Menelaah Saat Teduh

INTRO
Antara bulan Mei-Juni 2011 diadakan survei singkat berkenaan dengan saat teduh jemaat Gereja Reformed Injili Indonesia. Secara acak 104 jemaat pusat ditanya mengenai saat teduh pribadi mereka, termasuk sekitar 10% anak sekolah Minggu. Melihat chart 1, sekitar 17% tidak rutin bersaat teduh, hampir separuh (27% + 22%) secara periodik bersaat teduh namun tidak tiap hari, dan hanya sepertiga (34%) yang bersaat teduh tiap hari. Menurut chart 2 kebanyakan memilih melakukan saat teduh pada pagi hari, walau sepertiga lebih (37%) bersaat teduh pada malam hari. Yang menarik adalah chart 3 yang menunjukkan hampir separuh responden (48%) bersaat teduh kurang dari setengah jam dan sepertiga lebih (37%) bersaat teduh setengah jam. Mungkin ini sesuai dengan irama kehidupan kota Jakarta yang sibuk, sehingga waktu saat teduhnya singkat karena sudah harus segera berangkat beraktivitas pagi sebelum terjebak macet, atau sudah terlalu capai waktu malam sebelum tidur.

PRINSIP SAAT TEDUH
Hasil survei yang menarik, tetapi apakah artinya jemaat GRII Pusat kurang baik karena kurang bersaat teduh atau sebaliknya? Belum tentu, karena saat teduh tidak ditentukan berapa lama, berapa banyak ayat yang dibaca, dan lain-lain, tetapi kualitas seorang manusia bergumul di hadapan Allah. Inilah prinsip dari saat teduh. Hal terpenting bagi seorang pengikut Yesus adalah kembali berelasi semakin mengenal Allah. Untuk itulah Tuhan Yesus mati di kayu salib, untuk membawa umat-Nya kembali kepada Allah.

Dengan semakin mengenal Allah, maka kasih kita kepada Allah akan semakin dalam. Sebagai ilustrasi kalau misalnya kita membawa seorang dari pedalaman hutan Amazon di Amerika Latin ke kota Jakarta, lalu orang tersebut ditinggalkan sendirian di lobby hotel bintang lima di Jakarta. Walaupun tempat di mana kita tempatkan dia sangat bagus, dia pasti tidak akan mencintai Jakarta kalau tidak ada orang yang menceritakan seluk-beluk Jakarta kepadanya.

Allah yang menciptakan alam semesta ini telah menyatakan diri-Nya dalam ciptaan-Nya, dalam hati nurani manusia, dan melalui nabi-nabi-Nya yang dicatat di Alkitab serta memberikan teladan dari Bapak-bapak gereja yang mempunyai relasi dekat dengan Sang Pencipta. Menurut J.I. Packer, untuk mengenal dunia ciptaan Allah di mana kita sekarang hidup, kita perlu dipandu oleh Yang Menciptakan dunia ini dan proses pengenalan ini dimulai dengan mengenal Dia yang menciptakan dunia ini.

Saat teduh menjadi momen eksklusif manusia mengenal dan berelasi dengan Allah Sang Pencipta. Dalam momen ini kita mengenal Allah melalui mengenali karya penciptaan-Nya. Dalam momen ini kita belajar apa yang Allah nyatakan pada kita untuk kita taati. Kita juga belajar melihat bagaimana Ia bekerja dalam kehidupan semua orang yang dikasihi-Nya. Kita belajar berespons dengan memuji Dia pada saat kita kagum akan kebesaran-Nya. Kita juga belajar bersedih bersama Dia ketika kita mengingat dosa kita atau akibat dosa pada kehidupan manusia. Inilah momen pembelajaran bagi seorang manusia bagaimana berada di hadirat Allah, belajar bagaimana melihat dan menjadi manusia seperti yang dikehendaki Sang Pencipta.

Saat teduh adalah momen kita mengenal Dia lebih jauh dan bukan momen kita belajar tentang Allah. Apa bedanya? Saat ini sangat melimpah ruah buku-buku tentang Allah. Kita bisa belajar doktrin, ikut kelas pendalaman Alkitab, ikut retret untuk secara intensif lebih tahu tentang Allah. Tapi semuanya ini berbeda dengan mengasihi Allah. Ibaratnya kita mengasihi pacar atau pasangan hidup, kita bukan sekadar belajar tentang dia, tapi adanya ikatan relasi personal.

