Setiap orang lahir dalam satu keluarga, yang berada dalam satu masyarakat. Masyarakat dengan satu budaya hidup bersebelahan dengan masyarakat lain dengan budaya yang berbeda. Pada zaman modern muncul konsep bangsa (nation) yang menggabungkan masyarakat-masyarakat dalam wilayah tertentu. Pada zaman sekarang ketika arus globalisasi terus berjalan, keseluruhan komunitas ini bisa disebut kampung dunia (global village) di mana setiap manusia tergabung ke dalam satu komunitas yang berdasarkan kemanusiaan (humanity). Dalam setiap lingkaran itu, masing-masing orang mempunyai tanggung jawab dan kewajiban, misalnya dalam keluarga kita harus menghormati orang tua, dan dalam masyarakat kita harus mematuhi norma-norma sosial yang berlaku. Interaksi antar budaya dan masyarakat yang semakin gencar juga memaksa kita untuk memikirkan kembali bagaimana kita harus hidup dalam satu komunitas global. Apakah yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban seorang warga dunia?
Pertanyaan dengan esensi yang sama sudah muncul dari zaman dahulu. Empat ratus tahun sebelum masehi, seorang filsuf bernama Diogenes menyatakan bahwa dirinya adalah warga negara kosmos atau dunia (cosmopolites), yang sekarang disebut sebagai cikal bakal istilah kosmopolitan. Dalam ide ini setiap individu seharusnya meyakini bahwa identitas dirinya yang paling hakiki adalah warga negara dunia yang tidak dibatasi oleh perbedaan ras, budaya, atau agama. Kesetiaan terhadap negara atau komunitas lokal harus dikesampingkan demi kepentingan dunia. Ide ini semakin mencuat belakangan ini seiring globalisasi menjangkau semakin banyak pelosok dunia. Ada isu-isu seperti relevansi patriotisme pada zaman ini dan bagaimana etika kosmopolitan bisa mengakomodasi berbagai macam budaya yang sudah ada sejak beribu tahun yang lalu.
Dunia sudah memasuki zaman globalisasi. Komunikasi dan transportasi sudah bisa menjangkau banyak pelosok dunia. Seorang remaja di Jakarta bisa bercakap-cakap dengan neneknya di Washington D.C. melalui messenger atau Skype. Seiring dengan teknologi yang berkembang dan kemudahan yang didapat, setiap orang mempunyai akses terhadap berita mengenai peristiwa di belahan bumi lain sekaligus kesempatan untuk membantu orang lain yang tidak pernah kita temui. Beberapa jam setelah tsunami di Jepang terjadi, orang-orang di belahan dunia lain sudah bisa melihat video rekamannya melalui YouTube dan mendapat berita dari status Facebook teman-teman mereka.
Bagi seorang kosmopolitan, fenomena globalisasi ini menimbulkan banyak pertanyaan. Misalnya, jika Saudara adalah seorang kosmopolitan yang tinggal di Indonesia, ketika tsunami terjadi di Jepang beberapa waktu yang lalu, apakah Saudara merasa sedih meskipun tidak ada kerabat atau teman yang terkena dampak bencana alam itu? Apakah Saudara juga merasa bahwa sudah merupakan tanggung jawab Saudara untuk membantu warga Jepang yang tertimpa musibah itu? Selain itu, jika Saudara didatangi wakil dari UNICEF yang meminta sumbangan untuk pendidikan anak-anak di Afrika, apakah Saudara merasa memiliki tanggung jawab untuk membantu anak-anak tersebut? Hati nurani seorang kosmopolitan pasti tergerak untuk membantu mereka, toh mereka adalah sesama warga dunia.
