Menggumulkan Lima Kebangunan: Kebangunan Mandat Budaya (Sebuah Pengantar)

Iman Kristen seharusnya tidak mengasingkan seseorang dari ruang publik. Kebangunan kelima dari rangkaian kebangkitan pemuda Reformed Injili membawa kita kepada suatu pemahaman bahwa kita dipanggil sebagai garam dan terang dunia. Fungsi dari garam dan terang ini bukan berbicara tentang sekadar berbuat baik, melainkan berkaitan dengan ikatan perjanjian mula-mula antara Allah dan manusia. Yaitu, manusia diperintahkan untuk “memenuhi, menguasai, dan menaklukkan” bumi sebagai gambar dan rupa Allah.

“Manusia sebagai gambar dan rupa Allah” menjadi kunci utama di dalam menafsirkan ketiga kata sebelumnya. Ada pandangan bahwa eksploitasi besar-besaran dan kerusakan alam yang terjadi sesungguhnya disebabkan oleh ketamakan yang dibenarkan oleh Kitab Suci. Sayangnya, mereka lupa bahwa kata “memenuhi”, “menguasai”, dan “menaklukkan” yang dinyatakan dalam Kitab Kejadian berada pada konteks manusia yang belum jatuh dalam dosa. Ketika manusia jatuh dalam dosa, ketiga perintah yang tadinya berorientasi sepenuhnya kepada Allah dan kemuliaan-Nya kini telah berubah arah.

Koridor kebangunan mandat budaya berada pada konteks perintah Tuhan yang mula-mula, mandat Tuhan kepada manusia. Maka tidak akan pernah ada perjalanan untuk mengembangkan mandat budaya tanpa terjadi empat kebangunan yang lainnya. Sebab, mandat budaya ini bukan berbicara tentang keinginan manusia untuk berbudaya, melainkan soal keinginan Tuhan di dalam arah, cara, dan gol yang Ia berikan. Penting sekali kita mengerti bahwa kelima pilar kebangunan tidak pernah berdiri sendiri.

Kebangunan Mandat Budaya: Pertemuan Iman dengan Dunia Keilmuan
Melihat budaya membuat kita tidak bisa menghindari pertemuan dengan dunia keilmuan. Pandangan umum biasanya mengarahkan kita kepada sebuah dikotomi antara iman dan ilmu. Iman sering kali dikategorikan sebagai elemen yang berperan hanya pada ruang lingkup moral dan ketuhanan, sedangkan ilmu berbicara tentang akal dan kemampuan rasionalitas manusia. Dampaknya, terjadi keterpecahan dalam kehidupan masyarakat kristiani. Sekalipun ada muatan-muatan pesan yang saling bertentangan di antara kedua wilayah yang kita pegang itu, keduanya dianggap tak saling berhubungan. Hal ini secara tidak sadar telah menandakan bahwa Tuhan di dalam keimanan kita bukanlah Tuhan pula di dalam lingkup keilmuan.

Di sisi yang lain, ada upaya untuk melihat keterkaitan antara ilmu dan iman. Upaya integrasi ini menjadi sebuah jalan yang sempat populer, terutama pada kelompok mahasiswa. Setidaknya satu dekade yang lalu, seminar-seminar yang memakai tema “iman dan ilmu” cukup menjamur di banyak kelompok dan persekutuan mahasiswa di Indonesia. Tetapi sayangnya, upaya integratif ini sering kali memiliki kendala yang besar. Pertama, kurangnya penguasaan yang mendalam terhadap ilmu yang dikaji. Kedua, kurangnya penguasaan kedalaman theologis dan cara pandang kristiani yang komprehensif. Dan ketiga, tidak adanya kerangka berpikir analitis yang cukup tajam, mendalam, dan luas ketika berusaha membaca dan mengaitkan historisitas dari perkembangan ilmu dan perkembangan iman kristiani.

