Introduksi – Rat Race
“Paskah lagi, Paskah lagi. Kapan aku bisa ada masa ’ketenangan’? Baru selesai KKR Natal, sekarang sudah langsung siap-siap untuk KKR Paskah. Paskah kan berarti sudah lewat. Pasca kan? Ngapain ini yang sudah lewat diurusin? Bukankah Paskah berasal dari kata Passover yang artinya dilewati dan memang kejadiannya sudah lewat lama sekali?”
Mungkin gerutu di atas mewakili sisi lain diri kita masing-masing yang lupa dan tenggelam di dalam kesibukan. Kita tidak lagi menjadi rasional tetapi reaktif dan menjalani hidup begitu saja. Lelah dan kacaukah jiwa kita serta semua gelap gulitakah? Bagi mereka yang terbiasa dan terlatih dalam berargumen, akan dengan mudah mengatakan bahwa lelah sih mungkin, tetapi tidak sampai gelap gulita. Bagi mereka yang fasih dalam bertheologi, akan mengatakan bahwa untuk segala sesuatu ada waktunya dan Tuhan pasti akan menghibur, sambil di dalam hati menipu diri. Hari demi hari lewat begitu saja dan setiap orang terjebak di dalam rutinitas masing-masing. Rat race kata orang-orang pada umumnya, kita melakukan tindakan pengejaran self-defeating terhadap sesuatu yang sia-sia; seperti seekor tikus yang harus terus berlari di dalam roda yang tidak ada hentinya dan tidak membawanya ke mana-mana. Yang studi mendapatkan pressure untuk mengejar nilai yang baik untuk masa depan, yang bekerja mendapatkan pressure untuk mendapatkan uang yang banyak untuk masa depan, tetapi sebenarnya siapakah yang memegang masa depan kita? Apakah standar yang Tuhan tetapkan untuk diri kita masing-masing? Benar-benar pertanyaan yang sulit dijawab. Sama seperti artikel Life of Jesus di edisi Pillar kali ini, kiranya kita tidak menyerah untuk bergumul mencari kehendak Tuhan atas diri kita masing-masing dan tidak jemu-jemu untuk mencari, meminta, dan mengetok karena Tuhan berjanji akan memberikan Roh Kudus yang akan menyertai kita selama-lamanya.
Apakah kita yang kecil ini sendirian menghadapi berbagai krisis dan arah yang tak menentu? Pasti tidak demikian. Dunia kita juga tidak lepas dari berbagai permasalahan yang dihadapi.
Dekade I Abad XXI
Dekade pertama abad XXI diawali dengan krisis moneter dan politik di Indonesia dan ditutup dengan IHSG[1] yang gemilang yaitu mencapai 45%, tertinggi se-Asia Pasifik. Dekade pertama abad XXI Amerika Serikat tetap tampil sebagai Negara superpower diiringi oleh G7 yang banyak diwakili Negara Uni Eropa menguasai ekonomi dunia, tetapi dekade ini ditutup sesudah melewati krisis ekonomi 2008 di mana Federal Reserve di Amerika harus melakukan bail out dan Uni-Eropa dengan Jerman sebagai kekuatan ekonomi utama harus melakukan bail out terhadap Yunani dan juga ditambah Irlandia. Brazil, Rusia, China, India bahkan Indonesia diprediksi akan menguasai GDP dunia dalam beberapa dekade ke depan. Sistem ekonomi terus mengalami perubahan dan review menghadapi berbagai krisis dan masuk ke tahap selanjutnya dengan mulai melihat China sebagai kiblatnya.
