Menggumulkan Lima Kebangunan: Kebangunan Pelayanan (Sebuah Pengantar)

Setelah terjadi kebangunan doktrinal, epistemologi, dan etika, kebangunan pelayanan harus menyusul. Semakin seseorang mengenal kebenaran, sudah seharusnya semakin ia ingin melayani Tuhan. Ekspresi dari keinginan melayani Tuhan tersebut tidak akan pernah terlepas dari persinggungannya dengan gereja di dunia; baik visible maupun invisible. Melayani Tuhan adalah berbagian di dalam pelayanan institusi gerejawi. Tetapi fakta perjalanan realitas institusi ini tidak selalu tercatat dengan tinta putih. Ia sering kali terpotret hitam legam dan kelam. Setidaknya sejak gereja dikenal secara institusional pada masa Perjanjian Baru, berbagai penyimpangan telah terekam. Keterlibatan para rohaniwan di dalam percaturan politik kekuasaan, korupsi, hingga pengejaran seksualitas yang amoral, menambah pandangan miring terhadap institusi gereja. Inilah yang membuat banyak orang bertanya-tanya hingga sekarang, benarkah gereja adalah perwakilan Allah di dunia?

Kekecewaan terhadap peran institusi gereja, yang sering kali dianggap telah gagal menjalankan fungsinya, membuat sebagian masyarakat kristiani mengambil jarak. Selain dari mereka yang pada akhirnya meninggalkan iman, ada sebagian kalangan mengambil langkah yang lebih positif, yaitu dengan mendirikan lembaga pelayanan di luar gereja. Sebagian lagi memilih posisi yang lebih apatis; menjalankan peranan yang tidak lebih dari sekadar datang, berdiri, duduk, lalu pulang setelah Kebaktian Minggu. Untuk yang kedua, memang tidak sepenuhnya adalah kesalahan gereja. Tidak bertumbuhnya iman jemaat pun menjadi faktor yang sangat kuat.

Dengan berada pada konteks sosial zaman postmodern, pelayanan komunal dan institusional dipandang sebagai sesuatu yang tidak harus ada. Sebab, relasi antara saya dan Allah dimengerti dalam penerjemahan yang sangat individualistis. Perlawanan terhadap dunia modern berimbas pula ke dalam pemikiran umat. Bahwa yang terpenting dalam keimanan adalah soal relasi antara “saya” dan “Allah” yang di sana. Implikasinya, aktivitas pelayanan institusi gerejawi kehilangan kekhususannya. Semua aktivitas kehidupan seorang individu dipandang sebagai pelayanan terhadap Tuhan, yang statusnya sejajar dengan pelayanan gerejawi. Hal tersebut mengakibatkan pelayanan gereja secara institusional kehilangan kepentingannya dalam kehidupan jemaat. Umat melihat bahwa yang terpenting adalah “saya” yang tetap “dekat” dengan Allah tanpa peduli nasib gereja yang lambat laun mati. Tidak lagi ada yang peduli untuk mengurus keberlangsungan institusi ini hari demi hari. Tidak ada yang perlu diperjuangkan!

Betul bahwa gereja mempunyai kekurangan. Namun, di dalam setiap kekurangan yang ada pada institusi pokok umat Kristen ini, kebangunan rohani yang sejati tidak mungkin menjauhkan umat Tuhan dari gereja. Kesetiaan institusional, di dalam koridor dari tiga kebangunan sebelumnya, sesungguhnya adalah jantung dari perjalanan umat Allah. Bahkan John Calvin mengambil satu posisi yang sangat berani berkenaan dengan institusi gerejawi. Ia pernah menyatakan (dalam terjemahan bebas), “Di mana pun kita melihat firman Allah secara murni diberitakan dan didengar—di sana sebuah gereja Tuhan hadir, meskipun padanya terdapat banyak kesalahan.”

Pertanyaannya adalah, mengapa kebangunan selanjutnya merupakan kebangunan pelayanan di dalam kaitannya dengan institusi gereja? Apa yang menjadikan gereja dan setiap aktivitas pelayanan di dalamnya begitu signifikan?