Tanpa menelusuri perjalanan dari perkembangan sebuah ilmu pengetahuan, kita akan terjebak dalam pemahaman bahwa semua ilmu berangkat dari cara pandang yang sejajar dengan Alkitab. Faktanya, tidak. Ilmu-ilmu yang berkembang, baik yang berangkat dari asumsi-asumsi anti-theistik, maupun pandangan theistik non-biblical, sudah pasti bertentangan dengan prinsip-prinsip kristiani. Paling sederhana misalnya teori evolusi soal kehadiran alam semesta, atau teori netralitas gender yang mengakibatkan orang bebas memilih mau menjadi pria atau wanita. Jadi, apakah integrasi iman-ilmu itu berarti konsolidasi (atau bahkan asimilasi) pemahaman? Atau justru membangun kerangka pengetahuan yang berangkat dari pemahaman firman terhadap berbagai spektrum keilmuan yang ada?

Setiap ilmu yang dibangun tidak pernah terlepas dari sistem kepercayaan yang mendahuluinya. Bila para ilmuwan tersebut menaruh iman kepada evolusi, dasar teori hingga ilmu terapan yang mereka kembangkan akan berdiri di atasnya. Pada tahap ini kita melihat bahwa setiap ilmu terapan (practical science) didahului oleh teori dari ilmu (science) tersebut. Setiap teori ilmu memiliki kerangka berpikir yang mendahuluinya, yang membentuk sebuah sistem pemahaman (philosophy). Dan setiap sistem pemahaman memiliki dasar kepercayaan (belief) yang menjadi core penunjang dari kerangka-kerangka yang dibangun di atasnya. Maka secara sederhana, untuk membedah sebuah ilmu pengetahuan, kita harus menelusuri asal-usulnya hingga jauh ke dasar kepercayaannya (belief-philosophy-science-practical science).

Pertemuan iman Kristen dengan dunia ilmu pertama-tama harus dimulai dari inti kepercayaannya. Dari sana baru kita dapat memilah mana yang berangkat dari dasar wahyu Allah, dan mana yang tidak. Untuk dapat menganalisisnya, kita memerlukan pembelajaran theologi yang cukup. Hingga pada tahap inilah kita mulai menjelajah bahwa pembelajaran Alkitab memiliki beberapa wilayah di dalamnya, yang tercakup menjadi sebuah kesatuan. Studi theologi biblika, sistematika, historika, filosofika, dan praktika membukakan kepada kita pegangan-pegangan yang dibutuhkan saat bersentuhan dengan dunia ilmu, dan, nantinya, mandat budaya.

Kita harus mengakui, hampir tidak ada pada generasi kita yang mau menempuh jalan ini; mengejar penguasaan secara mendalam terhadap dunia keilmuan, keimanan, dan pola pikir filosofikal-praktikal. Karena selain biasanya perjalanan pembelajaran yang seperti demikian begitu melelahkan, sepi, dan terutama, tidak komersil, ada efek dari semangat anti-intelektualisme yang sempat berkembang dalam arus pemikiran kekristenan beberapa dasawarsa terakhir. Hal ini diperkeruh pula dengan dunia zaman postmodern yang membiasakan pemuda untuk tidak mengejar kedalaman.

Kebangunan mandat budaya tidak akan pernah terjadi bila empat kebangunan sebelumnya tidak muncul. Sebab sesungguhnya panggilan mandat budaya yang disambut oleh gereja adalah sebuah implikasi dari empat pilar kebangunan yang mendahului. Tidak akan pernah ada generasi yang berani mengambil jalan yang begitu sepi dan menuntut dedikasi penuh ini bila kerohanian mereka tak dibangunkan. Lagi pula, kemuliaan yang fana sering kali menjadi jebakan bagi mereka yang berada dalam proses berbudaya.

Kebangunan Mandat Budaya: Iman, Kemajemukan, dan Ruang Publik
Keterlibatan umat Tuhan di dalam ruang publik, pada konteks masyarakat yang berbeda kepercayaan, sesungguhnya telah dicatat pada banyak tempat di dalam Alkitab. Kitab Ester, Daniel, Yeremia, dan masih banyak lagi menjadi suatu potret yang sangat gamblang bagaimana kehadiran umat Allah tidak terpisah dari kondisi masyarakat di sekelilingnya. Bahkan secara khusus di dalam Yeremia 29:7, Tuhan memerintahkan umat-Nya untuk mengusahakan dan mendoakan kesejahteraan kota di mana Allah membuang dan menempatkan mereka.

