Fondasi
Dalam rangkaian SPIK (Seminar Pembinaan Iman Kristen) bagi Generasi Baru, Pdt. Stephen Tong sudah mengulas 2 tema penting mengenai Allah Tritunggal (6 Desember 2014) dan Predestinasi (14 Maret 2015). Sebagai salah satu bentuk tindak lanjut dari SPIK tersebut, Buletin PILLAR dalam beberapa edisi akan membahas mengenai tema Tritunggal. Secara lebih spesifik, dalam artikel ini penulis akan merenungkan mengenai kaitan antara doktrin Tritunggal dan aspek relasi, persekutuan, dan kehidupan bergereja. Seperti yang sudah dijelaskan dalam SPIK, istilah literal Tritunggal memang tidak muncul di dalam PL dan PB. Namun esensi pengertian mengenai Tritunggal sudah terkandung di dalam PL, dan semakin jelas terlihat di dalam PB. Beberapa dasar mengenai Tritunggal dapat kita hayati melalui ayat-ayat seperti Kejadian 1:26, Ulangan 6:4, Matius 28:19, dan 2 Korintus 13:14. Pengertian mengenai Tritunggal memiliki suatu keistimewaan yang tidak dimiliki oleh konsep monotheisme dan politheisme. Misalkan saja sifat-sifat khusus seperti one-and-many, unity-and-diversity, dan universal-and-particular.[1]
Dalam perkembangannya, ada penemuan dan perenungan spesifik mengenai istilah-istilah yang lebih teknis. Misalkan saja: esensi (essence), natur (nature), keberadaan (being), dan pribadi (person).[2] Istilah esensi dimengerti sebagai unsur intrinsik, properti yang tidak bisa dipisahkan, dan ciri-ciri dasar yang membentuk suatu identitas. Pengertian natur lebih dekat ke arah suatu karakter dan kualitas dasar. Terkadang istilah esensi dan natur digunakan secara bergantian. Keberadaan adalah suatu keadaan, situasi, atau kualitas yang “berada” (exist). Pengertian pribadi adalah suatu karakteristik yang membentuk personalitas individu yang unik. Misalkan saja, suatu pribadi bisa memiliki otoritas, kebebasan, perasaan, dan keinginan. Dalam perkembangannya, nanti kita bisa semakin mengerti bahwa Allah Tritunggal adalah Allah yang memiliki satu Esensi dan tiga Pribadi (One Essence and Three Persons). Allah Tritunggal (dengan ketiga Pribadi-Nya) sudah berada di dalam kekekalan dalam relasi saling mengasihi yang harmonis. Sepanjang sejarah, serangan dan bidat-bidat mengenai Tritunggal biasanya hanya menekankan ke salah satu ekstrem. Misalkan saja ada yang hanya menekankan sifat keesaan Allah, kemajemukan Allah, ataupun menghayati salah satu Pribadi hanya sebagai kuasa yang abstrak (bukan sebagai pribadi). Kesalahmengertian terhadap Tritunggal akan memiliki dampak langsung terhadap pengertian mengenai Yesus Kristus (Kristologi). Misalkan, jika kita hanya percaya hanya ada satu pribadi Allah, berarti kita langsung meragukan keilahian Kristus. Atau setidaknya menempatkan Kristus dalam posisi yang lebih rendah secara derajat dari Allah Bapa.
Relevansi
Pengenalan akan Allah dan pengenalan akan diri memiliki kaitan yang dinamis dan erat. Maka dari itu, pengertian yang tepat mengenai Allah Tritunggal tentunya akan memiliki dampak terhadap pengenalan diri, dan akhirnya ke dalam aspek praktis atau keseharian kita. Buletin PILLAR sendiri telah beberapa kali membahas mengenai Allah Tritunggal yang dikaitkan dengan aspek seni, sejarah, bahasa, kehidupan doa, kerendahan hati, dan komunitas.[3] Dalam artikel “Allah Tritunggal dan Seni”, dijelaskan mengenai kerangka Trinitarian dalam menganalisis seni. Allah Bapa selalu digambarkan sebagai yang menjadi sumber, yang umum, yang prinsip, dan yang abstrak. Allah Anak selalu digambarkan sebagai yang manifestasi, yang khusus, detail, dan yang konkret. Sedangkan Roh Kudus selalu digambarkan sebagai yang mengasosiasikan, yang mendekatkan, yang menyatukan, dan yang membawa perubahan. Artikel “Allah Tritunggal dan Sejarah” menyoroti elemen unity and diversity di dalam sejarah. Di dalam setiap peristiwa sejarah ada aspek keterkaitan, dan setiap sejarah menjadi tonggak untuk sejarah-sejarah yang akan terjadi di waktu berikutnya. Setiap kejadian juga bersifat unik pada esensinya; dalam artian ketidakmungkinan untuk terulang kembali dengan sama. Sejarah memiliki sifat keunikan dan mengandung unsur kesatuan dan keberagaman di dalamnya. Artikel “Doa kepada Allah Tritunggal” mencerminkan betapa besarnya Allah dan betapa kecil dan terbatasnya diri manusia. Seperti yang dinyatakan oleh penulis: “Izinkanlah aku mengerti Tritunggal, bukan untuk menyingkapkan apa yang tidak Kausingkapkan, namun kiranya dengan semakin menyadari paradoks, semakin kekagumanku melimpah. Melalui firman-Mu aku mengetahui bahwa Bapa adalah Allah; Anak adalah Allah; Roh Kudus adalah Allah.” Melalui artikel “Tritunggal dan Kerendahan Hati”, kita juga belajar aspek penyangkalan diri dan merendahkan diri, terutama dari pribadi Kristus.