Pelayanan: Gereja sebagai Isi Hati Tuhan
Kita harus menyadari bahwa gereja bukan hanya sekadar sebuah institusi, atau organisasi. Ia merupakan buah dari isi hati Tuhan sedari kekekalan. Ia dihadirkan ke dalam dunia sebagai sebuah ekspresi dari rencana kekal Tuhan—yang Ia bayar sendiri dengan sangat mahal. Gereja berdiri melalui proses yang sangat extraordinary. Pertama, demi berdirinya gereja di atas dunia, darah Anak Allah harus terlebih dahulu tercurah. Anak Allah sang Firman, yang melalui-Nya dunia tercipta, harus mati sehingga gereja bisa ada dan hidup. Di sini kita melihat betapa besarnya signifikansi dari keberadaan gereja.

Yang kedua, gereja memiliki status yang sangat istimewa. Gereja dikatakan sebagai mempelai Kristus. Gereja digambarkan sebagai wanita yang dinikahkan dengan Kristus, yang dikasihi, dan yang akan Ia lindungi hingga kesudahan zaman. Tidak ada satu pun di dunia ini yang mendapatkan perhatian, kepastian, bahkan pengorbanan sebesar gereja.

Kita dapat berargumentasi bahwa gereja yang dimaksudkan di atas adalah gereja yang kudus dan am, the invisible church. Argumentasi tersebut benar, tetapi belum selesai. Gereja yang tidak kelihatan di dalam ide kekekalan Tuhan adalah gereja yang juga Ia hadirkan secara faktual dan nyata ke dalam dunia. Jikalau kita terus memisahkan keberadaan gereja di dunia (visible) dengan status kekalnya (invisible), maka kita hanya akan terus hidup di dalam dunia platonik. Bahwa apa yang ada di dunia adalah jahat sepenuhnya, dan yang baik hanya ada di luar dunia yang kelihatan ini. Memang institusi gereja bukan tanpa kekurangan. Kejahatan dan perpecahan tidak jarang ada di dalamnya. Dan banyaknya ragam aliran serta denominasi memang belum menggambarkan gereja yang satu, yang “katolik” itu.

Tetapi, fakta kehadiran gereja yang saat ini beragam dan berkekurangan tidak serta-merta meniadakan identitasnya sebagai yang mewakili isi hati Tuhan. Institusi gereja dipanggil untuk mengusahakan dan memperjuangkan hadirnya Kerajaan Allah di muka bumi. Karena itu, segenap pelayanan umat tebusan Tuhan yang telah Ia bangkitkan tidak mungkin lepas dari ikatan sebagai warga gereja.

Betul bahwa seluruh hidup kita adalah pelayanan kepada Tuhan. Betul pula bahwa aktivitas pelayanan tidak hanya berada di dalam institusi gerejawi. Tetapi, saya setuju dengan pendapat John Piper tentang kepentingan dari pengutamaan pelayanan institusi gereja. Bahwa pelayanan di luar gereja hanya dapat bertumbuh bila kehidupan institusi gereja sehat. Cakupan pelayanan kristiani hanya akan meluas secara kuat bila tempat sentral dari iman mereka sendiri berdiri secara kukuh. Tidak akan ada iman yang dapat diteruskan bila kehadiran gereja sirna dari tengah-tengah dunia. Hidup kita boleh berakhir, tetapi tidak dengan keberadaan gereja (gereja sebagai organisme sekaligus organisasinya). Ia bukan hanya dimengerti sebagai kumpulan orang percaya, sebab kumpulan orang-orang percaya tidak serta-merta menjadikannya gereja.

Gereja mendapatkan signifikansinya secara derivatif. Sampai sejauh mana institusi tersebut menjalankan visi ilahi, sampai sejauh itu pula gereja menjadi signifikan. Institusi ada untuk menjadi wadah hadirnya visi. Sejauh mana komitmen sebuah gereja menjalankan panggilan Tuhan atas orang percaya, sampai sejauh itu pula kebangunan pelayanan hadir di dalam hati setiap orang percaya yang mencintai Tuhan dan gereja-Nya.

Pelayanan: Warisan Umat Tuhan dari Zaman ke Zaman
Mengingat pelayanan, saya jadi teringat dengan pernyataan seorang senior dunia pelayanan kampus ketika saya masih mahasiswa. Ia mewanti-wanti kami, para pengurus persekutuan, untuk memahami bahwa aktivis pelayanan bukanlah event organizer (EO). Demikianlah kebahayaan dari para aktivis—kita terkunci kepada aktivitas pelayanan yang segudang, tetapi pada akhirnya kehilangan esensi dari ekspresi kerohanian tersebut. Inilah pentingnya mengapa tiga kebangunan sebelumnya harus mendahului aktivitas pelayanan. Bila tidak, seluruh jerih payah yang kita kira akan semakin menghantarkan kita kepada Tuhan malah justru akan menjadi materi hukuman pada masa penghakiman.

