Siapa yang tidak pernah atau setidaknya pernah mendengar tentang Sam Kok meskipun belum pernah membaca sendiri ceritanya? Roman Tiga Kerajaan (Sam Kok) merupakan kisah epik yang ditulis berdasarkan kejadian nyata di masa pemerintahan Dinasti Han. Tentu saja nama-nama seperti: Zhuge Liang, Liu Bei, Guan Yu, Zhang Fei, dan Cao Cao tidak asing lagi di telinga kita. Kita juga tahu bahwa di dalam cerita Sam Kok terdapat banyak pelajaran bijaksana yang dapat kita pelajari dan yang pastinya akan berguna dalam hidup kita. Kita mengakui adanya anugerah umum bahkan bagi negara Tiongkok kuno. Jikalau kita membaca dengan teliti, cerita Sam Kok ternyata mempunyai konsep yang kaya tentang kebijaksanaan dan relasinya dengan kehendak Langit. Bahkan dapat memperkaya pengertian kita tentang relasi antara kebijaksanaan dan kedaulatan Allah dalam Alkitab, dan karenanya harus kita apresiasi. Di dalam artikel ini, kami akan menjelaskan hubungan antara kedaulatan Allah dan kebijaksanaan Alkitab dengan cara memparalelkannya dengan hubungan antara kehendak Langit dengan kebijaksanaan dalam cerita Sam Kok. Kami juga akan menunjukkan keterbatasan pencapaian manusia berdosa di luar wahyu khusus dan anugerah keselamatan dari Tuhan, bahwa konsep Alkitab tentang kebijaksanaan dan ‘kehendak Langit’ jauh melampaui apa yang dapat dipikirkan oleh manusia.
Namun sebelum itu, kita akan mengingat-ingat dahulu apa yang terjadi sampai terbentuknya Tiga Kerajaan. Dinasti Qin yang berkuasa sebelumnya diakhiri oleh seorang tokoh yang bernama Liu Bang yang memberontak kepada Qin Shihuangdi. Keturunan Liu Bang yang kemudian menguasai Tiongkok selama dua abad lebih itulah yang disebut sebagai Dinasti Han. Tetapi, seperti banyak pemerintahan dinasti sebelumnya, masa kejayaan akan diikuti oleh masa keruntuhan. Setelah dua ratus tahun, akhirnya dinasti ini menjadi lemah pada waktu kaisar Xian memerintah Dinasti Han Timur. Kaisar Ling yang berusia dua belas tahun menggantikan ayahnya yang wafat untuk melanjutkan pemerintahan, namun kaisar itu tidak memiliki kekuatan. Kaisar boneka itu dikendalikan oleh kasim-kasim di pemerintahan. Pemerintahan yang bobrok mengakibatkan bencana alam dan kejadian-kejadian supernatural yang aneh-aneh, serta membuat rakyat menderita. Rakyat percaya bahwa kehendak Langit tidak lagi berada di tangan pemerintah. Seorang bernama Zhang Jiao yang berkarisma besar berhasil menarik rakyat untuk melawan pemerintah. Pengikutnya semakin banyak sampai-sampai sangat ditakuti oleh pemerintah. Kelompok Zhang Jiao ini dikenal dengan nama The Yellow Scarves. Ulah mereka sangat berlebihan dalam melakukan kekerasan dan pembunuhan. Melihat negara terancam oleh pemberontak-pemberontak ini, beberapa orang berniat untuk membantu negara dalam melawan pemberontakan, di antaranya Liu Bei, yang kemudian menjadi salah satu tokoh sentral di dalam kisah Sam Kok. Dia dibantu oleh dua saudara angkatnya bernama Zhang Fei dan Guan Yu, juga Cao Cao dan Sun Jian. Walaupun pemberontak negara sudah disingkirkan, negara tetap belum aman karena para kasim masih memonopoli pemerintahan serta perdana menteri yang lalim bernama Dong Zhuo yang dibantu oleh Lu Bu memegang kekuasaan