Relasi dan Persekutuan
Relasi antarmanusia di dalam masyarakat dan persekutuan antarorang percaya juga tidak bisa lepas dari pengertian yang benar akan Allah. Allah Tritunggal adalah Allah yang memiliki relasi persekutuan yang begitu sempurna. Sejak mulanya, ketiga Pribadi Allah, yakni Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus sudah saling mengasihi dan memiliki persekutuan yang indah dan mesra. Inilah yang menjadi dasar bahwa manusia memerlukan hidup berkomunitas dan berelasi dengan orang lain. Karena manusia dicipta sesuai dengan peta dan teladan Allah, maka sifat-sifat Allah juga turun kepada manusia, termasuk sifat untuk bersekutu. Di sisi lain, keunikan ketiga Pribadi Allah tidak terhapus karena alasan aspek persekutuan ini. Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus adalah Allah dan sekaligus tetap memiliki keunikan-Nya tersendiri. Lebih jauh lagi, aspek kesatuan antara orang-orang percaya juga dapat kita lihat dengan jelas melalui doa Yesus di Yohanes 17. Tuhan Yesus berdoa bagi para murid dan setiap orang yang akan percaya supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Kristus dan Bapa adalah satu. Melalui ayat-ayat ini, kita sadar bahwa pengertian akan relasi Bapa di dalam Kristus dan Kristus di dalam Bapa, akan memengaruhi relasi kita juga dengan saudara-saudara seiman. Prinsip ini jugalah yang Paulus nyatakan ketika menghadapi isu perpecahan di dalam jemaat Korintus. Adakah Kristus terbagi-bagi? Demikianlah pertanyaan yang Paulus ajukan kepada jemaat Korintus. Kemudian dalam 1 Korintus 12 Paulus melanjutkan mengenai konsep tubuh Kristus. Ada banyak anggota yang berbeda-beda, dan semuanya saling melengkapi di dalam satu tubuh. Suatu prinsip unity and diversity yang hanya bisa kita hayati di dalam pengenalan akan Allah Tritunggal.
Lay Ministry Community
Dalam konteks kita saat ini, dapat dilihat suatu fenomena yang disebut “silent majority”.[4] Suatu kelompok yang berjumlah besar (mayoritas), tetapi bersifat pasif dan tidak terlalu menjalankan fungsinya. Fenomena ini terjadi tidak hanya di dalam kehidupan bernegara atau bermasyarakat, bahkan dalam konteks bergereja. Jika dilihat melalui perspektif tubuh, tentunya hal ini sangat mengkhawatirkan. Jika salah satu bagian tubuh tidak berfungsi atau lumpuh, pasti akan memengaruhi keseluruhan tubuh secara negatif. Dengan latar belakang dan tantangan seperti ini, Dr. Tim Keller menekankan suatu konsep yang ia sebut Lay Ministry Community.[5] Mereka adalah sekelompok orang awam yang mendapatkan pelatihan dan bimbingan secara lebih personal, sehingga mereka mampu menjalankan sesuai fungsi dan takaran mereka secara aktif dan dinamis. Kelompok ini tentunya harus memiliki pengertian sentralitas Injil, sikap hati yang mau inkarnasi, dan mengerti arah besar gereja lokal tempat mereka beribadah. Secara implementasi, mereka tidak harus bergerak di dalam wadah atau struktur yang resmi. Lay Ministry Community bergerak dengan lebih bersifat misionaris, aktif, dinamis, dan relasional. Pelayanan ini bagaikan darah atau syaraf yang tidak kelihatan dari luar, tetapi terus-menerus bekerja dan menyebar ke seluruh tubuh. Dari perspektif ini, juga ada perubahan cara pikir pelayanan dari paradigma “come and see” menjadi “go and share”.
