Natal berarti ‘kelahiran’. Tidak ada yang luar biasa ataupun aneh dari peristiwa kelahiran. Anehnya, nyaris di segala tempat di seluruh dunia orang merayakan, atau setidaknya mengetahui akan perayaan Natal. Tentu saja ada 366 hari yang mungkin untuk dirayakan sebagai hari Natal, yaitu sebagai Hari Kelahiran yang Itu. Tetapi nyatanya tidak ada bangsa mana pun di dunia ini yang merayakan hari kelahiran siapa pun sebagai sebuah Natal. Tentu saja saya tidak mengatakan bahwa tidak ada orang yang merayakan Natal di luar tanggal 25 Desember. Jelas-jelas orang Ortodoks Yunani merayakan Natal pada sekitar tanggal 7 Januari – sebab mereka bersikukuh tetap memakai kalender Julian yang lama, bukan memakai kalender Gregorian seperti kebanyakan bangsa-bangsa lain di dunia ini. Yang hendak saya sampaikan adalah bahwa hanya natalitas Orang Yang Satu itulah yang seluruh dunia rayakan sebagai Hari Natal – setidak-tidaknya demikian seharusnya (walaupun barang kali mereka tidak merayakannya dengan cara-cara yang berkenan di hati Orang Itu ataupun mereka malah sama sekali tidak tahu-menahu alasan historis dari pesta-pesta natal yang mereka nikmati). Permasalahannya adalah: mengapa demikian? Apakah alasannya sehingga orang merayakan Natal yang Satu Itu sebagai sesuatu yang istimewa? Mengapakah kita tidak merayakan hari kelahiran Julius Caesar (yang kita pakai namanya sebagai cara menghitung dan menandai hari-hari)? Atau hari kelahiran Paus Gregorius Agung? Mengapakah kita tidak merayakan hari kelahiran Napoleon, Genghis Khan, Gadjah Mada, Tokugawa, Catherina Agung, Siddharta Gautama, Socrates, Leonhard Euler, atau Alexander Agung sebagai Natal?
Tentu saja kita merayakan ‘natal’ kecil-kecilan pada hari ulang tahun kita atau teman-teman kita. Tetapi hari ulang tahun orang-orang lain hanyalah berarti secara lokal. Itu tidaklah memiliki makna apa-apa bagi sebagian besar orang-orang lain dalam dunia dan sejarah. Dengan kata lain, kamu dan aku bukanlah orang-orang yang terlalu penting kehadirannya dalam dunia ini. Bagaimanapun Anda berusaha meyakinkan dunia dan diri sendiri bahwa Anda adalah orang yang penting, bahwa dunia ini sudah berubah sedemikian dramatis berkat kehadiran Anda dan pencapaian-pencapaian Anda, sulit untuk mengingkari bahwa pengaruh-pengaruh kita – seberapa pun besar itu – tidak membawa dampak yang sungguh-sungguh permanen di satu sisi, dan di sisi lain, kalaupun dampaknya cukup long lasting Anda tidak sungguh-sungguh dapat dengan fair mengatakan bahwa dampaknya itu baik.[1] Setidaknya ada tiga kemungkinan mengapa kita tidak merayakan hari-hari kelahiran siapa pun sebagai Natal, yaitu: keluasan dampak kelahiran itu, kelanggengan dampaknya, dan juga baik-tidaknya dampak dari kehadiran orang yang bersangkutan. Barang kali inilah sebabnya kita tidak merayakan kelahiran siapa pun, selain Orang Itu, sebagai sebuah Natal. Sebagian besar manusia, baik dengan sadar maupun tidak, mengakui Hari Kelahiran dari Orang Itu sebagai sesuatu yang memiliki dampak Universal, Langgeng, dan Baik.
Kita tidak tahu pada tanggal berapakah sesungguhnya Yesus Nazaret lahir, tetap saja hal ini tidak mengurangi makna dari perayaan Natal kita. Karena apa yang kita rayakan dalam Natal bukanlah kapan Natal itu terjadi, melainkan apa yang terjadi di dalam dan melalui Natal itu. Mengapakah kelahiran Yang Itu begitu penting, saya kira, tercermin di dalam pengharapan yang terkandung di dalam tiap-tiap kelahiran.
“Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai.” – Yesaya 9:6
Setiap kelahiran menjanjikan belokan yang baru di dalam perjalanan sejarah. Hannah Arendt menyebut kelahiran sebagai suatu ‘mujizat’ – karena setiap manusia memiliki potensi untuk menjadi ‘initium’ (bukan ‘principium’).[2] Setiap bayi yang lahir ke dalam dunia ini, berpotensi untuk membelokkan arah dunia ini, karena manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan untuk memulai sesuatu yang baru. Tetapi siapakah di antara kita yang benar-benar merdeka untuk memerdekakan dunia dan sejarah dari kebuntuan yang mematikan? Perayaan ulang tahun, yang cukup luas dirayakan orang dari berbagai bangsa dalam dunia ini barang kali menyaksikan pengharapan orang kepada tiap-tiap kelahiran. Setidaknya, tiap-tiap orang tua menyimpan sejumput harapan bahwa anak-anaknya kelak akan menghidupi suatu kehidupan yang lebih baik, menjadi orang-orang yang lebih bahagia, dan barang kali juga akan membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih indah. Kelak, ketika anak-anak itu sendiri beranjak dewasa dan menjadi orang-orang yang lanjut usia, kebanyakan dari mimpi-mimpi orang tuanya tidak akan menjadi kenyataan. Anak-anak itu dalam banyak hal akan menjalani kehidupan yang sering kali tidak berbeda jauh dari orang tuanya, dan dunia ini juga, masih saja memiliki masalah-masalah dan kebuntuan-kebuntuan yang sama saja. Bagaimanapun juga, pengharapan itu sendiri adalah sesuatu yang penting. Walaupun orang-orang Yunani tidak terlalu memandang penting pengharapan, tetapi barang kali hanya itulah yang kita miliki di dalam ketidakberdayaan: pengharapan. Ketika segala akal telah diperas habis, segala usaha telah dicoba, semua ahli telah ditanyai, dan keadaan tak kunjung membaik, kita hanya dapat berharap (atau berdoa). Kehidupan ini bukanlah monolog karena kita tidaklah sendirian dalam dunia ini. Kehidupan adalah suatu dialog responsorial antara Tuhan dan kita. Dia ping – kita pong. Inilah cara kita memaknai pengharapan sebagai orang Kristen. Bagi umat Tuhan, pengharapan adalah penantian kita akan pertolongan Tuhan. Karena pertolongan kita adalah dalam nama TUHAN, yang menciptakan langit dan bumi.
Peristiwa kelahiran, bagi Hannah Arendt, adalah dasar dari pengharapan umat manusia di dalam kebuntuan situasi, karena manusia punya potensi menjadi initium, tetapi masalahnya, sampai hari ini kelahiran bayi-bayi tidak hanya membuat dunia ini menjadi lebih baik, menjadi tanah air orang-orang merdeka dan rumah bagi para pemberani, tetapi kelahiran anak-anak manusia juga telah bersumbangsih untuk menambah kerumitan dan kebuntuan sejarah itu sendiri. Artinya, ada Satu Bayi yang Itu – bukan sembarang bayi – yang kita nantikan kehadirannya sebagai terobosan bagi kebuntuan sejarah. Setiap kita, baik secara terang-terangan ataupun secara diam-diam memerlukan dan barang kali juga menantikan datangnya Juruselamat dunia. Titel yang disandang kaisar-kaisar Romawi itu mengisyaratkan pengakuan kita bahwa dunia ini berada di ambang bencana, perlu diselamatkan dari kehancurannya. Fakta yang kita temukan kemudian, bahwa kaisar demi kaisar tidak berhasil ‘menyelamatkan dunia’ – bahkan dunia yang sebatas Imperium Romawi, hanya menguatkan pandangan bahwa kita masih saja menantikan seorang Juruselamat Yang Sejati. Sekitar tahun 4 B.C. telah lahir seorang putra bagi Maria dan Yusuf, orang Betlehem itu. Di zaman Octavianus Augustus memang ada ‘kedamaian di bumi’ tetapi kedamaian itu harus dibayar dengan harga mahal dengan ketidakadilan dan penindasan yang dialami orang-orang paling lemah dan marginal di bumi. Deretan salib di perbukitan Palestina menjadi saksi bisu dari mahalnya harga perdamaian itu. Siapa pun yang berani untuk menentang kebijakan pemerintah Romawi akan digilas oleh mesin perang dan birokrasi Romawi yang efisien. Damai di bumi itu pada akhirnya hanya dinikmati segelintir orang-orang bebas, warga Negara Romawi yang jaya – dengan harga mahal yang harus dibayarkan oleh orang-orang yang tak dapat menolak. Kedamaian yang ditawarkan kaisar adalah kedamaian yang palsu karena di balik gemerlap keagungan Romawi ada darah, keringat, dan air mata dari orang-orang yang dibungkam.