sehingga mereka ditakuti oleh banyak orang. Orang-orang yang sungguh-sungguh memedulikan nasib rakyat Tiongkok pada saat itu akhirnya membuat rencana dan mengadu domba Dong Zhuo dan Lu Bu yang diakhiri dengan pembunuhan Dong Zhuo oleh Lu Bu. Cao Cao kemudian berhasil mematikan Lu Bu, dan sepertinya orang-orang jahat di pemerintahan sudah berhasil ditumpas habis. Liu Bei, Cao Cao dan Sun Quan (anak dari Sun Jian) masing-masing mencari tempat kekuasaan sendiri dan menjadi raja di wilayah taklukan masing-masing: Kerajaan Shu oleh Liu Bei, Kerajaan Wei oleh Cao Cao dan Kerajaan Wu oleh Sun Quan. Masing-masing mereka memiliki keinginan untuk mempersatukan Tiongkok, terutama Cao Cao dengan ambisi kekuasaannya yang sangat besar sehingga perang tidak dapat dielakkan. Cao Cao sangatlah licik dan sulit dikalahkan maka Liu Bei yang menyadari bahwa dirinya sendiri tidak akan mampu melawan Cao Cao, mencari orang yang lebih cerdik dan bijak untuk membantunya melawan Cao Cao dan pasukannya. Liu Bei memohon pertolongan seorang yang terkenal pintar dan bijak tetapi juga patriotik, yaitu Zhuge Liang. Cao Cao hampir saja menguasai semua daerah, tetapi aliansi Liu Bei dan Sun Quan dengan strategi perang dari Zhuge Liang yang tidak terkalahkan berhasil menahan ambisi Cao Cao. Sejak saat itu, mulailah masa Tiga Kerajaan yang sangat terkenal, yang juga disebut dengan Sam Kok.
Di dalam cerita Sam Kok, kebijaksanaan mempunyai peran yang sangat penting. Tokoh yang berbijaksana sangat dihargai dan dihormati. Misalnya, Liu Bei berusaha mati-matian untuk mendapatkan Zhuge Liang. Dia sampai harus pergi tiga kali menempuh perjalanan yang jauh ke rumah Zhuge Liang untuk membujuk Zhuge Liang supaya mau bekerja baginya. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa Liu Bei sendiri juga adalah seorang bijak. Dia tahu bahwa supaya berhasil dia harus mendapatkan orang bijak untuk bekerja kepadanya. Maka, perjalanan yang sulit melawan musim dingin yang kejam tidak menjadi masalah baginya. Cao Cao juga menunjukkan sikap yang sama terhadap orang bijak. Dengan menggunakan cara yang licik dia mendapatkan Dan Fu dari tangan Liu Bei. Di sini kita dapat melihat bahwa pemimpin-pemimpin yang berbijaksana sangat menyadari bahwa kehadiran orang-orang bijak adalah kunci bagi keberhasilan kepemimpinan mereka. Mengapa orang bijak begitu dicari-cari? Menurut kami, ini ada kaitannya dengan doktrin kehendak Langit yang sudah dipercayai dan diajarkan terus-menerus sejak zaman Dinasti Zhou.
Di dalam artikel tentang Dinasti Zhou, kami sudah menunjukkan bahwa kehendak Langit berpihak pada pemimpin yang berbijaksana. Pemimpin yang menindas rakyat dan tidak bermoral akan dianggap oleh rakyat sebagai tidak lagi layak memangku jabatan kaisar dan harus diturunkan. Dalam cerita Sam Kok kita juga melihat hal yang sama. Pemimpin-pemimpin baru mempunyai kepercayaan diri untuk menggantikan kaisar yang lama karena mereka mempunyai keyakinan bahwa kehendak Langit berpihak pada mereka. Supaya kehendak Langit berpihak pada mereka, mereka harus didukung oleh orang-orang bijak yang memberikan nasihat-nasihat yang menghindarkan mereka dari keputusan-keputusan yang tidak bijak dan fatal.
