grayscale photo of person using MacBook

Pemuda Reformed Injili di Zaman Internet: Perenungan mengenai Individualisme, Makna Hidup, dan Cinta

Setiap orang, dalam hidupnya selalu memiliki setidaknya dua keterbatasan, yaitu keterbatasan ruang dan waktu, termasuk bagi pemuda. Sebagai pemuda, kita hidup di dalam suatu zaman atau kurun waktu. Di dalam zaman ketika kita hidup, ada beberapa karakteristik yang menjadi keunikan dari zaman tersebut. Tentu saja karakteristik ini juga dipengaruhi oleh lokasi di mana kita berada, dan fenomena apa yang terjadi di daerah tempat kita berada. Akan tetapi, kita bisa melihat fenomena tertentu yang pengaruhnya melintasi ruang (dengan kata lain: mendunia) dan itu bisa memberikan ciri khas bagi zaman tersebut. Di dalam artikel ini, saya hanya akan membatasi diri pada satu fenomena global yang begitu menoreh arus zaman pada saat ini, sesuatu yang sudah tidak asing, atau bahkan sangat dekat dengan hati kita, yaitu internet. Saya akan menganalisis pengaruh internet bagi pemuda, karakteristik zaman yang dipengaruhi oleh internet, dan tantangan, serta pada saat yang bersamaan, kesempatan bagi pemuda Reformed Injili untuk bisa menantang zaman ini.

Internet dan Pemuda

Pertama, mengenai pemuda. Secara istilah yang lebih umum digunakan, pemuda saat ini dikategorikan ke dalam dua generasi, yaitu generasi Y, atau yang sering disebut milenial, dan juga generasi Z, atau yang terkadang disebut juga iGen. Dengan bantuan Google, kita dengan mudah menemukan begitu banyak website yang menghubungkan kedua generasi ini dengan keberadaan internet. Bahkan beberapa orang menamai Generasi Z sebagai digital native, artinya generasi ini sebegitu dekatnya dengan dunia digital sampai sudah seperti “penduduk asli dunia digital”.

Kemajuan teknologi, yang ditandai dengan kemajuan internet, membawa suatu arus baru yang berbeda dari arus zaman di generasi sebelumnya. Kemajuan internet itu sendiri merupakan hal yang mungkin lama dinanti-nantikan oleh banyak orang yang hidup di zaman sebelum kita, tetapi bagi kita yang menikmatinya saat ini, hal tersebut ternyata membawa permasalahan besar, karena di tangan orang berdosa, apa pun bisa menimbulkan kekacauan. Kita perlu belajar bahwa internet bukanlah solusi buat permasalahan kita karena permasalahan kita yang paling utama berasal dari dosa.

Karakteristik Pemuda di Zaman Internet

Salah satu hal yang sangat dipengaruhi oleh keberadaan internet adalah budaya individualistis. Budaya individualistis adalah budaya yang menekankan dan berpusat kepada diri. Kita diajarkan lebih memikirkan keinginan, kesukaan, kepentingan diri saat itu dalam memilih barang, pekerjaan, jodoh, dan bahkan aktivitas saat berkumpul. Dengan kata lain, individualistis itu sangat menekankan kebebasan individu. Tak jarang kita melihat orang ketika berkumpul, semua orang asyik dengan HP-nya masing-masing. Nilai individualistis ini sangatlah bertentangan dengan natur kita yang diciptakan untuk bersosial.

Cukup lama saya memikirkan, “Kenapa bisa terbentuk budaya individualistis yang begitu kuat di kalangan pemuda saat ini, generasi yang paling dipengaruhi oleh internet?” Ada dua alasan yang bisa saya pikirkan, yaitu internet membuka budaya Barat ke Timur (dan juga sebaliknya), dan juga design dari smartphone yang diperlengkapi dengan internet memfasilitasi berkembangnya kebudayaan individualistis.

Kita mulai dari yang pertama, internet memiliki kekuatan penghubung (network) sehingga membuka budaya Barat ke Timur. Budaya individualistis sebelumnya sangat berkembang di dunia Barat, sedangkan di Timur kebudayaan berkembang lebih ke arah komunitas. Tentu saja di dalam kehidupan manusia ada tempat untuk melihat aspek individu, yakni karena setiap orang diciptakan secara unik berdasarkan gambar dan rupa Allah. Namun, manusia berdosa akhirnya begitu mengagungkan keunikan dirinya dan hanya berpusat kepada diri sendiri. Melalui internet, konten dari negara Barat, dengan begitu cepatnya diterima oleh orang-orang di Timur. Konten video, audio, dan artikel dari mana saja bisa kita akses dengan mudah. Melalui jalan seperti inilah kebudayaan Barat sampai di Indonesia. Kita terpengaruh dan kita makin menghidupinya.