Dekade pertama abad XXI dimasuki dengan rasa was-was akan adanya millennium bug (Y2K) ketika komputer dan internet mulai diterima di mana-mana dengan munculnya personal desktop komputer yang terutama dipelopori oleh Microsoft yang telah meninggalkan IBM di dekade sebelumnya untuk memimpin pasar. Tetapi dekade ini ditutup dengan munculnya raksasa Google mulai dari search engine mutakhir yang menjadi lambang zaman informasi di abad XXI dan memperluas produknya ke mana-mana seperti email dan web browser sehingga Microsoft dan Yahoo! perlahan-lahan tergeser. Dekade ini juga dimulai oleh handphone yang mulai diterima di mana-mana, meninggalkan pager yang dipimpin oleh Nokia, tetapi dekade ini ditutup oleh penguasaan Apple iPhone dan RIM Blackberry sehingga Nokia dan Sony Ericsson tenggelam. Di dalam dekade ini juga social networking lahir yang dimulai dengan populernya Friendster yang ditenggelamkan begitu saja oleh Twitter dan juga Facebook karya Mark Zuckerberg dari Harvard University yang telah dinobatkan TIME magazine menjadi People of the Year 2010 yang baru lalu sebagai orang yang telah mengubah cara manusia berinteraksi satu sama lain.
Dekade ini yang sudah tidak lagi diancam oleh perang dingin US dan USSR juga harus menelan berbagai pil pahit seperti bencana internasional dengan munculnya ancaman terorisme global peristiwa 911 yang membumihanguskan Twin Tower World Trade Center di Amerika Serikat, ancaman ecological disaster oleh global warming dan natural disaster yang diwakili oleh Tsunami Desember 2004 yang menyapu Indonesia, Sri Lanka sampai ke selatan Asia Tengah dan dekat Afrika dengan Aceh korban terbanyaknya[2]. Begitu pula dengan bencana nasional yang berdampak luas dan cukup mendapat sorotan internasional seperti bocornya pipa minyak BP Petroleum teluk Mexico di Amerika, melubernya lumpur Lapindo Sidoarjo di Indonesia, gempa bumi Sichuan di China, letusan Eyjafjallajokull Eslandia yang melumpuhkan mayoritas airport di Eropa Barat, letusan merapi Yogyakarta di Indonesia, sampai dengan banjir Brisbane yang mengancam Great Barrier Reef di Australia baru-baru ini.
Hidup Manusia
Semua hal di atas mengubah cara manusia berpikir dan hidup. Denyut nadi, nafas, dari kebudayaan dan peradaban kehidupan manusia dibentuk dan membentuk berbagai realitas di atas. Manusia hanya hidup beberapa puluh tahun saja, 70 tahun dan kalau kuat 80 tahun (Mzm. 90), apakah kita yang dicipta di dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik yang telah Tuhan persiapkan sebelumnya berhak menyia-nyiakan hidup kita? Apakah manusia sebagai raja yang dicipta dengan mandat penatalayanan disertai keadilan tanggung jawab di dalam sosial masyarakat berhak menyia-nyiakan hidupnya? Apakah manusia sebagai imam yang dicipta dengan kekudusan disertai cinta kasih untuk menyatakan anugerah perdamaian dari Allah ke dalam dunia ini berhak menyia-nyiakan hidup kita? Apakah manusia sebagai nabi yang dicipta dengan potensi mengerti kebenaran dari Tuhan untuk dinyatakan ke dalam dunia ini berhak menyia-nyiakan hidup kita?[3]
Seperti artikel saya sebelumnya di Pillar edisi Juni 2010 yang berjudul Right in His Own Eyes[4], zaman berubah begitu cepat dari perkembangannya yang merangkak selama ribuan tahun dan berjalan begitu cepat dalam ratusan tahun sesudah renaissance dan sekitar era revolusi industri, maka zaman sekarang seolah berlari di dalam hitungan puluhan atau dekade di dalam era perkembangan sains, teknologi, globalisasi, dan informasi. Tak heran bila Pdt. Stephen Tong mengatakan bahwa Gerakan Reformed Injili berada dalam arus yang begitu cepat dan tegang sehingga susah sekali diikuti mulai dari agricultural era masuk ke dalam industrial era dan langsung masuk ke information era.