Apa istimewanya orang-orang bijak di dalam cerita Sam Kok? Pertama, orang yang bijak digambarkan sebagai orang yang dapat membaca kehendak Langit. Ketika Zhuge Liang ingin meyakinkan Sun Quan yang peragu agar maju berperang melawan Cao Cao, Sun Quan meragukan apakah keberadaan Zhuge Liang dapat menolong dia mengalahkan Cao Cao. Dia bertanya pada Zhuge Liang kenapa majikannya, Liu Bei, sampai sekarang masih belum sukses dan terakhir kali sampai harus meninggalkan kotanya sendiri dan mencari perlindungan Sun Quan. Zhuge Liang berkata bahwa segalanya itu memang harus terjadi dan Liu Bei belum beruntung karena itu memang kehendak Langit. Zhuge Liang yang bijak dapat mengetahui timetable-nya Langit: kapan Langit berkehendak ini dan kapan Langit mau mengerjakan itu. Dari perkataannya, Zhuge Liang mengisyaratkan bahwa kekalahan Liu Bei hanya bersifat sementara dan diizinkan oleh Langit, dan di kemudian hari nanti Langit akan memberikan kemenangan kepada Liu Bei.
Kedua, dalam cerita Sam Kok kehendak Langit berpihak pada orang bijak karena orang bijak selalu dikaitkan dengan moral yang tinggi. Kebijaksanaan tidak hanya bicara tentang kepintaran otak dan kelihaian. Jika hanya demikian, Cao Cao pantas disebut orang bijak karena pikirannya yang cerdik dan lincah. Namun, cerita Sam Kok tidak mengindikasikan bahwa Cao Cao termasuk dalam golongan orang bijak. Liu Bei yang pikirannya tidak selincah dan selihai Cao Cao malah disebut orang bijak. Ini karena dalam cerita Sam Kok, kebijaksanaan tidak hanya bicara tentang kepintaran tetapi juga moral. Zhuge Liang memuji Liu Bei dalam perdebatannya dengan para penasihat Sun Quan. Bagi Zhuge Liang, Liu Bei bersifat jujur dan bijaksana karena meskipun punya kesempatan untuk merampas Jingzhou, tetapi tidak mengambil kesempatan tersebut karena pemimpin Jingzhou masih merupakan sanak saudaranya sendiri. Padahal, jikalau dia merampas Jingzhou, dia dapat menghindarkan diri dari kekalahan terhadap Cao Cao. Lalu, Zhuge Liang melanjutkan dengan menceritakan bagaimana Liu Bei mencintai dan dicintai rakyatnya. Liu Bei tidak tega meninggalkan rakyatnya yang pasti akan dibantai habis oleh Cao Cao sehingga dia membawa serta mereka dalam pelariannya, meskipun karena itu gerak Liu Bei sendiri akan diperlambat secara signifikan dan berisiko besar terkejar oleh pasukan Cao Cao. Hati yang baik, cinta akan rakyat, sifat-sifat inilah yang membuat Liu Bei disebut bijak oleh Zhuge Liang, dan dia percaya bahwa kepada orang seperti inilah Langit akan berpihak. Tidak berlebihan pula jika kita mengatakan bahwa Zhuge Liang mau bekerja pada Liu Bei karena dia mengetahui hal ini sejak awal.
Kenyataan bahwa Langit berpihak pada Liu Bei bukanlah imajinasi Zhuge Liang belaka, melainkan terbukti dari beberapa kejadian tidak lazim yang terjadi pada dan di sekitar Liu Bei. Pada saat Liu Bei dikejar dan hendak dibunuh oleh Cai Mao, Liu Bei menunggang kudanya sampai ke pinggir sebuah sungai dan tidak dapat melanjutkan pelariannya. Cai Mao semakin dekat dan Liu Bei hanya dapat berpasrah. Namun tiba-tiba, kuda yang tadinya terkenal dapat membawa nasib sial kepada tuannya itu meloncati sungai yang lebar dan berhasil sampai ke sisi seberang dan akhirnya mereka selamat dari kejaran Cai Mao. Pada kejadian lain, Zhao Yun, jenderal kesayangan Liu Bei yang sedang terkepung dalam usahanya menyelamatkan anak dan istri Liu Bei, bersama kudanya terpelosok ke dalam lubang yang dipersiapkan oleh musuhnya. Jenderal Zhang He yang melihatnya terjebak segera mengambil kesempatan ingin menebas Zhao Yun namun tiba-tiba ada seberkas cahaya merah memancar dari dalam lubang dan Zhao Yun pun dapat keluar dari situ dengan selamat. Kejadian-kejadian supernatural seperti ini memperlihatkan kepada kita bahwa keyakinan Zhuge Liang pada Liu Bei tidaklah berlebihan.
