/sermons/laid-him-in-a-manger. Diakses pada November 02, 2013.
[15] Ibid.