Menurut sebuah survei, populasi dunia sudah mencapai 7,6 miliar (dan terus bertambah!). Indonesia memiliki populasi sebesar 267 juta dan berada di peringkat keempat untuk negara dengan populasi terbanyak, setelah Tiongkok di peringkat pertama (1,4 miliar), India di peringkat kedua (1,3 miliar), dan Amerika Serikat di peringkat ketiga (327 juta).[1]
UNICEF memperkirakan ada sekitar 353.000 bayi yang lahir setiap harinya di seluruh dunia. Ini berarti ada 255 bayi yang lahir setiap menit atau 4 bayi yang lahir setiap detiknya. Wow, balloons and tears of joy everywhere![2]
Setiap orang tua pasti ingin anak-anaknya menjadi yang terbaik, atau dalam istilah orang Medan: setiap orang tua ingin anak-anaknya tumbuh menjadi orang. Para orang tua mungkin sudah punya cita-cita atau harapan yang baik untuk masa depan sang anak sejak pertama kali melihat mereka (atau bahkan sejak dalam kandungan?!). “Anakku inilah yang akan meneruskan untuk memimpin perusahaanku saat aku pensiun nanti.” Ada pula orang tua yang ketika melihat bagaimana indahnya Adinda melompat, mereka langsung berpikir, “Wah, dia akan menjadi balerina top saat dewasa nanti!” Anak-anak bertumbuh dewasa dengan satu konsep di dalam pikiran mereka bahwa hidup mereka memiliki tujuan, walau sering kali tujuan itu ditentukan oleh orang tua mereka.[3]
Ada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Educational Psychology Department of Ball State University, USA mengenai tujuan hidup para remaja dan pemuda. Di dalam penelitian ini dijelaskan mengenai tujuan hidup. Para peneliti ini mengatakan bahwa tujuan hidup merupakan kekuatan yang dapat memberikan motivasi kepada para remaja dan pemuda. Tujuan hidup menjadi kompas yang menuntun hidup mereka ke arah yang positif, juga menjadi bahan pertimbangan di dalam menggunakan waktu, tenaga, dan usaha untuk mengambil sebuah keputusan yang pro-sosial. Tujuan hidup juga dikatakan sebagai komponen penting untuk manusia bisa berkembang. Peneliti yang lain mengatakan bahwa tujuan hidup memengaruhi kesehatan psikologis, kebahagiaan, kepuasan hidup, dan kekuatan dalam menghadapi masalah.
Tujuan hidup didefinisikan sebagai intensi untuk meraih sesuatu yang bernilai untuk diri dan memimpin kepada interaksi aktif dengan dunia di luar diri. Jadi, di dalam tujuan hidup ada tiga poin penting, yaitu intensi, interaksi aktif, dan kontribusi kepada dunia. Dengan kata lain, tujuan hidup adalah motivasi untuk bertindak bagi orang lain demi mencapai hasil yang lebih besar.[4]
Bahwasanya hidup memiliki tujuan bukanlah ide baru di zaman ini. Aristoteles, seorang filsuf Yunani Kuno, sejak abad ke-5 SM sudah mempertanyakan tentang tujuan hidup manusia. Di dalam karyanya Nicomachean Ethics, Aristoteles memberikan jawaban perihal apa yang menjadi tujuan ultimat dari eksistensi manusia. Jawabannya adalah kebahagiaan. Hampir semua orang setuju akan hal ini, karena walaupun kita mendambakan uang, kenikmatan, dan kehormatan, tujuan hidup dapat membuat kita bahagia.
