Kitab Roma mencatat bahwa semua manusia telah berdosa (Rm. 3:23). Manusia di dalam keberdosaannya, meskipun telah mengetahui tuntutan-tuntutan hukum Taurat, bukannya bertobat tetapi malah senantiasa melanggarnya, dan lebih parah lagi, manusia menyetujui orang lain turut melanggar. Lihat saja perjuangan mendukung diakuinya hak-hak kaum homoseksual di negara-negara bagian di Amerika, dukungan bukan saja datang dari kelompok itu sendiri tetapi juga dari orang-orang di luar kelompok itu yang mengatasnamakan hak asasi manusia. Perselingkuhan, atau lebih tepatnya perzinahan, juga sudah dianggap sebagai sesuatu yang lumrah sebagai manusia. Media perfilman dan juga infotainment memiliki andil besar dalam memperkenalkan gaya hidup yang seolah-olah wajar, padahal sebenarnya rusak adanya. Manusia berdosa tidak menyadari keseriusan dosa di hadapan Tuhan. Dosa hanya dimengerti sebagai perbuatan jahat yang merugikan orang lain. Padahal dosa bukanlah sebatas persoalan hubungan horizontal antara manusia dengan sesamanya saja. Yusuf mengerti hal ini dan berkata kepada istri Potifar yang mengajaknya berzinah, “Bagaimanakah aku dapat melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?”
Dosa menyangkut respons manusia kepada Tuhan Allah, kepada kehendak Allah. Manusia yang diberi kebebasan untuk mengasihi dan taat atau melawan Penciptanya, telah memilih untuk tidak menaati Firman-Nya. Oleh karena ia memilih respons untuk melanggar ketetapan Tuhan, Penguasa dan Hakim alam semesta ini, hukuman dan siksaan yang kekal adalah konsekuensi yang harus ia jalani sebagai akibatnya. Kejam? Tunggu dulu. Keadilan menuntut hukuman terhadap kesalahan. Betapapun kita merasa bahwa diri kita penuh dengan belas kasihan, tapi jikalau keadilan hendak dijalankan, maka seseorang yang secara sadar mengakibatkan orang lain kehilangan nyawa seharusnya divonis mati atau dipenjara seumur hidup. Demikian juga dengan dosa. Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa setiap orang akan dihakimi menurut perbuatannya. Keadilan Allah dinyatakan dalam hal menjalankan penghakiman dan juga hukuman terhadap manusia yang telah berdosa (berespon salah kepada Allah).
Tepatlah yang dikatakan oleh Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus bahwa pengenalan akan Allah di satu sisi menjadi bau kehidupan yang menghidupkan bagi mereka yang diselamatkan tetapi bau kematian yang mematikan bagi mereka yang akan binasa (2Kor. 2:15-16). Berita bahwa setiap orang akan diperhadapkan pada takhta penghakiman Tuhan Allah dan kemurkaan Allah atas dosa manusia menjadi kengerian yang menghanguskan. Pengetahuan akan keberadaan Allah menjadikan hidup manusia berdosa dihantui oleh rasa bersalah dan ketakutan karena diperhadapkan pada kesadaran akan penghakiman yang pasti menanti di depan. Siapa yang dapat tahan hidup dalam teror seperti ini? Itulah sebabnya, manusia lebih memilih untuk menjauh dari Tuhan bahkan berkata bahwa (lebih baik) Tuhan itu tidak ada. Manusia lebih suka hidup ‘tanpa keberadaan Allah’, keberadaan yang terpisah dari Allah, padahal tempat yang seperti ini adalah neraka. Ketika manusia memilih untuk melarikan diri dari Tuhan Allah, manusia memilih maut bagi dirinya. Upah dosa adalah maut. Betapa bodohnya manusia!
Di dalam dunia hukum dikenal istilah grasi, yakni hak prerogatif seorang kepala negara untuk mengurangi hukuman, bahkan menghapuskan pelaksanaan hukuman pidana yang telah dijatuhkan oleh pengadilan kepada seseorang. Pemberian grasi dapat memberikan kesempatan kepada seorang terpidana mati untuk tetap hidup. Demikian pula dalam penebusan Kristus, Allah memberikan grasi kepada manusia berdosa untuk dapat hidup, dan bukan hanya sementara tetapi selama-lamanya. Akan tetapi, tidak seperti pemberian grasi dalam sistem hukum di dunia ini, grasi kepada manusia berdosa menuntut keadilan Tuhan tetap dijalankan, bukan hanya suatu penetapan pembebasan yang didasarkan kepada hak dan belas kasihan seorang kepala negara. Pengampunan Tuhan memerlukan pengorbanan Kristus di salib demi menanggung murka Allah dan juga maut yang adalah hukuman atas dosa-dosa kita. Kasih Allah kepada manusia berdosa tidak membuat murka Allah atas dosa manusia menjadi tidak ada.
