Pembelajaran Kerendahan Hati dari Yohanes Calvin

Bayangkan jika suatu hari Gerakan Reformed Injili sudah begitu berkembang dan diterima oleh masyarakat luas, kemudian satu remaja putri dengan bangga berkata kepada teman-temannya, “Eh, tau ga lu, gua baru jadian sama satu cowok. Orang Reformed lho! Pengertian doktrinnya, wah makjang!” Lalu satu pemuda yang mengaku Reformed Injili berbangga kepada teman-temannya di tempat kuliah, “Ah, lu pada kaga ngerti Reformed worldview sih. Makanya interpretasi lu tentang science parah. So shallow, gitu loh!

Sejarah mengingatkan kepada kita tentang kebahayaan dari dalam suatu gerakan Kristen ketika gerakan tersebut mulai berkembang dan diterima masyarakat. Perkembangan dan penerimaan masyarakat tentu saja sesuatu yang sangat baik. Yang menjadi kesalahan adalah hilangnya kewaspadaan dan visi mula-mula dari orang-orang yang berada di dalam gerakan Kristen tersebut sebagai efek samping dari penerimaan mayoritas.

Saya khawatir ketika Gerakan Reformed Injili berkembang dan diterima oleh masyarakat luas, orang-orang yang berada di dalam gerakan ini sendiri kehilangan kewaspadaan dan visi mula-mula dari gerakan ini.

Salah satu dasar yang membuat Theologi Reformed menjadi begitu kokoh adalah karena penekanan Yohanes Calvin yang begitu kental mengenai kerendahan hati. Orang-orang modern yang mengaku diri sudah tercerahkan cenderung terpaku kepada content proposisional dari suatu pengajaran, tetapi lupa bahwa di belakang suatu pernyataan positif selalu ada sikap hati (attitude) yang mendasari keluarnya pernyataan tersebut. Maka para scholars yang ‘sudah cerah’ tersebut sering kali terpaku untuk mempelajari proposisi-proposisi yang dipercayai oleh Yohanes Calvin, tapi melupakan sikap hati yang melaluinya proposisi-proposisi tersebut keluar. Tidaklah heran jika ada orang-orang ‘Reformed’ yang sombong, yang menganggap diri hebat karena sudah mengerti satu set pengajaran yang dianggap sebagai Calvinisme, yang sekarang katanya akan menjadi pengaruh besar di seluruh dunia.

Firman Tuhan berkata, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar seluruh kehidupan” (Amsal 4:23).

Dalam rangka merayakan ulang tahun Yohanes Calvin ke-500, marilah kita sebagai orang-orang yang mengaku diri Reformed Injili mempelajari bukan saja original content dari tulisan-tulisannya, tapi juga mempelajari original attitude yang dimiliki oleh budak Kristus yang setia ini.

Dalam artikel ini, kita akan melihat mengapa Yohanes Calvin begitu menekankan kerendahan hati dan belajar dari beberapa contoh mengenai bagaimana sikap ini mempengaruhi pendekatan theologinya.

Pengertian Relasi Kovenantal (atau Eksistensial) antara Manusia dengan Allah sebagai Dasar Kerendahan Hati

Di dalam Buku Pertama Bab Pertama dari Institutio Christianae Religionis, Calvin menekankan tentang esensi pengenalan manusia akan Allah yang bersifat personal dan kovenantal (untuk filsuf, baca: eksistensial). Allah bukanlah satu set definisi mengenai suatu being, melainkan satu Pribadi Pencipta yang kepada-Nya seluruh manusia mau tak mau harus selalu berelasi dan berespons, tidak peduli apakah seseorang mau mengakui keberadaan-Nya sebagai Pencipta atau menekan kebenaran tersebut dengan berkata “Allah tidak ada”. Karena hakikat manusia sebagai gambar Allah, hati setiap manusia terus-menerus berteriak kepadanya, “Allah ada dan aku harus mempertanggungjawabkan hidupku kepada-Nya, baik sekarang maupun di penghakiman nanti!”

