a painting of a group of men on horses

Menuju Perdamaian Abadi

Impian manusia untuk tinggal di dalam suatu kerajaan yang damai dan tentram seolah terwakilkan ketika Immanuel Kant mengeluarkan pemikirannya mengenai Kerajaan Allah. Tesisnya dalam buku “Religion Within the Limits of Reason Alone” ini merupakan sesuatu yang menyuarakan impian orang banyak. Alangkah indahnya damai itu. Tinggal dalam satu dunia yang bersatu, tidak ada kebencian, tidak ada perselisihan, dan tidak ada peperangan. Mungkinkah ini tercapai? Jika ya, bagaimana cara mencapainya? Kant mengatakan bahwa moral adalah jawabannya. Kant menafsirkan Kerajaan Allah sebagai ”gereja dengan universal moral dogma sejati”[i] dan dengan berani dia mengatakan bahwa iman Kristen orthodox tidak dapat diterima secara universal, tetapi moral dapat diterima secara universal, karena itu moral harus menjadi prinsip universal sedangkan iman Kristen orthodox tidak.[ii] Lalu bagaimana perdamaian dunia dapat diwujudkan?

Dalam buku ”Menuju Perdamaian Abadi”[iii] Kant mengusulkan beberapa prinsip untuk dijalankan oleh bangsa-bangsa dunia. Prinsip-prinsip itu pada intinya mau mengatakan bahwa kalau manusia berpikir rasional, pasti tidak akan terjadi perang. Peperangan itu tidak rasional. Peperangan itu tidak logis. Peperangan merupakan kebodohan. Maka, semakin manusia menjadi dewasa, semakin dia akan meninggalkan sifat brutalnya yang hobi berperang. Sejarah, menurut Kant, sedang mengantar manusia menuju kepada kedewasaan. Dalam Religion-nya dia menjabarkan beberapa tahap perjalanan menuju kepada kedewasaan itu, yaitu: zaman primitif yang diwarnai dengan peperangan antar suku, lalu zaman penyembahan religius yang bersandarkan pada iman seperti Kekristenan orthodox, dan terakhir adalah zaman rasional di mana moralitas menjadi pengukur segala sesuatu. Apakah hal ini dapat terjadi? Apakah benar sejarah akan membawa manusia kepada suatu keadaan perdamaian sejati dengan mengandalkan moralitas? Ya, hal ini dapat saja terjadi, tetapi hanya di dalam dunia mimpi dari Immanuel Kant – dunia mimpi yang hanya terdiri dari manusia yang pada dasarnya memang baik, dunia mimpi yang melupakan satu fakta yang telah dinyatakan oleh Alkitab, dunia mimpi yang lupa memasukkan fakta adanya dosa, dunia mimpi yang melihat dosa hanya sebagai suatu bentuk ketidakrasionalan dan yang akan hilang sendiri seiring dengan kemampuan manusia untuk berpikir rasional. Dosa dianggap sebagai bentuk pemikiran primitif dari manusia purba yang masih tersisa. Dosa ditafsirkan hanyalah sebagai pemikiran yang mengandalkan hawa nafsu, dan bukan rasio. Jika demikian, benarkah ketika manusia mulai mengandalkan rasio, dosa akan perlahan-lahan hilang meninggalkan dunia ini?

Lebih dari 200 tahun kemudian, sejarah membuktikan kesalahan dari Kant. Manusia telah bertumbuh masuk ke zaman yang tidak terpikirkan sebelumnya. Teknologi berkembang dengan cepat, arus pertukaran informasi terjadi hanya dengan hitungan detik di seluruh dunia. Bukankah ini bukti dari kemampuan manusia memakai akalnya dengan luar biasa? Apakah ini yang disebut manusia dewasa? Jika ya, manakah kerajaan damai yang diimpikan itu? Peperangan, pembunuhan, perampokan, penipuan, bunuh diri, kerusakan moral, semuanya semakin menampakkan diri dalam skala besar seiring dengan kemajuan teknologi manusia. Perang Dunia I dan II merupakan bukti terbesar kegagalan manusia seiring dengan perkembangan kemampuan rasio manusia. Dunia ini ternyata tidak berjalan seperti dunia dalam bayangan Kant. Dunia kita hari ini menyatakan kedewasaan intelektual dapat terjadi bersamaan dengan kemerosotan moral dan kekejaman yang semakin meningkat. Lalu apa yang sebenarnya terjadi?