Setelah pelayanan harus dimengerti sebagai perwujudan dari isi hati Tuhan di bumi, selanjutnya kita harus melihat bahwa pelayanan pun adalah perjuangan meneruskan warisan umat Tuhan dari zaman ke zaman. Pelayanan kristiani hadir sebagai sebuah kontinuitas yang panjang, bukan hanya sekadar menyelesaikan proyek event layaknya EO. Ia terkait dengan masa lalu dan berjalan menuju masa depan. Maka dari itu, sebagai aktivis pemuda mahasiswa, kita harus dengan sungguh memilah mana aktivitas-aktivitas pelayanan yang mempunyai kesinambungan mengakar dengan keseluruhan perjalanan umat Allah. Ada skala prioritas di tengah-tengah waktu dan resource yang terbatas. Pula ada batasan otoritas yang tidak boleh dilangkahi (antara church dan parachurch, antara jemaat awam dan hamba Tuhan).

Ketersambungan pelayanan ini hanya dapat kita lihat dengan menelusuri perjalanan sejarah dari orang-orang percaya sebelum kita. Kita harus menyadari bahwa di sepanjang sejarah ada umat Tuhan yang juga bergumul di dalam mengikuti Tuhan. Mereka juga adalah yang dipakai oleh Tuhan untuk menyambung benang merah sejarah umat Tuhan. Dan dalam konteks hidup mereka pula Tuhan membukakan pengertian-pengertian akan kebenaran, akan kesalahan, dan akan kehendak Tuhan secara spesifik. Akan selalu ada konteks-konteks yang eksklusif, yang Tuhan hadirkan secara khusus hanya pada satu zaman, untuk menjadi pembelajaran bagi seluruh zaman selanjutnya ke depan. Ambil contoh, Paulus hanya dimunculkan satu kali, menuliskan surat-suratnya satu kali, dan lalu ia tidak ada lagi. Kehadiran Paulus: kelahiran, pertobatan, pelayanan, hingga kematiannya hanya hadir satu kali dan final.

Inilah yang menyebabkan sekarang kita mengerti, mengapa pelayanan bukan hanya sekadar aktivitas “kekinian”, tetapi merupakan sambungan perjuangan dari umat Tuhan. Menolak berbagian di dalam pelayanan gerejawi berarti menolak perjuangan orang-orang yang mengasihi Tuhan sebelum kita. Kita bukan saja bersalah kepada Tuhan, tetapi juga kepada mereka yang menyerahkan semuanya sebelum kita, dan juga kepada mereka yang akan datang setelah kita. Tidak dengan serius memperhatikan kesinambungan inti sari pelayanan dari masa sebelum kita pun adalah sebuah kejahatan. Antusiasme dan semangat yang membuang pembelajaran dari masa lampau adalah antusiasme yang liar, malas, dan tidak bertanggung jawab. Ini biasa terjadi pada masyarakat postmodern yang terbiasa berupaya mencari kebaruan tanpa melihat benang merah kesinambungan.

Hasil karya dari seluruh orang percaya di sepanjang sejarah menjadi suatu catatan pembelajaran bagi umat Tuhan ke depan. Setiap catatan, baik itu keberhasilan maupun kegagalan, dan bahkan kejatuhan, adalah sebuah pendidikan Tuhan. Setiap akibat dosa adalah tetap dosa. Tetapi itu semua adalah warisan. Kebangunan pelayanan mengakibatkan kita, bukan saja menjadi antusias terhadap pelayanan gerejawi, tetapi terlebih lagi, menjadikan kita sebagai orang yang meneruskan warisan iman.

Pelayanan: Upaya Meneruskan Generasi yang Tidak Melupakan Tuhan
Kebangunan pelayanan akan membawa kita kepada sebuah gol jangka panjang. Bukan saja menyelesaikan setiap bagian yang dipercayakan kepada kita saat ini, tetapi juga harus dipandang dalam rangka mempersiapkan generasi selanjutnya. Setiap aktivitas pelayanan dibangun di dalam prioritas tersebut. Bagaimana setiap orang dipersiapkan bagi segenap pekerjaan Allah di masa yang akan datang, sehingga kehadiran gereja dapat terus dilanjutkan hingga pada penyempurnaannya.

