A: “Selamat ya, dah lulus. Mau lanjut ke S2?”
B: “Wah, gak deh. Udah capek belajar, mau kerja aja sekarang.”
Rasanya percakapan seperti ini cukup umum hadir di dalam kehidupan kita sehari-hari. Untuk orang yang cukup mampu, paling sedikit 12 tahun dalam hidupnya dihabiskan di sekolah. Untuk yang lebih mampu lagi dan berhasil menamatkan universitas, 16-17 tahun hidupnya dihabiskan di sekolah. Jika hidup manusia rata-rata 60 tahun, dapat dikatakan bahwa kira-kira 20-30% hidupnya berada di sekolah, dan kita menyebut masa-masa itu “masa belajar”. Memang sah-sah saja jika kemudian kita merasa lelah dan jenuh belajar sesudah kita menamatkan sekolah, apalagi mengenyam pendidikan bukanlah sesuatu yang mudah ditempuh. Tapi betulkah belajar itu sesuatu yang diskontinu dengan masa bekerja? Tentunya kita dapat dengan mudah menampilkan istilah lifelong learning (pembelajaran seumur hidup) sebagai jawaban ideal dari pertanyaan ini. Tetapi sering kali yang disebut lifelong learning ini dilaksanakan dengan mengambil kuliah lagi atau mengambil kursus tertentu, yang mendukung karier kita atau sebagai ancang-ancang atau bekal untuk pindah karier.
Agustinus pada zamannya dapat dikatakan sebagai seseorang yang menjalani lifelong learning, tapi dengan cara dan motivasi yang berbeda. Ketika Agustinus muda sedang belajar menjadi ahli retorika (mirip seperti karier politikus di zaman sekarang), dia terinspirasi oleh buku berjudul “Hortensius” yang ditulis oleh Cicero yang berisi himbauan untuk mencintai kebijaksanaan (the love of wisdom). Karena filosofi/filsafat (philo/philea = cinta, sophia = kebijaksanaan) itu pada dasarnya mencintai kebijaksanaan, maka bagi Agustinus berfilsafat pada dasarnya adalah suatu bentuk dari cinta dan secara natur tindakan yang afektif.
Agustinus sangat peka dengan istilah cinta. Di dalam bukunya yang berjudul Confessions, setidaknya ada tiga peristiwa yang menyebabkan kesedihan yang mendalam bagi Agustinus. Pertama adalah kematian dari seorang teman yang sangat dia kasihi. Kedua, pada saat dia harus mengakhiri masa hidup bersama dengan gundik dan anak haramnya. Ketiga, ketika ibunya meninggal dunia. Bagi Agustinus, cinta mempersatukan jiwa yang mencintai dengan yang dicintai. Yang menjadi masalah adalah apakah subjek/objek yang kita cintai dan apa yang kita percaya dapat membawa kebahagiaan yang paling utama. Kebahagiaan selalu menjadi tujuan akhir dari hidup manusia. Kita melakukan sesuatu untuk kebahagiaan, namun kita tidak mencapai kebahagiaan untuk tujuan lain. We do something for the sake of happiness, but we do not obtain happiness for the sake of something else. Agustinus mengingat masa di mana dia meratapi kematian teman baiknya. Bagi Agustinus, kesedihan muncul karena kita mengasihi sesuatu yang tidak kekal, yang berubah, dan yang dapat binasa. Kesedihan muncul karena kita percaya bahwa seolah-olah sesuatu yang temporal dapat memberikan kita kebahagiaan yang ultimat.