Sedikit contoh-contoh nyata dari pelayanan ini adalah sebagai berikut: (i) Dua orang sahabat yang saling bercerita mengenai pergumulan satu sama lain. Ketika salah seorang dari mereka sedang sakit, kemudian mereka sama-sama berdoa, dan juga memberikan rekomendasi artikel atau buku yang sesuai dengan pergumulan orang tersebut. (ii) Saat jam makan siang kantor, beberapa kolega sedang mengeluhkan perlakuan bos yang buruk, juga sistem manajemen perusahaan yang banyak kekurangan. Seorang Kristen di meja itu kemudian memberikan perspektif yang lebih menyegarkan dan menyukakan. Ia bercerita bahwa ia tetap bekerja dengan lebih sejahtera karena ia mengarahkan pandangannya kepada Tuhan, yang berada di atas bos tersebut. Juga bekerja ia lihat sebagai perpanjangan tangan Tuhan dalam memelihara dunia ciptaan. (iii) Tiga orang ibu rumah tangga yang tinggal berdekatan, secara bergantian sesekali mengumpulkan anak-anak untuk kemudian mengingatkan mereka mengenai pesan firman Tuhan yang mereka dengar di Sekolah Minggu. (iv) Seorang pemuda profesional sesekali datang ke kampus untuk membagikan pengalamannya di dunia pekerjaan. Kemudian ia lebih mempersiapkan mahasiswa yang sebentar lagi akan lulus agar dapat bekerja dengan lebih bertanggung jawab sebagai orang Kristen. (v) Seorang yang baru pertama kali datang ke persekutuan, kemudian diajak makan siang atau malam bersama. Dari sana ia bisa mengenal anggota-anggota persekutuan lain secara lebih mendalam dan kemudian membagikan beban pelayanannya untuk wadah persekutuan tersebut. (vi) Enam orang kawan seniman sedang menikmati lukisan di suatu museum. Seorang seniman Kristen di antara mereka kemudian juga membagikan interpretasi lukisan berdasarkan iman Kristen yang sudah ia gumulkan. Kawan-kawannya kemudian menjadi agak terbuka terhadap kekristenan.
Hal-hal di atas hanyalah contoh sederhana mengenai beberapa pelayanan yang bisa dilakukan dalam takaran Lay Ministry Community. Pelayanan-pelayanan seperti ini dapat dilakukan secara lebih berkesinambungan, tanpa harus menunggu momen-momen khusus atau acara-acara besar. Penulis secara pribadi melihat bahwa GRII telah berusaha memperlengkapi jemaat dengan berbagai wadah yang ada. Mulai dari wadah Pendalaman Alkitab, seminar-seminar, kelas theologi untuk kaum awam, dan pelatihan KKR Regional. Hal ini tentu sangatlah baik. Setelah dibekali seperti ini, yang diharapkan adalah agar jemaat bisa menjadi garam dan terang dalam takaran dan lingkup masing-masing. Dan alangkah lebih membangun dan menguatkan jika kita sebagai jemaat bisa secara aktif dan terus-menerus melayani orang-orang di sekeliling kita tanpa harus menunggu event-event yang lebih besar seperti KKR Regional, SPIK, KIN, ataupun Gospel Rally. Dengan begini, ketika kita mengundang teman dan kerabat kita ke event-event tersebut, undangan tersebut akan terasa lebih personal dan natural.
