Kita sering mendengar bahwa doa adalah nafas hidup orang Kristen. Doa merupakan suatu bagian yang sangat penting dan esensial dalam hidup orang percaya. Akan tetapi, pada kenyataannya doa merupakan salah satu bagian yang sering kita abaikan. Mengapakah kita tidak berdoa dan tidak merasa perlu berdoa kepada Tuhan?
Kita datang kepada Tuhan karena kita menyadari bahwa Tuhanlah sumber kehidupan kita dan Tuhan jugalah yang menopang serta memelihara hidup kita. Dengan kata lain, kita menyadari kebergantungan mutlak hidup kita kepada Tuhan. Akan tetapi, seringkali dalam kehidupan kita sehari-hari kita tidak menjalankan iman kita ini. Kita cenderung menghidupi bahwa manusia dapat memenuhi dan mengendalikan hidupnya sendiri.
Hal inilah yang menjadi penyebab pertama kita tidak berdoa. Kita tidak merasa memerlukan apa-apa dari Tuhan, karena segala sesuatu yang kita perlukan telah dan yang kita inginkan juga dapat kita peroleh melalui mengandalkan diri dan usahakan sendiri. Kita merasa bahwa diri kita dapat memiliki segala sesuatu yang kita perlukan untuk memenuhi kebutuhan dan mengatasi persoalan hidup kita. Kita menganggap kita memiliki kemampuan logika dan pengetahuan yang dapat terus kita perdalam untuk memecahkan kesulitan-kesulitan yang kita hadapi. Kita juga merasa bahwa kita bisa belajar dari pengalaman diri maupun pengalaman orang lain. Selain itu, kita merasa kita memiliki talenta dan keterampilan yang cukup untuk bisa sukses dalam hidup. Ketika diperhadapkan pada suatu persoalan, kita lebih suka mencari tahu cara-cara yang sudah terbukti berhasil dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Kita lebih suka menganalisa segala sesuatu dari aspek logis atau tidak logis, mungkin atau tidak mungkin, terbukti atau tidak terbukti. Doa berada di dalam urutan kesekian dalam agenda kita dan hanya sebagai pelengkap yang boleh ada atau tidak ada dalam pergumulan kita. Doa tidak lagi menjadi hal yang esensial.
Selain percaya kepada diri sendiri, kita juga lebih suka mengandalkan orang lain ketimbang datang kepada Tuhan. Ketika kita berada dalam kebingungan atau kesulitan sering kali hal pertama yang kita lakukan adalah menceritakannya kepada orang lain. Biasanya kita datang kepada mereka yang berpengetahuan atau yang lebih berpengalaman, sehingga kita dapat menemukan jalan keluar yang real dari permasalahan yang kita hadapi sebaik mungkin. Ketika kita sedang sedih atau gelisah, kita lebih suka untuk menceritakannya langsung kepada orang tua, teman dekat, atau pasangan kita yang dapat langsung menghibur kita dengan nyata. Akibatnya, kita tidak lagi merasa perlu berdoa karena kita toh sudah menemukan solusi dari permasalahan yang kita hadapi atau kita sudah terhibur. Semakin pola ini kita lakukan, kita semakin kehilangan keinginan untuk datang kepada Tuhan dalam doa. Tanpa kita sadari pelan-pelan hidup kita semakin jauh dari kehidupan seorang yang percaya kepada Tuhan dan Tuhan menjadi tidak lagi real dalam hidup kita.