Yohanes Calvin menulis bahwa ketika kita memiliki pengenalan yang benar tentang diri, maka pengenalan itu akan membawa kita kepada pengenalan akan Allah. Sebaliknya, jika kita memiliki pengenalan yang benar akan Allah, maka kita akan mengenal diri kita dengan benar. Mengapa demikian? Karena manusia sebagai gambar Allah mau tidak mau, senang tidak senang, dalam setiap saat dari hidupnya, harus berespons kepada Allah.

Yohanes Calvin kemudian menyimpulkan Bab Pertama dengan kalimat-kalimat berikut: “Hence that dread and amazement with which as Scripture uniformly relates, holy men were struck and overwhelmed whenever they beheld the presence of God. When we see those who previously stood firm and secure so quaking with terror, that the fear of death takes hold of them, nay, they are, in a manner, swallowed up and annihilated, the inference to be drawn is that men are never duly touched and impressed with a conviction of their insignificance, until they have contrasted themselves with the majesty of God.”[i]

Pengantar pengenalan Allah yang demikianlah yang menjaga suatu theologi untuk tidak menjadi kering. Ketika theologi hanya membicarakan mengenai set of beliefs tanpa kaitan dengan relasi pribadi dengan Sang Pencipta, maka theologi tersebut adalah theologi yang tidak berfondasi atau bahkan bukan lagi theologi dalam arti yang sesungguhnya.

Jika kita memulai pengenalan kita akan Allah dengan sikap seperti ini, maka kita pasti akan memulai theologi kita dengan sikap yang benar, yaitu: kerendahan hati. Kita akan selalu sadar ketika kita bertheologi, “Saya adalah ciptaan yang remeh, yang diberikan kasih karunia untuk mengenal Pencipta yang besar, yang rela menyatakan diri-Nya kepada saya yang remeh ini.” Tak mungkin relasi eksistensial dengan Allah ini melahirkan theologi yang bersifat kering dan impersonal.

Mari kita merefleksikan diri bagaimana kita mengenal Allah. Apakah kita mengenal Allah hanya dari definisi-definisi dari pengakuan iman di gereja kita? Ataukah kita mengenal Allah di dalam relasi kita secara pribadi dengan Allah? Cornelius Van Til berkata, “… it should be remarked that Greek philosophy as a whole tends to depersonalization and abstraction.”[ii] Jika kita mengabstraksi Allah menjadi hanya satu set pengertian doktrinal, kita sebenarnya sedang bermain filsafat Yunani dan kita sudah menghujat Allah yang hidup di dalam theologi kita!

Saya tidak sedang mengajarkan bahwa doktrin tidak penting. Yang saya sedang tantang adalah sikap kita yang mereduksi Allah Pencipta kita menjadi pernyataan-pernyataan yang bisa kita main-mainkan secara sembarangan dengan ‘hukum-hukum logika’. Please show respect to your Creator!

Kerendahan Hati dan Cakupan Pengenalan akan Allah

Di dalam konteks GRII Singapura di mana saya melayani, ada pergumulan mengenai kurangnya orang yang memiliki kerinduan untuk melayani di dalam wadah-wadah yang ada. Kelihatannya ada ‘kehausan’ untuk mendengarkan khotbah Pdt. Dr. Stephen Tong, mengikuti kelas-kelas, tapi kurang sekali ada kerinduan untuk terjun di dalam pelayanan gerejawi. Apakah Theologi Reformed semacam ini yang diajarkan Yohanes Calvin?

Yohanes Calvin di dalam buku Institutio-nya sering berpolemik dengan skolastisisme dari Katolik Roma. Ada kecenderungan dari theolog-theolog Skolastik untuk berspekulasi mengenai hal-hal ‘theologis’ yang tidak dinyatakan di dalam Alkitab. Misalnya mereka mencari-cari apa esensi dari Allah secara ontologis. Akhirnya ‘theologi’ menjadi semacam permainan intelektual untuk mencari insights baru dan memuaskan intellectual lust mereka. Di dalam konteks tersebut, Yohanes Calvin menulis demikian:

“By the knowledge of God, I understand that by which we not only conceive that there is some God, but also apprehend what it is for our interest, and conducive to his glory, what, in short, it is befitting to know concerning him. For, properly speaking, we cannot say that God is known where there is no religion or piety.[iii]