Dosa pada dasarnya adalah sikap yang seperti ini, yaitu sikap mencintai sesuatu yang sebenarnya membawa kita pada ketidakbahagiaan. Bukankah kita mempunyai masalah yang sama, di mana kita sering menganggap hal-hal yang dapat kita pegang sekarang akan membawa kita pada kebahagiaan sejati? Bukankah kita sering beranggapan bahwa kita akan bahagia jika mimpi-mimpi dan ambisi-ambisi kita terpenuhi? Kebahagiaan sejati hanya bisa diperoleh di dalam Tuhan karena Tuhan tidak berubah dan kekal selamanya. Adalah salah jikalau kita mengasihi orang lain demi mereka sendiri. Ini sebenarnya mimpi dari humanisme sekuler (to love people as an end in itself). Bagi Agustinus, kita seharusnya mengasihi orang lain di dalam Tuhan, kita seharusnya mengagumi sesuatu demi Tuhan. Kekaguman dan cinta kita terhadap hal temporal seharusnya memimpin kita untuk menikmati Tuhan. Sehingga ketika sesuatu yang kita kasihi hilang, kita tidak akan menjadi pahit karena hal tersebut tetap berada di dalam Tuhan dan tidak hilang selamanya. Orang yang beranggapan bahwa sesuatu di dalam dunia menjadi tujuan utama akan selalu kecewa. Orang yang memakai segala sesuatu di dalam dunia sebagai sarana untuk menikmati Tuhan (sebagai tujuan akhir) tidak akan pernah kecewa.
Demikian juga dengan mencintai kebijaksanaan. Agustinus percaya bahwa kebijaksanaan yang pokok adalah kebijaksanaan yang kekal, yang tidak berubah, dan yang non-corporeal[1], yaitu Yesus Kristus yang adalah Logos. Di dalam bukunya yang berjudul Confessions, Agustinus menyesali hasrat dia di masa lampau yang mengejar kebijaksanaan yang sia-sia; kebijaksanaan duniawi yang didorong supaya dipuji, memiliki karier tinggi di dunia politik (sebagai seorang ahli retorika), agar terlihat eloquent (fasih lidah). Demikian juga penyesalan atas kesombongannya karena dia menganggap sastra Alkitab terlalu sederhana dibandingkan dengan sastra-sastra Latin yang dia kagumi, dan bahwa kebenaran itu harus rumit untuk layak menjadi sebuah kebenaran. Dia mengakui bahwa di masa lalunya dia sesungguhnya tidak mengejar kebijaksanaan, melainkan hanya memakai kebijaksanaan sebagai sarana untuk memuaskan hasrat dan ambisinya. Tentunya ini juga merupakan kenyataan orang dunia yang melihat kebijaksanaan sebagai sarana mendapatkan kepuasan hidup yang sementara. Banyak dari kita juga begitu, bukan? Kita tentu sering mendengar pepatah “Tak kenal maka tak sayang”. Jadi menurut pepatah ini, alasan kenapa kita tidak sayang terhadap sesuatu adalah karena kita tidak mengenal sesuatu itu. Tapi ini terbalik bagi Agustinus yang percaya bahwa “Tak sayang maka tak kenal”. Ibarat orang yang jatuh cinta yang sepanjang hari akan memikirkan kekasihnya, demikian juga dengan orang yang jatuh cinta terhadap kebijaksanaan akan mencari kebijaksanaan tanpa lelah. Suatu hasrat untuk mencari dan mendapatkan kebijaksanaan dipupuk dari rasa cinta terhadap kebijaksanaan, bukan sebaliknya.
Tapi jika kebenaran non-corporeal adalah kebenaran yang bukan jasmaniah dan tidak bergantung kepada pengindraan, bagaimana dapat mengerti kebenaran non-corporeal itu? Sebagai ilustrasi, kita dapat melihat konsep trigonometri (misalnya a2+b2=c2) yang telah kita pelajari di sekolah. Segitiga yang digambarkan di papan tulis tidak lurus dan penuh dengan distorsi dikarenakan garis lurus sempurna tidak pernah ada di dunia nyata, lalu bagaimana mengerti hukum Pythagoras jika menggambar segitiga yang ideal dan garis yang lurus saja kita tidak bisa? Namun, ketika kita mengerti dan mengalami saat berkata “Ahaa”, kita mengalami transendensi dari dunia indrawi dan melihat pengertian hukum Pythagoras di dalam dunia ide. Kita melihat bukan dengan mata jasmani, melainkan dengan mata rohani. Bagaimana kita dapat mengerti sesuatu yang sebenarnya kita tidak pernah bisa lihat dan raba keberadaannya di dunia nyata? Adakah lingkaran yang ideal di dunia nyata? Tidak. Adakah garis yang lurus? Tidak. Lalu kenapa kita bisa mengerti hal-hal metafisika yang tidak bisa kita lihat secara kasat mata? Karena kebijaksanaan adalah hal yang non-corporeal, sama seperti jiwa manusia adalah hal non-corporeal yang sudah ada dari sananya. Kepuasan dan kenikmatan dalam pengertian akan kebenaran non-corporeal inilah yang Agustinus rindukan, dan mengerti Tuhan sebagai kebijaksanaan itu sendiri adalah hal yang paling utama dalam hidupnya.
