,

Lima Kebangunan dan Penginjilan

Setelah berturut-turut kita menyinggung secara singkat soal lima kebangunan, kini saatnya kita membicarakan elemen keenam, yaitu penginjilan. Penginjilan menjadi kunci yang mutlak di dalam mengerti kebangunan. Sebab, tidak akan pernah ada kebangunan tanpa penginjilan. Itu adalah sebuah fakta. Kebangunan doktrin, epistemologi, etika, pelayanan, dan mandat budaya tidak akan pernah eksis di dalam dunia ketika Injil, satu-satunya kekuatan Allah yang sanggup menyelamatkan setiap orang percaya, tidak pernah diberitakan.

Kelahiran baru seseorang, yang menjadi awal dari hadirnya kebangunan spiritual, hanya mungkin terjadi dari iman yang timbul karena mendengar firman Kristus. Dari sanalah Roh Kudus akan bekerja secara efektif di dalam hidup orang percaya, menjadikan mereka sebagai “yang baru” dari Allah, dan juga akan memimpin mereka kepada kesempurnaan.

Tetapi, sering kali kekristenan berhenti pada kesimpulan yang setengah benar dan berakibat pada perkembangan iman Kristen yang salah sepenuhnya. Hal ini sangat disayangkan, yaitu ketika umat (dan para rohaniwannya) mengerti penginjilan hanya sebagai sebuah jalan menuju sorga (dan keuntungan-keuntungan lainnya). Roma 10:9 menjadi ayat yang paling sering disalahmengerti. Tidak jarang pengakuan Kristus sebagai Tuhan menjadi sesuatu yang sangat murahan. Padahal, mengaku Kristus sebagai Tuhan melalui mulut, dan juga memercayai-Nya dalam hati, memiliki risiko yang sangat besar pada konteks masyarakat Roma saat itu. Predikat sebagai pengkhianat terhadap kaisar otomatis tersematkan kepada mereka, dan hukuman mati menjadi akibatnya.

Konteks kekinian yang nyaris tanpa risiko, ditambah dengan pengajaran-pengajaran theologi yang man-centered pada beberapa dasawarsa terakhir, menjadikan panggilan untuk datang kepada Kristus memiliki harapan yang berbeda. Bila sebelumnya datang kepada Kristus berbicara soal ke-Tuhan-an-Nya atas orang percaya, kini orientasinya adalah soal pemenuhan kebutuhan “umat”. Pergeseran orientasi inilah yang menjadikan pemahaman tentang Injil menjadi seperti bonsai. Ketika sorga (dan segala yang diharapkan tiba ketika menerima Kristus) tersebut dirasa telah terjamin, kehidupan iman kristiani yang seharusnya juga dirasa telah selesai.

“Injil yang lain” inilah yang menjadikan apa yang diterima oleh masyarakat kristiani sebagai pseudo-gospel. Ia tidak membawa orang-orang Kristen kepada pertumbuhan selanjutnya (lima kebangunan). Karena sedari awal memang bukan Injil yang sesungguhnya yang sampai kepada mereka. Kematian dan kebangkitan Kristus tidak berbicara soal sekadar membawa manusia ke sorga, sehingga seolah-olah segala hal yang berkaitan dengan dunia “yang di sini” tak perlu. Konteks semacam inilah yang menjadi teguran dari Rasul Paulus kepada jemaat di Tesalonika (2Tes. 3:10).

Covenant of Works dan Covenant of Grace
Ketika Adam belum jatuh ke dalam dosa, ia sudah diperintahkan untuk bekerja. Ia bekerja di dalam perintah Allah untuk mengusahakan taman, beranak cucu, memenuhi bumi, dan seterusnya. Di sini kita melihat bahwa sejak semula Tuhan sudah menetapkan panggilan Adam di dalam ikatan covenant of works. Perintah-perintah ini menuntut ketaatan. Paradigmanya sederhana, bila Adam taat, Tuhan akan menyediakan berkat. Sebaliknya, bila Adam tidak taat, kutuk dan kematian yang menjadi akibat.

Sebagai perwakilan dari seluruh umat manusia, Adam yang pertama telah gagal untuk menjalankan panggilan Tuhan di dalam ketaatan. Manusia menjadi terbuang, dan dunia menjadi terkutuk karenanya. Sebuah kondisi yang berat, tetapi yang juga sesungguhnya lebih baik dari konsekuensi yang seharusnya. Manusia seharusnya langsung mati. Namun karena anugerah umum yang diberikan Tuhan, manusia dan dunia mendapatkan kesempatan kali kedua untuk kembali berjalan di dalam jalan Tuhan.

Jalan itu nanti dimunculkan melalui Kristus, yang akan menjadi perantara kita. Adam kedua dan yang terakhir ini menyatakan ketaatan yang mutlak sebagai manusia. Melalui-Nyalah setiap orang percaya yang dipanggil dan dihisap ke dalam tubuh Kristus memperoleh jalan penebusan (covenant of grace). Sehingga, bukan saja mereka telah memperoleh pengampunan dan keselamatan, tetapi lebih dari itu adalah kapabilitas untuk kembali mengerjakan pekerjaan baik yang sudah Tuhan sediakan sebelumnya. Mengerjakan misi untuk sekali lagi kembali memenuhi, menaklukkan, dan menguasai bumi di dalam fungsi sebagai raja, imam, dan nabi.