Aristoteles menjelaskan bahwa kita sering kali salah memahami apa itu kebahagiaan. Bahagia bukanlah suatu perasaan subjektif dan sementara, misalnya ketika kita makan es krim di hari yang panas terik atau ketika kita pergi ke taman hiburan bermain berbagai wahana bersama teman-teman. Kebahagiaan adalah nilai ultimat di akhir kehidupan kita, yang menggambarkan seberapa maksimal kita sudah memakai potensi-potensi yang ada di dalam diri kita sebagai manusia. Jadi, sama seperti kita tidak bisa mengatakan bahwa pertandingan sepak bola itu merupakan pertandingan yang baik saat masih half-time, kita juga tidak bisa mengatakan bahwa kita sudah mencapai tujuan hidup kita dan menjadi bahagia sebelum kita mati.[5]
Jika kita melihat secara sekilas prinsip-prinsip yang sudah dikemukakan di atas, mungkin kita merasa bahwa prinsip-prinsip ini cukup alkitabiah. Misalnya, tentang poin intensi, Filipi 3:13 berbicara tentang “mengarahkan diri kepada apa yang di depan.” Tentang poin interaksi aktif, kita bisa membaca Roma 12:10 yang mengajarkan kita untuk “saling mengasihi dan saling mendahului dalam memberi hormat.” Tentang poin kontribusi kepada dunia, sejak di Sekolah Minggu, kita sudah diajarkan untuk menjadi garam dan terang dunia sebagaimana dicatat di dalam Matius 5:13-16. Tentang menjadi bahagia, bukankah 1 Tesalonika 5:16 memerintahkan kita untuk bersukacitalah senantiasa?
Tetapi, apa yang kita katakan cukup alkitabiah, justru Alkitab katakan tidak cukup! Mari kita melihat dengan lebih komprehensif apa yang Alkitab ajarkan tentang manusia–kelahirannya, tujuan hidupnya, kematiannya; dan siapa yang paling berhak menilai keberhasilan manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Kitab Kejadian pasal yang kelima mencatat daftar keturunan Adam. Ayat kelima mengatakan bahwa Adam mencapai umur 930 tahun, lalu ia mati. Pola ini dapat terus kita lihat di dalam seluruh pasal ini. Set mencapai umur 912 tahun, lalu ia mati (ay. 8). Enos mencapai umur 905 tahun, lalu ia mati (ay. 11). Begitu seterusnya sampai ayat 31 yang mencatat bahwa Lamekh mencapai umur 777 tahun, lalu ia mati. Pasal ini memberikan kepada kita gambaran yang begitu kelam, karena 8 kali dicatat “lalu ia mati”–“lalu ia mati”–“lalu ia mati”.
Kematian adalah satu hal yang pasti. Akan datang satu hari saat dunia tidak lagi mengenal kita. Air hujan menghapus nama kita yang tertera di batu nisan. Tulang-tulang kita pun habis tak bersisa. Kita tidak ada lagi. Akhirnya kita sadar bahwa hidup begitu singkat. Bahwa antara hari kita lahir dan hari kita mati, hari-hari itu hanya menjadi jalur untuk harapan dan tujuan hidup lewat begitu saja sebelum kita dapat menggapainya.
Di tengah-tengah situasi yang begitu gelap ini, kita bisa melihat ada cahaya terang sebagaimana dicatat di bagian tengah Kejadian pasal 5. Keturunan Adam yang ketujuh, Henokh, dicatat sebagai orang yang hidup bergaul dengan Allah. Alkitab tidak mencatat “lalu ia mati,” melainkan “lalu ia tidak ada lagi, sebab ia telah diangkat oleh Allah.” Untuk mengerti tentang apa yang dimaksud dengan Henokh hidup bergaul dengan Allah, kita harus membuka Ibrani 11:5, “Karena iman Henokh terangkat, supaya ia tidak mengalami kematian… sebab… ia berkenan kepada Allah.” Jadi Allah berkenan kepada imannya. Iman yang berpaling kepada Allah, yang percaya bahwa Allah ada dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia (ay. 6). Henokh juga percaya bahwa Allah akan menghakimi manusia yang menolak Allah, yang terus menjalani kehidupan yang fasik (Yud. 1:14-15). Henokh hidup bergaul dengan Allah bukan hanya sesaat, tetapi seumur hidupnya selama tiga ratus tahun! Tiga abad Henokh menjalani hidup makin hari makin dekat dengan Allah.[6]
Kontras dengan Henokh yang diangkat oleh Allah dan tidak mengalami kesakitan ataupun kematian, Alkitab menceritakan tentang satu Pribadi yang justru lahir untuk mati–lahir untuk dihina, disiksa, diejek, diperlakukan tidak adil, dan akhirnya dibunuh–yaitu Tuhan Yesus Kristus. Matius 20:28 menyampaikan dengan jelas bahwa Anak Manusia datang untuk memberikan nyawa-Nya. Ia turun dari sorga, lahir di kandang binatang, dan hidup di dunia yang berdosa ini untuk menjadi tebusan bagi banyak orang.
