Mimpi
Mimpi adalah sesuatu yang menggerakkan manusia. Kita mungkin tidak menyadarinya dan mungkin juga tidak mengakuinya di depan orang lain, tetapi kita dapat terus hidup dan mempunyai keinginan untuk terus bergerak maju karena kita mempunyai mimpi-mimpi, seberapa pun kecilnya mimpi itu. Pada saat kita masih kecil, kita mungkin bermimpi akan menjadi apa suatu hari nanti: presiden, astronot, arsitek, seniman. Atau kita dulu mungkin berkhayal menjadi seorang superhero yang menyelamatkan dunia – mimpi seorang anak kecil adalah mimpi-mimpi yang besar. Ketika menginjak usia remaja, mimpi kita mungkin sudah menjadi lebih realistis. Kita mungkin bermimpi sebagai seorang remaja untuk menjadi seorang dewasa yang sukses, atau menjadi seorang selebritis, atau sekadar lulus SMA dengan nilai UN yang baik. Sebagai seorang dewasa, ketika sudah bisa melihat dunia ini dan diri sendiri dengan mata yang lebih “bijaksana”, kita mungkin mengubah lagi mimpi kita menjadi sesuatu yang lebih terjangkau: suami atau istri idaman, rumah idaman, mobil idaman, dan seterusnya. Tetapi apa pun mimpi kita, itulah yang menggerakkan kita untuk berjuang, berusaha, dan kadang menjadi tujuan kita melakukan segala sesuatu. Kita bekerja keras untuk mimpi-mimpi kita. Mimpi seorang manusia dapat menjadi kekuatan besar yang memengaruhi orang lain, bahkan dunia. Sejarah menceritakan bagaimana mimpi dari orang-orang agung mampu menggerakkan dunia. Alexander Agung bermimpi dapat menaklukkan seluruh dunia di bawah kekuasaannya. Mimpi ini mendorongnya untuk pergi berperang, melakukan invasi, dan pada akhirnya berhasil menaklukkan hampir separuh dunia.
Mimpi Martin Luther King, Jr. akan kesamaan hak antara warga kulit putih dan kulit hitam di Amerika mendorong terjadinya Gerakan Hak Asasi Manusia di Amerika pada tahun 1960-an yang hasilnya dapat kita lihat hari ini: hukum Amerika menjamin semua orang mendapat hak yang sama sebagai seorang warga negara Amerika, apa pun warna kulitnya.
Mimpi Hitler akan dunia yang diperintah oleh ras Arya Jerman mendorong terjadinya Holocaust, di mana diperkirakan 6 juta orang Yahudi dibunuh secara massal, dan pecahnya Perang Dunia II. Namun kita harus sadar bahwa segala pencapaian manusia di dunia ini akan berakhir bersama dunia ini. Satu-satunya yang akan tinggal tetap adalah kehendak Allah dan Kerajaan-Nya.
Sebagai umat kepunyaan Allah, kita dipanggil bukan untuk memperjuangkan mimpi-mimpi kita sendiri. Sejak awal manusia diciptakan pun, manusia tidak pernah menjadi pemilik dirinya sendiri. Ciptaan adalah milik Pencipta. Adam dan Hawa tidak menetapkan cita-cita hidupnya sendiri, melainkan Allah yang menetapkannya. Allah menetapkan Adam dan Hawa untuk beranak cucu dan bertambah banyak sehingga dapat menaklukkan dan menguasai bumi (Kej. 1:28) dan sejak saat itu segala yang diusahakan oleh Adam dan Hawa, harus diusahakan demi mencapai ketetapan Allah itu. Kehendak Allah adalah tujuan hidup dari manusia. Hidup kita bukan milik kita sendiri, demikian pula mimpi-mimpi kita bukan untuk memuaskan keinginan kita – melainkan milik Allah dan untuk menggenapkan kehendak Allah.