Atas dasar tersebut, sesungguhnya masyarakat kristiani pun berada di dalam panggilan yang sama. Di dalam setiap konteks masyarakat yang Tuhan berikan, umat-Nya dipanggil untuk menjadi berkat. Tidak mungkin ada berkat tanpa adanya interaksi dengan masyarakat sekitar. Sehingga, interaksi masyarakat kristiani pada ruang publik menjadi suatu keharusan yang tidak dapat dipisahkan dari identitas keimanan mereka. Mengupayakan kemaslahatan banyak orang, melalui ekspresinya yang didasari pada pembacaan firman Tuhan (Alkitab) terhadap dunia, menjadi bagian dari panggilan umat Tuhan; terutama melalui semangat dan cara pandang yang diwarisi dari Theologi Reformasi.

Theologi Reformasi menjadi sebuah dobrakan bagi dunia kristiani dalam melihat dunia dan konstruksi sosial di dalamnya sebagai wilayah yang juga sakral ketika ia dikelola di dalam panggilan ilahi dari Tuhan. Konteks masyarakat Eropa Abad Pertengahan yang terkungkung pada pandangan “apa yang rohani hanyalah apa yang berkenaan dengan aktivitas institusi gereja” menjadikan wilayah pekerjaan yang berada di luar gereja sebagai sesuatu yang lebih rendah atau kurang mulia. Akibatnya, wilayah-wilayah pekerjaan tertentu, terutama yang berkenaan dengan pelayanan publik, dirasa tidak mendapat tempatnya di dalam kehidupan yang melayani Tuhan. Pencarian sudut pandang dan penafsiran keimanan terhadap ruang publik pun akhirnya tak pernah mendapatkan tempatnya pada proses-proses penggalian Alkitabiah. Reformasi mengembalikan semua pandangan yang salah tersebut kepada posisinya yang semula, yaitu posisi yang sakral di hadapan Tuhan.

Pergumulan iman Kristen di dalam ruang publik, terutama yang dibawa oleh arus Reformis melalui sayap Yohanes Calvin, tidak boleh berhenti hanya pada masyarakat dunia Barat. Sebab Tuhan tidak memberikan berkatnya hanya untuk dimonopoli oleh sekelompok orang. Lagipula masyarakat kristiani kini telah tersebar ke seantero dunia, termasuk pemahaman iman di dalam kerangka Theologi Reformasi. Hanya saja, dunia Barat dan Timur memiliki konstruksi kultur yang berbeda. Selama ini, pergumulan Theologi Reformasi pada ruang publik hanya terjadi secara dominan pada konstruksi sosial masyarakat Barat. Sekalipun bukan berarti tidak ada nilai-nilai yang dapat diadopsi ke dalam konteks masyarakat Timur, ada kondisi-kondisi khusus yang pada akhirnya tetap tidak dapat terakomodasi karena perbedaan konteks, budaya, dan sejarah.

Dunia Timur, secara khusus region Asia, menjadi tempat bagi tumbuh kembangnya berbagai arus budaya dan agama yang besar. Peradaban-peradaban besar lahir dan membentuk konstruksi sosialnya sendiri dari kepercayaan-kepercayaan tersebut. Hal ini menjadikan kekristenan sebagai warna yang bukan satu-satunya di tengah-tengah arus budaya yang telah mengakar lebih tua dan lebih lama di Asia. Konteks sosial yang semacam demikian pun hadir pada kondisi masyarakat Indonesia. Konstruksi masyarakat Indonesia yang begitu majemuk, yang dibangun dari beberapa agama besar dunia serta ragam suku dan ras yang sangat besar, menjadikan interaksi kekristenan di dalam ruang publik memiliki kompleksitasnya yang tersendiri.

