Sekitar sebelas tahun yang lalu, saya terlibat perbincangan hangat dengan seorang rekan senior di pelayanan mahasiswa. Ia adalah mantan koordinator persekutuan, dan kala itu baru menjadi staf junior pada salah satu lembaga pelayanan mahasiswa di Bandung. Karena kami cukup dekat, pembicaraan waktu itu segera menjadi sengit. Sebabnya, kami membicarakan soal keperluan adanya penyampaian materi doktrinal dalam dunia pelayanan mahasiswa, secara khusus di kampus kami.
Waktu itu saya keberatan, kenapa di dalam komunitas Kristen kami tidak terdapat pengajaran tentang tema-tema doktrin iman Kristen. Pada saat itu saya baru tahu bahwa ternyata kekristenan memiliki rumusan-rumusan iman Kristen yang disusun secara sistematis, sehingga ada kerangka yang cukup tegas dan jelas yang bisa kami pegang. Senior ini tidak keberatan akan pemaparan doktrin pada dunia pelayanan mahasiswa. Namun yang menjadi pertanyaannya adalah, “Bukankah hal tersebut merupakan tugas dari gereja dan bukan persekutuan mahasiswa?”
“Tapi bukankah ini kesempatan kita, karena kita bisa mengumpulkan mereka?” saya menanggapi. “Coba doktrin itu ada apa saja? Alkitab, Allah, manusia dan dosa, keselamatan, gereja, apa lagi?” ia membalas. “Dari beberapa doktrin dasar itu saja, beberapa gereja (denominasi) punya pandangan yang berbeda. Lalu kita harus mengajarkan yang mana?” timpalnya melanjutkan.
Dari percakapan tersebut, kami menarik satu kesimpulan yang sama. Kebanyakan gereja tidak pernah mengajarkan doktrin-doktrin dasar iman Kristen kepada jemaatnya. Hal ini terlihat melalui ratusan mahasiswa yang pernah kami temui. Inilah satu fenomena yang terjadi pada generasi muda Kristen beberapa dekade terakhir. Bahwa pengajaran kerangka dasar iman Kristen telah hilang dari tengah-tengah kehidupan umat.
Kondisi inilah yang ditangkap oleh Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam pergumulannya melayani Tuhan selama enam puluh tahun lebih. Setidaknya, sekitar lima puluh tahun yang lalu gejala ini telah beliau baca pada perkembangan kekristenan di Indonesia. Bagaimana pada masanya, kekristenan di dunia (dan secara khusus di Indonesia) telah diapit oleh dua arus yang sama-sama menggeser pokok-pokok pengajaran iman Kristen. Yang satu adalah arus liberalisme, dan di sisi yang satu lagi adalah arus karismatik radikal. Di dalam pergumulan akan konteks zamannya itulah lahir konsep soal lima kebangunan.
Bagaimana lima kebangunan (doktrin, epistemologi, etika, pelayanan, dan mandat budaya) ini dapat menjadi tolok ukur yang sehat dalam membangun Gereja dan iman umat Tuhan? Kali ini kita akan sama-sama menggumulkannya, dimulai dengan tema kebangunan doktrinal. Kelima kebangunan ini saling terkait, saling menopang, dan saling bergantung. Sehingga nanti pengaruhnya di dalam kehidupan gereja dan masyarakat hanya akan sejauh keberanian kita untuk menghidupi seluruh dan seutuhnya.
Doktrin: Sebuah Kata yang Tabu
Beberapa dekade terakhir, mungkin kita pernah mendengar pernyataan-pernyataan yang mendiskreditkan pengajaran doktrinal. “Doktrin tidak penting, yang penting hidup kita”, “Doktrin itu cuma memecah belah”, atau “Iman Kristen itu bicara kasih, bukan doktrin”, dan masih banyak lagi suara-suara semacam demikian, pernah menjadi opini yang dominan di antara masyarakat kristiani. Sekalipun belakangan ini trennya mulai berubah, namun kata “doktrin” sendiri telah menyisakan konotasi yang negatif di dalam benak generasi muda.
Doktrin selalu terasosiasi dengan pengekangan, kekakuan, otoritas yang menekan, dan masih banyak lagi. Padahal, ketika kita mengatakan bahwa doktrin itu tidak penting, itu pun sudah merupakan sebuah doktrin. Karena pada dasarnya doktrin berarti sebuah pengajaran. Hal ini tergambar melalui asal muasal dari kata doktrin itu sendiri. Docere dalam bahasa Latin sendiri berarti “mengajar”. Dari akar kata yang sama ini pula kita mengenal kata doktor, gelar perguruan tinggi pada strata tiga.