Natal bukan tentang memasang pohon yang dihias dengan indah. Natal bukan tentang berkumpul bersama keluarga dan teman-teman sambil makan malam yang mewah dan bertukar kado. Natal bukan tentang sibuk memburu sale di toko sana dan sini. Natal seharusnya menjadi momen untuk kita merenungkan dan mengerti mengapa Allah rela turun ke dunia berinkarnasi menjadi manusia. Natal adalah waktu untuk kita pakai merenungkan apa yang dimaksud dalam Ibrani 10:9, yang mengatakan bahwa Tuhan Yesus Kristus datang ke dunia untuk melakukan kehendak Bapa di sorga, yaitu untuk menggenapi keselamatan yang sudah disediakan oleh Allah Bapa.
Kita tidak akan bisa hidup bergaul dengan Bapa, kalau tidak melalui Tuhan Yesus Kristus (Yoh. 14:6). Yesus datang bukan hanya sebagai Nabi, atau hanya sebagai Imam, atau hanya sebagai Raja, tetapi Yesus datang untuk menjadi Juruselamat satu-satunya bagi manusia. Juruselamat adalah Dia yang menyelamatkan kita, yang mengampuni dosa kita, dan yang memberikan hidup yang baru, hidup yang kekal bagi kita. Juruselamat adalah Dia yang melepaskan kita dari hukuman akibat dosa. Juruselamat adalah Dia yang melepaskan kita dari kuasa dosa.[7]
Bagi kita yang sudah lama menjadi orang Kristen (bahkan mungkin sejak masih di dalam kandungan!), hal-hal yang disebutkan di atas terdengar sangat klise. Basi! Poin-poin tersebut merupakan teori atau doktrin yang hanya perlu untuk dihafal sejak kita kecil, tetapi tidak pernah bisa dimengerti bagaimana praktiknya dalam kehidupan sehari-hari. Akhirnya, iman kita kepada Tuhan Yesus Kristus tidak membuat hidup kita berbeda dengan orang lain yang tidak beriman kepada Tuhan Yesus Kristus.
Sebagai orang Kristen, kita bukan hanya harus mengerti doktrin dan worldview yang benar, tetapi kita harus bertindak berdasarkan doktrin dan worldview yang benar ini. Pekerjaan keselamatan yang Tuhan Yesus Kristus lakukan untuk kita sudah sewajarnya membuat cara berpikir dan tindakan kita berbeda dengan orang-orang yang non-Kristen.
Jadi, sebagaimana Tuhan Yesus Kristus lahir untuk mati, kita sebagai pengikut-Nya sebenarnya juga dipanggil untuk mati–kita harus mati supaya kita bisa hidup. Rasul Paulus di dalam Surat Roma mengatakan bahwa kita telah mati bagi dosa, maka kita tidak bisa lagi hidup di dalamnya (Rm. 6:2). Penebusan yang Tuhan Yesus Kristus kerjakan bagi kita, telah mengubah kita menjadi manusia baru, yang tidak pernah boleh mundur kepada kehidupan lama kita. Maka, satu-satunya opsi adalah untuk maju, untuk hidup mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah (Rm. 12:1).
