Introduksi: Lingkaran Kesibukan
Hidup kita semua sangat sibuk. Apalagi dalam zaman ini, siapa yang tidak sibuk? Bahkan banyak anak sekolah pun bisa dibilang sama sibuknya dengan orang dewasa yang sudah bekerja. Jadwal kita penuh dengan berbagai kegiatan, acara-acara, dan banyak hal yang terjadi setiap harinya.
Kehidupan kita terdiri dari banyak kejadian-kejadian yang besar dan kecil. Bangun pagi, tugas kuliah, ketumpahan kopi, menonton film, masakan yang gosong, kecelakaan lalu lintas, berkenalan dengan orang baru, dsb. Hidup ini terasa seperti dapat direduksi menjadi serangkaian peristiwa-peristiwa saja.
Kita menjadi percaya bahwa hidup kita benar-benar terdiri dari peristiwa-peristiwa yang terjadi setiap harinya dan kita menjalani hidup dengan bergerak dari satu momen ke momen yang lain. Realitas untuk kita adalah momen yang bisa langsung dilihat dan dirasakan sekarang.
Tetapi sesungguhnya hidup bukan hanya terdiri dari ini. Bahkan, bagian terpenting, dan bisa dikatakan paling ‘riil’ dari hidup kita, adalah yang tidak kasat mata. Yang langsung bisa dilihat dan dirasakan oleh indra kita hanyalah sekadar fenomena.
Realitas Spiritual
Lalu apa itu yang benar-benar “riil”, yang benar-benar “nyata”? Realitas seringkali ada di ranah spiritual dan yang tidak kelihatan. Tuhan yang adalah Realitas Absolut itu Roh adanya. Tuhan eksis dari kekekalan sampai kekekalan, Tuhan terus ada, segala sesuatu berasal dari Tuhan, Tuhan adalah penyebab utama dari segala sesuatu, segala sesuatu menemukan maknanya dalam Tuhan, dan segala sesuatu menemukan tempat dalam hubungannya dengan Tuhan (Kol. 1:16-17).
Di balik setiap fenomena, tindakan, dan peristiwa, ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi di belakang layar. Inilah “kehidupan nyata” yang sebenarnya. Apakah kita pernah berhenti untuk berpikir tentang rentetan kegiatan dan pekerjaan kita? Apakah kita pernah merenungkan mengapa hal-hal yang terjadi dalam hidup kita terjadi, dan kira-kira apa makna dari setiap itu? Jawaban dan perenungan akan semua ini mengungkapkan apa yang sedang terjadi dalam hati dan pikiran kita, mengungkapkan bagaimana hubungan kita dengan Tuhan, Sang Realitas Absolut.
Ambillah contoh suatu pagi yang biasa. Saya bangun agak terlambat, dan jadinya harus siap-siap dengan terburu-buru. Dalam situasi ini, saya bisa merasa sangat kesal dan risih karena saya bangun terlambat sehingga harus sangat terburu-buru mengejar waktu. Ini adalah hal yang sangat biasa dan pasti pernah dialami oleh semua orang, bahkan mungkin menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Peristiwa sederhana seperti ini bisa memiliki banyak hal lain yang bersangkut-paut, banyak lapisan yang ada di bawah permukaan. Terlambat dan terburu-buru hanyalah fenomena dan “pengalaman indrawi sesaat”1. Hal yang penting—hal yg “riil”—adalah apa yang terjadi di balik fenomena. Apa yang kita pikirkan? Apa yang kita rasakan? Apa yang dapat kita ketahui tentang diri kita sendiri? Apa yang dapat kita ketahui tentang Allah? Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Saya bisa saja menarik kesimpulan bahwa ini merefleksikan kegagalan saya dalam mengatur waktu dan saya harus belajar untuk merencanakan ke depan dengan lebih baik. Ya, ini tidak salah. Tetapi saya sebetulnya sangat kesal sampai hal ini bisa menghancurkan mood saya untuk sebagian besar hari itu. Kenapa bisa seperti ini? Jika saya mengorek lebih dalam lagi, saya akan menemukan bahwa saya takut dengan kenyataan bahwa saya tidak bisa mengontrol “hari saya” dan saya kesal karena ini menunjukkan ketidakberdayaan dan limitasi saya sebagai manusia.
Realitasnya, Tuhan yang memegang kendali, bukan saya. Saya harus menerima kenyataan bahwa saya adalah manusia, dan bahwa Tuhan adalah Tuhan. Biarkanlah Tuhan menjadi Tuhan! Adalah kemuliaan manusia untuk menerima keterbatasannya sebagai manusia, dan adalah kemuliaan kita juga untuk “let God be God”. Posisi kita adalah sebagai manusia, ciptaan yang dikasihi Allah dan diciptakan untuk mengasihi Allah. Kita bukan Tuhan, kita tidak ada kapasitas untuk jadi pemegang kendali, bahkan untuk memegang kendali “hari kita” sendiri (Yak. 4:13-15). Tetapi kita, apalagi kita yang sudah mati dan hidup dalam Kristus (Kol. 3:1-4), memiliki kapasitas untuk memercayakan hari dan perkara-perkara kita pada Tuhan. Inilah “kenyataan” yang sebenarnya (Mat. 6:25-34; 1Pet. 5:6-8).