Hakim-hakim pasal 2 menjadi suatu potret faktual bagi kebahayaan yang akan kita hadapi ketika pelayanan kita gagal melihat titik ini. Bangkitnya angkatan yang melupakan Tuhan pada suatu zaman menjadi sebuah tanda tanya besar. Apa yang sesungguhnya terjadi setelah Yosua dan seluruh angkatan yang setia kepada Tuhan tiada? Apakah proses pendidikan dan transfer iman lalai dilakukan oleh mereka yang dikatakan Alkitab sebagai yang setia beribadah kepada Tuhan? Bila mereka lalai, bagaimana mungkin mereka dapat dikatakan sebagai yang setia?

Untuk membaca apa yang kira-kira terjadi pada masa tersebut, mungkin kita dapat menggunakan dalil pengulangan sejarah. Bila Alkitab berkata bahwa tidak ada yang baru di bawah matahari, dan Hegel juga pernah mengatakan (saya parafrasekan), “Kita belajar dari sejarah bahwa manusia tidak pernah belajar dari sejarah,” proses pergeseran yang terjadi pada masa Hakim-hakim dapat kita perkirakan polanya berulang di dalam sejarah gereja. Akan ada masa-masa di mana sebuah generasi mulai terdegradasi dengan melupakan teladan masa sebelumnya. Ketika di setiap masa transisi terjadi pengabaian, maka akumulasi pembiaran tersebut akhirnya menghasilkan sebuah angkatan yang tidak memiliki sisa-sisa jejak iman.

Tatkala gereja dalam suatu zaman menjadi zaman yang melawan Tuhan, justru ia berada pada posisi yang paling memprihatinkan. Gereja pasti ingin dibunuh dunia, dan pada saat bersamaan, ia malah melawan Tuhan; yang adalah satu-satunya Pelindung dan Pemelihara Gereja. Kalau sudah begini, gereja pasti habis. Bila satu-satunya tempat di mana iman Kristen dapat dipertumbuhkan sirna dari dunia, di mana lagikah pengharapan kita sebagai umat Allah? Ketika pusat pelatihan, pengembangan, dan pelestarian iman mati, masihkah kita berpikir bahwa kehidupan kristiani yang asli akan tetap baik-baik saja?

Bila setelahnya tidak ada lagi orang yang peduli untuk berbagian menanggung beban pemeliharaan institusi gereja, beban pengembangan penginjilan yang dikerjakan oleh gereja, beban pengajaran doktrinal yang dipelihara gereja, beban penyelenggaraan sakramen gerejawi, beban pendidikan jemaat awam, beban mempersiapkan dan memunculkan para hamba Tuhan dari jemaat awam tersebut, dan bahkan hingga beban untuk menanggung seluruh biaya finansial yang harus ditunaikan oleh institusi gereja, apakah kita kira gereja akan tetap eksis di tengah-tengah masyarakat kita? Mimpi. Ketika pelayanan kita tidak berada di dalam suatu kesadaran bahwa sedang terjadi peperangan memperjuangkan masa depan, kita sesungguhnya telah kalah. Kebangunan pelayanan membawa kita mengejar pertobatan, kemunculan, dan pertumbuhan dari umat Tuhan bagi masa yang akan datang. Apa yang diperjuangkan, apa yang sedang kita lakukan, mengapa kita kerjakan menjadi pertanyaan-pertanyaan yang penting. Di sini kita mengerti, kejelasan visi dan penyalurannya menjadi suatu hal yang sangat krusial.

Pelayanan: Membangun dari Akar
Membangun pelayanan dimulai dengan membangun dari akar. Maka dari itu kebangunan doctrinal, epistemological, dan ethical harus menjadi paket formulasi awal. Upaya membangun dari akar inilah yang diperjuangkan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong selama puluhan tahun. Setidaknya secara sederhana konsep pembentukan kekuatan pelayanan seseorang tergambar melalui formasi tiga titik yang menjadi tema besar dari National Reformed Evangelical Convention (NREC) selama belasan tahun, yaitu “Iman, Pengetahuan, dan Pelayanan”. Bagaimana iman seseorang, sebagai gambaran dari relasi organik antara ia dan Tuhan, berkorelasi dengan pengetahuannya akan iman yang ia pegang. Iman dan pengetahuan tersebut menemukan tempat pertumbuhannya ketika ia terjun ke dalam ladang pelayanan. Pelayanan adalah konteks yang Tuhan berikan supaya iman, pengetahuan, dan ladang pekerjaan Tuhan mengerjakan buah di dalam hidup orang percaya.