Kita melihat di sini sudah terjadi upaya pemburukan makna dari sebuah kata yang sangat penting dalam iman Kristen. Dan yang sangat disayangkan adalah, peyorasi tersebut terjadi dari dalam tubuh kekristenan, dan dilakukan oleh orang Kristen sendiri. Padahal, sentralitas iman dan kehidupan kristiani sangat bergantung pada sejauh mana pengajaran yang kita terima dapat menginterpretasikan maksud Alkitab secara utuh.
Setelah opini yang tidak mengenakkan tentang kata doktrin itu, kita pun menghadapi permasalahan lain dalam konteks postmodern. Oke, kita sama-sama setuju bahwa Alkitab adalah firman Allah, dan firman itu mutlak adanya. Tetapi permasalahan mulai timbul ketika berbicara soal penafsiran terhadap firman yang mutlak tersebut. Interpretasi siapa yang paling otoritatif di dalam mewakili maksud Alkitab? Celakanya, firman Allah itu mutlak, tetapi penafsiran terhadap firman Allah itu relatif.
Betul bahwa penafsiran manusia terhadap wahyu Allah itu bersifat relatif. Namun runyamnya, kita berada di zaman postmodern yang menyetarakan semua atas nama relativitas. Sehingga, tidak ada perbedaan derajat antara penafsiran Alkitab yang bertanggung jawab dan yang tidak. Label sebagai yang pongah, congkak, sombong, angkuh, jemawa, besar kepala, hingga ahli Taurat, Farisi, dan bahkan jomblo sok suci (lho apa hubungannya?), langsung menghardik siapa pun yang berani menyatakan penafsirannya sebagai yang paling bertanggung jawab atau paling mendekati kebenaran.
Padahal mengetahui penafsiran mana yang paling dekat dan tepat itu sangat krusial. Ini bicara hidup dunia dan akhirat “brader”; melenceng sedikit saja maka hidup kita akan tamat. Perhatikan saja sejarah gereja, bagaimana pengajaran yang salah punya dampak yang sangat panjang hingga ratusan, bahkan ribuan tahun. Berapa ratus juta manusia salah menghidupi iman mereka karena orang-orang pada masa sebelumnya mengajarkan yang salah? Bukankah orang yang paling kasihan adalah orang yang telah dengan sungguh-sungguh, seumur hidup menghidupi imannya dengan serius, tetapi pada akhirnya malah menemukan bahwa semua yang telah ia usahakan dan kerjakan hanyalah kesia-siaan belaka?
Sampai pada titik ini, kita perlu menyadari beberapa hal. Pertama, bahwa doktrin bukanlah sesuatu yang tabu. Ia bukanlah sebuah tali pengekang, melainkan sebuah koridor yang menjaga hidup kita. Ia bagaikan tulang punggung yang membentuk dan menopang kehidupan iman kita. Kedua, betul bahwa doktrin merupakan sebuah upaya menggumulkan dan menafsirkan firman Allah dan ia tidak sepenuhnya mutlak. Namun, ia tetap memiliki sisi kemutlakan. Dan kemutlakannya bersifat derivatif. Semakin dekat penafsiran tersebut kepada firman Allah, maka pengajarannya akan semakin bersifat otoritatif di dalam membawa kebenaran kepada hidup kita.
Kembali kepada Doktrin: Doktrin yang Mana?
Jika sekarang kita telah sama-sama setuju bahwa doktrin itu penting dalam membentuk kerangka iman kita, pertanyaan selanjutnya adalah aliran doktrin yang mana yang harus kita pegang? Terdapat beragam aliran dan denominasi dalam tubuh kekristenan, kita harus memilih yang mana?
Bicara memilih itu memang “ngeri-ngeri sedap”. Memilih tidak pernah mudah bagi siapa pun, perlu penguasaan terhadap kriteria-kriteria yang tepat. Memilih benda yang lebih rendah dari kita, tentu akan lebih mudah ketimbang memilih sesuatu yang lebih tinggi dari kita (misalnya memilih Tuhan). Tetapi bila memilih benda-benda saja, yang keberadaannya jauh lebih rendah dari manusia, kita bisa salah, apalagi bicara memilih pengajaran yang benar tentang Tuhan. Maka dari itu, dengan jujur kita harus mengakui bahwa memilih pengajaran yang benar tentang Tuhan hanya pantas dan layak dimulai dari Tuhan yang beranugerah.