Di sinilah institusi gereja memiliki peranan yang sangat strategis. Ia menjadi wadah yang memungkinkan iman Reformasi menemukan ekspresinya di ranah publik, di dalam konteks kekinian, dan terutama, di dalam konteks ke-Indonesia-an. Tentu perjalanan dari upaya intelektual, moral, dan keimanan Reformed Injili ini masih panjang, tetapi setidaknya upaya ini telah dimulai di dalam negeri kita yang tercinta.

Saya teringat akan Dr. Muhammad A. S. Hikam yang pernah menyatakan bahwa Calvinisme seharusnya tidak boleh dimonopoli hanya oleh orang Kristen saja. Seorang intelektual Muslim pun sampai mengakui betapa signifikannya sumbangsih iman Kristen terhadap kebaikan ruang publik yang sangat plural. Contoh sederhana ini menandakan bahwa iman Reformed konsisten di dalam pendekatan theologisnya terhadap ruang publik, terutama berkenaan dengan common grace dan mandat budaya. Pengakuan Dr. Hikam juga menjadi suatu pertanda bahwa sedari awal iman Kristen memang tidak hanya memiliki dampak yang eksklusif (hanya bagi orang percaya), melainkan juga dampak yang inklusif (bagi orang-orang tak percaya). Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Alkitab, “Kamu adalah garam dan terang dunia” (Mat. 5), dan “oleh karena keturunanmu semua bangsa di bumi akan mendapat berkat”
(Kej. 26:4).

Secara khusus, kita tidak dapat memungkiri bahwa dunia politik memang memiliki porsi yang sangat berpengaruh terhadap ruang publik. Pengelolaan administrasi publik akan sangat dipengaruhi oleh seberapa bertanggung jawab para pelaku dan institusi politik. Sebab memang tidak ada dimensi yang lebih dekat lagi dengan kekuasaan selain daripada dimensi politik. Ini adalah sebuah fakta yang tidak dapat kita pungkiri. Melalui iman Kristen kita paham bahwa tidak ada kekuasaan yang tidak berasal dari Allah. Sehingga, setiap penyalahgunaan kekuasaan sesungguhnya adalah sebuah perwujudan perlawanan kepada Tuhan, sebuah perwujudan dari dunia yang sudah berdosa. Sayangnya, bagi masyarakat sekuler (termasuk masyarakat agama-agama lain), pandangan terhadap manajemen kekuasaan tidak berangkat dari titik tersebut.

Apa yang pernah dinyatakan oleh Lord Acton, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely,” sebenarnya menjadi sebuah penggambaran yang sangat gamblang tentang akibat dari dunia yang telah jatuh ke dalam dosa. Maka tidak mungkin memang sebuah kelompok, atau bahkan seorang individu, mendapatkan kekuasaan yang begitu besar, apalagi mutlak.

Pada titik inilah, satu lagi sumbangsih iman Kristen yang sering kali tidak disadari oleh dunia telah membentuk perjalanan politik masyarakat kita. Pembagian atau separasi kekuasaan yang biasa dikenal dengan istilah trias politica sesungguhnya adalah sebuah adopsi dari sistem pemerintahan gereja yang dirancang oleh Calvin. Sistem penatua (presbyter/presbyterian) menjadi dasar dari konsep eksekutif-legislatif-yudikatif yang banyak diadopsi oleh negara-negara demokratis pada era modern ini (bahkan termasuk oleh negara-negara yang mayoritas penduduknya bukan Kristen). Dan sayangnya, umat kristiani pun ternyata tidak mengenali bahwa apa yang begitu berharga bagi dunia ternyata berasal dari akar keimanan mereka.

Melalui kebangunan mandat budaya inilah kita berharap sekali lagi kita boleh belajar untuk menemukan iman, menemukan kekristenan, dan menemukan Tuhan pada ranah publik. Kiranya melalui lima kebangunan yang terjadi pada umat Tuhan, gereja sekali lagi boleh menemukan warisan-warisan iman yang pernah Tuhan berikan. Menemukan kebaikan-kebaikan yang berasal dari akar keimanan kita di ruang publik, yang pada akhirnya akan membawa kita semua untuk sekali lagi kembali memuji Dia, satu-satunya Allah yang layak dan sanggup berkuasa secara mutlak.

Nikki Tirta
Pemuda FIRES