Ada dua fenomena unik yang terjadi dalam konteks dunia pelayanan pemuda mahasiswa. Pada satu sisi, banyak orang yang terlalu cepat melayani. Tanpa pembelajaran, tanpa pengertian. Mereka hadir karena antusiasme yang tidak terarah. Terkadang karena orang-orang tersebut memang senang beraktivitas, atau juga bahkan karena didorong oleh senior. Sudah menjadi pengetahuan umum dalam kalangan dunia pelayanan mahasiswa, bahwa setiap semester persekutuan mahasiswa selalu kesulitan mencari pelayan—baik sebagai pemimpin KTB, pengurus, maupun penatalayan rutin persekutuan. Merasa sungkanan terhadap bujukan senior menjadi pertimbangan yang cukup kuat mengapa seseorang akhirnya memutuskan mau terjun ke dalam aktivitas pelayanan.

Pada sisi yang satu lagi, sekelompok orang memilih untuk tidak mau terlibat pelayanan sama sekali. Berbagai alasan dipakai untuk berdalih, termasuk alasan yang saya sebut di atas (merasa terlalu cepat untuk melayani). Dua tipe orang semacam demikian memang perlu menjalani proses edifikasi sebagai persiapan menuju kebangunan pelayanan. Namun, tetap perlu kita pahami bahwa kebangunan boleh saja diusahakan manusia, tetapi pada akhirnya yang memberikan kebangunan tetap hanyalah Tuhan saja.

Banyak institusi pelayanan memang menghadapi kesulitan. Bersamaan dengan urgensi kebutuhan akan pekerja pelayanan, jumlah orang yang bersedia mengambil tanggung jawab tersebut pun minim; dan tidak jarang, bahkan nol. Institusi gereja dan pelayanan akan keburu mati dahulu sebelum terjadi kebangunan yang diharapkan. Nasib banyak roda pelayanan memang berada di ujung tanduk. Jalan salah, ga jalan mati. Jadi bagaimana? Akhirnya mereka, yang telah sungguh terpanggil terlebih dahulu, harus menanggung beban yang lebih berat. Inilah yang dikerjakan oleh Paulus, inilah yang dikerjakan oleh banyak hamba Tuhan. Mereka menanggung beban berkali lipat lebih sulit sambil menunggu orang-orang yang diharapkan “jadi”. Kondisi inilah yang pernah Paulus utarakan, ketika karena jemaat, ia berusaha menahan sakit bagaikan orang yang bersalin (Gal. 4:19). Mari doakan dan harapkan kebangunan pelayanan terjadi dalam diri kita dan orang lain, sebab banyak orang yang sedang berdarah-darah menanggung bagian kita yang sedang kita abaikan.

Pelayanan sebagai Sebuah Pernikahan
Melalui kebangunan pelayanan, kita dibawa untuk melihat pelayanan di dalam gambaran sebuah pernikahan. Konsep besar yang memayungi adalah pernikahan antara Kristus dan gereja. Dari sana terimplikasikan prinsip derivatif dalam bergereja, bahwa relasi antara hamba Tuhan dan jemaat awam membawa pola yang sama. Mereka diikatkan oleh Tuhan di dalam kolaborasi yang saling menopang demi memelihara gereja Tuhan. Pola pernikahan memang menjadi salah satu paradigma yang memberikan dasar ordo antara hamba Tuhan dan jemaat awam. Sebab hamba Tuhan memang menjadi perwakilan Kristus di dalam membina gereja. Mereka dipanggil oleh Tuhan untuk mendedikasikan hidupnya bagi jemaat Tuhan. Sebagai gembala yang baik, sebagai orang yang mengasihi jemaat, sebagai guru, sebagai orang tua, dan sebagai orang yang “menyerahkan nyawa” mereka bagi gereja.

