Siapa yang tak lelah dengan tabiat penguasa negara ini? Semua mengeluh, semua mencibir, semua menggelengkan kepala, lalu berakhir dengan mulut-mulut yang membisu habis komentar. Sudahlah. Biarkan saja negara ini mau dibawa ke mana, mau dihancurkan seperti apa, mau diperas sampai bagaimana. Tak ada yang bisa kita perbuat. Sudah tak mungkin lagi diperbaiki. Terlalu akut. Mungkin memang sudah layak diamputasi. Itulah pemikiran sebagian rakyat Indonesia melihat negara kita.
Tetapi… itukah semangat kekristenan? Itukah semangat Natal yang baru saja kita rayakan? Tidak, semangat Natal pasti bukan seperti ini. Spirit Reformed tidak seperti ini. Natal harus dan pasti menghadirkan harapan dan merealisasikan perbaikan. Hal ini mungkin terjadi di dalam inkarnasi Anak Allah dan karena kerelaan mengosongkan diri Anak Allah di dalam inkarnasi.
Dari spirit Natal inilah, pemerintah dapat belajar bagaimana menjadi abdi rakyat, anggota parlemen belajar apa artinya menjadi wakil rakyat, rakyat belajar menjadi penopang bangsa, dan manusia belajar menjadi sesama bagi manusia lainnya. Di dalam spirit pengosongan diri inilah, kita menemukan kemungkinan merehabilitasi bangsa ini. Di sini dan saat ini.
Kenosis – Melepas Hak
Bicara mengenai kenosis adalah bicara mengenai kesediaan melepaskan hak. Dalam konteks Tuhan Yesus, pengosongan diri-Nya sungguh melampaui akal manusia. Tuhan sepenuh-penuhnya secara aktif mengambil rupa seorang hamba. Verbum caro factum est. And the Word become flesh.
Tentang hal ini, Dietrich Bonhoeffer di dalam Ecce Homo (1940) menuliskan “God’s love for human beings is put beyond any reproach of inauthenticity, beyond any doubt and uncertainty by God’s entering into the life of human beings as a human being, by taking on and bearing the nature, essence, guilt, and suffering of human beings. For the love of human beings, God becomes a human being.”
Tuhan Pencipta bersedia ‘menatur’ ciptaan. Tuhan atas alam semesta, bersedia ‘menubuh’ setitik bayi kecil di ketiak semesta. Tuhan yang besar dan kekal, bersedia diringkus oleh ruang dan waktu. Bersedia… Ya, Ia bersedia…
Sudah pun hati dan laku-Nya yang demikian, Ia mewujudkan pula pengosongan diri-Nya itu dengan terobosan pilihan-pilihan yang total. Pilihan-pilihan yang menyatakan bahwa kemuliaan bukanlah dari atribut, tetapi dari esensi. Bahwa pembaharuan tak mungkin timbul dari kepongahan, melainkan dihasilkan dari ketaatan mutlak kepada kehendak Allah Bapa.
Ia memilih Bethlehem, kota mungil di lereng bukit, bukan Yerusalem. Ia memilih kandang hewan, bukan tempat penginapan, apalagi istana. Ia memilih malam, ketika seluruh penduduk kota tidur terlelap. Ia memilih kesunyian untuk menyambut-Nya, bukan kemeriahan. Ia memilih palungan, tempat hewan makan (dan berkelamin), bukan ranjang hangat para bangsawan. Ia memilih gembala, bukan penguasa.
Dengan demikian, sejak hari pertama kehadiran-Nya, sebagaimana tersirat dalam pilihan-pilihan-Nya itu, Ia sudah menggenapi panggilan-Nya: untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan menyampaikan berita kelepasan kepada orang-orang yang terkurung dalam penjara, untuk menghibur semua orang yang berkabung. Kepada mereka yang terpinggirkan, terhinakan, terlupakan, terbuang, menjadi tawanan, Ia memberitakan tahun rahmat TUHAN telah datang! (Yes. 61:1-2)
Bayangkan bila yang menghibur orang berduka adalah orang yang tak pernah merasakan duka, betapa dangkal dan tidak relevan penghiburannya itu. Hal ini sebenarnya adalah pengecualian bagi Tuhan Yesus. Ia tidak perlu menjadi manusia untuk mengerti segala duka manusia agar dapat menjadi Wonderful Counselor. Namun, sekali lagi, Ia bersedia dan memilih untuk menjadi manusia supaya manusia tahu bahwa Tuhan mau tahu kesusahan mereka[1].