Hannah Arendt mencoba menjawab dengan mengatakan bahwa yang sebenarnya terjadi adalah pereduksian manusia-manusia yang unik ke dalam suatu bentuk konsep politik.[iv] Hal ini menjadi penyebab munculnya rezim totaliter. Mengapa orang Yahudi dibantai? Karena mereka bukan “manusia.” Lalu yang mana yang disebut ”manusia”? Orang Jerman adalah ”manusia.” Maka kalau saya membunuh yang bukan orang Jerman, saya bukan membunuh ”manusia.” Siapakah ”manusia”? Yang seagama dengan saya adalah ”manusia”, yang sebangsa dengan saya adalah ”manusia”, atau yang sepaham dengan saya adalah ”manusia”. Yang tidak seagama, sebangsa, atau sepaham itu bukan manusia dan karena itu layak saja untuk dibunuh. Kekejaman-kekejaman terjadi dengan begitu banyaknya sehingga bukan lagi hal yang menggetarkan bagi kita ketika membaca seorang suami membakar hidup-hidup isterinya sendiri. Bukan lagi hal luar biasa, ketika mendengar puluhan tubuh manusia hancur berkeping-keping karena sebuah bom bunuh diri. Kejadian sedemikian sudah menjadi suatu tindakan konyol yang setiap pagi dapat kita dengarkan atau baca sambil menghirup harumnya kopi Arabika.

Apakah manusia pada dasarnya baik? Apakah ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kemajuan teknologi akan membuat manusia berhenti bertindak kejam? Apakah pereduksian konsep ”manusia” menjadi semacam konsep politik merupakan penyebab kekejaman ini? Ataukah manusia itu memang monster?[v] Ya. Manusia adalah monster yang kekejamannya tidak dapat dibayangkan. Monster yang kekejamannya tidak disadari oleh dirinya sendiri. Inilah kenyataan itu. Pemikiran bahwa manusia itu pada dasarnya baik sudah hancur luluh bersamaan dengan puing-puing saksi pembantaian kekejaman pemusnahan etnis. Optimisme manusia rasional yang cinta damai telah menjadi impian yang makin dilupakan ketika wajah-wajah yang dapat tersenyum manis dan sopan ternyata juga adalah wajah-wajah yang dapat tertawa gembira ketika melihat penjarahan dan pemerkosaan terjadi, karena orang-orang yang menjadi korban itu bukanlah ”sesamaku manusia.” Apakah impian untuk perdamaian abadi itu dapat bertahan? Seorang yang berseru: ”I have a dream…,” untuk mendamaikan perbedaan ras menghentikan impiannya ketika peluru menghujam tubuhnya. Jika Kant masih hidup, saya rasa dia akan menulis ”Menuju Neraka Abadi” sebagai lanjutan dari ”Menuju Perdamaian Abadi” yang ditulisnya ratusan tahun yang lalu…

Kita selalu bermimpi mau menjadi seperti Allah. Kita merindukan kebebasan memiliki otoritas sebagai yang ilahi. Tetapi yang terjadi adalah makin lama makin nyata kalau kita makin menyerupai setan dan bukan Allah. Di manakah belas kasihan? Di manakah kasih? Di manakah perdamaian? Di manakah pengampunan? Di manakah kehidupan bermoral? Di manakah ketentraman? Adakah jaminan bahwa kita memiliki masyarakat dengan budaya yang tidak bercacat? Siapa yang dapat memberikan jawaban mengenai apa yang sebenarnya tengah terjadi? Tidak ada. Karena semua ajaran agama manusia memberikan harapan kosong bahwa manusia mampu bangkit. Apakah ada agama atau kepercayaan apapun yang tidak memiliki sepercik saja optimisme bahwa manusia mampu mengatasi kekacauan dunia ini? Ada yang menawarkan meditasi, ada yang mengatakan: ”Beramal!”, ada yang memerintahkan untuk membasuh diri. Tetapi Alkitab mengunci semua kemungkinan kemampuan manusia mengatasi kekacauan ini dengan sepercik kebaikan yang dimilikinya sendiri. Alkitab mengatakan bahwa:

…kejahatan manusia besar di bumi dan segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata…[vi]

dan

Tidak ada yang benar, seorangpun tidak… Mulut mereka penuh dengan sumpah serapah, kaki mereka cepat untuk menumpahkan darah. Keruntuhan dan kebinasaan mereka tinggalkan di jalan mereka, dan jalan damai tidak mereka kenal…[vii]

Siapakah yang dapat menyanggah kedua pernyataan ini? Apakah masih ada sisa kebaikan dari dalam diri manusia? Tidak. Karena Alkitab melihat manusia dari sudut pandang Allah. Berapa pun amal yang dilakukan, berapa pun ibadah yang dilakukan, ada satu fakta yang tidak dapat disangkal, yaitu bahwa semua manusia sudah berdosa. Semua perbuatan baik kita kepada manusia tidak dapat menghilangkan fakta ini karena sekalipun tangan kanan kita terulur untuk menolong orang lain, tetapi hati kita terus meluapkan kebencian terhadap Allah. Kita ini adalah pembenci-pembenci Allah. Kita ini adalah pelanggar-pelanggar perjanjian dengan Tuan kita, yaitu Allah Pencipta kita. Kita, yang dicipta, melawan Sang Pencipta kita. Inilah yang disebut dengan dosa.

Kebencian kita terhadap Allah mengalir dengan begitu alaminya. Tidak seorang pun perlu diajar untuk memberontak kepada Allah karena memang natur dosanya adalah natur yang memberontak terhadap Allah. Kita tidak mampu melakukan apa pun dalam dunia ini secara alami, kecuali satu, yaitu melawan Allah. Inilah satu-satunya bakat alami yang secara natural mengalir dari dalam hati kita yang berdosa ini. Segala kerusakan, kejahatan, pembunuhan, dan kehancuran yang terjadi adalah bentuk yang termanifestasi keluar dari hati yang membenci Allah. Inilah yang dinyatakan Alkitab tentang apa yang sedang terjadi. Dan Alkitab menjelaskan bahwa yang sedang terjadi adalah manifestasi secara fisik dari dosa-dosa yang adalah sifat alami yang kita miliki dalam hati kita, yang merupakan suatu natur alami yang menyatakan kebencian terhadap Allah. Karena itu, adakah yang dapat membantah slogan ini: “We’re sinners, therefore we sin!”?

Dari manakah dosa? Apakah dosa merupakan sesuatu yang wajar dimiliki oleh manusia sebagai ciptaan yang terbatas? Ataukah dosa merupakan sesuatu yang diperlukan agar Tuhan sendiri dapat menyatakan pengampunan-Nya? Mungkinkah dosa juga merupakan suatu kekuatan yang sejak kekal ada dan terus menerus diperangi oleh Allah? Tidak. Tidak satu pun kalimat pertanyaan di atas dapat dijawab dengan ”Ya.” Allah tidak menciptakan dosa. Dosa bukanlah suatu bentuk kelemahan atau keterbatasan ciptaan. Dosa juga tidak diciptakan Allah sebagai cara-Nya menyatakan pengampunan-Nya. Alkitab tidak pernah memberikan celah bagi kita untuk menganggap bahwa Allah adalah pencipta dosa atau bahwa dosa memiliki keberadaan yang kekal.[viii] Lalu apakah yang dinyatakan oleh Alkitab mengenai dosa?