Walaupun begitu, orang sakit atau miskin bukan hanya ada di belahan dunia yang lain. Justru di tanah air sendiri kita melihat tingkat kemiskinan begitu tinggi dan berbagai bencana alam yang terjadi. Kebanyakan orang bukanlah Paman Gober atau Bill Gates yang mempunyai segudang uang yang bisa dibagi-bagikan kepada banyak orang di berbagai tempat di dunia. Jika kita mempunyai harta yang cukup untuk membantu hanya satu tempat dan harus memilih antara Indonesia dan Afrika, mana yang seharusnya kita pilih? Sebagai seorang kosmopolitan sejati, bukankah seharusnya kita mengesampingkan identitas nasional kita dan mengutamakan kewarganegaraan dunia? Jika memang begitu, apakah seharusnya kita membantu orang-orang di Afrika dulu?
Saya percaya kebanyakan dari kita akan memilih untuk membantu orang-orang yang lebih dekat dengan kita terlebih dahulu. Jika ada orang kesusahan di rumah kita, mengapa kita harus mempedulikan orang di seberang jalan? Walaupun secara intuisi, tindakan ini benar, kita harus menilik kembali motivasi tindakan tersebut. Mungkin mendahulukan kepentingan keluarga atau negara sendiri itu berdasarkan prinsip bahwa sumber daya yang kita miliki akan lebih efektif jika disalurkan kepada orang-orang yang lebih dekat karena jarak penyaluran lebih dekat dan kita lebih mengerti cara yang paling cocok untuk membantu mereka. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa tindakan itu hanya berdasarkan keegoisan kita. Orang seperti ini akan berkata, “Keluarga gue ya pasti lebih penting daripada orang tidak dikenal; itu kan keluarga gue.”
Jika pendahuluan kepentingan keluarga atau negara sendiri hanya berdasarkan keegoisan, walaupun hasil nyata tindakan tersebut mungkin sama namun motivasinya sudah salah dan kita perlu ingat bahwa Tuhan justru melihat yang tidak kelihatan. Ini bukan berarti bahwa jika kita tidak egois, kita harus membuang semua ikatan keluarga atau kewarganegaraan dan membantu orang-orang lain yang tidak kita kenal. Akan tetapi, bagaimanakah kita sebagai orang Kristen yang hidup dalam zaman globalisasi ini menyikapi pemikiran kosmopolitan seperti ini?
Kita diperintahkan untuk mengasihi Allah dan sesama. Dalam perumpamaan orang Samaria yang baik hati, sesama kita digambarkan sebagai orang Samaria yang mempunyai hubungan yang jauh, bahkan sebagai musuh bagi orang Yahudi yang dirampok itu. Tuhan Yesus juga berkata bahwa ibu dan saudara-saudara-Nya adalah orang yang melakukan kehendak Allah, merekalah saudara lelaki, saudara perempuan, dan ibu-Nya. Jika begitu, bukankah kita memang semestinya mengesampingkan hubungan keluarga ataupun sosial kita demi sesama kita yang mungkin kita tidak kenal?
Setiap orang Kristen tergabung dalam satu tubuh Kristus yang pasti mencakup orang-orang yang tidak kita kenal dan tidak pernah kita temui. Dengan teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi, banyak dari kita mempunyai kapasitas untuk membantu saudara-saudara seiman yang kita tidak kenal itu, tetapi tidak semua orang mempunyai kapasitas untuk membantu semua saudara kita di dunia. Yang diberi banyak memang dituntut banyak, dan orang yang mempunyai kapasitas melayani sesama di berbagai pelosok dunia mempunyai tanggung jawab untuk menjalankan pelayanannya itu.
Kenyataannya tidak semua kita diberi anugerah sebesar itu sehingga konsep panggilan dalam hidup seorang Kristen menjadi sangat relevan dalam zaman ini. Sebuah keputusan sulit diambil jika ada banyak pilihan. Dalam zaman ini kita mempunyai fasilitas yang memadai untuk memberikan banyak pilihan ketika kita melayani, baik itu secara bidang, lokasi, kelompok target, masa pelayanan, dan lain-lain. Setiap kita mempunyai pilihan untuk menjadi misionaris ke daerah-daerah terpencil, atau dengan hadirnya penerbangan budget, banyak dari kita bisa hijrah ke negara lain dan memilih untuk melayani di sana. Mengapa juga kita harus melayani sesama warga Indonesia? Bukankah orang Afrika atau Eropa juga adalah sesama kita yang perlu dilayani? Kalau kita orang suku Tionghoa, kenapa kita lebih suka melayani sesama suku Tionghoa?