Dalam Doa Bapa Kami, kita mungkin sering mendoakan: “… Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu, di bumi seperti di sorga”, namun kita mungkin kurang menyadari apa arti kalimat ini. Dalam bahasa Inggris, kalimat ini berbunyi “…Thy Kingdom come, Thy will be done.” Kerajaan Allah terwujud ketika kehendak Allah digenapi. Penggenapan kehendak Allah ini tidak boleh hanya dilihat di dalam kita menjalankan ketaatan kita pribadi, atau ketika seorang Kristen menemukan dan menjalankan panggilan pribadinya saja melainkan harus dikerjakan dengan menundukkan segala aspek kehidupan, baik pribadi maupun komunal, di bawah otoritas Kristus.
Terlalu banyak aspek kehidupan kita yang kita pisahkan dari otoritas Kristus. Masalah iman, kerohanian, dan ibadah, ya – kita akui hal-hal itu harus kita persembahkan penuh kepada Tuhan. Tetapi itu tidak cukup. Bagaimana dengan kuliah, pekerjaan, mimpi, dan cita-cita kita? Adakah kita persembahkan semua itu untuk Tuhan? Adakah kita mempersiapkan diri kita sejak muda, bukan untuk menggenapi harapan kita masing-masing, melainkan untuk menggenapi Kerajaan Allah? Beranikah kita bermimpi besar, bukan untuk memenuhi ambisi pribadi, melainkan untuk menyatakan Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia? Beranikah kita, terutama sebagai orang muda, menaklukkan dunia bagi Kristus?
Iman
Manusia tidak dapat hidup tanpa iman. Seorang atheis pun beriman, yaitu bahwa tidak ada Tuhan. Manusia adalah makhluk yang terbatas, banyak hal tidak dapat kita ketahui dan tidak dapat kita pastikan – maka manusia harus beriman. Manusia tidak dapat tidak harus beriman kepada sesuatu karena memang Allah menciptakan manusia untuk bergantung kepada diri-Nya. Masalahnya, kepada apa atau siapa kita hari ini beriman? Tentu kepada oknum yang tidak terbatas, yang kekuasaan-Nya melampaui serta mengatur segala sesuatu.Tetapi apakah kita mengenal-Nya? Manusia berdosa yang terpisah dari Allah tidak lagi mengenal otoritas yang sejati ini, maka harus ada otoritas pengganti. Manusia menggantikan pribadi Allah yang sejati dengan ilah-ilah yang bahkan lebih rendah daripada manusia sendiri. Manusia berdosa telah menaruh alam pada posisi Allah.
Hari ini kita memang melihat penyembahan patung, pohon, gunung, atau batu sebagai sesuatu yang sudah “ketinggalan zaman”, tetapi manusia kemudian menaruh ilmu pengetahuan, teknologi, dan dirinya sendiri sebagai gantinya – dan kita tahu, ini semua hanya akan berujung pada kekecewaan, keputusasaan, dan kekosongan karena semua hal itu tidak dapat menjawab masalah-masalah dan kebutuhan manusia. Hanya Tuhan yang sejati yang dapat dijadikan sandaran hidup manusia. Sebagai orang-orang yang sudah mengenal otoritas yang sejati, yaitu Allah yang berpribadi, kita dipanggil untuk menunjukkan kesia-siaan dari iman orang-orang yang tidak mengenal Tuhan dan menyatakan Allah yang sejati itu kepada dunia. Tetapi bagaimana caranya?
Kita mengenal Allah melalui firman-Nya, dan cara kita satu-satunya untuk memperkenalkan dunia kepada Tuhan yang sejati adalah melalui firman-Nya. Namun kita tidak dapat membawa orang kepada firman jika kita sendiri tidak mengenal firman Tuhan seutuhnya. Di sinilah theologi menjadi sangat penting untuk kita pelajari dan hidupi. Orang Kristen sering kali antipati begitu mendengar istilah “theologi” karena gambaran mengenai theologi yang langsung muncul dalam kepala adalah serangkaian konsep-konsep rumit penuh dengan istilah-istilah rumit yang susah diucapkan, apalagi dipahami, yang kedengaran hebat tapi entah apa hubungannya dengan saya.
Theologi
Satu hal yang perlu diperjelas, kita semua bertheologi. Theologi adalah pengenalan kita tentang Allah – pengenalan itu bisa saja sederhana dan bisa sangat kompleks. Seluruh pemahaman dan pengenalan kita akan Allah, kita dapatkan dari pemahaman kita akan firman Tuhan dan pemahaman ini tersusun secara sistematis dalam bentuk konsep-konsep theologi. Benar tidaknya theologi kita mencerminkan benar tidaknya pemahaman dan pengenalan kita akan Allah. Jaminan benar tidaknya theologi kita berasal dari pemeliharaan Tuhan sendiri atas gereja-Nya sepanjang sejarah.