Dalam Alkitab sendiri relasi antara Allah dengan bangsa Israel sebagai umat pilihan-Nya terikat dalam relasi perjanjian (covenantal relationship). Pada Abraham, Allah menuntut kesetiaan Abraham untuk taat pergi dari tanah Ur, dan Allah berjanji memberkati dia dan keturunannya. Di gunung Sinai, Allah menuntut bangsa Israel untuk setia pada Allah dalam menaati hukum-hukum-Nya dan Allah berjanji memberkati bangsa itu. Bahkan Yesus mengikat umat pilihan sebagai mempelai wanita Yesus. Demikian dengan mengasihi Allah, kita sedang berelasi dengan menerima Dia sebagaimana adanya, yakni Allah. Segala yang dipikirkan-Nya, itu harus menjadi pemikiran kita, segala yang dikasihi-Nya, itu yang kita kasihi, segala yang dibenci-Nya, itu yang kita benci, segala yang dikehendaki-Nya, itu yang kita kehendaki. Untuk menjalankan relasi ini, kita perlu terus memupuk diri dalam saat teduh, momen di mana kita semakin mengenal apa yang dipikirkan, dikasihi, dan dikehendaki Allah.

Jadi, yang terpenting bukan kapan dan berapa lama bersaat teduh, melainkan sikap hati pada saat datang kepada-Nya. Kita datang dengan semangat mau taat pada-Nya, bukan hanya mau tahu dan belajar. Kita datang ke hadapan-Nya untuk mengenal-Nya dan tunduk kepada-Nya sebagai manusia di hadapan Sang Pencipta.

Adalah anugerah Allah pada saat kita dimampukan untuk mengenal Dia, sebab Allahlah yang membuka diri sehingga kita dapat mengenal Dia. Inilah pentingnya peran Allah Roh Kudus dalam saat teduh. Dialah Sang Penolong yang aktif menyadarkan kita akan kebenaran dan membuat kita mengenal kebenaran. Tanpa pekerjaan Roh Kudus ini, tidak ada seorang pun dapat mengenal Allah.

Jadi, kembali kita melihat bahwa saat teduh bukanlah soal kuantitas waktu tetapi kualitas waktu. Jika demikian, apakah tidak masalah bila tidak rutin bersaat teduh? Tidak juga. Dengan adanya waktu rutin bersaat teduh kita melatih diri untuk disiplin dalam menjalankan bagian kita. Tuhan Yesus berkali-kali mengatakan hamba yang setia dalam perkara kecil akan diserahkan tanggung jawab dalam perkara besar. Bagaimana kita bisa terlibat dalam perkara besar Allah bila dalam perkara kecil seperti siklus saat teduh saja kurang setia? Jadi, kita perlu berdisiplin waktu dalam menjalankan saat teduh sambil terus mengejar kualitas saat teduh itu. Selain itu, tanpa ada waktu rutin bersaat teduh membaca Alkitab, apa yang dapat kita renungkan sepanjang harinya?

KOMPONEN SAAT TEDUH
Bagaimana kita bisa menyajikan saat teduh yang berkualitas? Untuk itu kita perlu bedah satu-persatu komponen saat teduh yang berkontribusi menguatkan atau melemahkan kita. Pada survei terhadap 104 orang jemaat GRII Pusat ditemukan bahwa membaca Alkitab (89 orang) dan berdoa adalah dua komponen dasar saat teduh. Sisanya adalah komponen lain seperti penggunaan buku renungan harian, buku tafsiran Alkitab (commentary) dan waktu memuji Tuhan dengan bernyanyi.

Cukup banyak yang menghabiskan porsi saat teduhnya untuk membaca dan memperhatikan isi Alkitab (20% + 29%). Yang menarik adalah mayoritas responden hanya menggunakan kurang dari sepertiga waktu saat teduhnya untuk berdoa (25%+ 38%). Namun buku renungan harian kurang populer dipakai oleh jemaat GRII Pusat. Hanya sekitar 79 orang responden yang menggunakan buku renungan harian – itupun kebanyakan hanya mengambil porsi kurang dari sepertiga saat teduh mereka (30% + 40%).