Di sisi lain, sebagian dari kita mengalami kehidupan doa yang suam-suam kuku karena kita memiliki konsep pengenalan akan Tuhan yang salah. Pertama, konsep kedaulatan Tuhan yang salah mengakibatkan kita percaya bahwa segala sesuatu sudah ditetapkan oleh Tuhan dan doa tidak dapat mengubah apa-apa. Pengertian seperti ini melumpuhkan kehidupan doa kita. Doa kita menjadi doa yang seadanya. Kita acuh tak acuh terhadap jawaban doa-doa kita. Bahkan mungkin kita tidak peduli lagi apakah doa kita dijawab oleh Tuhan atau pun tidak. Jikalau kita mendapatkan apa yang kita harapkan, kita menganggap bahwa hal itu memang akan terjadi dan tidak bergantung pada doa-doa yang kita naikkan. Jikalau apa yang kita harapkan tidak terjadi, kita berkesimpulan bahwa hal itu memang seharusnya demikian dan kita harus belajar menerimanya. Akibatnya adalah, kita tidak dapat melihat signifikansi doa dalam apa yang terjadi. Pemazmur bersaksi betapa Tuhan mendengar doa-doanya. Di dalam Mazmur 116:1-2 ia berkata, “Aku mengasihi Tuhan, sebab Ia mendengarkan suaraku dan permohonanku. Sebab Ia menyendengkan telinga-Nya kepadaku, maka seumur hidupku aku akan berseru kepada-Nya.” Kita tidak akan dapat melihat bagaimana Tuhan menjawab doa kita, jikalau kita sendiri tidak percaya bahwa Tuhan mendengarkan permohonan kita.
Kedua, kita mungkin percaya bahwa Tuhan mendengar doa kita, tetapi kita tidak percaya bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik kepada kita. Kita meragukan motivasi Tuhan kepada kita. Kita meragukan kebaikan Tuhan, hikmat Tuhan, dan keadilan Tuhan. Memiliki konsep Tuhan yang seperti ini adalah dosa yang sangat serius dan merusak kehidupan doa kita. Alkitab memberitahukan kita bahwa Allah yang kita sembah adalah Allah yang baik. Tuhan Yesus dalam khotbah di bukit (Matius 7:7-11) membandingkan Bapa yang di surga dan bapa di dunia. Jikalau kita yang berdosa dan jahat saja tahu memberikan pemberian yang terbaik kepada anak-anak kita, apalagi Bapa kita di sorga. Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya.
Ketiga, kita tidak berdoa karena kita tidak sungguh-sungguh percaya bahwa Tuhan sanggup menolong kita. Hal ini tercermin melalui sikap kita yang separuh hati dalam berdoa. Ketika kita tidak sepenuh hati percaya, kita tidak dapat bertekun dalam doa-doa kita kepada Tuhan. Di dalam Yakobus 1:6-8, kita diingatkan untuk tidak mendua hati ketika berdoa, melainkan meminta dengan iman dan sama sekali tidak bimbang. Ketika kita diperhadapkan pada sesuatu yang membuat kita khawatir, kita tidak datang berdoa kepada Tuhan karena kita tidak percaya bahwa Tuhan sanggup menolong kita bahkan dari kesulitan yang paling besar sekalipun. Kita lebih suka mencari jalan keluar sendiri. Raja Saul dalam I Samuel 28 digambarkan sangat khawatir karena bangsa Filistin sudah mengepung Israel. Ia datang kepada Tuhan dalam doanya, tetapi hatinya tidak percaya kepada Tuhan. Ia tidak dengan sungguh-sungguh mencari suara Tuhan karena ia sudah memiliki agenda lain. Ketika Tuhan tidak menjawabnya, segera pada keesokan harinya ia pergi mencari dukun wanita pemanggil arwah untuk meminta petunjuk. Kita mungkin seperti raja Saul yang separuh hati dalam berdoa. Kita lebih suka menjadi seperti gelombang laut yang terombang-ambing oleh angin dengan mengandalkan diri kita sendiri, daripada datang kepada Tuhan dalam doa kita dan percaya bahwa Ia mendengar doa dan tidak menahan kebaikan-Nya dari orang benar yang datang berseru kepada-Nya.
Keempat, kita tidak berdoa karena konsep kita bahwa Tuhan adalah serangkaian proposisi yang abstrak dan bukan Pribadi yang sungguh-sungguh hidup dan kepada-Nya kita dapat berelasi. Konsekuensinya adalah ketika kita berdoa, kita sudah memiliki pola tentang apa saja yang dapat kita utarakan dan bagaimana rumusan dalam mengutarakannya. Bahkan celakanya, kita berusaha mencari kata-kata atau kalimat yang indah dari doa-doa yang kita dengar dan mengadopsinya dalam doa pribadi kita. Doa menjadi tidak lebih dari formulasi kata-kata tanpa makna. Akibatnya, doa-doa kita menjadi rutinitas yang dingin.
