Mordecai, the Little Man

Bagi kita yang hidup di zaman ini, arti sebuah nama tidak lagi menjadi sesuatu yang sangat berarti. Orang tua kita mungkin saja memberikan nama kepada kita dengan arti dan maksud tertentu, namun tidak berarti arti nama tersebut harus tergenapi dalam hidup kita. Kita pun sudah tidak lagi terbiasa mengaitkan arti sebuah nama dengan karakter atau kehidupan orang yang menyandang nama tersebut. Dalam konteks ini, budaya dalam Alkitab sangat berbeda dengan budaya kita saat ini.

Dalam Alkitab, setiap nama tokoh atau nama tempat memiliki arti khusus yang memang sangat berkaitan dengan realitas. Berkali-kali kita dapat membaca dalam Perjanjian Lama, sebuah tempat diberi nama karena telah terjadi sesuatu di tempat tersebut. Sebuah nama dapat berfungsi sebagai pengingat bagi kita terhadap sebuah peristiwa yang sangat penting. Tidak hanya nama tempat, nama-nama tokoh dalam Alkitab juga memiliki arti yang akan menunjukkan siapakah tokoh tersebut. Contoh yang paling mudah untuk disebutkan tentu saja adalah Tuhan kita Yesus Kristus. Nama-Nya jelas menunjukkan Dia adalah Juruselamat yang diurapi oleh Allah. Oleh sebab itu, sangat wajar jika pembaca Kitab Injil akan menemukan hal-hal yang menunjukkan atau memperkuat fakta bahwa Yesus adalah Juruselamat. Dengan berbekal arti sebuah nama, kita dapat mengira-ngira apa yang akan diceritakan tentang seorang tokoh dalam Kitab Suci. Namun, Alkitab ternyata tidak selalu menggunakan pola ini. Bahkan, seseorang dapat mengalami hal yang justru terlihat bertolak belakang dengan arti namanya, contohnya adalah Mordekhai dan Haman, dua tokoh dalam Kitab Ester yang akan dibahas dalam artikel ini.

Nama Mordekhai berarti orang kecil [1] atau penyembah (pengikut) Marduk [2]. Baik arti yang pertama maupun yang kedua sama-sama tidak menunjukkan kemegahan atau kebesaran. Jika kita menggunakan pola umum dari Alkitab, kita dapat menduga bahwa Mordekhai akan diceritakan sebagai seorang dari kalangan rendahan yang mungkin hidupnya penuh penderitaan atau setidak-tidaknya, hidupnya hanya biasa-biasa saja. Jika kita membaca bagian awal Kitab Ester, hal ini akan terlihat benar karena Mordekhai diceritakan hanya sebagai seorang penjaga gerbang. Tetapi kita tahu bahwa perjalanan cerita Kitab Ester menunjukkan Mordekhai adalah seorang yang berjiwa besar yang akhirnya diangkat menjadi orang nomor dua di Kerajaan Persia. Sedangkan Haman, memiliki nama yang berarti sesuatu yang sangat indah atau agung [3]. Nama yang sangat menunjukkan kebesaran, layaknya seorang raja. Ditambah lagi, Haman memang keturunan raja karena dia adalah orang Agag, gelar bagi raja Amalek. Sungguh bertolak belakang dengan Mordekhai yang berasal dari suku Benyamin, suku terkecil bangsa Israel. Posisi Haman pun terlihat menjanjikan dan selaras dengan namanya, sebab dia diangkat oleh raja sehingga kedudukannya melebihi semua pembesar yang ada di hadapan raja. Sayangnya, Haman memiliki jiwa yang kerdil dan hal tersebut tidak hanya membuat dirinya direndahkan, namun juga membawa celaka baginya. Artikel ini akan membahas poin-poin yang menunjukkan kebesaran jiwa Mordekhai dan membandingkannya dengan Haman yang berjiwa kerdil.