Those, therefore, who, in considering this question, propose to inquire what the essence of God is, only delude us with frigid speculations,—it being much more our interest to know what kind of being God is, and what things are agreeable to his nature.”[iv]

Apakah Calvin pragmatis? Di dalam satu perspektif, ya. Calvin dalam hal ini pragmatis karena ia taat kepada perintah Tuhan dalam Ulangan 29:29, bahwa hanya hal-hal yang dinyatakan yang harus kita simpan sedalam-dalamnya dalam hati, kita renungkan, kita taati, dan kita ajarkan turun-temurun kepada anak cucu kita.

Apa yang diharapkan dari pengenalan Allah yang demikian? Maka Calvin melanjutkan:

“The effect of our knowledge rather ought to be, first, to teach us reverence and fear; and, secondly, to induce us, under its guidance and teaching, to ask every good thing from him, and, when it is received, ascribe it to him. For how can the idea of God enter your mind without instantly giving rise to the thought, that since you are his workmanship, you are bound, by the very law of creation ,to submit to his authority?—that your life is due to him?—that whatever you do ought to have reference to him?

Such is pure and genuine religion, namely, confidence in God coupled with serious fear—fear, which both includes in it willing reverence, and brings along with it such legitimate worship as is prescribed by the law.”[v]

Sekali lagi, karena pengertian kovenantal dalam relasi manusia dengan Allah, maka bagi Calvin pengenalan akan Allah bukanlah pengenalan yang abstrak, impersonal, dan non-relasional. Bagi Calvin, pengenalan akan Allah akan membawa kita kepada sikap gentar dan ibadah kepada Allah. Terlebih lagi, pengenalan akan Allah akan membawa kita untuk percaya kepada Allah dan mengharapkan segala sesuatu hanya dari Dia, yang adalah Sang Mata Air Kehidupan.

Mari kita merefleksikan apakah pengenalan kita akan Allah mempengaruhi sikap hati kita untuk semakin taat kepada Allah, percaya kepada-Nya, dan melayani Dia. Jika tidak, ada yang salah dengan Theologi ‘Reformed’ kita. Atau jangan-jangan kita sedang bersikap arogan terhadap Pencipta kita dengan berspekulasi mengenai hal-hal yang tidak dinyatakan-Nya dan tidak berguna bagi sikap pelayanan kita kepada-Nya?

Kerendahan Hati dan Providensia Allah

Banyak orang sependapat bahwa Theologi Reformed bisa dirangkum dengan kata ‘kedaulatan Allah’. Calvin memiliki kerendahan hati yang indah ketika dia mengakui kedaulatan Allah di atas setiap detail kehidupan ciptaan. Manusia berdosa cenderung menginginkan otonomi dari Allah. Diperlukan kerendahan hati yang luar biasa bagi Calvin, yang juga adalah manusia berdosa, untuk mendengarkan setiap ayat Alkitab yang dengan jelas menyatakan bahwa Allah mengarahkan setiap detail kehidupan manusia.

Di dalam Institutio Buku 2 Bab 4, Calvin menulis bahwa setiap kejadian yang terjadi di dalam dunia sekalipun dilakukan oleh orang-orang yang berdosa, tetap dikendalikan oleh Allah. Ini yang disebut doctrine of concurrence dalam Theologi Reformed. Satu event yang sama bisa dilakukan oleh banyak agen personal (contohnya dalam konteks penderitaan Ayub: orang Kaldea, setan, dan Allah) dengan motif yang berbeda-beda. Doktrin ini menghindarkan kita dari pengertian yang salah bahwa Allah mengarahkan orang untuk berbuat dosa. Keinginan untuk berdosa adalah nyata dari diri orang berdosa itu sendiri. Tapi Allah mengatur bagaimana keberdosaan seseorang bisa ‘ditunggangi’ sedemikian rupa oleh kehendak Allah untuk melaksanakan kehendak-Nya yang kekal.