Membaca Alkitab
Dari hasil survei ini ada pesan positif bahwa pembacaan Alkitab mengambil porsi penting dalam waktu saat teduh. Secara prinsip, membaca Alkitab harus ada dalam kehidupan orang Kristen namun membaca Alkitab tidaklah mudah. Banyak orang yang mencoba membaca dari Kitab Kejadian sampai Wahyu namun berhenti di tengah jalan karena bosan, tidak mengerti, atau merasa tidak relevan. Dalam hermeneutik Alkitab – ilmu menginterpretasikan Alkitab – sering pembaca Alkitab diingatkan untuk belajar memisahkan pengertian berdasarkan asumsi yang telah tertanam dalam diri kita berdasarkan pengalaman pribadi dengan pengertian yang ingin dikemukakan Alkitab.

Pertama, adalah perlu untuk mempunyai kerangka berpikir dalam mengerti isi Alkitab. Untuk itu kita perlu membaca keseluruhan Alkitab, mengerti tema-tema besar dalam Alkitab seperti Creation – Fall – Redemption – Consummation, memakai ayat-ayat yang jelas untuk menjelaskan ayat-ayat yang kurang jelas, dan seterusnya.

Kedua, kita perlu belajar memperhatikan konteks dan detail Alkitab. Untuk itu kita bisa memakai metode Inductive Bible Study (IBS), yang pada dasarnya melatih kita untuk melihat Alkitab dalam dua hal: detail perikop yang dibaca serta tema besar yang bisa digali. Untuk itu kita perlu masuk ke dunia perikop yang dibaca, dengan mengenal budaya dan situasi zaman Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru sebelum kita mengaitkan tema universal yang relevan dengan abad 21 ini.

Ketiga, kita bisa juga belajar dari buku tafsiran. Ini berkaitan dengan poin kedua, sebagai usaha kita untuk mengenal lebih jauh dunia Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Sumber-sumber ini sangat mendukung untuk kita belajar memahami isi Alkitab. Dengan mempunyai pengenalan akan firman yang cukup, kita akan lebih mudah mengadakan saat teduh, saat kita berelasi dengan Allah melalui firman-Nya di Alkitab.

Berdoa
Komponen terbesar kedua dalam saat teduh ialah doa, walaupun menurut survei, waktu berdoa kebanyakan hanya kurang dari sepertiga waktu saat teduh. Topik doa ini sudah dibahas secara panjang lebar di edisi Pillar yang lalu, bagaimana doa adalah pusat hidup orang yang beriman, bagaimana kita merefleksikan isi doa kita, mengapa orang percaya tidak berdoa, dan aplikasi Doa Bapa Kami.

Hanya satu hal yang perlu ditambahkan, yaitu berdoa untuk orang lain. Dalam survei pada jemaat GRII Pusat ditemukan bahwa topik berdoa untuk kepentingan pribadi dan berdoa untuk orang lain mengambil porsi yang sama besarnya. Namun mengutip perkataan Pendeta Billy Kristanto, kita perlu merefleksikan apakah doa untuk orang lain itu adalah kepanjangan tangan dari doa pribadi. Apakah kita berdoa untuk pacarku, istriku, suamiku, anak-anakku, dan adik-kakakku saja?

Seringnya berpartisipasi dalam persekutuan doa di gereja dapat mengajar kita untuk membesarkan hati berdoa untuk umat manusia lainnya. Dalam persekutuan doa kita belajar berdoa untuk pelayanan di mana-mana, untuk bangsa dan negara, untuk pribadi-pribadi yang mengalami kesulitan, dan sebagainya. Di dalam Alkitab, Nehemia adalah salah satu contoh dalam hal ini. Dalam Nehemia 1 kita melihat bagaimana ia berkabung mendengar bangsanya berada dalam kesulitan. Ini adalah contoh kebesaran jiwa Nehemia dalam mengasihi orang lain. Jadi, kita dapat meningkatkan kualitas saat teduh kita dengan meluangkan waktu mendoakan hal-hal di luar diri kita, sejalan dengan kedewasaan rohani kita.