Tuhan yang mewahyukan firman, Tuhan pula yang memelihara firman dan penafsiran yang benar terhadap firman-Nya di sepanjang sejarah. Melalui anugerah-Nya pulalah kita bisa menghampiri pengajaran yang bertanggung jawab di tengah-tengah hiruk pikuk doktrin di dalam dunia ini. Anugerah itu tidak pernah Ia sembunyikan, melainkan Ia nyatakan di sepanjang sejarah untuk memelihara umat-Nya.
Dalam hal ini, saya percaya bahwa kumpulan doktrin yang terus berjuang untuk mendekati penafsiran yang bertanggung jawab terhadap Alkitab diwakili oleh semangat dari theologi Reformasi. Theologi ini berusaha untuk terus menyinambungkan semangat iman dari para nabi dan rasul, untuk tetap setia memperjuangkan iman yang ortodoks. Theologi Reformasi selama ini terus berjuang mempertahankan iman Kristen dalam menghadapi serangan-serangan yang paling keras. Theologi inilah yang menjadi warisan kita pada masa kini, yaitu theologi Reformasi, terutama dari sayap Yohanes Calvin.
Kematian Doktrinal: Pengajaran-pengajaran yang Mati
Sulit memang bagi kita untuk melihat signifikansi sebuah doktrin bila terlepas dari melihat konteks situasi. Pada masa Gereja Mula-mula memegang doktrin bahwa “Yesus orang Nazaret adalah Kristus dan Tuhan” berarti bersedia dihukum mati, dan memegang theologi Reformasi pada masa Reformasi berarti siap dibantai. Namun memegang pemahaman bahwa “Kristus adalah Tuhan dan Allah adalah Allah yang berdaulat mutlak” sepertinya tidak membawa dampak apa-apa pada kehidupan modern (postmodern)kita.
Doktrin yang dianggap tidak relevan memang sulit untuk menarik hati kita. Tetapi pertanyaan yang lebih tepat adalah, “Doktrinkah yang telah menjadi usang dan tidak relevan, atau justru kehidupan kitalah yang tidak pernah relevan dengan doktrin kristiani?” Dengan kata lain, mungkin kita tidak pernah menghidupi iman kita secara serius. Kalau begini, kita harus fair. Bukan doktrin yang bersalah, tetapi kehidupan rohani kita yang bermasalah.
Dalam konteks kehidupan pemuda, sering kali terbentuk dua kelompok. Satu kelompok adalah kumpulan orang yang senang belajar theologi, tetapi jarang ada gairah untuk terjun dan terlibat pada aktivitas pelayanan. Di sisi lain, adalah sekelompok orang yang kurang punya minat untuk belajar, tetapi memiliki antusiasme yang tinggi untuk terlibat dalam aktivitas pelayanan. Uniknya, keduanya sering kali saling menyalahkan untuk membenarkan posisi status quo masing-masing.
Yang rajin melayani membenarkan kelambanannya dalam belajar firman dengan alasan, “Lihat saja mereka yang rajin belajar, makin rajin belajar malah makin nggak mau ikut pelayanan.” Di sisi lain, yang rajin mempelajari theologi membenarkan posisi mereka yang melayani seadanya dengan alasan kelompok sebelah hanya sibuk pada aktivitas tanpa ada pertumbuhan iman. Kedua tipe pemuda ini sebenarnya sama-sama berada pada posisi yang salah. Membenarkan kesalahan kita atas dasar kesalahan pada kelompok lain adalah sebuah kesalahan berpikir. Kalau begini terus, yang paling dirugikan justru adalah kekristenan itu sendiri.
Kedua kelompok ini sebenarnya sudah mengamini apa yang pernah dikatakan oleh Calvin sebelumnya. “Zeal without doctrine is like a sword in the hands of a lunatic.” (Antusiasme pelayanan yang memuncak tetapi tanpa pengertian yang benar akan firman sungguh sangat berbahaya, bagaikan orang gila yang menggenggam pedang, menebas siapa dan apa saja.) Di sisi lain, Calvin pun melanjutkan kalimat tersebut. “Or else it lieth still as cold and without use, or else it serveth for vain and wicked boasting.” (Sebaliknya, pembelajaran doktrin yang tidak pernah membawa kita kepada suatu gairah dan antusiasme untuk melayani Tuhan dan Gereja-Nya, pembelajaran itu sesungguhnya hanyalah sebuah omong kosong).