Sebagai nabi, kita memperoleh akses pengetahuan akan kebenaran yang diperlukan untuk mengerjakan kembali panggilan kita di hadapan Tuhan. Pengetahuan ini berasal dari Tuhan, melalui wahyu umum dan khusus-Nya yang menjadikan kita mengerti (dan mampu menuntaskan) panggilan kita di dalam covenant of grace melalui Kristus. Pemahaman-pemahaman yang dibukakan ini yang akan menuntun kita di dalam fungsi raja, yaitu untuk menaklukkan, mengatur, dan menguasai dunia ciptaan (termasuk diri kita sendiri) untuk tunduk kepada Tuhan. Melalui semua kapabilitas dalam fungsi raja itu, kita membawa kembali hasil penaklukan, pengelolaan, dan pengaturan dunia ciptaan kepada Tuhan sebagai seorang imam. Di dalam fungsi imam, kita membawa seluruh yang telah kita olah berdasarkan kehendak-Nya kembali kepada Dia, sebagai sebuah persembahan yang suci.

Covenant of works dan covenant of grace sesungguhnya merupakan sebuah kesatuan. Sebelum jatuh ke dalam dosa, kita adalah makhluk yang terikat untuk bekerja bagi Allah. Hanya di dalam penggenapan kehendak-Nyalah ada makna dan sukacita sejati bagi manusia. Setelah jatuh dalam dosa, Tuhan berbelaskasihan dengan menghadirkan penebusan. Yang tujuannya bukan untuk sekadar memberikan kaveling di sorga bagi kita, melainkan supaya kita bisa kembali mengerjakan panggilan kita sebagai gambar dan rupa Allah; memenuhi bumi dengan sifat-sifat yang Ilahi. Sehingga rahmat bagi seluruh alam semesta bisa hadir secara nyata. Ketika dunia sepenuhnya diisi oleh sifat-sifat Ilahi, di sanalah baru kita dapat katakan bahwa “peace on earth”, “shalom” itu tiba.

Di sinilah peran penginjilan menjadi sangat signifikan. Tidak akan mungkin ada manusia yang mau dan sanggup mengerjakan segala sesuatu di dalam kehendak Tuhan bila ia tidak terlebih dahulu dilahirbarukan. Tidak akan pernah terjadi kebangunan moral dan intelektual di dalam hidup manusia tanpa terlebih dahulu ia dibangunkan secara spiritual. Kebangunan spiritualitas/kerohanian seseorang menjadi dasar dari kebangunan moral dan intelektual di atasnya.

Penginjilan adalah kunci. Sebab pada konteks covenant of works, manusia dan kondisi sekelilingnya belum berada dalam lingkup dosa. Sedangkan konteks dari covenant of grace adalah setelah manusia dan dunia jatuh ke dalam dosa. Di sini ada satu sifat pekerjaan yang sangat penting yang hanya dimiliki dalam lingkup covenant of grace. Segala sesuatu yang dikerjakan di dalam talian dari perjanjian anugerah membawa kekuatan yang bersifat redemptive.

Didache, Kerygma, dan Marturia
Injil dan penginjilan memang penting, tetapi ia bukan segalanya. Injil dan penginjilan baru sebuah permulaan. Dan sama seperti semua permulaan, ia belum berakhir. Masih ada seperangkat hal yang harus dibangun di atas dasar kuasa Injil. Di dalam bukunya Redemptive History and the New Testament Scriptures, Herman Ridderbos mengungkapkan ada tiga hal yang menjadi ekspresi dari kuasa penebusan dalam kehidupan kristiani. Dua hal pertama tidak akan kita bahas lebih jauh karena keterbatasan tempat. Kita akan lebih berfokus pada hal yang ketiga nantinya.

Pertama adalah berbicara tentang Didache, pengajaran. Kehidupan manusia yang telah ditebus tidak mungkin lepas dari pengajaran iman yang benar, sehat, jelas, dan tegas. Orang yang ditebus oleh Tuhan tidak mungkin tidak mau untuk makin mengenal Tuhan secara mendalam, detail, dan tepat. Dorongan itu pasti ada, karena dorongan tersebut berasal dari pekerjaan Roh Allah di dalam orang percaya. Aktivitas belajar-mengajar memang sudah seharusnya berada pada pusaran kehidupan umat.

Kedua adalah berbicara tentang Kerygma, proklamasi. Kehidupan umat Allah yang sejati tidak akan pernah terlepas dari proklamasi secara verbal tentang Injil dan iman kepada khalayak ramai. Sebesar apa pun jumlah pendengarnya, baik KKR nasional maupun PI pribadi, kedua-duanya harus terjadi. Pengupayaan tersebut harus terus mengisi pergumulan hati setiap orang percaya. Tak ada ruang kompromi dan diskusi, baik perihal muatannya (bahwa hanya Kristus Yesus satu-satunya Juruselamat dunia), maupun perihal pelaksanaannya kepada masyarakat yang sangat plural. Penginjilan bukanlah upaya kristenisasi—upaya sekadar menambah jumlah orang yang berlabel Kristen. Penginjilan bukan itu!