Yang kedua, kalau kita perhatikan, desain smartphone yang kita gunakan saat ini sangatlah mendorong untuk kebebasan individu. Seakan-akan segala sesuatu ada dalam genggaman tangan. Kita makin tidak perlu berinteraksi dengan orang lain karena semua kebutuhan kita, selalu bisa ditemukan dalam smartphone. Ketika kita tidak tahu jalan, tinggal buka aplikasi Google Maps (bandingkan dengan zaman dahulu, orang selalu berpikir untuk tanya jalan kepada orang lain). Ketika kita bosan, kita dapat menonton di YouTube, atau buka Facebook, Instagram, atau media sosial lainnya (bandingkan sebelum internet terkenal, ketika bosan, orang mungkin akan mencari aktivitas bersama teman). Dengan kemudahan ini, budaya individualistis berkembang begitu suburnya karena kita diberikan akses kepada “dunia ala individualistis” setiap saat kita mau. Tentu saja, budaya Timur (kekeluargaan) tidaklah lebih tinggi dibandingkan budaya Barat (individualistis). Namun, kita perlu memikirkan dengan lebih kritis efek negatif yang dibawa oleh budaya individualistis ini.

Salah satu konsekuensi langsung yang bisa terlihat adalah bagaimana semua ini makin mengubah persepsi kita tentang teman dan komunitas. Makin sulit bagi para pemuda saat ini untuk bisa membagikan pergumulannya yang dalam kepada teman-temannya. Jikalau kita benar-benar merasa hidup tidak berarti karena berbagai macam pergumulan yang kita hadapi, mungkin kita lebih memilih untuk mencari solusi di internet dibandingkan berbicara dengan teman. Paling tidak, internet tidak akan membocorkan rahasia kita, dan tidak akan memberikan komentar negatif kepada kita. Internet juga menjadi “hamba Tuhan” yang paling hebat karena memiliki segala macam informasi dan kita bisa mencari jawaban yang paling “kena” di hati kita. Tidak perlu lagi untuk bertemu hamba Tuhan di gereja, seolah semua bisa kita selesaikan secara individu, dengan pertolongan internet.

Tantangan bagi Pemuda

Bagi seorang pemuda, pada umumnya, ada dua keputusan “besar” yang harus diambil di masa muda, yaitu berkaitan dengan pekerjaan yang mewakili makna dan tujuan hidup, dan keluarga yang mewakili eksistensi dirinya. Kedua pergumulan ini, ketika digabungkan dengan budaya individualistis dan internet, menjadikan pemuda sangat rentan terhadap pengaruh luar. Jikalau dalam masalah makna hidup, di zaman dahulu, orang lebih merasa jelas akan makna hidupnya karena mereka seakan-akan hanya punya satu pilihan, yaitu meneruskan apa yang orang tua kerjakan. Di luar itu, mereka dianggap sebagai pemberontak dan pembuat masalah, bahkan bisa dianggap durhaka. Namun di zaman sekarang, kita selalu berpikir bahwa pekerjaan itu adalah pilihan kita secara individu, dan kita mengeluh jikalau orang tua tidak bisa mengerti dan mendukung pilihan kita. Kita punya pilihan bukan saja apa yang terlihat di sekitar kita, tetapi terbentang dari timur sampai ke barat di seluruh dunia melalui internet.

Hal yang paling membuat keadaan makin parah adalah dengan adanya tren “pencitraan” melalui media sosial. Semua orang memamerkan nasib baik mereka dan menyembunyikan pergumulan mereka, dan itu membuat kita makin merasa buruk tentang diri, khususnya ketika sedang dalam pergumulan. Hal ini disebabkan oleh perbandingan diri dengan semua orang yang ada, baik yang kita kenal maupun tidak di seluruh “dunia” melalui internet. Kita akan merasa sepertinya hidup mereka begitu luar biasa dan hidup kita serasa seperti sampah, begitu menyedihkan. Akhirnya, tidak sedikit orang yang merasa hidup itu sia-sia saja dan tidak ada artinya, karena jawaban untuk makna hidup yang sesungguhnya tidak ditemukan di internet. Di sana kita hanya menemukan kisah-kisah penuh keajaiban yang unik, dan melaluinya kita perbandingkan nasib buruk kita sendiri. Tanpa kita sadari, seluruh standar makna hidup kita ambil dari sana. Hidup itu sukses jikalau kita mempunyai usaha sendiri, jikalau kita bisa pergi keliling dunia, jikalau kita bisa mengumpulkan uang Rp 1 miliar sebelum umur 25 tahun (atau bahkan lebih muda lagi). Tentu saja itu membuat kita makin merasa hidup tidak berarti jikalau kita tidak bisa memenuhi standar yang tidak realistis (bahkan tidak benar dan tidak alkitabiah) seperti itu, tetapi kita ditekan untuk bisa memenuhi arti hidup seperti itu. Kita ingin juga eksis di dunia maya, kita ingin hidup kita ajaib seperti kisah mereka.