Tunduk
Hal pertama yang bisa kita pelajari dari karakter Mordekhai adalah sikapnya yang tunduk pada hukum atau perintah. Ketika raja mengeluarkan perintah untuk mengumpulkan seluruh gadis di kota Susan, Mordekhai taat dengan membawa Ester ke istana raja. Sekalipun dia adalah orang Yahudi yang masih memegang teguh identitasnya, namun dia tidak segan untuk menaati hukum kerajaan di mana bangsanya dibuang. Kebesaran jiwanya membuatnya menyadari bahwa dia bukan hanya seorang Yahudi, tetapi juga seorang yang hidup dalam masyarakat sebuah kerajaan. Dengan pemikiran seperti ini, akan lebih mudah bagi kita untuk menaati firman Tuhan yang mengatakan, “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (Yer. 29:7). Hal yang sama pun dapat kita lakukan, yaitu sembari memegang identitas kita sebagai warga Kerajaan Allah, kita pun tetap dapat melayani negara dan bangsa di mana Tuhan tempatkan.

Berbeda dengan Mordekhai yang tunduk pada hukum, Haman justru memanipulasi hukum untuk kepentingan pribadinya. Kita dapat membaca bagaimana liciknya Haman ketika menghasut Raja Ahasyweros untuk mengeluarkan perintah pemusnahan bangsa Yahudi. Dengan alasan demi kepentingan raja dan kerajaannya, Haman dengan begitu lihai meyakinkan raja bahwa bangsa Yahudi merupakan ancaman bagi keberlangsungan Kerajaan Persia, sebab hukum mereka berlainan dengan hukum segala bangsa. Dalam hal ini, Haman tidak sepenuhnya salah sebab memang hukum bangsa Yahudi diwahyukan oleh Allah sendiri sehingga berbeda dengan hukum bangsa-bangsa lain. Namun, ini tidak serta-merta membuat bangsa Yahudi menjadi ancaman, sebab justru seorang Yahudi seperti Mordekhailah yang telah menyelamatkan nyawa raja dari rencana pembunuhan. Haman, demi memuaskan kemarahan dalam dirinya, rela membinasakan sebuah bangsa dan menodai kebijaksanaan serta nama baik seorang raja.

Berprinsip
Kebertundukan Mordekhai kepada hukum kerajaan tidak membuatnya kompromi dengan apa yang dipegangnya sebagai kebenaran. Aturan dunia akan dikerjakannya selama tidak melanggar perintah Allah yang telah diwahyukan kepada nenek moyangnya. Hal ini terbukti dari keengganannya untuk tunduk dan sujud kepada Haman karena Haman bukanlah raja yang menjadi perwakilan Allah. Padahal semua orang tunduk dan sujud kepada Haman dan telah berulang kali mengingatkan Mordekhai untuk ikut sujud. Bahkan mereka mungkin menakut-nakuti Mordekhai dengan mengatakan bahwa nyawanya akan terancam jika tidak mengikuti peraturan tersebut. Namun, Mordekhai tetap berpegang pada pendiriannya. Mordekhai tidak kehilangan identitasnya sebagai bangsa Yahudi meskipun ia lahir, tumbuh besar, dan menjalani hidupnya di tengah-tengah bangsa asing.

Kita pun sebagai orang Kristen seharusnya memiliki prinsip dan integritas iman yang terus kita pertahankan dan perjuangkan di tengah dunia ini. Terlebih lagi, kita dapat berkumpul dengan sesama umat percaya di setiap hari Minggu. Hal ini akan menguatkan kita kembali saat kita kehilangan semangat, merasa sendirian dalam perjuangan ini, dan mulai lupa identitas kita sebagai orang Kristen. Oleh karena itu, jangan sampai kita melewatkan momen untuk beribadah kepada Tuhan dan bersekutu dengan saudara seiman.
Di sisi yang lain, Haman menggambarkan seseorang yang tidak memiliki prinsip dalam hidupnya. Dia tidak hanya menghalalkan segala cara untuk memuaskan isi hatinya, tetapi dia juga tidak mempunyai konsistensi untuk mempertahankan apa yang diperjuangkannya. Di awal kita sudah melihat bagaimana Haman memanipulasi aturan kerajaan untuk membinasakan sebuah bangsa yang tidak bersalah. Dia tidak memiliki prinsip kebenaran yang dipegangnya untuk menilai apakah yang diperbuatnya benar atau tidak. Baginya, yang terpenting adalah kegundahan dalam hatinya dapat dipuaskan. Tetapi bisa kita lihat, ketika Ratu Ester membongkar rencana kejahatannya dan merasa nyawanya terancam, Haman segera memohon belas kasihan Ratu Ester. Seolah-olah saat itu Ratu Esterlah yang menjadi penindas dan Haman yang menjadi korban. Jika Haman sungguh-sungguh mendorong raja untuk mengeluarkan aturan pemusnahan bangsa Yahudi tersebut atas dasar kepentingan Kerajaan Persia, bukankah seharusnya saat itu dia mengemukakan kembali seluruh argumennya yang meyakinkan raja itu? Jika dia memperjuangkan suatu kebenaran, seharusnya dia tetap mempertahankan ide tersebut bahkan sekalipun nyawanya terancam. Namun kita dapat melihat bagaimana orang berdosa begitu tidak konsisten dengan apa yang dipercayainya.