Kita juga harus mati bagi keinginan-keinginan kita. Ini berarti kita harus mengutamakan 1) keinginan Tuhan di dalam hidup kita dan 2) kebutuhan orang lain. Lukas 9:23-24 mencatat perkataan Tuhan Yesus, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari, dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya.” Masalahnya bukan kita tidak mengerti tentang ini, tetapi kita tidak percaya. Atau kalaupun kita percaya, kita hanya percaya ini akan terjadi pada orang lain dan bukan pada diri kita. Kita pikir bahwa dengan menyangkal diri kita akan menderita. Pemikiran seperti ini menunjukkan kegagalan iman kita, ketidakpercayaan kita akan Tuhan Yesus Kristus dan janji-Nya. Kita memilih untuk percaya kepada ajaran dunia ini, yang jika mereka boleh meng-edit Ucapan Bahagia di Matius 5, akan menjadi seperti ini, “Berbahagialah mereka yang kaya, karena mereka bisa mendapatkan semua yang diinginkan; berbahagialah mereka yang berkuasa, karena mereka bisa mengatur sesamanya; berbahagialah mereka yang bergaul dengan bebas, karena mereka akan dipuaskan; berbahagialah mereka yang terkenal, karena mereka akan didambakan.”
Pada kenyataannya kita sebenarnya tahu bahwa dunia menawarkan janji palsu. Hanya Tuhan Yesus Kristus yang tidak pernah berbohong. Setiap ucapan-Nya dapat diandalkan. Maukah kita percaya kepada Dia tentang hal ini, sama seperti kita percaya akan janji-Nya yang lain (misalnya, bahwa Dia sanggup menyembuhkan penyakit kita dan sanggup membawa kita ke sorga)? Jika kita percaya, kita akan rela untuk mempersembahkan diri kita sebagai persembahan yang hidup. Di dalam bahasa Inggris, dipakai kata-kata living sacrifices. Di dalam Perjanjian Lama, ada banyak catatan tentang sacrifice dan diterjemahkan menjadi korban. Ini merupakan satu istilah yang sangat menakutkan. Dunia mengajarkan kita untuk tidak perlu berkorban sama sekali, malah kalau bisa kita harus mendapatkan lebih banyak lagi. Tetapi, inilah firman Tuhan. Inilah perintah Tuhan kepada kita supaya kita mengorbankan diri kita, dan inilah yang baik dan yang berkenan kepada Allah, walau mungkin kita tidak bisa melihatnya sekarang atau selamanya.[8]
Kita lahir bukan untuk sekadar menunggu mati. Kita justru harus aktif, setiap hari mematikan diri demi hidup bergaul dengan Allah dan melakukan kehendak-Nya, karena Tuhan Yesus Kristus sudah terlebih dahulu memberikan teladan ini–Ia mati supaya kita bisa hidup. Dan pada akhirnya, hanya Allah saja yang bisa dan berhak menilai apakah kita sudah menjalani hidup yang berkenan di hadapan-Nya. Matius 17:5 mencatat, “Dari dalam awan itu terdengar suara yang berkata: ‘Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia.’”
Maukah kita mendengarkan panggilan-Nya untuk mengikuti teladan-Nya? Mari kita sadar akan panggilan yang mulia ini! Selamat menghidupi semangat Natal.
Widya Sheena
Pemudi FIRES
References:
[1] http://www.worldometers.info/world-population/.
[2] http://www.theworldcounts.com/stories/How-Many-Babies-Are-Born-Each-Day.
[3] http://www.psychologytoday.com/us/articles/201407/parents-just-dont-understand.
[4] Bronk, K. C., Finch, W. H., Talib, T. L. 2010. Purpose in life among high ability adolescents. High Ability Studies, Vol. 21 (2): 133-145.
[5] http://www.pursuit-of-happiness.org/history-of-happiness/aristotle/.
[6] Hughes, R. K. 2004. Genesis. Crossway Books. Illinois. Page 117-122.
[7] Tong, S. 2014. Yesus Kristus Juruselamat Dunia. Momentum. Surabaya.
[8] Boice, J. M. 1993. Mind Renewal in a Mindless Age. Baker Books. Michigan. Page 11-34.