Di sisi yang lain, jemaat dipanggil untuk tunduk di bawah kepemimpinan dari hamba Tuhan yang diberikan. Selama ia bukan orang yang berada di luar koridor dari tiga kebangunan sebelumnya, ia adalah pemimpin kita. Sayangnya, sering kali kita membawa paradigma tuan dan hamba ke dalam gereja, dan tuannya adalah kita. Alasannya sederhana, sebab bukankah persembahan jemaat yang menggaji hidup dari para pendeta? Ini adalah cara pandang yang sangat rendah. Saya sendiri pernah melihat bagaimana seorang pemuda (bukan berasal dari komunitas di tempat penulis melayani) bersikap sebagai pengamat dan pengkritik yang begitu keras, tetapi sambil melupakan tuntutan yang juga seharusnya disematkan bagi dirinya sebagai jemaat. Ini tidak fair. Bila kita berani menuntut hamba Tuhan dengan standar yang begitu tinggi, berani pulakah kita menuntut diri ini untuk menjadi jemaat yang baik, yang layak untuk berpadanan dan mendampingi hamba Tuhan yang baik tersebut?

Memang ada hamba-hamba Tuhan yang secara faktual kehidupan pelayanannya kurang bertanggung jawab. Tetapi biarlah itu menjadi poin koreksi bagi mereka. Sebaliknya, kita sebagai jemaat awam mari melatih diri sedemikian rupa sehingga, bagaikan seorang “istri” yang cakap, kita dapat mendampingi pemimpin rohani kita dalam menggenapkan seluruh pekerjaan Tuhan yang penuh tantangan dan perlawanan dari si setan. Kebangunan pelayanan yang sejati akan membawa kita kepada kesadaran dan pengupayaan di dalam relasi kolaboratif ini. Bagaimana kita sebagai jemaat awam boleh menjadi rekan yang berpadanan dengan orang-orang yang dipanggil Tuhan secara khusus untuk menjabat pelayanan firman. Alkitab menceritakan banyak kisah soal ini. Ada Lukas yang adalah seorang dokter. Ia dengan setia mendampingi pelayanan Paulus. Baik sebagai penulis dari Injil Lukas dan Kitab Kisah Para Rasul, maupun sebagai pemerhati kesehatan Paulus, Lukas telah menjadi rekan sekerja yang sangat indah bagi pelayanan umat Tuhan yang dikerjakan oleh Rasul Paulus.

Pelayanan sebagai Sebuah Ekspresi Kebertundukan dan Kesetiaan
Pelayanan adalah sebuah wujud kebertundukan kita kepada Tuhan. Dan konsistensinya adalah sebuah batu ujian bagi ekspresi kesetiaan kita; terutama bagi konteks-konteks pelayanan yang jarang menuai pujian. Tiga kebangunan sebelumnya, ketika terjadi, pasti membawa kita kepada suatu kesadaran bahwa keseluruhan hidup ini hanyalah untuk melayani Tuhan. Maka melayani Tuhan, di dalam institusi gereja Tuhan, menjadi suatu ekspresi yang paling lumrah. Gambaran ini sangat erat dengan pola kehidupan umat Israel pada Perjanjian Lama. Bagaimana secara khusus segala keperluan dari Rumah Allah (baik Kemah Suci maupun Bait Suci) menjadi pokok kehidupan dari peribadatan umat Tuhan. Pelayanan yang khusus tersebut mendasari seluruh jalan kehidupan bangsa Israel secara umum di hadapan Allah. Bila yang khusus tidak diperhatikan, maka tidak mungkin ada kehidupan ibadah secara umum di hadapan Tuhan. Sebab jika lambang kehadiran Tuhan yang paling ekspresif dan jelas saja tidak dipelihara, bagaimana mungkin kehidupan peribadatan secara umum yang lebih abstrak bisa ada?

Pola ini pula yang sering menjadi polemik di tengah-tengah kehidupan masyarakat kristiani dewasa ini. Ternyata pergumulan kita tidak berubah, masih berkisar hal-hal yang sama dan isu-isu yang sudah tua. Dalam dunia pelayanan pemuda, sering kali kita pun menemukan pandangan yang sama. “Bukankah keseluruhan hidup ini adalah pelayanan?” begitu awal keberatan kita agar tidak perlu ada pengkhususan pelayanan dalam institusi gereja. Menjadi profesional muda yang “baik” dan bertanggung jawab pun sudah cukup sebagai sebuah pelayanan. Akhirnya pelayanan dimengerti di dalam koridor dari pembangunan karier pribadi kita. Contoh lain, yang lebih unik lagi pada konteks masyarakat internet, adalah pandangan soal tidak perlu hadir secara langsung dalam kebaktian. Live streaming saja via internet, cukup. “Bukankah yang terpenting adalah hati kita di hadapan Tuhan? Tuhan melihat hati, bukan penampakan fisik,” demikian pembelaan kita. Bukankah keseluruhan hidup kita adalah ibadah? Ini menjadi pertanyaan yang paling sering diajukan. Masih banyak konteks lain yang serupa, yang menjadi alasan di mana pelayanan gerejawi secara khusus menjadi dianggap tidak perlu.