Potensi dan Kebahayaan
Setiap wadah dan sarana pelayanan pasti memiliki potensi dan kebahayaan tersendiri. Untuk konteks Lay Ministry Community, sarana ini memiliki kekuatan untuk dapat melibatkan keseluruhan jemaat dengan lebih dinamis dan fleksibel. Jemaat secara lebih menyeluruh didorong untuk dapat menggumulkan dan mengaitkan prinsip-prinsip firman di dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begini, kebahayaan dualisme sacred-secular bisa lebih diperangi. Prinsip pelayanan yang personal dan organik juga lebih dapat dijalankan melalui sarana ini. Di saat yang sama, beberapa kebahayaan dan limitasi perlu diwaspadai. Jika kaum awam belum terlalu menggumulkan sentralitas Injil dan arah besar gereja lokal, bisa ada kecenderungan bergerak sendiri dengan arah yang belum tentu sesuai.[6] Hal ini mirip seperti sel kanker dalam tubuh yang sebenarnya adalah sel “biasa” yang kemudian membelah diri dengan lebih cepat, tidak terkendali, dan kemudian tidak berfungsi seperti yang seharusnya. Aspek koordinasi memang akan menjadi tantangan tersendiri. Dalam konteks keseharian penulis, bisa dimengerti betapa sulitnya untuk memastikan setiap kelompok kecil (baik dalam institusi gereja maupun parachurch) berada dalam kondisi dan jalur yang seharusnya. Dengan menyadari tantangan ini, aspek komunikasi dan relasi antara kaum awam dengan pelayan-pelayan lain secara institusional dan hamba Tuhan menjadi sangat penting. Dr. Tim Keller sendiri menyarankan agar pertemuan-pertemuan seperti ini bisa dijalankan sedikitnya sebulan sekali.
Penutup
Relasi yang harmonis, tidak menonjolkan diri, dan saling mengasihi antara Pribadi Tritunggal tentunya menjadi model sempurna dari suatu komunitas dan masyarakat. Terlebih lagi, Yesus Kristus sendiri mendoakan agar orang percaya menjadi satu, sama seperti Yesus dan Bapa adalah satu. Perenungan mengenai Lay Ministry Community tentunya sangat menarik dan signifikan, terutama agar setiap anggota tubuh Kristus dapat melakukan bagiannya masing-masing secara aktif, organik, dinamis, saling melengkapi, dan menyeluruh. Namun kita juga tidak menghayati ide ini secara naif dan idealis. Kita sadar bahwa kita masih hidup di dunia yang sudah jatuh dalam dosa, dan juga sangat terbatas dalam ruang dan waktu. Sungguh tidak mudah untuk dapat mengharmoniskan dan memberikan penekanan seimbang antara dinamika kesatuan dan keberagaman, gambaran besar dan gambaran detail, juga visi besar keseluruhan dengan keistimewaan masing-masing pribadi jemaat. Kita bisa terus doakan agar masing-masing jemaat semakin mengenal peran dan menjalankan fungsinya untuk terus membangun tubuh Kristus.
Juan Intan Kanggrawan
Redaksi Bahasa PILLAR
Referensi:
1. Every Small Group Needs a Vision
2. The Big God in Your Small Group
3. PoythressVernRedeemingSociology.pdf
4. The Gospel Centered Church
Endnotes:
[1] Hal-hal ini mengarah kepada isu-isu filosofis. Suatu cabang pemikiran atau filsafat cenderung hanya akan menekankan kepada salah satu aspek saja. Misalkan Pantheisme yang lebih menekankan kepada aspek unity dan mengesampingkan diversity. Alam dianggap identik dengan allah, dan pemikiran Pantheisme memegang prinsip all is one.
[2] Beberapa istilah ini muncul dalam Konsili Nicea yang pertama dan Chalcedon. Misalkan saja: (i)“…begotten, not made, of one Being with the Father” (ii)“…One and the Same Christ, Son, Lord, Only-begotten; acknowledged in Two Natures unconfusedly, unchangeably, indivisibly, inseparably; the difference of the Natures being in no way removed because of the Union, but rather the properties of each Nature being preserved, and (both) concurring into One Person and One Hypostasis”.
[3] Allah Tritunggal dan Seni, Allah Tritunggal dan Sejarah, Allah Tritunggal dalam Bahasa, Doa kepada Allah Tritunggal.
[4] Dalam konteks politik, hal ini merujuk kepada kelompok masyarakat yang besar dan signifikan. Namun mereka hanya diam saja dan tidak menyuarakan pendapat-pendapat mereka secara publik. Istilah silent majority dipopulerkan oleh Presiden Richard Nixon dalam pidatonya pada tanggal 3 November 1969. Namun Nixon bukanlah orang pertama yang menggunakan istilah ini.
[5] Pdt. Aiter juga pernah menyinggung mengenai tema kebangkitan kaum awam di dalam salah satu sesi NREC. Suatu konsep pelayanan integratif yang melibatkan kaum awam, pelayan di berbagai wadah dan institusi, dan hamba Tuhan.
[6] John Piper memberikan peringatan yang kuat dalam satu artikelnya (every small group needs vision). Tanpa sentralitas Injil dan arah yang jelas, suatu kelompok kecil akan mati secara tidak disadari dan perlahan, tanpa menghasilkan dan mengerjakan apa-apa.