Kita tidak dapat berharap mempelajari theologi atau mengenal Allah sebagai proses yang mudah. Kesulitan kita dalam belajar firman (atau theologi) seharusnya tidak membuat kita malah melarikan diri jauh-jauh, sebaliknya kita harus belajar lebih bergantung kepada anugerah Allah dan berjuang lebih keras untuk dapat memperoleh pemahaman yang benar akan Allah. Karena jika tidak, kita akan ditelan oleh theologi-theologi ngawur di luar sana. Manusia pada naturnya tidak pernah netral atau berdiri “diam”, artinya jika kita tidak sedang berjalan ke arah yang benar, maka kita sedang tersesat.
Kebudayaan
Perkembangan pemikiran manusia dalam meresponi dunia sekitarnya menghasilkan kebudayaan, dan kebudayaan ini kembali memengaruhi gaya hidup manusia. Dalam hal ini filsafat mempunyai peranan yang penting. Filsafat dihasilkan manusia untuk mengkonklusikan respons manusia pada zaman itu yang kemudian memengaruhi seluruh aspek kehidupan berbudaya manusia pada zamannya. Karya seni adalah contoh yang paling mudah dilihat. Tentu saja ekonomi, sosial politik, pendidikan, sains – semua bidang kebudayaan manusia, tidak ada yang tidak terjamah oleh filsafat. Adalah sulit bagi orang Kristen untuk memberikan pengaruh pada kebudayaan jika kita menolak untuk memulai dari dasarnya, yaitu filsafat.
Kita harus membuka mata lebar-lebar dan melihat bahwa hari ini, kekristenan tidak mempunyai “gigi” di dalam kebudayaan. Kekristenan terus dipengaruhi oleh kebudayaan pada zaman itu. Lalu seperti apa musik yang Kristen? Sulit dijawab. Seperti apakah seni rupa yang Kristen? Sama sulitnya untuk dijawab, karena begitu sedikit seniman Kristen yang mau menggumulinya. Lebih sulit lagi dijawab jika ditanyakan hal yang sama untuk bidang sastra, sains, medis, teknologi, hukum dan pemerintahan, sosial politik, pendidikan, dan ekonomi karena begitu sedikit orang-orang Kristen, terutama generasi muda, yang mau memikirkan dan menggumuli prinsip kebenaran firman Tuhan yang seharusnya mendasari bidang-bidang ini.
Gereja di Dunia
Tuhan memanggil kita untuk menjadi garam dan terang dunia, bukan saja di dalam “kalangan sendiri” (di dalam gereja dan kalangan orang Kristen saja), melainkan untuk menjadi garam dan terang bagi dunia – dunia, dengan segala aspek budayanya. Kita bukan dipanggil untuk menjadi sama dengan dunia ini dengan gaya hidup dan budayanya, tapi kita dipanggil untuk membangun budaya tandingan di mana bukan manusia yang dimuliakan, tetapi Tuhan Pencipta alam semesta. Ketika dunia dapat melihat bahwa Tuhan dan kebenaran-Nya bertakhta di dalam semua bidang kehidupan manusia – iman, ilmu, dan kebudayaan, maka Kerajaan Allah nyata di tengah-tengah dunia.
Jadi, selama ini apa yang sudah kita lakukan untuk membangun Kerajaan Allah? Apakah kita sudah pernah merencanakannya? Membuat blueprint-nya? Mendoakannya? Atau bahkan pernahkah kita me-mimpi-kannya sama sekali?
