Signifikansi Tema Ratapan
Kitab Ratapan mungkin adalah salah satu kitab yang agak “terlupakan” oleh kebanyakan orang Kristen. Terlebih lagi, dalam konteks zaman sekarang, kita sudah sangat jarang melihat sekelompok orang yang menangisi suatu hal dengan begitu pedih dan syahdu. Mungkin suasana seperti ini hanya dapat kita rasakan di tempat pemakaman atau rumah duka. Padahal jika kita menggali kitab Ratapan lebih dalam, kita akan menemukan makna yang begitu indah, relevan, dan signifikan. Misalkan saja mengenai aspek kesedihan akan dosa, pengharapan di waktu sulit dan kelam, juga sikap ketergantungan kepada Tuhan. Terlebih lagi, pada konteks bangsa Israel saat itu, suatu ratapan tidak hanya dilakukan seorang diri, melainkan juga bersama-sama dalam suatu komunitas. Jadi bagi bangsa Israel, ratapan komunal bukanlah sesuatu yang asing lagi.[1] Dalam bagian-bagian selanjutnya dalam artikel ini, kita akan sama-sama melihat contoh dan pembahasan lebih jauh mengenai ratapan komunal ini. Praktik ratapan komunal tentunya menjadi teguran bagi kita, khususnya yang hidup di kota besar, agar tidak begitu saja terbawa arus individualisme, egoisme, dan sikap apatis semata.
Timbal Balik
Dalam konteks hidup zaman sekarang, kita kerap kali menjumpai cara hidup “lu lu, gue gue”. Kita cenderung berfokus pada diri sendiri dan merasa kurang nyaman kalau ada orang lain yang “mencampuri” bagian yang kita anggap berada dalam teritori pribadi kita. Lebih jauh lagi, akan menjadi suatu kesulitan besar bagi kita untuk diajak lebih memerhatikan dan melayani orang lain. Mungkin alasan yang akan cukup sering kita jumpai adalah: “Lho, kalau bukan saya yang urus diri saya sendiri, siapa lagi? Urus diri sendiri aja belum beres, sudah mau ngurusin orang lain?”. Kita cenderung lupa bahwa sebetulnya diri kita begitu terbatas, tidak mampu dan tidak memiliki kekuatan untuk bahkan mengurus diri kita sendiri. Kita lupa ada aspek pemeliharaan Tuhan yang terus menopang kita. Justru ketika kita memerhatikan orang lain, tidak mungkin Tuhan akan membiarkan kita. Dalam kitab Amsal, tercatat janji bahwa orang yang memerhatikan dan memberi kepada orang miskin, dia tidak akan berkekurangan dan justru orang tersebut sedang memuliakan Allah.[2]
Dalam Alkitab, terdapat begitu banyak prinsip yang menentang cara berpikir egois dan tidak mau memerhatikan/diperhatikan orang lain. Salah satunya adalah prinsip mengenai adanya hubungan timbal balik dan saling memengaruhi yang sangat kuat antara individu dan komunitas. Aspek saling memengaruhi ini berlaku baik untuk hubungan yang positif dan juga negatif. Sikap yang egois dan membangun tembok itu sendiri sudah memberikan pengaruh buruk bagi komunitas. Contoh paling sederhana, orang lain yang seharusnya mendapat percikan berkat melalui hidup kita, akhirnya malah tidak mendapatkannya. Dalam beberapa paragraf ke depan, kita akan sama-sama menggali contoh-contoh yang sudah terpapar dengan jelas dalam Alkitab, baik itu hubungan memengaruhi yang positif ataupun yang negatif.