Tidak sampai 150 tahun yang lalu, tahun 1883 gunung Krakatau meletus mengakibatkan lahirnya Taman Nasional Ujung Kulon, matinya begitu banyak orang di Batavia (sekarang Jakarta) dengan gendang telinga yang pecah karena ledakannya yang keras mencapai 4.800 km sampai terdengar di Perth dan dekat Mauritius, tsunami 46 m setinggi 1.5-3x lipat lebih tinggi dari tsunami Aceh menghantam Merak, asap hitamnya mencapai 27 km yang berarti 3x tinggi dari Mt. Everest dan melampaui lapisan troposfer dan masuk lapisan stratosfer, langit menjadi merah darah dan bulan menjadi berwarna biru karena serpihan debu material Krakatau yang naik ke atas mengubah warna cahaya matahari yang terlihat, suhu bumi turun beberapa derajat dan perubahan keadaan bumi terasa sampai di Eropa[5]. Gambaran figuratif dari kitab Wahyu sekonyong-konyong datang mendekat. Kristus terus mengingatkan: Berjaga-jagalah! Waspadalah! Aku datang seperti pencuri.
Waktu begitu cepat bergerak dan waktu yang ada untuk manusia hidup itu begitu terbatas, adakah kita menghitung hari-hari kita dengan bijaksana? Apakah di tengah segala kesibukan kita, kita menemukan Sabat untuk meredakan gerutu kita dan membawa kita kepada Paskah yang sejati, Paskah di dalam perhentian yang Tuhan sediakan? Apakah kita terus memiliki jiwa Paskah di dalam diri kita yang terus-menerus dibangkitkan, dibangunkan, disadarkan, disegarkan, diinspirasikan seperti yang dibahas oleh artikel Resurrection di dalam edisi Pillar kali ini? Kiranya artikel ini boleh menjadi refleksi tahun dan dekade baru sekaligus pengantar bagi hati kita mempersiapkan Paskah dan untuk membaca artikel-artikel lainnya di Pillar edisi kali ini. Selamat membaca dan digetarkan oleh perhentian dan urgensi dari Tuhan sendiri!
Lukas Yuan Utomo
Redaksi Bahasa PILLAR
[1] Indeks Harga Saham Gabungan. Sebagai salah satu barometer pertumbuhan ekonomi Indonesia dan lebih bersifat makro dan sangat mungkin tidak mewakili kondisi mikroekonomi di mana di Indonesia sepertinya kesenjangan sosial antara kaya dan miskin semakin besar.
[2] Menarik untuk diperhatikan bahwa justru melalui tsunami pekabaran Injil menjadi terbuka di bumi Aceh. Secara politik, NKRI terjaga utuh karena RI dan GAM berdamai dan proses penyelamatan tsunami membuat Indonesia melakukan open sky policy untuk pertama kalinya atas nama humanisme di mana pesawat dan kapal negara asing maupun LSM asing dengan bebas berada di Aceh dan Nias. [diambil dari Harus Bisa!, seni kepemimpinan a la SBY, oleh Dino Patti Djalal].
[3] Raja sebagai mahkota ciptaan diberi sifat keadilan dari Tuhan untuk melakukan penatalayan dan mengatur diri ke dalam dan sesama serta alam ke luar untuk hasilnya dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Imam sebagai mahkota ciptaan diberi sifat kekudusan dari Tuhan untuk melakukan pelayanan dan mendamaikan diri ke dalam dan sesama serta alam ke luar untuk berdamai dengan Tuhan. Nabi sebagai mahkota ciptaan diberi sifat pengetahuan dari Tuhan untuk melakukan kebenaran dan mendidik diri ke dalam dan sesama serta alam ke luar untuk membawa manusia kembali mengenal Tuhan dan kebenaran Tuhan. (bandingkan artikel Manusia Hidup di edisi Pillar kali ini)
[4] https://www.buletinpillar.org/artikel/right-in-his-own-eyes
[5] Wikipedia