Tentunya pengejaran pengertian secara afektif ala Agustinus sangat asing jika dilihat dari perspektif konsep modern yang mana pengertian (atau ilmu pengetahuan) dikejar menurut nilai kegunaannya (didorong oleh pemikiran utilitarian dan pragmatisme). Jika sesuatu itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan keuntungan apa-apa, mengapa harus dipelajari? Begitulah kira-kira pemikiran kebanyakan orang di zaman sekarang. Bagi Agustinus, sesuatu itu layak dipikirkan karena memiliki nilai afektif. Jika kita tidak memiliki pergumulan, maka secara esensial tidak akan keluar pemikiran apa-apa. Jika tidak ada pergumulan tentang ketidakadilan, maka tidak ada maknanya untuk berpikir tentang konsep keadilan. Dengan demikian, pikiran dan afeksi terintegrasi di dalam usaha untuk mengerti sesuatu. Ini tentunya berbeda sekali dengan konsep modern di mana kita dapat berpikir apa saja tanpa memiliki pergumulan sebagaifaktor penggerak, yang berarti “no string attached” dan tidak ada komitmen. Inilah cikal bakal mentalitas “terlalu akademis” di mana apa yang kita pikirkan tidak sinkron dengan apa yang kita lakukan dalam keseharian hidup kita. Hal ini dapat dibandingkan dengan 1 Korintus 8:1 yang menyatakan bahwa pengetahuan membuat orang menjadi sombong, tetapi kasih membangun. Menurut Agustinus, pengetahuan yang berdasarkan “idle curiousity” (keingintahuan yang tak berarti) mungkin saja adalah bentuk dari cinta diri bukan cinta kebijaksanaan.
Karena pengejaran akan kebijaksanaan didorong oleh afeksi, maka dapat dikatakan bahwa kebijaksanaan akan memberikan manfaat secara afektif juga. Pemikiran modern setengah benar ketika berpendapat bahwa mempelajari sesuatu itu tidak berguna jika tidak memberikan manfaat. Namun yang jadi masalah adalah apakah manfaat tersebut bersifat duniawi atau rohani. Apakah manfaat yang dikejar bersifat temporal yang akan binasa? Jika kita setuju dengan Agustinus, maka seharusnya manfaat yang dikejar adalah agar kita dapat menikmati keberadaan Tuhan lebih dalam lagi. Dalam pemikiran Agustinus tentang tritunggal, Agustinus memaparkan bahwa jiwa manusia terdiri dari tiga elemen yang dapat menjadi analogi akurat untuk tritunggal: memory (ingatan), understanding/the mind (pengertian/pikiran), dan the will (keinginan). Ketiga hal ini sering disebut sebagai faculties of the soul. Ketiga hal tersebut berbeda dalam esensi (dan fungsi), namun hanya terdiri satu substansi (yaitu the self). Pengalaman kita di masa lalu tersimpan di dalam ingatan, dan ingatan menjadi dasar untuk suatu pengertian akan masa lalu tersebut. Kemudian, pengertian akan masa lalu tersebut akan memunculkan keinginan. Ketiga hal ini akan selalu ada dalam jiwa kita sebagai peta teladan dari Allah Tritunggal.