Jika Tuhan yang transenden bersedia imanen, apakah kelebihan semua pemerintah di atas muka bumi yang tak mau belajar daripada-Nya. Pemerintah harus meneladani Tuhan Yesus. Pemerintah harus mau mengasihi rakyatnya secara aktif. Petinggi negara sangat perlu untuk turun dan mengecap nyata-nyata kehidupan rakyatnya.
Menilik hari-hari 33 juta rakyat yang berpenghasilan kurang dari Rp 9.000, yang berjuang untuk hidup pada saat harga beras kelas terendah saja semahal Rp 7.800. Menyelami air mata 35 juta manusia yang menangisi sanaknya yang sekarat akibat tak ada akses kesehatan. Menjajari langkah-langkah gontai 12 juta anak yang terpaksa melepaskan mimpi untuk mendapat edukasi. Bila tak sanggup untuk mengerti imanensi, setidaknya cobalah untuk berempati dan mencoba beraksi.
Betul, bahwa rasanya tak adil bila gaji Presiden hanya seperempat gaji Presiden Direktur salah satu Bank BUMN, sementara tanggung jawabnya seratus kali lipat lebih besar. Tak berhakkah Presiden dan menteri-menterinya bergaji setara dengan beban kewajiban mereka? Berhak. Tetapi bila Presiden berkenan untuk tak pusing soal gaji, melainkan pusing soal mengurus rakyat maka rakyat mendapat kemungkinan untuk tak pusing soal hidup mereka. Pemerintah semacam inilah yang ditunggu rakyat. Pemerintah semacam inilah yang diharapkan oleh rakyat untuk memimpin bangsa dan negara ini. Pemerintah yang rela untuk melupakan dirinya, tak mungkin dilupakan rakyat.
Kenosis – Untuk Menjadi Pengganti
Tuhan Yesus mengambil natur manusia yang berdarah dan berdaging adalah agar dapat menggantikan manusia menanggung hukuman dosa di salib.
“Karena anak-anak itu adalah anak-anak dari darah dan daging, maka Ia juga menjadi sama dengan mereka dan mendapat bagian dalam keadaan mereka, supaya oleh kematian-Nya Ia memusnahkan dia, yaitu Iblis, yang berkuasa atas maut; dan supaya dengan jalan demikian Ia membebaskan mereka yang seumur hidupnya berada dalam perhambaan oleh karena takutnya kepada maut.” (Ibr. 2:14-15)
“Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa.” (Ibr. 4:15)
Di dalam substitusi ini, kita diperhitungkan benar oleh karena Dia. Jika Adam mewakili manusia berdosa maka melalui Kristus kita diwakili menjadi manusia-manusia yang dibenarkan. Dengan demikian kita belajar bahwa menjadi wakil berarti adanya tuntutan kesamaan natur seutuhnya. Wakil adalah pihak yang menyuarakan isi hati dan pikiran yang diwakili. Bila yang disebut wakil tidak lagi seperasaan dengan yang diwakili, dan tidak menyuarakan isi hati yang diwakili maka secara fungsional ia bukan lagi wakil.
Ketika ribuan masyarakat Indonesia diserbu bencana (banjir dan longsor di Wasior, gempa bumi diikuti tsunami di Mentawai, dan letusan Gunung Merapi di Yogyakarta), di manakah wakil rakyat Indonesia?
Baiklah yang menjadi wakil, betul-betul menjalankan fungsinya sebagai wakil, menjadi representasi dan menjadi corong hati nurani yang diwakilinya.
“Kenosis” Orang Reformed
Nasihat untuk merenungkan dan meneladani spirit pengosongan diri adalah nasihat yang ditujukan terutama dan pertama-tama kepada orang-orang Kristen. Di dalam surat Filipi dicatat “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.” (Flp. 2:5-7) dan ini ditujukan kepada orang-orang kudus dalam Kristus Yesus (Flp. 1:1).
Demikianlah panggilan untuk mengosongkan diri adalah panggilan bagi kita sebagai orang Kristen, orang Reformed, dalam konteks hidup kita masing-masing saat ini. Kita percaya Tuhan meletakkan kita di Indonesia bukanlah secara acak atau sekedar iseng. Konteks yang Ia lekatkan pada kita adalah konteks yang Ia rencanakan sejak semula. Oleh karenanya, wajib untuk kita gumuli dan pertanggungjawabkan di hadapan-Nya.