Pandangan yang semacam demikian begitu salah kaprah. Ia meniadakan kekhususan dari peribadatan yang diajarkan oleh firman. Ia juga membunuh keberadaan institusi gereja secara langsung. Bila semua orang Kristen hanya mengerti bagaimana menikmati religiositas secara sendiri-sendiri, bagaimana bisa umat Tuhan mengerjakan panggilannya secara komunal? Ketika setiap umat Allah hanya tahu bagaimana datang untuk menikmati, dan mengambil segala sesuatu bagi diri mereka sendiri, sudah pasti rumah Allah akan menjadi senyap dan sepi. Kebangunan pelayanan yang sejati menjadikan umat Allah sadar dengan pasti bahwa ketika mereka datang ke “Bait Allah”, mereka dipanggil bukan untuk mengambil, melainkan untuk membawa korban dan perpuluhan demi menjaga tetap menyalanya api di Bait Allah.

Panggilan Gerakan Reformed Injili: Kerajaan Allah, Gereja, dan Pelayanan
Akhirnya, seluruh rangkaian kebangunan pelayanan kita sudah seharusnya berada di bawah sebuah narasi utama yang besar, yaitu demi membangun Kerajaan Allah. Kerajaan Allah yang besar dari alfa hingga omega ini diimplementasikan ke dalam bagian-bagiannya yang partikular (namun berkesinambungan). Setiap bagian ada masanya, ada zamannya, dan ada orang-orangnya. Semua kehadiran konteks, wadah serta orangnya bukanlah suatu kebetulan. Jika kita percaya kepada kedaulatan Tuhan atas awal hingga kesudahan zaman, maka kehadiran Gerakan Reformed Injili (beserta seluruh spektrum pelayanannya) menjadi sebuah panggilan dari Tuhan.

Apa yang telah diupayakan hingga kini melalui gerakan ini merupakan sebuah upaya untuk menangkap, mengerti, dan meneruskan isi hati Tuhan yang terus Ia nyatakan di sepanjang perjalanan iman Kristen. Gerakan ini berusaha meneruskan warisan yang disediakan bagi kita pada era saat ini. Ia pun berusaha untuk mengerjakan kebangkitan iman dari generasi muda masa kini. Suatu kebangunan yang didoakan dan dikerjakan melalui dasar theologi Reformasi dan semangat Injili (terlibat aktif, dan secara langsung berbagian di dalam penginjilan kepada orang-orang).

Mengapa gerakan ini mengupayakan semuanya itu? Agar di masa yang akan datang tidak bangkit sebuah angkatan yang akhirnya melupakan Tuhan. Karena itu, gerakan ini terus berusaha membangun iman Kristen yang berangkat mengakar dari doktrin yang bertanggung jawab. Pengajaran yang terus dipelihara hingga kini adalah warisan iman yang paling berharga. Ia menjadi wujud ikatan perjanjian antara Allah dan umat-Nya. Bahwa tanda dari umat-Nya yang sejati adalah ketika mereka tunduk, taat, dan setia kepada setiap ketetapan Tuhan mereka.

Kebangunan pelayanan bukanlah akhir. Ketika gereja bertumbuh begitu kuat, sehat, dan dewasa, tidak mungkin ia tidak menjadi berkat bagi dunia. Melalui gereja yang kuat dimungkinkan hadirnya masyarakat kristiani yang aspek pelayanannya merambah lebih luas. Kebangunan mandat budaya harus menyusul sebagai respons terhadap perintah Tuhan untuk “mengusahakan tempat di mana kau Kutempatkan.” Kebangunan pelayanan harus terjadi demi menguatkan basis kekuatan komunal masyarakat kristiani, yaitu institusi gereja itu sendiri.

Kiranya empat rangkaian kebangunan ini boleh terjadi di zaman kita. Tetapi bila kita mengharapkannya terjadi pada masa kita, pertanyaannya adalah siapakah yang dengan rela dan setia mengupayakannya?

Nikki Tirta
Pemuda FIRES