Doktrin providensia Allah ini sering kali dilunakkan oleh orang-orang yang tidak cukup rendah hati untuk mendengarkan setiap ayat yang dipaparkan Alkitab. Mereka ‘rendah hati’ untuk menghindarkan Allah dari tuduhan pembuat dosa, tapi efek dari pelunakan doktrin ini sangatlah fatal.

Pertama, pelunakan doktrin ini mengurangi kemuliaan Allah dalam kemahakuasaan-Nya. Allah dianggap tidak berkuasa atas kejahatan yang dilakukan manusia. Padahal Alkitab menyatakan dengan jelas bahwa kejahatan saudara-saudara Yusuf pun ‘ditunggangi’ oleh kehendak Allah bagi Israel. Allah berkuasa di dalam setiap hal yang terjadi sekalipun manusia pikir manusia dapat melawan kedaulatan Allah. Sebenarnya yang terjadi ketika manusia melawan Allah pun adalah kegenapan kehendak kedaulatan-Nya.

Kedua, pelunakan doktrin ini dapat mengakibatkan pengertian yang salah antara Pencipta dan ciptaan. Konsep relasi Pencipta-ciptaan yang benar adalah bahwa Pencipta sama sekali tidak bergantung dari ciptaan sedangkan ciptaan bergantung mutlak terhadap Pencipta. Doktrin kedaulatan Allah mengonfirmasi konsep relasi Pencipta-ciptaan ini. Hal-hal yang dilakukan ciptaan bergantung mutlak kepada kehendak kedaulatan Allah, tetapi kehendak kedaulatan Allah sama sekali tidak bergantung kepada kehendak manusia. Jika ada hal-hal yang dilakukan oleh manusia yang tidak ditetapkan oleh Allah, maka kita mengingkari bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta dan segala sesuatu adalah ciptaan-Nya. Otonomi manusia adalah musuh besar dari Christian Theism worldview.

Ketiga, pelunakan doktrin ini menyebabkan sikap yang kurang rendah hati. Seperti yang telah dijelaskan di paragraf sebelumnya, implikasi dari doktrin ini adalah menganggap bahwa manusia bisa menggagalkan rencana Allah ketika Allah ‘membiarkan’ mereka untuk melawan Allah.

Secara positif, doktrin providensia Allah justru mengajar kita untuk selalu rendah hati dalam kita berespons terhadap segala hal yang terjadi di dalam hidup kita. Paulus menulis bahwa segala sesuatu terjadi di dalam kontrol Allah untuk mendatangkan kebaikan bagi setiap orang yang mengasihi Allah (Roma <st1:time hour=”8″ minute=”28″ w_st=”on”>8:28</st1:time>). Maka kita didorong untuk belajar di dalam segala sesuatu yang terjadi di dalam hidup kita, baik susah maupun senang, baik kemiskinan maupun kelimpahan, baik sakit maupun sehat, karena TUHAN Allah sedang bekerja dan ingin mengajarkan kita sesuatu melalui setiap detail kehidupan kita. Betapa ajaibnya anugerah Allah yang mau menjadi Private Tutor kita di dalam setiap saat yang kita alami!

Kerendahan Hati dan Pengharapan akan Kehidupan Mendatang

Pada waktu kita menjalankan mandat budaya di dalam zaman kita, kita perlu mengingat wejangan yang Yohanes Calvin berikan mengenai pengharapan akan kehidupan yang akan datang. Waktu kita mengharapkan ke-Tuhanan Kristus di dalam setiap aspek hidup, kita mudah sekali untuk berpikir terlalu tinggi dari apa yang seharusnya kita pikirkan. Kita berdiskusi dengan seru bahkan terjun secara aktif untuk menebus bidang ilmu, filsafat, psikologi, politik, dan lain-lain. Tapi waktu kita melihat hasil dari apa yang kita usahakan dengan keras, kita sering kali menjadi kecewa.