Rendah Hati
Pasal tiga dari Kitab Ester dibuka dengan pengangkatan Haman bin Hamedata sehingga kedudukannya lebih tinggi daripada semua pembesar yang ada di hadapan raja. Haman tampak begitu menikmati posisi tersebut, apalagi raja mengeluarkan perintah agar semua orang sujud menghormati Haman. Saking menikmatinya, dia sampai tidak rela jika ada satu orang rendahan yang tidak ikut sujud dan memberi hormat kepadanya. Bahkan hanya karena seorang Yahudi yang bernama Mordekhai tidak menghormatinya, dia sampai berencana menghabisi seluruh bangsa Yahudi. Kehormatan yang diidam-idamkan Haman pun terlihat akan mencapai kepenuhannya ketika raja menanyakannya tentang apa yang harus raja lakukan untuk menunjukkan kepada rakyat orang yang sangat dihormatinya. Segala kemuliaan raja yang selama ini dia pendam di dalam hati dikeluarkannya, dengan harapan semua itu akan diberikan kepadanya. Namun, ternyata semua itu malah diberikan kepada Mordekhai, orang yang paling dibencinya di seantero dunia. Kegeraman hatinya membuat dia tidak hanya ingin membunuh Mordekhai, tetapi juga menggantung mayatnya di atas sebuah tiang agar seluruh kota dapat melihatnya. Demikianlah rasa gila hormat Haman telah membuatnya menjadi gelap mata.

Dalam poin ini, Mordekhai menggambarkan sosok yang rendah hati. Setelah Haman mengaraknya di lapangan kota, Mordekhai segera kembali ke pintu gerbang istana raja dan menjalankan kembali rutinitasnya. Dia tidak keliling kota untuk menceritakan kepada orang-orang atau teman-temannya apa yang sudah raja lakukan kepadanya. Tidak seperti Haman yang begitu senang karena hanya dia saja yang diundang ke perjamuan makan Ratu Ester, dan memamerkannya kepada istri serta teman-temannya. Bagi Mordekhai, diberikan kehormatan seperti itu bukanlah hal yang besar, terlebih lagi dalam situasi bangsanya yang sedang terancam bahaya. Apalagi, Mordekhai diberikan kehormatan karena jasanya menyelamatkan nyawa raja dari rencana pembunuhan. Mungkin bagi Mordekhai, hal tersebut hanyalah bagian dari tanggung jawabnya sebagai orang yang melayani raja sehingga tidak perlu dibesar-besarkan. Seorang yang berjiwa besar bukanlah orang yang mengejar hal-hal besar dalam hidupnya untuk kepentingan pribadi, tetapi mereka yang dengan rendah hati menjalankan setiap tanggung jawabnya dengan sungguh-sungguh. Terlebih lagi kita sebagai orang Kristen yang dipercayai tugas untuk melayani Raja atas segala raja. Biarlah kita dengan tekun dan sungguh-sungguh melayani-Nya sambil menyadari ketidaklayakan kita, bukan mencari atau menikmati pujian orang di sekitar kita.