Untuk mendirikan budaya tandingan, jelas kita tidak dapat mengusahakannya sendiri. Budaya melibatkan adanya komunitas, dan komunitas orang Kristen adalah seluruh umat Allah di seluruh dunia. Di Indonesia, Tuhan memberikan Gerakan Reformed Injili sebagai komunitas yang sudah berdiri 20 tahun lebih. Kita membanggakan diri kita sebagai sekelompok orang Kristen yang memiliki theologi yang tunduk di bawah kebenaran firman Tuhan dan bermandat budaya. Tetapi kita harus akui, begitu sedikit yang kita lakukan dalam menjadi garam dan terang dalam kebudayaan dunia. Kita menunggu orang lain yang kelihatan memiliki theologi lebih “hebat” untuk bertindak, tanpa memikirkan apa peran kita sendiri di dalam membangun Kerajaan Allah.
Sebagai orang Kristen kita terlalu merasa cukup dengan ketaatan kita pribadi, hidup doa dan saat teduh kita pribadi, dan bahkan sering merasa sudah terlalu “religius” jika kita sering mengikuti seminar, persekutuan, pelayanan, KKR, retret, ataupun acara-acara gereja lainnya. Orang tua Kristen merasa pendidikan Kristen “cukup” hanya dengan membawa anak-anak mereka ke Sekolah Minggu, beranggapan dengan sendirinya mereka akan menjadi orang Kristen yang baik, tetapi tidak merasa berkewajiban mempersiapkan anak-anak mereka secara akademik, keterampilan, dan karakter untuk menjadi orang-orang yang suatu hari nanti menaklukkan dunia demi kemuliaan Tuhan.
Panggilan dan Dua Kerajaan
Sebagai orang muda Kristen, istilah “panggilan Tuhan” mungkin sering muncul dalam pikiran kita. Tetapi istilah ini umumnya berarti: “Kira-kira pekerjaan apa yang cocok dan membuat saya bahagia?”, “Saya bisa menjadi sukses dalam bidang apa?”, “Saya harus bekerja di kantor mana?”, “Saya harus investasi dalam bidang apa?”, atau bahkan “Calon pasangan seperti apa yang cocok buat saya?”Anda perhatikan kata apa yang paling sering muncul dalam pergumulan Anda mengenai “panggilan Tuhan”? Kalau kata “saya”-lah yang paling sering muncul, maka kita bukan sedang memikirkan Kerajaan Allah, tetapi kerajaan kita sendiri – yang pada akhirnya akan turut hancur bersama dengan dunia ini dan segala kefanaannya, terlindas oleh roda kereta kuda Kerajaan Allah yang akan segera datang.
Mengapa kita tidak berani menetapkan mimpi dan cita-cita kita sebesar-besarnya, untuk kemudian bekerja sekeras-kerasnya demi membangun Kerajaan Allah? Mengapa kita masih belum rela membuang keinginan-keinginan manusia lama kita akan kesenangan pribadi demi mewujudkan panggilan membangun Kerajaan Allah? Tidakkah Yesus pernah berkata,“Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah.” (Luk. 9:62)?
Kita begitu aktif untuk membangun kerajaan kita, tetapi begitu pasif di dalam membangun Kerajaan Allah. Sementara dunia saat ini sedang sibuk membangun kubu dan persenjataannya dan siap untuk menghancurkan kekristenan kapan saja. Apakah kita siap jika suatu hari serangan itu datang? Apakah kita siap dengan benteng pertahanan kita jika suatu hari iman kita ditantang dan diminta pertanggungjawabannya (1Ptr. 3:14-15)? Atau jangan-jangan saat ini kita sedang sibuk ikut membangun bersama dengan musuh-musuh Tuhan?
Artikel ini tidak ditulis untuk memberikan cara-cara bagaimana, atau jawaban-jawaban apa yang harus diberikan, tetapi artikel ini adalah panggilan untuk membangun mimpi kita, ambisi kita, dan hidup kita – bukan untuk diri kita sendiri lagi, melainkan demi Kerajaan Allah. Jika satu Orang Manusia, seperti yang dituliskan pada bagian awal artikel ini, dengan bahan bakar mimpi dan ambisi yang bersumber dari dirinya sendiri mampu menjalankan roda sejarah, maka siapa yang dapat mampu menahan gerakan dari sekelompok orang yang memiliki mimpi, ambisi, tekad, dan kerelaan untuk mati demi menggenapkan Kerajaan Allah, dengan Kristus sendiri yang berada pada garis terdepan untuk memimpin kita? Selamat Tahun Baru!
Chrissie Martinez
Pemudi FIRES