Alkitab menyatakan bahwa dosa adalah pelanggaran yang dilakukan manusia terhadap perjanjian dengan Allah. Ridderbos mengatakan bahwa tanggung jawab manusia kepada Allah adalah hal yang secara otomatis berlaku karena Allah adalah pencipta manusia.[ix] Saat manusia gagal menjalankan tanggung jawabnya kepada Allah adalah saat dosa masuk. Allah menyatakan perjanjian-Nya kepada manusia. Dia menuntut manusia untuk menaati perjanjian ini. Dia adalah Tuan atas perjanjian ini, Dia adalah yang menyatakan syarat-syarat perjanjian-Nya, dan Dia juga yang akan memberikan berkat-Nya secara melimpah melalui perjanjian-Nya itu. Dia yang berdaulat menyatakan perjanjian-Nya dan Dia juga yang berhak untuk menuntut ketaatan dari manusia. Alkitab menyatakan bahwa manusia gagal menaati perjanjian-Nya, dan inilah dosa. Dosa adalah penyalahgunaan kebebasan yang diberikan Allah kepada kita – kebebasan yang adalah kehormatan besar bagi kita, yang diberikan oleh Allah sendiri,[x] kebebasan yang seharusnya ditundukkan menjadi suatu ketaatan mutlak tetapi dipergunakan untuk memberontak terhadap Allah.

Setelah manusia menjadi pelanggar perjanjian, Allah membiarkan manusia dalam keberdosaannya.[xi] Inilah saat di mana manusia menjadi makin lama makin celaka. Kalau Allah tidak beranugerah sama sekali dan meninggalkan kita untuk menyatakan natur berdosa kita dalam kehidupan di dunia ini sebebas-bebasnya, maka celakalah kita semua. Pernahkah berpikir apa jadinya bila seluruh kejahatan manusia termanifestasikan sepenuhnya? Pikirkanlah segala kemungkinan kejahatan yang dapat terjadi lalu renungkan, mengapa tidak semua kejahatan tersebut terjadi? Ini hanya karena Tuhan masih menyatakan anugerah-Nya di dunia ini – anugerah yang Dia nyatakan karena Dia masih berkarya di dunia ini. Dunia ini tetaplah milik-Nya dan tidak ada apapun yang dapat terjadi di luar ketetapan dan izin-Nya. Sebagaimana dikatakan oleh sebuah lagu, “This is (still) my Father’s world,” Allah tetap menyatakan diri-Nya sebagai pemilik atas dunia ini dan Dialah yang mengatur arus sejarah yang berjalan. Dia tetap menyatakan pekerjaan-Nya dan Dia tetap menyatakan anugerah-Nya, termasuk mengekang kejahatan. Anugerah tersebut, salah satunya, dinyatakan melalui peringatan-Nya akan fakta dosa.

Di saat para nabi palsu berteriak, ”Damai sejahtera! Damai sejahtera!” Tuhan membangkitkan nabi-Nya yang berteriak, ”Tidak ada damai sejahtera!”[xii] Damai sejahtera palsu membuat kita tidak awas akan bahaya yang tengah terjadi. Damai sejahtera palsu membuat kita tidak sadar akan kematian yang tengah mengintai. Damai sejahtera palsu membuat kita menantikan kedamaian abadi dengan cara yang salah, seperti yang dilakukan Immanuel Kant. Perdamaian seperti apakah yang dinantikan manusia? Apakah manusia rindu untuk bergandengan tangan satu dengan yang lain? Rindu untuk melihat perdamaian antara satu dengan yang lain? Rindu untuk mengulurkan tangan tanda persaudaraan? Siapa lagikah yang masih juga naif dan percaya akan persaudaraan dan perdamaian abadi di dunia ini? Siapa yang masih percaya bahwa para monster buas dapat hidup bersama dalam satu kandang terkutuk bernama dunia tanpa saling menelan dan saling membinasakan? Mungkin orang yang masih percaya justru akan menjadi korban berikutnya dari monster-monster sekitarnya, atau dia sendiri akan berubah menjadi monster yang menelan sekelilingnya. John Lennon mengulurkan tangan tanda persaudaraan, tetapi setelah itu ”saudara”-nya malah mengulurkan pistol dan menembaknya mati. Adolf von Harnack menyerukan persaudaraan antar semua manusia, tetapi setelah itu dia malah mendukung kampanye totaliter Hitler. Korban monster? Atau sendirinya berubah menjadi monster yang lebih ganas? Tinggal pilih… Ketika manusia gagal melihat fakta adanya dosa tidak mungkin ada kesempatan untuk terjadinya perbaikan kerusakan yang terjadi. Karena itu anugerah Allah dinyatakan dengan masih adanya suara yang berseru-seru menyadarkan orang akan fakta dosa dengan teriakan: ”Tidak ada damai sejahtera!” Inilah suara dari orang Kristen sejati.