Hati yang Lebar
Dalam Kitab Ester ini, kita dapat melihat ketegangan yang terjadi ketika surat perintah raja tentang pemusnahan bangsa Yahudi sudah menyebar ke seluruh daerah taklukan Kerajaan Persia. Kepanikan dan dukacita yang besar terjadi di kalangan bangsa Yahudi. Semua hal ini terjadi karena kesempitan hati Haman. Dapat kita katakan bahwa rasa gila hormat Haman membawa perseteruan antara dirinya dan Mordekhai, tetapi kesempitan hatinya membawa bencana pemusnahan massal pada bangsa Yahudi. Sebagai sesama orang asing di tanah Persia, Haman sama sekali tidak memiliki rasa belas kasihan terhadap orang Yahudi. Dia malah mengingat-ingat dendam nenek moyangnya. Terlebih lagi dia adalah pemimpin di kerajaan berskala internasional. Bagaimana mungkin pemimpin yang berhati sempit ini dapat memimpin bangsa-bangsa yang jumlahnya sangat banyak?

Kebesaran hati Mordekhai menjadi pintu masuk bagi solusi atas permasalahan bangsa Yahudi. Keberdukaan Mordekhai atas nasib bangsanya akhirnya membuat Ester mengetahui permasalahan yang sedang terjadi. Mordekhai pun mendorong Ester untuk berbicara kepada raja. Kebesaran hati Mordekhai merangkul seluruh kaum bangsanya. Kebesaran hatinya membuat kehormatan yang hanya diterima oleh dirinya menjadi tidak berarti apa-apa dibandingkan kepentingan seluruh bangsanya. Kebesaran hatinyalah yang akhirnya menghantarnya naik menjadi orang nomor dua di Kerajaan Persia dan menjadi pemimpin atas bangsa-bangsa. Jika bukan karena Mordekhai, seluruh bangsa Yahudi akan dimusnahkan dan itu berarti tidak akan ada Mesias yang lahir dari keturunan Daud. Hari Raya Purim bukan hanya hari raya keselamatan bagi orang Israel, tetapi juga bagi kita orang percaya, sebab melalui peristiwa tersebut Juruselamat kita dapat lahir ke dalam dunia.

Bergantung pada Allah
Bagian terakhir yang akan kita lihat dari Mordekhai adalah bagaimana dia bergantung kepada Allah. Menjadi orang yang berjiwa besar tidak berarti dapat melakukan segalanya sendirian. Justru Mordekhai menyadari bahwa seperti namanya, dia hanyalah seorang yang kecil. Ketika bangsanya terancam, dia tidak merasa dirinya adalah pahlawan yang akan menyelamatkan bangsanya. Dia tidak berpikir untuk memanfaatkan jasanya yang telah menyelamatkan nyawa raja untuk meminta raja membatalkan rencana pemusnahan tersebut. Dia hanya berharap kepada pertolongan Tuhan. Namun, berharap kepada Tuhan sambil menyadari betapa kecilnya kita tidak berarti membuat kita tidak melakukan apa pun. Mordekhai sadar bahwa posisi Ester memungkinkan dia untuk memohon kepada raja. Bahkan Mordekhai berpikir bahwa alasan Ester menjadi ratu adalah untuk menyelamatkan bangsanya. Kita tahu bahwa Mordekhai berharap kepada Tuhan dan bukan kepada Ester, karena sekalipun Ester tidak berusaha menolong, Mordekhai percaya pertolongan Tuhan akan datang dari tempat lain. Biarlah kita pun belajar untuk bergantung kepada Allah sambil dengan peka melihat jalan yang Tuhan sediakan. Surrender to God bukanlah suatu sikap yang pasif, tetapi merupakan tindakan yang aktif, karena iman sejati melahirkan perbuatan benar.

Kisah hidup Mordekhai dan Haman merupakan contoh nyata dari apa yang Yesus Kristus ajarkan, “Barang siapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” Haman yang angkuh dan meninggikan dirinya akhirnya direndahkan dan dipermalukan dengan mati digantung, sedangkan Mordekhai akhirnya ditinggikan hingga menjadi orang nomor dua di Kerajaan Persia. Biarlah kita belajar untuk menjadi seperti Mordekhai, orang kecil yang berharga di mata Allah.

Deddy Welsan
Pemuda GRII Bandung

Endnotes:
[1] Mordecai – Holman Bible Dictionary.
[2] Mordeca-i.
[3] Haman – Holman Bible Dictionary.
[4] Khotbah Pdt. Jadi S. Lima “Seven Deadly Sins: Proud”.