Alkitab mewahyukan kepada kita bahwa Tuhan yang kita sembah adalah Pribadi yang hidup, yang kepadanya kita dapat berelasi. Tuhan Allah berbicara kepada bangsa Israel di masa lampau. Tuhan Yesus Kristus datang menjadi manusia dan tinggal di tengah-tengah umat-Nya. Kita berelasi kepada Allah yang ber-Pribadi, bukan pada serangkaian proposisi atau mental idea. Di dalam relasi kita dengan orang tua, kekasih, pasangan, atau teman dekat, kita tentu merasa perlu untuk menjalin relasi dengan mereka. Kita ingin mengenal mereka lebih dekat. Kita menceritakan hal-hal yang terjadi dalam hidup kita, membagi suka dan duka, menghabiskan waktu bersama. Kita menyadari kebutuhan untuk berelasi dengan mereka sehingga kita memberikan waktu yang kita miliki untuk membangun relasi itu. Akan tetapi, sayangnya dalam kehidupan kerohanian kita, yang sering kali terjadi adalah kita sepertinya tidak punya waktu untuk berelasi dengan Tuhan melalui doa-doa kita. Kita sepertinya selalu punya waktu untuk bekerja, berbelanja, bersantai menonton TV, belajar, berjalan-jalan, dan lain sebagainya, tapi tidak punya waktu untuk berdoa. Waktu untuk berdoa bisa ditunda atau dikurangi jikalau ada hal-hal lain yang lebih ‘mendesak’ atau menarik. Kita tidak berpikir dua kali untuk mengurangi waktu doa kita untuk melakukan hal-hal lain. Kita jarang merasa gelisah kalau waktu doa kita terpakai untuk hal-hal lain. Padahal di dalam berdoa kita berelasi kepada Tuhan. Melalui doa pengenalan kita akan Tuhan akan bertumbuh.
Yang pertama adalah pengenalan kita akan Tuhan yang mengasihi kita. Pemazmur dalam Mazmur 116 mengatakan bahwa ia mengasihi Tuhan sebab Tuhan mendengarkan suara dan permohonannya. Ia mengasihi Tuhan karena Tuhan menyendengkan telinga-Nya kepadanya. Ketika kita berdoa dan kita mengalami Tuhan menjawab permohonan kita. Kita akan bersukacita dan bersyukur kepada Tuhan karena Tuhan mendengarkan permohonan kita. Tuhan Yesus mendorong murid-muridnya dalam Yohanes 16:24 untuk meminta dan mereka akan menerima dan sukacita mereka penuh. Tanpa kita berdoa, apa yang kita inginkan mungkin dapat kita peroleh. Akan tetapi, kita tidak menerima sukacita yang penuh seperti yang Tuhan janjikan. Justru hanya kalau kita berdoa, kita dapat bersukacita dan bersyukur karena kita tahu bahwa Tuhan mendengar permohonan doa kita. Dan hal ini juga akan mendorong kita untuk terus berdoa dan memohon pertolongan Tuhan dengan lebih sungguh-sungguh.