Orang bijak, seperti Zhuge Liang, hanya mau bekerja pada majikan yang menurut mereka bijak dan bermoral tinggi. Dan Fu sendiri (sahabat Zhuge Liang) sudah lama mencari-cari majikan sebelum akhirnya bertemu dengan Liu Bei. Bahkan sebelum dia bekerja pada Liu Bei, dia menguji kejujuran dan moralitasnya terlebih dahulu. Setelah dia tahu bahwa Liu Bei bukan orang yang mau mencelakai orang lain demi keuntungan sendiri, dia baru mau mengakuinya sebagai majikan. Menurut Dan Fu, orang yang bijaksana adalah orang yang tidak akan mencelakai orang lain demi keuntungan sendiri. Meskipun akhirnya Dan Fu berhasil didapatkan oleh Cao Cao dengan cara yang licik, dia berjanji tidak akan memberikan sedikit pun kepintarannya untuk Cao Cao.
Kaitan moralitas dan kebijaksanaan juga terlihat pada Zhuge Liang sendiri. Ketika Liu Bei berkunjung ke rumah Zhuge Liang untuk membujuknya supaya bekerja padanya, dia melihat ada sebuah puisi yang digantung pada dinding rumah Zhuge Liang, yang bunyinya:
“Dengan kebersihan menjernihkan pikiran
Dengan kesucian memperluas wawasan.”
Hal ini menunjukkan bahwa kebersihan dan kesucian adalah bagian yang esensial di dalam pikiran dan wawasan Zhuge Liang. Seolah-olah mengatakan bahwa tanpa kesucian dia tidak dapat memperluas wawasannya. Ketika moral dan pengetahuan bertemu, kedua elemen itu melebur menjadi kebijaksanaan.
Dari sini kita dapat melihat betapa pentingnya mendapatkan orang bijak. Jika orang-orang bijak sampai mau bekerja pada seorang majikan, hampir boleh dipastikan bahwa majikan tersebut adalah orang yang dikehendaki oleh Langit untuk memerintah Tiongkok. Dengan demikian, ada hubungan yang sirkular antara kebijaksanaan dan kehendak Langit. Orang yang bijak akan dapat membaca kehendak Langit, dan dengan membaca kehendak Langit mereka menyadari bahwa Langit berpihak pada orang bijak, sehingga mereka hanya mau bekerja bagi majikan yang bijak.
Sampai di sini kita melihat bahwa kebijaksanaan dimengerti sebagai kemampuan untuk memahami manusia dengan seluruh kehidupannya yang kompleks, memiliki pengertian akan alam semesta dan cara dunia bekerja serta dapat memanfaatkannya untuk kebaikan umat manusia. Kita juga dapat melihat di dalam kisah Sam Kok adanya konsep kebijaksanaan yang dikaitkan dengan keselarasan antara sesama manusia, yang ditunjukkan dengan tanda-tanda kehidupan moral yang baik, pikiran yang bersih, dan hati yang suci. Orang-orang berbijaksana tersebut akan mementingkan kebaikan umat manusia dan bukan dirinya sendiri. Orang-orang seperti demikianlah yang akan mendapatkan dukungan Langit dan orang-orang tersebut juga yang akan mengerti kehendak Langit yang menjaga keseimbangan dan kelangsungan dunia ini. Bukankah ini konsep yang mirip dengan kekristenan? Jika kita melakukan apa yang benar maka Allah akan berpihak pada kita dan kita akan diberikan pengertian kehendak Allah untuk digenapkan? Kita harus mengakui bahwa pemikiran mengenai kebijaksanaan yang terkandung di dalam kisah Sam Kok mengandung kebenaran walaupun bersifat parsial. Pertama, bahwa memang harus ada suatu oknum yang lebih tinggi dari manusia dan dunia ini yang dapat menopang kelangsungannya. Kedua, bahwa oknum tersebut memiliki kehendak yang pasti akan digenapkan dan oknum tersebut memakai manusia-manusia tertentu yang dapat mengerti kehendaknya. Kita menghargai tingginya pencapaian pengertian orang-orang bijak di dalam cerita Sam Kok, namun kebenaran-kebenaran tersebut masih belum dapat mencapai kebijaksanaan Alkitab.