Dalam situasi beginilah Juruselamat itu lahir. “Kemuliaan bagi Allah dan damai sejahtera di bumi bagi mereka yang berkenan kepada-Nya!” demikian proklamasi dari para malaikat kepada gembala-gembala – orang-orang yang membayar harga mahal bagi kejayaan Romawi tanpa terlalu banyak mencicipi manisnya damai yang dijanjikan kaisar. Kelahiran Yesus, Allahnya Musa yang memimpin umat-Nya keluar dari Mesir dengan lengan yang teracung, membelah Laut Merah dan menenggelamkan kereta-kereta besi dari Firaun, Allah itu lahir dalam rupa bayi yang ringkih – dan kemudian hari akan mati digilas oleh mesin teror Romawi yang efisien – tetapi itu bukanlah akhir dari kisah penyelamatan Allah – seperti juga pembuangan ke Babel dan kehancuran Kerajaan Israel bukanlah akhir dari drama penyelamatan Allah itu. Kematian memang lekat dengan Yesus sejak hari kelahiran-Nya. Dalam paranoianya, Herodes Agung membunuh anak-anak kecil di bawah dua tahun guna menyingkirkan perintang yang dapat mengancam kedudukannya sebagai “raja orang Yahudi” (Mat. 2:16). Dengan kata lain, kelahiran Yesus tidak menyingkirkan ketakutan dan kebuntuan manusia yang tidak ada solusinya itu, yaitu ketidakadilan, kebencian, dan kematian. Penindasan, kebencian, dan kematian tetap menghantui kehidupan manusia, khususnya mereka yang tidak berkuasa. Jadi apakah yang dilakukan Tuhan, Allah Israel, di dalam dan melalui Yesus Nazaret? Tuhan memang tidak meniadakan kematian, Ia mengatasinya. Tuhan mengalahkan kematian, bukan meniadakannya. Yesus sendiri, Imanuel, kehadiran Allah di tengah umat-Nya, mengalami penindasan, kebencian, dan kematian – tetapi di dalam kematian-Nya di salib itu, Ia mengalahkan ketiganya. Yesus mengatasi penindasan dengan meremukkan sang penindas dengan keberanian-Nya menghadapi para penindas-Nya muka dengan muka dan menuntut mereka untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, dengan pengampunan-Nya Yesus menenggelamkan kebencian musuh-musuh-Nya dalam lautan cinta-Nya, dan tentu saja dalam kebangkitan-Nya Ia mengalahkan kematian itu sendiri.
Jadi, apakah Natal memang layak dirayakan sebagai hari kelahiran yang Satu Itu? Sebagai hari di mana pengharapan kita yang tertindas oleh kesia-siaan, kebencian, kematian – pendek kata, kita yang tertindas oleh dosa, untuk sebuah pembebasan, pada akhirnya digenapi. Jika kita melihat begitu banyak kehidupan yang telah diubahkan oleh kelahiran itu, jika kita mengingat berapa banyak hal-hal jahat telah disadari dan mulai sedikit demi sedikit ditinggalkan oleh umat manusia, saya kira dengan cukup fair kita dapat mengatakan bahwa memang setiap kelahiran menyimpan pengharapan, dan pengharapan yang diterbitkan oleh kelahiran Yesus dari Nazaret bukanlah suatu pengharapan yang mengecewakan. Seperti setiap kelahiran yang menyimpan potensi bagi suatu initium – kelahiran Yesus memang telah menjadi suatu initium yang menentukan mulainya suatu babak yang benar-benar baru dalam sejarah ciptaan. Tidaklah heran Dionysius Exiguus beberapa abad kemudian memilih Tahun kelahiran Raja Yesus sebagai titik yang membagi sejarah ke dalam dua babak besar, yaitu babak sebelum Anno Domini dan abad-abad yang bergulir di dalam Tahun Raja Kami itu. Jadi, selamat Natal!
Ev. Jadi S. Lima
Hamba Tuhan GRII
Endnotes:
[1] Genghis Khan mungkin pernah menaklukkan daerah-daerah yang sangat luas, tetapi apakah dampak kelahiran Genghis Khan pada orang-orang yang mendiami Lembah Baliem di Papua? Seberapa permanen dampak dari keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan Genghis Khan itu dalam dunia ini? Juga tidak boleh tertinggal, apakah pada akhirnya segala pencapaian Genghis Khan itu menerbitkan kebaikan dalam dunia ini? Pertanyaan-pertanyaan ini sulit. Sebagian ahli sejarah menolak untuk memberikan penilaian pada rangkaian fakta-fakta yang mereka rekonstruksi dari penemuan-penemuan arkeologis, catatan-catatan tua, dan seterusnya. Penelitian sejarah itu haruslah “Objektif” dan “Faktual” saja, demikian Bapak Ilmu Sejarah Modern, Leopold von Ranke katakan. Sine ira et studio, tanpa kebencian maupun kecintaan, demikian pula motto sejarawan klasik Romawi, Tacitus dalam menelaah sejarah. Apakah kita mungkin untuk benar-benar mengetahui secara pasti seberapa luas dampak dari kehadiran seseorang dalam dunia, apalagi untuk menentukan secara “objektif” baik atau buruknya dampak dari suatu kelahiran?
[2] Margarette Durst, “Birth and Natality in Hannah Arendt” dalam Analecta Husserliana LXXIX, A. T. Tymienieka, ed. (Kluwer Press, 2004) p. 777.