Yohanes Calvin adalah satu orang yang realistis. Ia mengerti bahwa Kristus baru betul-betul menang pada waktu kedatangan-Nya yang kedua kali. Di dunia sekarang ini, yang jahat akan semakin jahat. Maka ia menempatkan imannya kepada kemenangan di dunia yang akan datang, bukan di dunia sekarang ini. Berikut adalah tulisan Calvin dari Buku 3 Bab 9:

“Whatever be the kind of tribulation with which we are afflicted, we should always consider the end of it to be, that we may be trained to despise the present, and thereby stimulated to aspire to the future life. For since God well knows how strongly we are inclined by nature to a slavish love of this world, in order to prevent us from clinging too strongly to it, he employs the fittest reason for calling us back, and shaking off our lethargy.”[vi]

Alkitab memang mengajarkan bahwa setelah Yesus Kristus dibangkitkan dan naik ke sorga, Ia diberikan kuasa atas segala sesuatu, baik di dunia sekarang ini maupun di dunia yang akan datang (contoh: Efesus 1:20-21). Tapi Alkitab tidak menekankan kegenapan otoritas Kristus dalam setiap sphere sovereignty di dalam dunia yang sekarang ini. Jangan-jangan kita melupakan hal ini ketika kita berjuang melaksanakan mandat budaya. Lupa berdoa, lupa beriman, lupa melihat kedaulatan TUHAN yang tidak kelihatan!

Saya setuju dengan keharusan orang Kristen untuk menjalankan mandat budaya, tetapi kita perlu berhati-hati untuk tidak lupa bahwa kegenapan keseluruhan pemerintahan Kristus akan terjadi ketika Dia datang kembali dan membawa Yerusalem yang baru turun dari Sorga. Jika kita melupakan hal ini, kita akan kehilangan fokus mula-mula dari Injil dan terganggu oleh ide optimisme dan idealisme tentang mandat budaya kita, yang kita harapkan bisa tergenapi di dunia sekarang ini. Optmisme yang tidak terjamin oleh Alkitab ini akan merusak iman kita sendiri. Pengharapan yang salah dapat mengakibatkan kekecewaan yang luar biasa.

Marilah kita dengan kerendahan hati menantikan waktu TUHAN. Janganlah kita bergerak dengan hikmat kita sendiri, sekalipun dengan dalih ‘untuk Tuhan’.

Amsal 3:5-6

“Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.”

Epilog

Masih banyak lagi hal-hal yang dapat kita renungkan mengenai kerendahan hati Yohanes Calvin dan pengaruhnya terhadap theologi yang dia bangun. Setidaknya saya terpikir mengenai pengaruh sikap ini terhadap konsepnya tentang keselamatan (penekanan Sola Gratia) dan tentang pengorganisasian gereja (penekanan presbyterianism). Mungkin saudara dapat menemukan jauh lebih banyak lagi dari poin-poin yang telah saya kemukakan. Poin-poin yang saya kemukakan dalam artikel ini hanyalah poin-poin yang saya gumulkan secara khusus melalui interaksi saya di dalam pelayanan di GRII Singapura.

Jika kita merindukan theologi yang berfondasi kuat dan bertahan sampai bergenerasi-generasi, marilah kita belajar untuk mendasarkan theologi kita bukan hanya kepada content proposisional, tapi juga kepada attitude kita terhadap Allah, di dalam pergumulan relasi yang dinamis antara diri kita dengan Allah, Pencipta dan Penebus kita yang hidup. Life is theological, therefore ethical!

“Entahkah orang membangun di atas dasar ini (Yesus Kristus) dengan emas, perak, batu permata, kayu, rumput, kering atau jerami, sekali kelak pekerjaan masing-masing orang akan nampak. Karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan nampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh api itu.”

1 Korintus 3:12-13

 

O Lord, have mercy on us!

Sola Gratia! Soli Deo Gloria!

 

Andi Soemarli Rasak

Pemuda GRII Singapura

 

 

 

Bibliografi:

1.      Institutes of the Christian Religion, John Calvin (translation of Henry Beveridge).

2.      A Survey of Christian Epistemology, Cornelius Van Til.

3.      Lectures on Calvinism, Abraham Kuyper.

4.      Neo-Calvinism, Cornelis Pronk.

 


[i]               Institutes of Christian Religion, I.1.3.

[ii]              A Survey of Christian Epistemology, Bab 2.

[iii]             Institutes, I.2.1.

[iv]            Ibid., I.2.3.

[v]              Ibid.

[vi]              Ibid., I.9.1.