Kita melihat bahwa baik Liu Bei maupun Zhuge Liang, dua tokoh yang dipandang sangat berbijaksana dalam kisah Sam Kok, mencari kebijaksanaannya di dalam dunia. Betul bahwa Zhuge Liang mencari kehendak Langit, tetapi ia membaca kehendak Langit dengan membaca tanda-tanda alam, meneliti sejarah, dan mempelajari perilaku sesamanya – baik kawannya maupun lawannya. Liu Bei bijaksana karena ia memiliki hati yang baik, rela berkorban bagi kepentingan orang banyak, dan rendah hati sehingga mau mencari orang yang lebih berbijaksana daripada dirinya yaitu Zhuge Liang. Tetapi, sekali lagi ini menandakan bahwa Liu Bei mencari kebijaksanaan yang terdapat dalam pikiran manusia yaitu hikmat dalam dunia. Dunia ini memang memiliki hikmat, tetapi hikmat yang sangat terbatas dan sudah dirusak oleh dosa manusia. Pemikiran filsafat hikmat masyarakat Tiongkok dalam kisah Sam Kok juga gagal untuk menyadari bahwa hikmat yang sesungguhnya tidak cukup hanya untuk mengetahui kehendak Langit yang dipandang sebagai oknum ilahi. Alkitab mengatakan bahwa manusia seharusnya mengenal oknum ilahi itu sendiri, tetapi para tokoh bijaksana dalam kisah Sam Kok tidak pernah digambarkan mengetahui dengan jelas apa atau siapakah Langit yang kehendaknya mereka ikuti dan genapi itu. Apakah ia berpribadi? Apakah ia memiliki emosi dan dapat berpikir? Kebijaksanaan Liu Bei dan Zhuge Liang akhirnya hanya berhenti sampai pada membaca tanda-tanda yang Langit berikan tanpa pernah mengerti ada apa di balik yang mereka sebut sebagai “kehendak Langit”.
Lalu, bagaimana orang Kristen harus memandang kebijaksanaan dan mencari kebijaksanaan? Amsal, salah satu di antara lima Kitab Hikmat, mengawali rangkaian ucapan hikmatnya di satu perikop pembuka yang pada intinya mengatakan bahwa “Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan” (Ams. 1:7) dan di bagian lain menegaskan dengan “Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, dan mengenal Yang Mahakudus adalah pengertian” (Ams 9:10). Namun “takut” seperti apa yang dimaksud dan bagaimana kaitannya dengan kebijaksanaan?
Di dalam bahasa Inggris, kata “takut” yang dipakai oleh penulis Amsal adalah kata “fear”. Kata “fear” memiliki makna yang hampir sama dengan “afraid” yaitu mengacu kepada emosi ketakutan yang didominasi oleh kekhawatiran, entah akan terluka, disakiti, atau sesuatu yang tidak menyenangkan akan terjadi sehingga disertai dengan keengganan untuk melakukan hal yang mengakibatkan rasa takut tersebut. Namun “fear” memiliki satu makna yang melampaui “afraid”, yaitu ketakutan yang mengandung kekaguman dan hormat (reverence) kepada objek, atau dalam hal ini, Subjek yang ditakuti. Fear mendorong manusia untuk tunduk dan takluk kepada Subjek yang ditakuti tidak dengan rasa enggan tetapi dengan kerelaan karena mengetahui bahwa sang Subjek layak mendapatkan ketaatan dan hormat yang diberikan. Sesuai dengan perkataan Amsal, Subjek yang dimaksud disini tentu adalah Allah sendiri. “Fear of the Lord” menandakan adanya suatu relasi antara Allah dengan manusia, di mana ada penyerahan diri penuh, komitmen, dan ketaatan penuh kepada Allah dan kehendak-Nya yang Ia nyatakan lewat karya ciptaan-Nya dan pewahyuan-Nya. (John F. MacArthur, “Earthly and Heavenly Wisdom”). Dari “fear of the Lord” yang seperti inilah, penulis Amsal katakan sebagai awal dari pengetahuan dan kebijaksanaan.