Akan tetapi, pengampunan yang Allah kerjakan bagi umat yang Ia kasihi tidak berhenti di sini saja. Melalui penebusan Kristus, kita diangkat menjadi anak-anak Allah, kita tidak lagi berada di bawah penghukuman, tetapi dalam belas kasihan dan cinta kasih Allah Bapa karena Kristus. Tuhan Yesus Kristus, yang adalah Anak Allah sendiri, rela inkarnasi menjadi manusia agar anak-anak manusia pilihan-Nya diangkat menjadi anak-anak Allah. Thomas Watson dengan tepat mengatakan bahwa adalah suatu kemurahan untuk membebaskan dan menerima kembali seorang terpidana mati, tetapi adalah sebuah anugerah yang sangat besar jikalau terpidana tersebut diangkat menjadi anak, menjadi ahli waris oleh orang yang tadinya adalah seteru dari terpidana tersebut. Sadarkah kita akan anugerah tak terbayangkan ini?
Sebagai anak-anak Allah, kita diberi hak menjadi ahli waris kerajaan Allah. Tetapi perlu kita ingat bahwa penerimaan manusia berdosa masuk ke dalam anggota keluarga kerajaan Allah bukanlah suatu proses tanpa pembentukan. Setiap anak Allah dituntut untuk semakin menyerupai gambaran Anak Allah yang sempurna. Seperti yang dikatakan oleh Rasul Yohanes dalam suratnya yang pertama, setiap orang yang telah diperanakkan oleh Roh Allah tidak terus-menerus berbuat dosa lagi. Anak-anak Allah mengetahui hal ini, dan tidak akan dapat dengan sejahtera terus-menerus hidup dalam dosa. Bagaimana mungkin anak-anak Allah akan tetap sejahtera ketika melakukan hal-hal yang mempermalukan bukan saja dirinya, tetapi juga anggota keluarga yang lain, dan terlebih lagi Bapanya di sorga? Kerinduan anak-anak Allah adalah agar nama Bapanya dikuduskan, dipermuliakan, dan dinyatakan melalui hidupnya. Proses pembentukan dan pengudusan untuk semakin menyerupai Kristus ini menuntut setiap anak Allah untuk percaya dan taat sepenuhnya kepada Tuhan Allah yang adalah Bapanya.
Memang ketika seorang terpidana selesai menjalani hukumannya dan siap kembali ke masyarakat, sudah sewajarnya jikalau keluarga menjadi orang pertama yang menunjukkan penerimaan. Hal ini mengingat bahwa di dalam peradaban manusia pada umumnya, mantan narapidana bukanlah kelompok orang yang akan diterima kembali oleh masyarakat dengan mudah. Di Singapura ada program Yellow Ribbon yang merupakan inisiatif pemerintah demi mendorong warganya untuk menerima kembali para bekas narapidana yang baru keluar dari penjara. Pihak keluarga memang seharusnya menjadi yang pertama menerima dan mendukung mereka ini untuk memulai kehidupan yang baru dan meninggalkan masa lalu yang kelam. Demikian juga anggota keluarga Allah seharusnya belajar untuk saling menerima dan sabar menanggung kelemahan satu sama lain. Penerimaan ini dimungkinkan karena teladan yang Allah Bapa sendiri berikan, yang menerima orang berdosa dengan penuh kasih setia dan kesabaran menantikan pertobatan dan pertumbuhan iman anak-anak-Nya.
Di dalam Injil Matius, Tuhan Yesus menyampaikan perumpamaan bagaimana seorang gembala yang memiliki seratus domba akan meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor untuk mencari seekor domba yang hilang. Ia mengatakan bahwa Bapa di sorga tidak menginginkan supaya seorang pun dari anak-anak-Nya hilang. Oleh sebab itu, sebagai sesama saudara, anak-anak Allah harus belajar untuk saling menegur jika saudaranya berbuat dosa. Jikalau orang tersebut menyesal dan bertobat dari jalannya yang sesat, semua saudara akan bersukacita dan menerimanya kembali. Dalam hal ini perlu adanya kejujuran dan keterbukaan dalam berelasi kepada Tuhan dan kepada saudara seiman. Melalui kejujuran dan keterbukaan dimungkinkan adanya penerimaan yang sejati dan kekuatan untuk menang atas kuasa dosa. Anak-anak Allah terus berjuang agar semakin hari dosa semakin tidak berkuasa dalam hidupnya. Apakah kerinduan seperti ini ada di dalam diri kita? Apakah kita sungguh-sungguh adalah anak-anak Allah?
Suryanti Yunita Simanullang
Pemudi GRII Singapura