a candle is lit in the middle of a church

Natal: Suatu Panggilan yang Nyata bagi Gereja

Dua ribu tahun yang lalu, ada seorang pemuda pergi merantau menempuh perjalanan berhari-hari dari kampung halamannya menuju ke kota lain. Apakah dia pergi bersama keluarganya atau tidak, kita tidak tahu. Tetapi yang kita tahu, dia dan keluarganya tidak berasal dari sana. Di dalam kota yang baru, dia harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, orang-orang baru, dan teman-teman baru. Di sana dia mendapatkan pacar dan berteman untuk beberapa waktu lamanya. Tidak disangka-sangka, ketika mereka sudah bertunangan, pacarnya ternyata tiba-tiba hamil. Sampai di sini kita pasti sudah dapat menebak kisah siapa yang sedang diceritakan, yakni kisah Yusuf dan Maria.

Di tengah-tengah pergumulan yang berat ini, Yusuf sebagai seorang gentleman mengambil keputusan yang bijak sesuai firman Tuhan dan akhirnya membawa Maria untuk tinggal bersama-sama dengan dia. Hari berganti hari, apa yang terjadi setelah itu tidak dicatat di dalam Alkitab, demikian juga bagaimana pergumulan Yusuf dan Maria dengan kondisi seperti ini. Alkitab kembali menceritakan kisah kondisi Maria di tengah-tengah masa hamil tuanya. Mendadak ada berita mengenai sensus penduduk dari kaisar sehingga mereka terpaksa menempuh perjalanan jauh beberapa hari dengan Maria berbadan dua. Sungguh perjalanan yang melelahkan bagi Maria (dan Yusuf yang merawatnya). Dan ketika mereka berdua tiba di Betlehem, kota kecil asal Yusuf, mereka tidak ada tempat untuk meletakkan kepala. Mereka sedikit merasakan penderitaan Kristus – Anak yang sedang dikandung Maria – yang juga tidak punya tempat untuk meletakkan kepala-Nya. Ular mempunyai liang dan burung mempunyai sarang tetapi Anak Manusia tidak punya tempat untuk meletakkan kepala-Nya. Kita melihat Anak Manusia itu lahir dengan palungan sebagai tempat untuk meletakkan kepala.

Akhirnya Yusuf dan Maria yang sedang hamil tua tiba di kampung halamannya Yusuf. Kondisi Maria yang hamil sebelum menikah dan semua orang harus melakukan sensus merupakan konteks saat itu. Di tengah-tengah tidak adanya sanak saudara yang menerima, di tengah-tengah tidak adanya masyarakat yang menerima, di tengah-tengah tidak adanya penginapan yang kosong, mereka akhirnya mendapat tempat di kandang binatang. Kita membayangkan sebuah kota kecil yang saling mengenal satu sama lain, tetapi semua menolak mereka, dan bahkan tidak ada yang menghiraukan mereka karena semua sedang sibuk dengan urusan mereka sendiri. Kita dapat membayangkan satu kota yang tadinya damai, tiba-tiba menjadi penuh sesak dengan pendatang dan semua orang harus melayani kerabat masing-masing yang pulang ke kampung halaman untuk mengikuti sensus.

Alkitab mencatat Tuhan Yesus akhirnya harus lahir di kandang binatang. Memang Tuhan Yesus lahir di kandang binatang karena tidak ada penginapan, tetapi bukan hanya itu saja alasannya. Tuhan adalah Allah yang Mahakuasa dan Dia bisa memilih tempat lahir bagi-Nya untuk meletakkan kepala-Nya dan bahkan Dia bisa membuat batu memuji Dia dan mengubahnya menjadi tempat lahir yang nyaman bagi-Nya; tetapi Dia tidak melakukan itu. Dia memilih jalan demikian, supaya orang yang paling miskin tahu bahwa Tuhan peduli bagi-Nya. Jika Tuhan Yesus lahir di rumah sakit atau di rumah, orang paling miskin menganggap bahwa Tuhan hanyalah Tuhan bagi orang kaya dan orang menengah. Tetapi Tuhan Yesus sejak lahir senantiasa mengasihi orang yang paling miskin dan hina sekalipun di masyarakat. Bahkan Dia mengatakan bahwa jika kita melakukan perbuatan kasih yang nyata (memberi makan, minum, pakaian, mengunjungi ketika sakit dan dipenjara) kepada salah seorang yang paling hina ini, itu sama dengan melakukannya untuk Dia. Tuhan menyamakan diri-Nya dengan yang paling hina di masyarakat.

Bagaimana dengan kita? Dengan berkembangnya kota-kota besar di seluruh dunia (PBB mencatat bahwa dalam beberapa dekade ke depan, 66% penduduk dunia akan tinggal di kota), masalah perkotaan akan timbul dan marginalisasi masyarakat akan muncul. Permasalahan kota besar seperti kebanjiran, sampah, kemacetan, polusi, marginalisasi, ketimpangan ekonomi akan muncul. Banyak manusia yang tidak hidup secara manusiawi dan buah dari tenaga seluruh umat manusia tidak dapat dirasakan oleh kalangan menengah ke bawah. Bukan hanya itu, kalangan menengah pun bergumul dengan tantangan kota besar yang tidak habis-habis mendera mereka sehingga waktu mereka terkuras habis. Bukan hanya SARA yang akan jadi masalah diskriminasi, tetapi juga ketimpangan ekonomi akan menjadi masalah diskriminasi. Gereja Tuhan ditantang menjawab kesulitan dan permasalahan ini. Bagaimana gereja berfungsi untuk memanusiakan manusia pada zaman ini sehingga banyak orang semakin dapat hidup lebih manusiawi dan mengerti bahwa Tuhan mengasihi mereka melalui gereja.

Di tengah hiruk pikuk dan tantangan kota besar di mana masalah yang ada berkali-kali lipat beratnya karena jumlah penduduk yang tinggal juga besar, teman sesama manusia kita juga banyak yang mengalami marginalisasi dan dehumanisasi. Melalui momen Natal, mari kita mengingat kedatangan Yesus ke dunia ini. Yesus datang untuk memanusiakan manusia. Yesus datang untuk menjadikan hidup manusia menjadi lebih manusiawi. Yesus datang bukan untuk menjadikan yang miskin jadi kaya, tetapi Yesus datang menjanjikan hidup berkecukupan, hidup manusiawi bagi yang miskin. Yesus datang bukan untuk menjadikan yang terbelenggu jadi seenaknya, tetapi Yesus datang menjanjikan hidup berkebebasan, hidup manusiawi bagi yang terbelenggu. Mungkinkah kita dan teman-teman semua sebagai komunitas Kristen saling mengasihi dan kasih itu dapat dirasakan secara nyata di dalam komunitas yang bersinar kepada sesama manusia di sekitar kita? Tuhan Yesus mengatakan di Yohanes 13:34-35, “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” Mari kita menyatakan cinta kasih Tuhan yang telah datang 2.000 tahun yang lampau melalui kehidupan nyata kita, baik melalui Injil sejati secara lisan maupun melalui perbuatan kita, sehingga sekali lagi orang-orang di sekitar kita bisa tahu, bisa mengerti, dan bisa tersentuh kalau Natal itu adalah Tuhan datang untuk mencari mereka, mau bertemu dengan mereka, dan mau membawa mereka kembali kepada Bapa sebagai manusia yang sesungguhnya.

Ev. Lukas Yuan Utomo
Redaksi Bahasa PILLAR