Jika kita ingin memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan, kita tidak memulainya dengan membaca buku-buku pengetahuan, bersekolah, ataupun bepergian mencari pengalaman hidup. Amsal mengajarkan bahwa kita harus mulai dengan mengenal Allah dan tunduk kepada-Nya. Kitab Ayub pasal 28:20-28 mencatat demikian:
“Hikmat itu, dari manakah datangnya,
atau akal budi, di manakah tempatnya?
Ia terlindung dari mata segala yang hidup,
bahkan tersembunyi bagi burung di udara.
Kebinasaan dan maut berkata:
Hanya desas-desusnya yang sampai ke telinga kami.
Allah mengetahui jalan ke sana,
Ia juga mengenal tempat kediamannya.
Karena Ia memandang sampai ke ujung-ujung bumi,
dan melihat segala sesuatu yang ada di kolong Langit.
Ketika Ia menetapkan kekuatan angin,
dan mengatur banyaknya air,
Ketika Ia membuat ketetapan bagi hujan,
dan jalan bagi kilat guruh,
Ketika itulah Ia melihat hikmat, lalu memberitakannya
menetapkannya, bahkan menyelidikinya;
tetapi kepada manusia Ia berfirman:
Sesungguhnya, takut akan Tuhan, itulah hikmat,
dan menjauhi kejahatan itulah akal budi.”
Firman Tuhan mengatakan bahwa kita tidak dapat menemui kebijaksanaan di dalam dunia ini, bahwa kebijaksanaan hanya dapat ditemukan pada Pribadi yang menciptakan segala sesuatu, Allah sendiri.
Analogi yang mungkin membantu untuk memahami hal ini adalah dengan mengandaikan jika kita baru saja membeli handphone canggih model terbaru yang mahal juga langka dan Anda tidak terlalu jelas mengenai seluk-beluk cara memakai handphone tersebut. Anda berpaling ke buku petunjuk pemakaian yang berbahasa Inggris dan Anda menemukan bahasa Inggris Anda ternyata tidak terlalu bagus sehingga hanya sedikit sekali informasi yang Anda dapat di sana. Apa yang akan Anda lakukan? Pilihan pertama adalah mungkin Anda jual saja handphone itu ke orang lain dan beli handphone lain yang lebih mudah digunakan. Tetapi, andaikata Anda tetap ingin memakainya maka pilihan kedua adalah Anda pergi ke outlet penjual handphone tersebut dan bertanya kepada customer service bagaimana cara menggunakan handphone tersebut, apa saja fungsi dan fitur-fitur tambahannya sehingga Anda dapat mengoptimalkan penggunaan handphone yang sangat canggih tersebut. Tetapi masalahnya, buat apa jauh-jauh pergi ke outlet dan bertanya ke customer service jika ternyata ayah Anda sendiri yang mendesain dan membuat handphone tersebut? Terlebih lagi, jika ternyata handphone tersebut khusus didesain untuk Anda dan kebutuhan-kebutuhan Anda. Konyol sekali jika harus bertanya bagaimana cara memakai handphone yang didesain dan dibuat khusus untuk Anda oleh ayah Anda sendiri kepada pegawai marketing perusahaan handphone yang tidak ikut mendesain, membuat, dan mungkin tidak tahu-menahu sama sekali tujuan asli pembuatan desain handphone tersebut.