Ketiga adalah berbicara tentang Marturia, kesaksian. Tidak akan pernah ada kesaksian tanpa interaksi sosial di ruang publik. Secara sederhana, kita dapat mengkategorikan konteks masyarakat sosial yang harus dihadapi ke dalam dua ragam. Pertama adalah konteks masyarakat di mana kepercayaan kristiani dominan di tengah-tengah masyarakat. Konteks kedua adalah pada situasi di mana kepercayaan kristiani bukan mayoritas, dan hadir di tengah-tengah banyak kepercayaan besar. Konteks yang kedua lebih dekat dengan kondisi masyarakat Indonesia. Dan kita sebagai umat kristiani Tuhan tempatkan ke dalam konteks tersebut. Maka, pergumulan dan interaksi kita tidak mungkin lepas dari situasi dan kondisi yang Tuhan munculkan tersebut.

Sebelumnya perlu saya perjelas bahwa kesaksian yang dimaksud tidak hanya berbicara pada ekspresi moral. Sebab berbicara kesaksian kristiani, ia punya makna, kerangka, dan ekspresi yang jauh lebih dalam dan luas, serta melampaui dari sekadar menjadi orang bermoral. Sebuah tuntutan yang sangat mengerikan. Namun tuntutan itu adalah sebuah fakta yang harus kita terima sebagai umat Allah. Dan sejarah telah membuktikan bahwa yang memampukan umat Allah bersaksi di tengah-tengah dunia hanyalah Roh Allah yang turut bekerja untuk menyatakan kuasa dan kemuliaan-Nya.

Kesaksian kristiani membawa makna bahwa orang-orang Kristen dipanggil pula oleh Allah untuk menjadi bagian dari solusi problem sosial. Maksudnya adalah, bahwa prinsip-prinsip kebijaksanaan dari Kitab Suci memang seharusnya dibawa dan diterjemahkan menjadi nilai-nilai yang diadopsi ke dalam kerangka kehidupan masyarakat. Semangat ini pernah dinyatakan oleh Yohanes Calvin melalui buku biografinya Calvin: Asal-Usul dan Perkembangan Pemikiran Religiusnya, yang ditulis oleh François Wendel. Calvin menyatakan bahwa ada tiga fungsi dari Taurat yang telah terukir pada hati manusia. Dua fungsi secara khusus membawa kebaikan bagi orang percaya. Sedangkan yang satu lagi berguna untuk membawa kebaikan bagi semua manusia, yaitu untuk menahan perkembangan lebih jauh dari kejahatan akibat dosa.

Di sinilah titik krusial dari kehidupan kristiani di ruang publik. Ketika masyarakat Kristen makin tidak peduli dan menarik diri dari kehidupan ruang publik, fungsi penahan kejatuhan (garam dan terang) yang diembankan kepada umat Allah ini makin kerdil. Betul bahwa kita bukanlah juruselamat, dan nasib dunia juga tidak berada dalam tangan kita (melainkan tangan Tuhan, yang juga bekerja melalui anugerah umum-Nya). Tetapi, menafikan tugas panggilan sebagai “garam dan terang” tersebut adalah sebuah kejahatan iman juga kemanusiaan. Kejahatan iman karena kita menyangkali identitas kita yang telah diberikan Tuhan. Kejahatan kemanusiaan karena kita yang dimampukan untuk menahan dampak kejatuhan (melalui kuasa anugerah khusus) malah tidak peduli (soalnya yang penting kita sudah masuk sorga).

Contoh ekspresi dari kebangunan moral dan intelektual ini pernah hadir secara nyata melalui teladan-teladannya di tengah-tengah masyarakat. Sebagai contoh, Yohanes Calvin sendiri pernah membawa pembaruan kehidupan moral dan spiritual di tengah-tengah masyarakat Jenewa. Yang lain misalnya Perdana Menteri Belanda tahun 1901-1905, Abraham Kuyper (seorang theolog, pastor, pendiri, dan editor utama surat kabar, pendiri Free University, pendiri Anti-Revolutionary Party). Juga Herman Bavinck, seorang theolog, intelektual Kristen, dan hamba Tuhan yang hadir di dalam parlemen Belanda di bawah bendera Anti-Revolutionary Party (didirikan oleh Abraham Kuyper).

Sebenarnya masih banyak lagi contoh-contoh keteladanan yang kita miliki, namun karena keterbatasan tempat, tidak semua dapat diungkapkan. Tetapi semua tokoh-tokoh ini sesungguhnya hanya menyatakan satu hal saja, bahwa yang mengerjakan dan yang memampukan mereka hanyalah Tuhan saja.

Nikki Tirta
Pemuda FIRES