Kitab Yosua memberikan contoh yang sangat jelas mengenai pengaruh negatif antara individu dengan komunitas. Dikisahkan seorang bernama Akhan dari suku Yehuda, diam-diam mengambil barang-barang yang seharusnya dikhususkan untuk dihancurkan.[3] Jubah, perak, dan emas, semuanya diambil dan disembunyikan dengan begitu rupa di dalam tanah. Akhan mungkin saat itu tersenyum, mengira tidak ada orang yang tahu, dan merasa bahwa perbuatannya tidak akan berdampak apa-apa selain dirinya yang akan semakin makmur dan bertambah kaya. Tetapi betulkah pemikiran tersebut? Sama sekali tidak! Allah yang kita sembah bukanlah Allah yang buta dan bisa ditipu. Allah yang kita sembah adalah yang begitu suci dan tidak menoleransi dosa yang kecil dan halus sekalipun. Oleh karena perbuatan seorang Akhan, Tuhan tidak menyertai Israel sehingga mereka dikalahkan ketika menggempur kota Ai. Padahal, kota Ai adalah suatu kota yang begitu kecil. Yosua dan tua-tua Israel langsung meratap dan mengoreksi diri. Baru setelah dosa ini dibereskan dan Akhan dihukum mati, Allah menyertai Israel dan memberikan kemenangan dalam berperang menghadapi Ai.[4]
Di bagian lain, Alkitab memberikan begitu banyak contoh pengaruh positif dari satu individu terhadap lingkungan atau komunitas di mana ia berada. Dalam kitab Kejadian, Alkitab mencatat bahwa Allah memberkati rumah Potifar karena Yusuf. Allah memberkati segala milik Potifar, baik yang di rumah maupun yang di ladang. Karena Yusuf, Potifar tidak perlu lagi mengatur hal-hal lain selain makanannya sendiri.[5] Contoh lain adalah mengenai doa syafaat Abraham mengenai kota Sodom dan Gomora. Dalam doa tersebut, Tuhan berkata kepada Abraham bahwa jika ada sepuluh orang benar di kota Sodom, kota itu tidak akan dimusnahkan.[6] Kita dapat melihat signifikansi orang benar terhadap keadaan suatu kota, walaupun dari perspektif jumlah, tentunya sepuluh orang bukanlah jumlah yang banyak. Pesan senada juga Tuhan sampaikan dalam bentuk teguran melalui Nabi Yehezkiel. Tuhan menegur Israel dengan pernyataan bahwa Ia mencari di tengah-tengah Israel seorang yang hendak mendirikan tembok atau yang mempertahankan negeri itu, supaya jangan dimusnahkan, tetapi Tuhan tidak menemukannya. Akhirnya Tuhan menumpahkan murka-Nya yang menyala-nyala atas Israel.[7]
Pengakuan, Pengharapan, dan Perasaan Bergantung
Kembali ke kitab Ratapan, jika kita memerhatikan secara lebih spesifik, tema pengakuan dosa secara komunal sangat kental terkandung di dalamnya. Saat itu, Israel telah dihancurkan begitu rupa oleh bangsa Babilonia. Kelaparan, kehancuran, dan kematian, semuanya tertulis dan terdeskripsikan dengan begitu detail dan memilukan. Begitu parahnya kelaparan itu, sampai-sampai tangan yang lembut dari para wanita Israel dengan tega bergerak untuk memasak anak-anak mereka sendiri.[8] Periode kelam ini adalah konsekuensi dari bangsa Israel sendiri yang begitu berani berbuat dosa, menolak perkataan Tuhan melalui para nabi, dan para pemimpin bangsa yang justru malah menambah penyesatan dan penyelewengan.
Padahal jauh sebelum hal ini terjadi, yakni sejak zaman Musa, Israel sudah memperoleh peringatan yang begitu jelas dan keras untuk hidup setia dan mematuhi setiap perintah Tuhan. Jika mereka berbalik dan memberontak terhadap Tuhan, kutukan dalam aspek keluarga, kesejahteraan, kesehatan, persediaan makanan, dan kedamaian sudah jelas tertulis. Bagian ini ditulis berulang-ulang dalam kitab Imamat, Ulangan, Yosua, dan Raja-raja.[9] Dalam kondisi seperti inilah, akhirnya bangsa Israel mengakui dosa-dosa mereka, berseru kepada Tuhan, dan memohon agar Tuhan memulihkan relasi dan perjanjian-Nya dengan Israel.[10]
Di tengah-tengah kondisi yang demikian mengenaskan, bangsa Israel tetap menemukan secercah pengharapan di dalam Tuhan. Setelah beratnya seruan, keluhan, dan ratapan dalam pasal satu dan dua, pada bagian-bagian di pasal tiga, muncul doa yang memohon dan mengharapkan pemulihan yang dari Tuhan. Bagian ini bagaikan titik-titik terang yang mulai muncul menembusi awan gelap, atau tetesan embun segar di tanah yang kering kerontang. Di sini kita belajar bahwa dalam kondisi yang sangat menderita sekalipun, bangsa Israel masih bisa merasakan kelembutan belas kasihan dan kehangatan janji Tuhan. Justru dalam masa-masa seperti inilah tercetus kalimat-kalimat yang begitu indah. “Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, Selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu! “Tuhan adalah bagianku,” kata jiwaku, oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya.”[11] Sekalipun Yerusalem saat itu sudah menjadi reruntuhan, kebenaran dan kemahakuasaan Tuhan tetap kekal sampai selamanya. Biarlah kita terus disadarkan bahwa hanya Tuhanlah yang menjadi sukacita, penghiburan, dan kebahagiaan sejati bagi umat-Nya.