Tanpa disadari, pola di atas sebenarnya hanya meneruskan pola pendulum dari gerakan antiintelektual dan gerakan intelektualisme yang kehilangan iman ortodoks. Yang pertama, terlihat pada Gerakan Pentakosta dan Karismatik mula-mula. Sedangkan yang kedua, bisa kita lihat contohnya pada Gerakan Liberal. Kantung pergerakan Liberal dalam tubuh kekristenan sering kali teridentifikasi dengan banyak tokoh yang sangat intelektual. Mereka adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi, dan terbiasa dengan pola pikir kritis modern pada masanya. Tetapi pada akhirnya, iman mereka malah menjadi dingin, bahkan doktrin mereka menjadi tidak ortodoks lagi.
Sedangkan arus pergerakan Pentakosta-Karismatik lebih menitikberatkan dorongan emosional. Warna emosional yang sentral ini memang muncul akibat doktrin Roh Kudus, glossolalia, dan second blessing yang mereka anut.[1] Hal ini menjadikan semangat pelayanan mereka begitu menggebu-gebu, tetapi pada saat yang bersamaan mereka mulai tidak mengenal warisan iman yang ortodoks dari jalur nenek moyang Protestanisme.
Pada akhirnya, kedua arus yang pernah besar dan yang pernah menjadi warna dominan dalam darah kekristenan ini berusaha berjalan tanpa ada kerangka pengajaran yang solid. Keduanya melupakan warisan iman tradisi Reformasi, yang keduanya lahir dari nenek moyang yang sama, Protestanisme. Situasi seperti ini yang akhirnya dijawab oleh Pdt. Dr. Stephen Tong melalui Gerakan Reformed Injili. Siapakah yang seharusnya mewakili kekristenan pada masa kini? Arus Liberal yang sudah meninggalkan iman? Ataukah Gerakan Karismatik dengan sebagian pengajarannya yang terputus dari ortodoksi?
Kebangunan Doktrinal: Panggilan Gerakan Reformed Injili
Perlu saya perjelas terlebih dahulu, bahwa yang dimaksud sebagai Gerakan Karismatik lebih berbicara tentang sebuah arus pergerakan, bukan gereja atau denominasi tertentu. Sehingga, bicara panggilan Gerakan Reformed Injili bukanlah sebuah gerakan yang mengecualikan denominasi tertentu. Gerakan ini merupakan panggilan yang inklusif, yang mengajak seluruh umat kristiani untuk sama-sama kembali memperjuangkan iman yang ortodoks.
Kebangunan yang sejati tidak akan pernah bisa terjadi bila masyarakat Kristen tidak terlebih dahulu dibangunkan dasar imannya. Melalui doktrin-doktrin yang solid, yang diwariskan dalam semangat Reformasi, dan yang dipelihara Tuhan bagi gereja-Nya di dalam sejarah, kebangunan rohani yang sejati baru mungkin terjadi.
Namun, kebangunan rohani yang sejati ini tidak bisa hanya berhenti pada kebangunan doktrinal. Itu hanyalah hulunya, masih ada empat elemen kebangunan lain yang harus hadir pula melanjutkan kebangunan doktrinal. Kebangunan doktrinal tanpa disusul dengan empat kebangunan lain bukanlah kebangunan doktrinal yang sejati. Karena pembelajaran doktrin yang sehat pasti membawa kita dan gereja kepada tahap kebangunan selanjutnya.
Sebagai penutup, mari kita merespons pembelajaran doktrin sebagai sebuah anugerah yang Tuhan berikan. Bukan hanya bagi para hamba Tuhan, tetapi juga bagi seluruh jemaat Tuhan. Harapan dari kebangunan ini adalah pembelajaran Alkitab dan pergumulan untuk mengertinya di sepanjang sejarah gereja boleh mengisi hidup dari setiap generasi muda, yang melaluinya gairah untuk mengenal dan hidup bagi Tuhan boleh terus bertumbuh dalam kehidupan orang-orang percaya. Kiranya Tuhan sekali lagi boleh menghadirkan harapan ini di dalam hati setiap orang percaya yang mengasihi Tuhan dan gereja-Nya. Amin.
Nikki Tirta
Pemuda FIRES
Endnotes:
[1] Maris, Hans. Gerakan Karismatik dan Gereja Kita, (Surabaya: Momentum, 2004).