Mengenal konteks Indonesia dapat dilakukan melalui pengenalan dua problem yang dihadapinya. Pertama, tidak mengenal Tuhan yang benar. Lebih dari 200 juta manusia belum diselamatkan. Mereka tidak menyembah Tuhan yang benar karena tidak pernah mendengar firman yang benar, biarpun pernah mendengarnya namun mereka mencampakkannya. Akibatnya pintu menuju hidup yang benar tertutup bagi mereka. Sebagai hamba dosa mereka hanya mampu berbuat dosa, tidak ada yang lain (non pose non pecare).
“Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka tidak percaya kepada Dia? Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia. Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya? Dan bagaimana mereka dapat memberitakan-Nya, jika mereka tidak diutus? Seperti ada tertulis: “Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik!” Tetapi tidak semua orang telah menerima kabar baik itu. Yesaya sendiri berkata: “Tuhan, siapakah yang percaya kepada pemberitaan kami?” Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.” (Rm. 10:14-17)
Jika Tuhan mengutus kita di sini maka marilah kita berdiam (dwell) di sini. Apa artinya berdiam? Saat Natal di Bethlehem dua ribu tahun lalu, Alkitab mengatakan Firman itu telah menjadi manusia dan berdiam di antara kita. He made His dwelling among us. Kata “made His dwelling” ditranslasikan dari kata eskēnōsen, yang artinya berkemah atau membangun kemah suci-Nya (‘pitched a tent’ atau ‘tabernacled’). Kemah Suci pada zaman Perjanjian Lama adalah pernyataan kehadiran Allah. Firman telah menjadi daging adalah seperti Allah yang hadir di Kemah Suci di tengah-tengah bangsa Israel sehingga mereka boleh melihat kemuliaan-Nya sepanjang perjalanan menuju Tanah Perjanjian.
Mengertilah kita bahwa kita dipanggil untuk mengatakan bahwa Tuhan mau hadir bagi manusia dan untuk menyatakan bahwa Tuhan betul-betul hadir di tengah-tengah manusia. Dengan demikianlah manusia ditarik kembali kepada Tuhan yang benar. Rekonsiliasi.
““Ecce homo-behold, such a human being!” In him the world was reconciled with God. The world is overcome not through destruction, but through reconciliation. Not ideals, nor programs, nor conscience, nor duty, nor responsibility, nor virtue, but only God’s perfect love can encounter reality and overcome it. Nor is it some universal idea of love, but rather the love of God in Jesus Christ, a love genuinely lived, that does this. This love of God for the world does not withdraw from reality into noble souls detached from the world, but experiences and suffers the reality of the world in the harshest possible fashion. The world takes out its rage on the body of Jesus Christ. But he, tormented, forgives the world its sins. Thus does reconciliation come about. Ecce homo.” (Bonhoeffer, 1940)
Kedua, problem pengkhianatan orang sendiri. Rakyat dikhianati dan publik dimanfaatkan oleh pengabdinya (public servant). Akibat pengkhianatan moral ini, problem kemiskinan dan korupsi gulung-menggulung satu dengan yang lain. Semakin korup suatu negara, semakin miskin ia. Logis, sebab uang untuk pembangunan masuk ke dalam perut para koruptor. Maka, pembangunan hanya menjadi ilusi dan kesejahteraan hanya menjadi mimpi.
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2009 adalah 2.8 dari skala 0 (terkorup) sampai 10 (bersih). Angka ini setara dengan negara-negara Afrika seperti Algeria, Djibouti, dan Togo. Sejalan dengan “prestasi” peringkat itu, angka kemiskinan semakin meninggi. CIA mencatat bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 17% dari total populasi (2009). Angka ini jauh di atas data BPS yang menyebutkan tingkat kemiskinan Indonesia, dengan definisi yang sama (yaitu yang termasuk miskin adalah masyarakat dengan tingkat penghasilan setara di bawah 1 dolar AS per hari), hanya 13,5% pada tahun yang sama. Di negara di mana rakyat dikibuli dan dipaksa “kerja rodi” ini, Tuhan menempatkan kita.