Realitasnya, Tuhan yang memegang kendali, bukan saya. Saya harus menerima kenyataan bahwa saya adalah manusia, dan bahwa Tuhan adalah Tuhan. Biarkanlah Tuhan menjadi Tuhan! Adalah kemuliaan manusia untuk menerima keterbatasannya sebagai manusia, dan adalah kemuliaan kita juga untuk “let God be God”
Perbudakan
Manusia adalah makhluk yang mudah dibutakan dan diperbudak oleh fenomena. Kita sudah terlanjur terbiasa fokus dengan apa yang bisa dilihat dan dirasakan langsung oleh indra. Kita sangat sulit untuk bisa percaya dengan sesuatu yang tidak terlihat. Ini semua asing bagi kita.
Oleh sebab itu kita harus merenung. Tetapi mengapa merenung? Mengapa penting untuk sadar akan “kehidupan nyata” yang melampaui apa yang bisa dilihat? Untuk kita bisa melihat Tuhan. Mengapa harus melihat Tuhan? Untuk bisa melihat dan menikmati kemuliaan-Nya. Bukankah ini tujuan hidup manusia?
Pertanyaan dan jawaban pertama dari Katekismus Singkat Westminster berbunyi demikian: “Apa tujuan utama hidup manusia?” “Tujuan utama hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah serta menikmati Dia selamanya.”
Inilah tujuan kita hidup, dan inilah yang akan membuat kita bahagia (Rm. 9:3; Yes. 43:6-7).
Dan terutama untuk orang yang sudah percaya dan beriman, dapat memuliakan dan menikmati Tuhan juga adalah bagian dari proses pengudusan kita. Ketika kita bisa memandang Tuhan dan menikmati-Nya, kita juga mendapatkan jaminan dan bukti dari keselamatan kita. Inilah sukacita terbesar orang Kristen (Tit. 2:13; 2Kor. 3:18; Yoh. 17:24).
Saya diperbudak oleh fenomena yang terlihat, yaitu kelihatannya memang saya bisa mengontrol hari saya. Sayalah yang berkegiatan, sayalah yang bergerak dan menggerakan hari saya, saya yang memegang kendali apa yang saya lakukan dan apa yang terjadi di hari itu. Keyakinan yang salah ini mungkin bisa terus berlanjut jika saya selalu berhasil untuk bangun tepat waktu dan segalanya berjalan sesuai keinginan saya. Kelihatannya memang benar saya yang memegang kendali atas hari saya dan hidup saya. Tetapi dengan kejadian-kejadian seperti terlambat dan terburu-buru, hal yang “riil” terkuak, yaitu bahwa Tuhanlah pemegang kendali. Ini adalah fakta dan kenyataan yang objektif.
Ada sukacita dalam fakta bahwa Tuhan yang memegang kendali. Saya memang manusia yang tidak punya kapasitas untuk mengontrol dunia ini. Ketika saya bisa melihat dan menerima fakta bahwa Tuhanlah yang berdaulat, saya tidak perlu lagi berusaha untuk menjadi “Tuhan” dan “memikul beban Tuhan” dengan mencoba mengontrol hidup saya. Ada beban besar yang terangkat. Ada rasa aman juga yang terasa, karena Tuhan saya bukan hanya berdaulat, tetapi Ia baik dan mempunyai rencana dan tujuan dalam setiap hal yang terjadi dalam hidup saya (Yer. 32:41; 2Taw. 16:9; Yes. 41:10).
Allah yang Memelihara
Saya adalah orang yang sering khawatir akan berbagai hal, dan saya berpikir bahwa cara yang tepat untuk mengatasi kegelisahan saya adalah dengan membuat persiapan yang sebaik-baiknya dan mencoba mengetahui segala hal. Bukankah makin banyak hal yang saya tahu, makin baik persiapan saya, dan saya juga akan makin tenang? Tetapi yang terjadi adalah yang sebaliknya. Dengan mencoba untuk lebih siap, dan mencoba untuk memegang kendali atas segala hal, saya malah makin gelisah dan takut. Saya makin menyadari bahwa saya memang tidak bisa memegang kendali. Dengan saya mencoba untuk memercayai diri sendiri ataupun manusia lain, saya pasti akan merasa lebih gelisah karena dalam hati saya, saya tahu manusia tidak mempunyai kuasa semacam itu.
Bagaimana jadinya jika saya sadar akan kenyataan bahwa Tuhan adalah Tuhan dan Dialah yang memegang kendali? Ini bukan berarti saya tidak perlu membuat perencanaan, tetapi saya jadi tidak perlu memikul beban harus mengetahui segala sesuatu dan mengontrol segala sesuatu. Tambahkanlah fakta bahwa Tuhan bukan hanya berdaulat, tetapi Dia juga Allah yang memelihara (Ibr. 13:5-6; Mzm. 68:19). Ada kelegaan, sukacita, dan rasa kagum dalam merenungkan fakta ini (Mzm. 100:3).
Mari kita diam sejenak—tidak, mari kita buat kebiasaan baru untuk sengaja diam dan merenung. Apa itu hal-hal yang “nyata” dalam kehidupan sehari-hari kita? Apa hal-hal yang “asing” yang harus kita renungkan? Ini yang akan memperdalam pengenalan kita tentang diri sendiri, tentang pribadi Tuhan, dan tentang bagaimana Tuhan hadir dalam hidup kita. Ini yang akan menjadi sumber sukacita kita.
Andrea H. Widjaja
Mahasiswa Akademi Bahasa Asing Internasional Bandung
Jemaat GRII Bandung
1C. S. Lewis, The Screwtape Letters, Terj. Ev. Trivina, (Bandung: Pionir Jaya, 2006), hal. 12