Yesus yang Menangis
Tema mengenai ratapan ini sudah sepatutnya mengambil contoh dari teladan kita yang sempurna, Yesus Kristus. Mengenai bagian ini, penulis akan secara spesifik menyoroti peristiwa mengenai Kristus yang menangisi Yerusalem yang tercatat dalam Lukas 19. Peristiwa ini ditulis setelah kisah mengenai Kristus yang memasuki Yerusalem dengan menunggangi seekor keledai dan disambut dengan begitu meriah oleh orang banyak. Ketika Yesus mulai mendekat dan melihat kota Yerusalem, Ia mulai menangisi kedegilan hati orang-orang di sana.[12] Siapakah orang-orang yang Kristus tangisi? Apakah mereka orang-orang yang baik dan patut dikasihani? Justru sebaliknya, mereka adalah orang yang begitu bebal, orang yang sudah menolak para nabi dan bahkan Anak Allah sendiri. Terlebih lagi, Kristus juga menangisi kota Yerusalem yang akan dihancurleburkan sampai tidak ada satu batu yang tersusun di atas batu yang lain.[13] Inilah suatu tetesan air mata yang kudus. Aliran air mata yang mengalir dari jiwa yang begitu lembut dan peka. Suatu sikap hati dengan beban yang teramat besar akan kota Yerusalem dan penduduknya. Dalam bagian ini, kita dengan jelas bisa melihat bahwa Kristus tidaklah terbuai dan terhanyut oleh pujian dan sambutan yang begitu meriah dari orang banyak. Jika kita yang berada dalam posisi Kristus, mungkin yang kita lakukan adalah justru tertawa dengan begitu lebar, bukannya menangis. Sekali lagi kita diingatkan untuk memiliki aspek emosi yang sesuai dan sinkron dengan emosi Allah.[14]
Tangisan Kita?
Setelah kita sudah sedikit mengenal praktik ratapan komunal yang dilakukan bangsa Israel sekaligus kekayaan makna di dalamnya, bagaimanakah sikap dan respons kita? Mungkin kita bisa merenung sejenak, apakah yang selama ini sudah kita tangisi? Apakah hanya seputar tema-tema yang berpusat pada diri dengan mentalitas mengasihani diri, atau kita mulai belajar dari Kristus yang menangisi orang lain dan dosa-dosa mereka? Dalam buku Pengudusan Emosi, Pdt. Stephen Tong dengan jelas membagi dukacita menjadi dukacita yang kudus dan yang tidak. Pembaca ditantang agar emosi kesedihan bisa sinkron dan sesuai dengan kesedihan Tuhan. Kita semua bisa mulai dengan langkah-langkah kecil dan melihat di sekeliling kita. Penulis yakin di mana pun kita berada, baik di kota besar, kota kecil, daerah, desa, bahkan hutan sekalipun, realitas dosa dapat kita jumpai dalam hidup sehari-hari. Mulai dari anak kecil yang memberontak kepada orang tua, murid sekolah yang saling membunuh, kecurangan dalam dunia akademis, korupsi di sektor publik dan privat, eksploitasi tenaga kerja, ketidakadilan dalam dunia hukum, sampai kepada penyesatan dan penyelewengan dalam lingkup agama seperti perayaan Natal yang tidak lagi pada makna seharusnya. Sekali lagi penulis bertanya, apakah respons kita? Apakah kita hanya memaki, marah-marah, atau bersikap apatis semata? Mari kita sama-sama belajar lebih peka dan lebih giat berdoa. Dan bukan hanya kita sendiri, melainkan suatu kelompok orang yang sama-sama mau menangis dan mendoakan secara komunal. Terlebih lagi, sebagai gereja Tuhan, kita sangat rindu dan dengan sepenuh hati berseru supaya manusia boleh kembali kepada Tuhan, sumber pengharapan yang sejati. Selamat Natal!
Juan Intan Kanggrawan
Redaksi Bahasa PILLAR
Referensi:
1. http://www.ccel.org/ccel/henry/mhc4.Lam.i.html.
2. http://www.ccel.org/ccel/calvin/calcom21.iii.ii.ii.html.
3. http://www.ccel.org/ccel/edwards/affections.toc.html.
Endnotes:
[1] Ester 9:31, 1 Samuel 28:3, 2 Samuel 1:12, Hakim-Hakim 11:40.
[2] Amsal 14:31 dan 28:27.
[3] Yosua 7.
[4] Yosua 8.
[5] Kejadian 39:1-6.
[6] Kejadian 18:16-33.
[7] Yehezkiel 22:30-31.
[8] Ratapan 2:20.
[9] Ulangan 30 dan Yosua 1.
[10] Ratapan 2:10-22.
[11] Ratapan 3:22-24.
[12] Lukas 19:42.
[13] Lukas 19:43-44.
[14] Imamat 10:6-10 dan Bilangan 25:6-15.