Analogi ini tentu saja tidak sempurna karena dunia yang saya analogikan sebagai handphone tersebut tidak pernah dibuat khusus untuk kebutuhan manusia, melainkan hanya untuk kemuliaan Allah saja. Tetapi kami berharap analogi tersebut dapat membantu menggambarkan kebodohan manusia selama ini. Kita sering kali mencari kebijaksanaan dengan bertanya kepada orang-orang yang salah, menggali di tempat-tempat yang salah, dan dengan cara-cara yang salah, padahal kebijaksanaan itu begitu dekat dan mudah sekali ditemukan. Allah yang menciptakan seluruh alam semesta ini, yang meletakkan dasar-dasar bumi dan membentangkan Langit dengan kebijaksanaan-Nya juga adalah Allah yang menciptakan kita, membuat kita sebagai anak-anak-Nya, mewahyukan diri-Nya kepada kita, mengadakan perjanjian kerja dengan kita, dan yang mengasihi kita bahkan sampai rela mengorbankan Anak-Nya yang Tunggal, Tuhan Yesus Kristus, untuk menyelamatkan kita dari dosa-dosa kita sendiri. Pewahyuan diri dan kehendak Allah pun tidak pernah dibuat begitu samar dan tidak jelas sehingga kita harus menerka-nerka dan akhirnya salah menerka, seperti yang terjadi beberapa kali dalam sejarah Tiongkok kuno di mana orang sering mengira dirinya pastilah memiliki “kehendak Langit” untuk menjadi penguasa Tiongkok namun di tempat lain ternyata juga ada beberapa orang menyangka hal yang sama sehingga akhirnya terjadilah pemberontakan dan perang di mana-mana. Tidak, pewahyuan diri Allah begitu jelas, baik lewat alam ciptaan-Nya maupun melalui Firman-Nya. Lalu, jika Allah mau membukakan diri-Nya dan kehendak-Nya kepada manusia maka sebelumnya Allah juga telah membekali manusia dengan akal budi dan kebijaksanaan yang cukup untuk dapat mengerti diri dan kehendak Allah sehingga tidak mungkin manusia salah mengerti. Manusia memiliki potensi kebijaksanaan, tetapi itu diberikan bukan untuk manusia menjadi bijaksana pada dirinya sendiri, melainkan untuk mencerminkan kebijaksanaan Allah dan mengerti kehendak Allah agar menaati-Nya secara penuh.
Lalu, mengapa sulit sekali untuk menjadi bijaksana? Jawabannya tidak lain adalah karena dosa telah merusak manusia secara total sebagai gambar dan rupa Allah sehingga manusia juga telah kekurangan kebijaksanaan ilahi untuk dapat mengerti dan taat secara sepenuhnya kepada kehendak Allah. Manusia juga memberontak dengan menolak untuk mendapatkan kembali kebijaksanaannya pada sumber yang benar dan lebih suka untuk mengais-ngais sampah untuk mencari apa yang sebenarnya hanya Allah yang dapat memberikan kepadanya. Kebijaksanaan yang sejati hanya dapat diperoleh dengan kembali tunduk kepada Allah yang benar, dengan fear of the Lord.
Setelah kami tunjukkan keterbatasan pencapaian orang bijak di zaman Sam Kok, sekarang mari kita melihat bagaimana pengertian relasi kehendak Langit dan kebijaksanaan di dalam cerita Sam Kok dapat membantu kita mengerti hubungan antara kedaulatan Allah dan kebijaksanaan dalam Alkitab. Seperti yang kita percayai di dalam tradisi Reformed, kita dapat mengerti kelimpahan wahyu khusus melalui wahyu umum, dan sebaliknya. Jika kita teliti di dalam cerita Sam Kok, ternyata kehendak Langit, atau disebut juga takdir, tidak membuat manusia menjadi robot yang tidak berpikir, tetapi menggunakan orang bijak untuk menggenapkan apa yang sudah digariskan. Zhuge Liang dan Liu Bei jelas adalah manusia yang berpikir. Meskipun mereka percaya pada takdir, hal itu tidak membuat mereka pasif, melainkan menggunakan segenap kebijaksanaan mereka untuk menggenapkan kehendak Langit. Hal ini, menurut kami, sebenarnya menunjukkan bahwa manusia mengerti bagaimana kedaulatan Allah tidak meniadakan kehendak bebas manusia, sebuah paradoks yang selama ini sering dilihat sebagai kontradiksi. Meskipun tetap tidak dapat sepenuhnya menyelesaikan ‘permasalahan’ ini (siapa yang dapat?), kami mencoba menunjukkan paralel hubungan kehendak Langit (takdir) dan kebijaksanaan dalam cerita Sam Kok dengan hubungan kedaulatan Tuhan dan kehendak bebas manusia dalam Alkitab.