Namun, pernahkah kita berpikir dengan kerangka apa kita mengingat masa lalu kita? Ketika kita ingat masa lalu, apakah yang teringat adalah data mentah dari masa lalu (misalnya suatu peristiwa tempatnya di mana, jam berapa, siapa yang ada di sana, cuacanya cerah atau hujan, dan lain-lain) atau lebih ke penafsiran dari masa lalu (bagaimana masa lalu bermakna bagi hidup kita sekarang)? Saya percaya masa lalu kita tidak netral dan lebih dibentuk oleh penafsiran yang berdasarkan pengertian dan pengenalan diri kita pada saat itu. Ketika kita bergumul, kita mengenang kembali masa lalu kemudian dianalisa oleh pengertian tentang masa lalu tersebut, dan akhirnya melahirkan keinginan untuk mengerti lebih lanjut. Pengertian yang lebih lanjut, jika didorong oleh pengenalan diri yang tepat akan memberikan interpretasi ulang terhadap masa lalu di dalam ingatan kita. Di sinilah Agustinus melihat bahwa masa lalunya yang pahit sebenarnya memiliki makna setelah dia mengerti dan mengenal Tuhan lebih jauh. Agustinus dapat berdamai dengan masa lalunya yang pahit dan penuh dosa setelah dia menyadari akan rencana dan kedaulatan Tuhan di dalam hidupnya untuk menjadi berkat bagi banyak orang sebagai seorang theolog dan Bapa Gereja. Pemikiran Agustinus memberikan sumbangsih yang signifikan bahkan sampai 1.500 tahun setelah kematiannya. Bagaimana dengan diri kita yang juga mempunyai masa lalu yang tidak ingin diingat atau masa lalu yang traumatis dan mengecewakan? Jika kita terus melihat masa lalu dari sudut pengertian yang menyimpang yang penuh dengan cinta diri, maka kita akan terus menabur kekecewaan dan penyesalan seperti Agustinus ketika masih muda. Tetapi jika kita mau meneladani Agustinus, yang mencari pengertian dalam segala ketulusan dan kelemahannya, maka oleh anugerah Tuhan kita akan dimampukan untuk melihat benang merah kehidupan kita masing-masing dan bagaimana kita dapat menjadi berkat sebagaimana Agustinus telah menjadi berkat bagi kita semua pada hari ini.
Sebagai penutup, penulis ingin mengutip moto[2] “Grow in faith, learn to reason, help bring justice.” Iman dan pemikiran Agustinus tidak dapat dipisahkan tapi saling menumbuhkan (faith seeking understanding). Iman memimpin kepada pengertian dan pengertian memimpin kepada iman yang lebih dewasa, dan seterusnya. Lalu dengan iman dan pengertian yang benar, dengan sendirinya hati nurani kita akan terusik untuk memperjuangkan keadilan di dunia ini. Begitu juga dengan memory-understanding-will yang terus saling menumbuhkan dalam pengenalan diri yang tepat di hadapan Tuhan. Meneladani semangat Agustinus yang tidak memisahkan pikiran dan afeksi, iman dan pengertian hendaknya tidak dilihat sebagai bekal untuk memperjuangkan keadilan, melainkan sebagai sesuatu afeksi yang diiringi oleh pengertian yang benar.
The chief goal to achieve understanding is the understanding itself, and the chief ends to pursue wisdom is the Wisdom Himself. The rests are just consequences of this.[3]
Landobasa Tobing dan Liliana Tjahjana
Jemaat GRII Singapura
Endnotes
[1] Dalam filsafat Plato, ada dua macam keberadaan yaitu keberadaan corporeal dan non-corporeal. Keberadaan corporeal adalah keberadaan yang dapat dirasakan secara pancaindra, yang mempunyai bentuk dan materi. Keberadaan non-corporeal adalah keberadaan di luar dunia materi, yang murni bersifat spiritual. Contoh dari keberadaan non-corporeal adalah kebenaran, matematika, pikiran, dan seterusnya.
[2] Semboyan dari Eastern University of Pennsylvania. Tempat kerja Philip Cary, seorang pakar mengenai Agustinus.
[3] Paralel dengan “Carilah Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, maka segalanya akan ditambahkan kepadamu.”
Referensi
Augustine for Everyone: 10 Ideas You Need to Know Before You Die, Billy Kristanto, Program Intensif GRII Singapura Mei-Juni 2012.
Augustine, Philosopher and Saint, Philip Cary, Audio Lectures, The Teaching Company (TTC).
The Confessions by St. Augustine, Modern English Version, Baker Book House (2005).