Di sini para koruptor diadili, lalu “konon” dibui. Dengan tetap menghormati ikhtiar dan janji Kepala Negara untuk memberantas korupsi dan dengan tidak menafikkan aura keadilan yang terpancar dari institusi KPK, sayangnya hukum dan kepercayaan masyarakat sekali lagi diciderai. Masih hangat kasus Gayus Tambunan menonton pertandingan tenis di Bali. Setelah tertangkap basah, ia kemudian berkoar-koar bahwa ini (maksudnya membeli permit keluar masuk penjara) adalah hal biasa, “Besan Presiden juga melakukannya, si A, si B, dan sebagainya juga melakukannya.” Di negara di mana hukum sudah reyot (nyaris rubuh) akibat penegak-penegaknya yang telah lunglai, Tuhan mengutus kita.
Lalu harus bagaimanakah respons kita? Salah satu teladan pengosongan diri dan pemberian diri yang dicatat di dalam Alkitab adalah dari Nehemia. Ketika itu kota Yerusalem berada dalam keadaan tercela, temboknya terbongkar, dan pintu-pintu gerbangnya terbakar. Nehemia mendedikasikan diri untuk memimpin pembangunan kembali tembok kota itu. Sambil mengabdi sambil menjauhi segala kemungkinan untuk mengambil keuntungan bagi diri sendiri, bahkan melepaskan apa yang menjadi hak sendiri.
“Pula sejak aku diangkat sebagai bupati di tanah Yehuda, yakni dari tahun kedua puluh sampai tahun ketiga puluh dua pemerintahan Artahsasta jadi dua belas tahun lamanya, aku dan saudara-saudaraku tidak pernah mengambil pembagian yang menjadi hak bupati. Tetapi para bupati yang sebelumnya, yang mendahului aku, sangat memberatkan beban rakyat. Bupati-bupati itu mengambil dari mereka empat puluh syikal perak sehari untuk bahan makanan dan anggur. Bahkan anak buah mereka merajalela atas rakyat. Tetapi aku tidak berbuat demikian karena takut akan Allah. Aku pun memulai pekerjaan tembok itu, walaupun aku tidak memperoleh ladang. Dan semua anak buahku dikumpulkan di sana khusus untuk pekerjaan itu. Duduk pada mejaku orang-orang Yahudi dan para penguasa, seratus lima puluh orang, selain mereka yang datang kepada kami dari bangsa-bangsa sekeliling kami. Yang disediakan sehari atas tanggunganku ialah: seekor lembu, enam ekor kambing domba yang terpilih dan beberapa ekor unggas, dan bermacam-macam anggur dengan berlimpah-limpah setiap sepuluh hari. Namun, dengan semuanya itu, aku tidak menuntut pembagian yang menjadi hak bupati, karena pekerjaan itu sangat menekan rakyat. Ya Allahku, demi kesejahteraanku, ingatlah segala yang kubuat untuk bangsa ini.” (Neh. 5:14-19)
Nehemia menggumuli konteks hidupnya, lalu menetapkan cara hidup yang seturut takutnya kepada Tuhan. Seperti itulah kita wajib menggumuli bagian/bidang kita masing-masing. Seperti apakah wujud kenosis setiap kita bagi umat di bumi, bagi masyarakat pertiwi?
Kiranya suatu saat nanti, Tuhan membangkitkan generasi yang mencintai negeri ini seperti mencintai diri sendiri karena mencintai Tuhan melampaui segala-galanya. Sehingga jabatan-jabatan kenegaraan tak lagi diduduki oleh politic animal, tetapi diemban oleh manusia yang mempunyai moral dan berintelektual.
Republik ini perlu orang-orang yang betul-betul menghidupi cinta yang bersedia untuk mengorbankan diri. Pemuda-pemudi Reformed Injili, demi Republik ini, adakah yang bersedia seperti Tuhan Yesus yang berinkarnasi, seperti Nehemia yang menetapkan hati dan mendedikasikan diri? Selamat Natal… Selamat Tahun Baru 2011…!
Dini Y. Rachman
Pemudi GRII Pusat
Referensi:
- Louis Berkhof, Teologi Sistematika: Doktrin Kristus.
- Dietrich Bonhoeffer, Meditations on the Cross.
- Colin G. Kruse, The Tyndale New Testament Commentaries: John.
- Badan Pusat Statistik Republik Indonesia.
- CIA Factbook.
- Transparency International.
1 Dalam khotbah Pdt. Dr. Stephen Tong di Kebaktian Minggu, Gereja Reformed Injili Indonesia Pusat, Jakarta.