Setelah kita melihat konsep kebijaksanaan dalam Alkitab, kita dapat menyimpulkan bahwa Tuhan menjalankan kedaulatan-Nya yang mutlak tanpa meniadakan kehendak bebas manusia, yaitu dengan cara memberi manusia kebijaksanaan. Tuhan yang adalah sumber kebijaksanaan itu sendiri membuat rencana kekal-Nya yang mutlak dan maha bijak, dan hanya orang yang dianugerahkan kebijaksanaan oleh-Nya-lah yang dapat menangkap dan menggenapkan rencana itu. Hubungan sirkular antara kehendak Langit dan kebijaksanaan dalam cerita Sam Kok tampaknya merupakan apa yang dinyatakan di dalam ajaran Alkitab. Orang bijak dalam Alkitab adalah orang yang peka akan kehendak Allah dalam hidupnya, dan orang yang peka akan kehendak Allah akan mengetahui bahwa Allah berpihak pada orang bijak. Karena orang bijak juga adalah orang yang takut akan Allah, merekalah yang dipakai Allah untuk menjadi hamba-Nya menggenapkan rencana-Nya di dunia ini. Dengan demikian, kita melihat bahwa Tuhan tidak menjadikan manusia sebagai robot yang tidak berpikir untuk menjalankan maksud-Nya di dunia ini. Justru orang bijaklah yang dipakai untuk menggenapkan rencana-Nya.
Kita yang menyaksikan bagaimana Tuhan bekerja melalui Pdt. Dr. Stephen Tong tahu betapa benarnya kalimat di atas. Tidak berlebihan jika kita berpendapat bahwa Pdt. Dr. Stephen Tong mempunyai kebijaksanaan yang diajarkan Alkitab sehingga dia dapat ‘membaca’ kehendak Allah, dan karena itu Allah memakainya, yang adalah orang bijak, untuk mewujudkan satu demi satu kehendak Tuhan bagi zaman ini. Hal seperti ini sudah terjadi pada hamba-hamba Tuhan sebelum Pdt. Dr. Stephen Tong. Mereka dapat disebut hamba-hamba Tuhan yang bijak karena mengerti isi hati Tuhan dan dengan berani menjalankannya sampai terwujud dalam hidup mereka sehingga mendatangkan berkat bagi zaman di mana mereka berada dengan cakupan pengaruh yang Tuhan izinkan bagi mereka. Pdt. Dr. Stephen Tong tidak dapat memulai sebuah gerakan hanya dengan pengetahuan theologi, kepintaran, dan pencapaian akademik yang tinggi, jika tanpa kebijaksanaan dari Tuhan. Kebijaksanaan yang dia punyai adalah unik, yang tidak akan didapatkan bahkan dengan menyelesaikan S3 theologi. Kebijaksanaan adalah kunci Pdt. Dr. Stephen Tong untuk dapat memutuskan dengan tepat kapan harus melangkah dan kapan harus menunggu, dan keputusan seperti apa yang harus dibuat untuk menghadapi suatu tantangan.
Tantangan kekristenan tidaklah kecil, terlebih lagi pada zaman sekarang. Ini menunjukkan betapa kita harus lebih lagi bergantung pada Tuhan. Jika Zhuge Liang membutuhkan kebijaksanaan untuk memenangkan peperangan di zamannya, orang Kristen memerlukan kebijaksanaan untuk memenangkan peperangan, yang menurut Paulus bukan peperangan melawan hal yang jasmani, melainkan melawan tipu muslihat dari si jahat, melawan roh-roh yang tidak kelihatan. Paulus mendorong jemaat di Efesus untuk memakai perlengkapan perang, dan di dalamnya termasuk pedang roh dan perisai iman. Namun, boleh juga kita katakan bahwa hanya dengan kebijaksanaan dari Allah kita dapat menggunakan perlengkapan perang kita dengan baik, yang akhirnya membawa kita kepada kemenangan demi kemenangan dalam peperangan. Mari kita kejar kebijaksanaan dari Tuhan dan memenangi peperangan ini. Takutlah akan Tuhan!
Chias Wuysang, Chrissie Martinez, Erwan
REDS – Culture
Referensi:
1. Ivan Taniputera, History of China.
2. Fung Yu-Lan, Sejarah Filsafat Tiongkok.
3. Yongkie Angkawidjaya, San Guo Yan Yi.
4. http://www.kongming.net/