Buku Renungan Harian
Yang menarik dari survei ini adalah berkurangnya jumlah orang yang menggunakan buku renungan harian dalam saat teduh mereka. Memang penggunaan buku renungan harian ada baiknya karena memberikan contoh aplikasi Alkitab dalam kehidupan nyata. Orang-orang sebelum kita yang mencoba taat mengikut jalan Tuhan daripada jalan dunia membagikan pengalamannya dalam renungan harian.

Namun kita perlu merefleksi sejenak, apakah perbedaan kisah-kisah inspirasi dalam renungan harian dengan kisah-kisah inspirasi lainnya. Dalam agama lain tidak sedikit kisah-kisah inspirasi yang keluar dari perenungan spiritualitas. Bahkan di dunia bisnis pun banyak sekali kisah inspirasi yang membagikan bijaksananya dalam buku-buku manajemen, seperti misalnya Michael E. Porter atau Peter Drucker.

Mungkin kita bisa berkata bahwa Alkitab menjadi sumber kebijaksanaan renungan harian. Tapi memperoleh kebijaksanaan dari pengalaman orang lain tidak sama dengan memperoleh kebijaksanaan langsung dari firman Tuhan dalam Alkitab. Ini adalah pergumulan orang tersebut berdasarkan latar belakang hidupnya. Kalaupun isi renungan harian adalah interpretasi terhadap satu perikop Alkitab, jangan sampai kita terlalu bergantung pada pengalaman orang lain. Kita juga perlu meluangkan waktu untuk memperhatikan isi Alkitab: detail-detail dan tema besar perikop. Melalui proses belajar ini, berkat dicurahkan pada waktu kita menemukan sendiri kebijaksanaan Allah yang kemudian diterapkan dalam pengalaman hidup kita.
Jadi, adalah lebih baik untuk meluangkan perhatian lebih besar kepada firman Tuhan daripada fokus pada pengalaman inspirasi orang lain. Kita perlu bergumul sendiri dengan salib pribadi kita. Dengan demikian, secara pribadi kita bisa mendapatkan berkat melalui mata rohani yang dipertajam melihat pekerjaan-pekerjaan Tuhan dalam ciptaan.

PERAN ROH KUDUS
Terakhir, yang paling penting adalah kita tidak boleh lupa akan peran Roh Kudus dalam mengiluminasi isi Alkitab. Walau sumber-sumber di atas sangat membantu dalam membaca Alkitab, kita perlu membaca dengan sikap siap ditegur Allah. Melalui firman-Nya yang telah dikanonisasi di Alkitab, kita perlu belajar mendengar bagaimana Alkitab menegur pribadi kita. Itulah sebabnya perlu membaca Alkitab dengan sikap berdoa dan mendengar Allah berbicara. Adalah anugerah Allah bila setiap kali datang ke hadirat-Nya kita bisa mengalami suara-Nya. Adalah anugerah-Nya bila Roh Kudus membuka pikiran kita untuk melihat kebijaksanaan Allah. Itu sebabnya kita perlu berdoa memohon agar Roh Kudus mencelikkan mata hati kita dan menolong kita sepanjang hari tersebut untuk terus mencoba melakukan firman yang telah dibukakan.

PENUTUP
Jadi, yang terpenting dalam bersaat teduh adalah semangat ingin berelasi dengan Allah supaya kita makin kenal, makin tahu, dan makin mengasihi Allah. Ini adalah momen eksklusif pribadi kita datang dan menjalin relasi dekat dengan Allah. Seperti gereja yang kudus dan am diibaratkan mempelai wanita Yesus, demikianlah kita yang menjadi bagian umat Allah membangun relasi dengan Allah dengan komunikasi reguler kita dalam saat teduh. Sikap hati ini penting ada supaya firman Tuhan dapat hadir di hati kita menegur dan mengingatkan kita untuk taat pada Firman Tuhan. Momen ini adalah anugerah Allah yang memungkinkan kita hadir di hadapan Allah. Selain menyucikan kita sewaktu kita berdoa menyerahkan waktu saat teduh dalam bimbingan Roh Kudus, Roh Penolong juga akan menolong kita menghidupi firman yang sudah diiluminasikan sepanjang hari tersebut. Dengan demikian, sepanjang hari tersebut kita dapat mendasari hidup kita di dalam terang firman Tuhan di hadirat Tuhan. Soli Deo Gloria!

Mitra Kumara
Pemudi GRII Singapura

Referensi:
1. Knowing God, J.I. Packer