Melalui doa, kita juga mengenal Tuhan yang memelihara hidup kita. Mungkin ada sebagian dari kita yang berpikir bahwa kita tidak perlu berdoa karena Tuhan sudah mengetahui apa yang kita perlukan. Memang Tuhan mengetahui apa yang kita perlukan sebelum kita datang kepadanya dalam doa, tetapi Tuhan memberikan kita kesempatan untuk kita mengenal Tuhan yang menyediakan apa yang kita perlukan dalam hidup kita. Ketika kita berdoa, kita menyadari keterbatasan dan kebergantungan kita kepada Tuhan. Mungkin ada yang berpikir bahwa doa hanyalah untuk hal-hal yang di luar kemampuan kita. Untuk hal-hal yang kelihatan sepele dan dapat kita kendalikan, kita tidak merasa perlu untuk berdoa. Dalam Doa Bapa Kami, Tuhan Yesus mengajarkan kita berdoa ‘berilah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya’. Kita mungkin merasa tidak perlu berdoa bagian ini setiap hari karena toh masih ada makanan di kulkas dan masih ada uang untuk membeli makanan kalau persediaan sudah habis. Para korban bencana tsunami di Jepang mungkin tidak pernah membayangkan kalau ada waktu di mana mereka sama sekali tidak dapat membeli makanan karena uang di bank tidak dapat diambil lagi, mereka juga tidak bisa kembali bekerja untuk mencari nafkah dan mereka sepenuhnya harus bergantung pada belas kasihan dari orang lain. Melalui pengalaman-pengalaman kesulitan seperti itu, kita diingatkan sekali lagi, bahwa kita adalah makhluk yang bergantung mutlak kepada Tuhan. Berdoa untuk setiap kebutuhan, termasuk yang kelihatannya ada dalam kendali kita, menolong kita untuk menyadari kemanusiaan kita. Doa mengajarkan kita rendah hati karena kita menyadari kerapuhan hidup kita, namun sekaligus keteguhan hidup ketika kita bersandar pada Tuhan yang memelihara hidup kita.
Di dalam suatu relasi, konflik tidak dapat dielakkan. Ketika terjadi konflik, salah satu tindakan yang kita mungkin lakukan adalah melarikan diri dari konflik. Di dalam relasi kita dengan Tuhan, dosa menjadi penghalang kita untuk datang kepada Tuhan. Ketika kita hidup tidak berkenan di hadapan Tuhan, kita merasa enggan untuk datang kepada Tuhan. Akan tetapi, justru dalam keadaan seperti ini kita seharusnya datang kepada Tuhan dalam doa kita karena tidak ada jalan keluar yang lain untuk kita dapat berdamai dengan Tuhan selain melalui datang kepada Tuhan sendiri. Ia menyediakan pengampunan bagi kita yang berseru kepada-Nya melalui Tuhan Yesus Kristus.
Yohanes Calvin (Institutio III.20.11) mengangkat teladan Daud yang berseru dalam Mazmur 5:7 “Tetapi aku, berkat kasih setia-Mu yang besar, aku akan masuk ke dalam rumah-Mu, sujud menyembah ke arah bait-Mu yang kudus dengan takut akan Engkau.” Daud takut akan penghakiman Tuhan karena kebenaran-Nya, namun ia tetap berharap akan kasih setia Tuhan sehingga ia tetap datang kepada Tuhan di tengah-tengah pergumulannya. Tuhan mendengarkan mereka yang sungguh-sungguh menyesal akan dosa-dosanya. Doa pengakuan dosa yang sejati menuntut kita meninggalkan dosa-dosa kita. Dalam hal ini pun kita perlu berdoa, karena kita tidak mungkin dapat menang atas pencobaan-pencobaan dengan kekuatan kita sendiri, selain hanya bersandar pada pertolongan Tuhan yang memampukan kita untuk berdiri teguh melawan dosa.
Mengutip perkataan E. M. Bounds dalam buku The Neccesity of Prayer: “The fruit of real praying is the right living”, buah dari doa yang benar adalah kehidupan yang benar. Demikian juga kehidupan yang benar di hadapan Tuhan juga mendorong kita datang dengan keberanian memohon kepada Tuhan karena Tuhan berjanji akan mendengarkan permohonan mereka yang hidupnya berkenan kepada-Nya. Kiranya Tuhan menolong kita untuk memiliki kehidupan doa yang semakin bertumbuh hari demi hari. Amin.
Suryanti Y.A. Simanullang
Pemudi GRII Singapura
Referensi
1. John Calvin, Institutes of the Christian Religion Book III, Chapter 20, Westminster John Knox Press
2. E.M. Bounds, The Necessity of Prayer, 1984, Whitaker House