Apakah memang tidak mungkin ada damai sejahtera dalam dosa? Baiklah. Kita akan memberi sedikit kesempatan pada si jenius bertubuh mini, Immanuel Kant. Misalkan, entah bagaimana caranya, impian Kant sungguh-sungguh terwujud. Semua manusia berpikir rasional, bertingkah laku baik, bermoral tak bercacat, dan semua manusia hidup dalam damai. Semua dana perang dialihkan ke riset untuk kesehatan, atau pertanian, atau membangun rumah sakit. Semua begitu indah. Manusia bergandeng tangan satu dengan yang lain, sehingga, seperti yang sering terlihat di buku cerita anak kecil, ada lukisan indah dari dunia kita dikelilingi oleh tangan-tangan yang erat berpegangan satu sama lain. Tidak putus sama sekali. Apakah ini yang namanya perdamaian dunia? Kant melupakan satu hal, yaitu bahwa dosa adalah pelanggaran perjanjian dengan Allah. Di manakah Allah dalam gambaran perdamaian dunia ini? Semua manusia berpegang tangan tetapi tangan Allah tidak memegang mereka. Perdamaian ini tidak sejati. Bukankah ini telah terjadi pada peristiwa menara Babel dan telah memberi kita pelajaran berharga? Semua manusia bersatu dalam keberdosaannya untuk melawan Tuhan. Damai sejati hanya dapat terjadi ketika perseteruan dengan Allah diselesaikan. Hanya ketika Allah berkenan menghapus dosa kita, barulah akan tercipta perdamaian sejati nan abadi.

Apakah kita menyadari fakta dosa dalam dunia ini? Apakah kita menyadari betapa dahsyatnya dampak dari dosa? Sudahkah kita melaksanakan panggilan kita untuk menggoncangkan segala bentuk damai sejahtera palsu dari orang berdosa? Sudahkah kita sendiri memiliki hati yang damai dengan Allah? Atau meskipun sudah bertahun-tahun disebut orang Kristen, kita masih hidup memusuhi Allah, membenci firman-Nya, dan berada dalam perdamaian palsu dengan terus menerus hidup dalam dosa? Bagaimana mungkin kita menyerukan kepada dunia ini untuk menyadari fakta dosa jika kita sendiri masih terjerat di dalamnya? Kiranya Tuhan terus beranugerah dengan mengirimkan suara-suara kenabian yang menggoncang damai sejahtera palsu dari dunia berdosa.

Jimmy Pardede

Pembina Pemuda GRII Bintaro


[i]Immanuel Kant, Religion Within the Limits of Reason Alone, terj. Theodore Greene, New York: Harper & Row, 1960. hlm. 102.

[ii] Ibid., hlm 105.

[iii] Karya yang telah diterjemahkan dari judul berbahasa Jerman, “Zum ewigen Frieden,” ke dalam bahasa Indonesia oleh Goethe Institute. Merupakan karya yang, menurut Franz Magnis Suseno, adalah satu di antara sedikit pemikiran Kant yang tidak bersifat mengritik, tetapi applicable dalam membangun masyarakat dunia.

[iv] Diambil dari kumpulan esai dari F. Budi Hardiman, Memahami Negativitas, Kompas, 2005. hlm. 21.

[v] Sebagaimana ditulis Pascal: “If he boasts, I humiliate him, …And contradict him always, until he comes to understand that he is an incomprehensible monster.”

[vi] Kejadian 6:5 (penekanan dari saya)

[vii] Roma 3:10-17 (penekanan dari saya)

[viii] Pdt. Dr. Stephen Tong, Sin and Lostness. Dikhotbahkan pada sesi pleno Kongres Penginjilan Lausanne II di Manila tahun 1989.

[ix] Herman Ridderbos, Paul: An Outline of His Theology, terj. John DeWitt, Grand Rapids: Eerdmans, 1975. hlm. 105.

[x] Sin and Lostness

[xi] Roma 1:24-32. Allah membiarkan manusia dan karena itu manusia berdosa makin menjadi-jadi menyatakan dirinya sebagai orang yang layak dikutuk Allah.

[xii] Band. Yeremia 6:14.