Yang kedua, mengenai diri. Ketika kita makin sulit menemukan teman yang bisa benar-benar mengerti kita, yang bisa memberikan kepuasan kepada kita, alternatif pornografi menjadi begitu menggiurkan. Pornografi dianggap bisa didapatkan secara gratis, memberikan kepuasan di tengah-tengah kesulitan kita, dan “tidak ada efek samping”. Tentu saja anggapan-anggapan seperti ini sepenuhnya salah, karena pornografi tidak bisa memuaskan diri, yang ada malah memberikan masalah lain yang tidak kalah lebih kompleks dan berbahaya.

Perenungan mengenai Pemuda Reformed Injili

Sekali lagi, saya mau menegaskan bahwa semua bahaya yang saya sudah paparkan dalam artikel ini berakar pada kenyataan bahwa kita adalah orang berdosa. Di dalam natur keberdosaan ini, kita menghancurkan diri dengan perkembangan teknologi, terutama internet. Manusia yang seharusnya menjadi tuan atas alat/teknologi, justru akhirnya malah menjadi hamba dari alat/teknologi. Oleh karena itu, solusinya bukanlah mengajak kita semua untuk kembali ke kehidupan tanpa internet, menjual smartphone, atau solusi-solusi lainnya seperti ini. Sebaliknya, sebagai pemuda Reformed Injili, mari kita memikirkan kembali visi Reformed Injili dari perspektif Alkitab.

Sebagai pemuda Reformed, kita mau memegang teguh Alkitab sebagai kebenaran firman Tuhan yang berotoritas terhadap seluruh aspek hidup kita. Ketika pergumulan mencari makna hidup begitu nyata, rasa kesepian dan kerinduan untuk memiliki cinta yang sejati begitu besar, mampukah kita tetap mengarahkan hati kepada Alkitab sebagai firman Tuhan, sumber segala makna dan kebahagiaan kita? Banyak orang di sekitar kita yang berusaha mencari makna hidup dari pengejaran harta kekayaan karena mereka mengira hal itu bermakna seperti yang digembar-gemborkan dunia ini. Akan tetapi, pengejaran tersebut sesungguhnya kosong adanya. Paulus memiliki makna hidup yang baru ketika dia kembali kepada Tuhan. Ia mengatakan bahwa semua yang dia miliki sebelumnya adalah sampah saat dibandingkan dengan pengenalan akan Tuhan. Demikian juga dalam pengejaran akan diri dan cinta yang sejati. Ketika kita bertemu dengan cinta kasih Tuhan yang sejati, kita bisa merasa puas. Bukan hanya itu, cinta kasih Tuhan tersebut bisa mengubah hidup kita, dari yang berpusat pada diri menjadi berpusat pada Tuhan dan menjadi berkat bagi orang lain. Di sinilah kepenuhan makna hidup dan keberadaan dirinya mencapai puncaknya.

Sebagai pemuda Injili, kita sadar bahwa orang di sekitar kita juga mempunyai pergumulan yang mirip. Ketika kita mengenal kasih Tuhan dan menemukan makna hidup yang sejati di dalam Tuhan, kita akan makin tergerak membagikan kasih Tuhan. Penginjilan begitu dibutuhkan oleh dunia zaman ini, karena tanpa Injil kita akan terus jatuh ke dalam pengenalan makna hidup dan cinta yang palsu. Tuhan telah memberikan teladan melalui hidup Pdt. Dr. Stephen Tong yang menekankan agar pemuda Reformed Injili harusnya bisa menganalisis tantangan zaman, dan membawa zaman ini kembali kepada Tuhan. Marilah kita mengenal identitas kita sebagai pemuda Reformed Injili dan berjuang melawan setiap tantangan zaman yang ada, khususnya di zaman internet seperti saat ini. Bukan saja tidak terjerat keberdosaan melalui internet, kiranya kita mampu memakai kemudahan teknologi internet ini untuk belajar firman lebih lagi, dan membagikan Injil kepada makin banyak orang yang dapat kita jangkau di seluruh dunia melalui internet ini. Semoga Tuhan memberikan kuasa kepada kita semua hidup sebagai anak-anak Allah yang menyatakan kemuliaan-Nya.

Jerry Hermanto

Pemuda GRII Singapura