Kita perlu mengecek kembali motivasi kita melayani satu kelompok atau tempat tertentu. Apakah betul itu kehendak Tuhan bagi kita, ataukah itu hanya bentuk keegoisan kita dalam mementingkan kepentingan suku, budaya, atau bangsa kita? Ide kosmopolitanisme menantang kita untuk memikirkan kembali semua identitas sekunder ini, yang pasti berimplikasi terhadap bagaimana kita hidup dan melayani. Kita memang hidup dalam dunia, tetapi terlebih dari itu, kita adalah warga Kerajaan Allah. Ini merupakan identitas kita yang terutama, dan ini berarti kita mempunyai tanggung jawab untuk mematuhi Raja yang memanggil kita. Seorang kosmopolitan yang belum mengenal Tuhan boleh berseru bahwa dia adalah warga dunia dan bukan milik negara atau suku tertentu, tetapi seorang kosmopolitan Kristen melampauinya dengan menyerukan bahwa dia bukan hanya warga dunia, melainkan warga Kerajaan Allah.
Jika kita selama ini tidak berpikir kritis tentang mengapa kita melayani di sini, kepada siapa, atau dengan cara apa, mungkin artikel ini dan realitas globalisasi bisa menggugah hati kita untuk berdoa lagi kepada Tuhan tentang panggilan hidup kita berkaitan dengan segala anugerah yang telah kita terima. Dalam skala institusi seperti gereja, para pemimpin pun sepatutnya menggumuli arah pelayanan sehingga sesuai dengan kehendak Allah. Setiap orang Kristen bukan membangun kerajaan sendiri, kerajaan berbasis suku atau bangsa, tetapi setiap umat pilihan sadar bahwa dia adalah warga Kerajaan Allah yang terus merindukan datangnya Kerajaan itu sehingga kehendak Allah nyata di bumi seperti di sorga.
GRII sudah diberkati Tuhan dengan begitu limpah. Iman yang hidup, ajaran yang ketat, orang-orang yang mempunyai api pelayanan, dan bakat-bakat yang terkumpul merupakan contoh berkat Tuhan yang telah dianugerahkan Tuhan. Sebagai ujung tombak, Gerakan Reformed Injili sudah merambah ranah internasional. GRII berperan penting sebagai wadah Theologi Reformed Injili untuk diperkembangkan dan dilaksanakan dalam berbagai pelayanan.
Dengan begitu banyak berkat, masing-masing kita diberikan tanggung jawab yang besar. Jika kita sudah ditempatkan Tuhan di dalam GRII, tentu ada maksud Tuhan dan panggilan-Nya bagi kita dalam konteks gereja lokal dan Gerakan Reformed Injili secara luas. Seorang kosmopolitan Kristen yang bergereja lokal di GRII mempunyai banyak kesempatan untuk belajar dan melayani, tetapi banyaknya kesempatan dan pilihan bisa menjadi pedang bermata dua. Apakah kita sudah berdoa sebelum memilih arah pelayanan kita ke depan? Kiranya melalui artikel ini, kita semua diingatkan untuk berdoa dan bergumul akan panggilan kita dalam kampung global yang begitu luas ini. Soli Deo Gloria.
Samuel Wong
Pemuda GRII Singapura
Referensi:
Kleingeld , P., & Brown, E. (2006). Cosmopolitanism.The stanford encyclopedia of philosophy. Retrieved July 26, 2011, from http://plato.stanford.edu/entries/cosmopolitanism/